PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fana’
FAna’ dalam pengertian harfiyah adalah keadaan dari syai (sesuatu) yang tidak
berahir, artinya, apabila tetapnya suatu keadaan telah berahir, dikatakan bahwa telah
mencapai fana’. Bagi sufi, fana’ adalah tidak dikenali sifat-sifat seorang oleh yang
bersangkutan sendiri. Di dalam fana, abdi tidak memiliki kesadaran tentang dirinya,
artinya bagi dirinya sendiri yang bersangkutan tidak merasa ada, tetapi ia hanya
menyadari sekedar sebagai “ yang mewujudkan, dan perwujudtan”. Sepanjang anda
hadir dalam pandangan anda, maka tuhan (seolah) tidak ada, dan apabila dalam
pandangan anda ia hadir, maka diri anda sendiri yang akan hilang. Misalnya, apabila
anda memusatkan pada kata-kata, (dalam keadaan menulis) anda akan kehilangan
perhatian atas tinta. Dan apabila anda memusatkan perhatian pada tinta, maka anda
akan kehilangan perhatian atas kata-kata.
Di dalam Fana, arti penting yang mungkin akan melenyap di dalam kesadaran
dari arif, materi jasadnya, tentu saja tidak lenyap. Sebagian berpendapat bahwa fana
adalah melenyapnya syai di dalam pengetahuan, dan bukan lenyapnya jasad secara
nyata. Sedang sebagian lain berpandangan, bahwa hal itu berarti hilangnya pandangan.
Oleh Abu Sa’id Ahrar, istilah fana digunakan untuk melukiskan perasaan sebagai
hasil tarikan dan penyerapan. Pada keadaan kedua, terwujudkan melalui pelaksanaan
aturan syariat, yang memiliki makna spiritual, aspek lahiriyah dari syariat merupakan
wujud hubungan antara rabb dan abdi. Wujud lahiriyah dari hal yang sama dijaga dan
dilaksanakan melalui tindakan jasmani secara tertentu, artinya, beberapa gerak
jasmaniyah tertentu harus dilaksanakan untuk mewujudkan hubungan tersebut.
Seorang guru utama (pir-i-Kamil) oleh karenanya juga seorang yang
melaksanakan hokum islam secara taat, sementara ia juga memiliki metode singkat
untuk mencapai pengetahuan tentang tuhan, termasuk metode ini adalah suluk
(perjalanan). Perjalanan abdi menuju tuhan, ibarat perjalanan perjalanan setetes air
menuju samudera. Menurut syekh Abdul Karim Jili berisi empat tahap
a. Safar-ullah’, yaitu perjalanan abdi menuju pengetahuan, perjalanan penuh
dosa menuju penyerahan kepada lembaga-lembaga peribadahan
(ceremonial).
b. Safar-ilallah, yaitu perjalanan dari yang amat terabaikan menuju
pengulangan nama allah, melalui mana abdi termanifestasi.
c. Safar-fillah, perjalanan kembali melewati garis nama-nama dan sifat-sifat
allah.
2
d. Safar-billah, apabila salik (perjalanan) mencapai puncaknya, iya kembali lagi
menuju titik terendah dari sifat tuhan guna melakukan perbaikan dan
menerangi dunia.1
Ajaran tasawuf Abu Yazid adalah Fanâ’ dan Baqâ’. Secara harfiah fanâ’ berarti
meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan
dengan proposisi: fanâ’an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak
menyadari sesuatu.
Sedangkan Dari segi bahasa kata fanâ’ berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang
berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur. Dalam istilah tasawuf, fanâ’ adakalanya diartikan
sebagai keadaaan moral yang luhur. 2
B. Baqa’
Dalam kamus al-Kautsar, baqâ’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti
memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fanâ’ dan baqâ’ beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli
tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanâ’lah yang tiada, dan baqalah
yang kekal. Tasawuf itu ialah fanâ’ dari dirinya dan baqâ’ dengan tuhannya, karena hati
mereka bersama Allah”.
Sebagai akibat dari fanâ’ adalah baqâ’. Baqâ’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan
sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fanâ’) sifat-sifat basyariah, maka
yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Baqa adalah yang bukan dan menjadi, dan karenanya tidak menjadi fana, seperti
halnya neraka dan surga. Juga berlaku bagi sesuatu yang belum ada sebelumnya, dan
juga tidak aka nada sebagai halnya esensi tuhan. Kaum mutakallimin (para ahli teologi
skolastik islam) menganggap bahwa fana adalah proses menghilangnya sifat syai,
sedangkan baqa adalah keabadian sifat-sifat tersebut.
1
Khan salib Khaja Khan B,A. tasawuf apa dan bagaimana.Jakarta,(PT Raja Grafindo persada:2000) 81-87
2
Tafáqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman
Volume 5, Nomor 2, Desember 2017; p-ISSN 2338-3186; e-ISSN 2549-1873; 133-155
3
memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan
kehalalannya.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan
seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya,
suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi:
“berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sanagat
menggetarkan hati Abû Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemuia
Ibynya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiapo
panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu puluhan tahun,
sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali
As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam perjalanan
kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di
syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang taat dan
zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal
sebagaimana Abu Yazid.3
3
Tafáqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman
Volume 5, Nomor 2, Desember 2017; p-ISSN 2338-3186; e-ISSN 2549-1873; 133-155
4
dapat bersatu dengannya apabila ia mampu melebur kesadaran eksistensinya sebagai
suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’ ‘an an-nafs).
Di lain waktu abu yazid berkata, ‘’yang ada dalam baju ini hanyalah allah’’.
Ucapan yang keluar dari mulut abu yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-
kata itu diucapkannya melalui diri tuhan dalam ittihad yang diapainya dengan tuhan. Bagi
orang yang bersikap toleran, ittihad dipandang sebagai penyeleweng, tetapi bagi orang
yang keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran.
Faham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh
sufi sebagai sejarah dengan konsep liqa al-rabbi menemui tuhan. Paham ittihad ini juga
dapat dipahami dari keadaan ketika nabi musa ingin melihat allah.
Al-ittihad yang diamalkan oleh al-busthami adalah suatu maqam yang tertinggi
untuk lebih dekat kepada allah, tapi sebelum sampai ke al-ittihad seorang sufi harus
terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’. Berbicara fana’ dan baqa’ sangat erat
kaitannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohani dengan tuhan, karena
tujuan dari fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah ittihad itu,
Jadi untuk sampai kepada ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami
fana’ an al-nafs, dalam arti kehancuran jiwa. 4
b. Corak Pemikiran Abu Yazid Al-Bustami
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian
batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, menarik perhatian para
pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah
tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filosof dan sufis. Konsep-konsep tasawuf
mereka disebut tasawuf filsafati yakni tasawuf yang kaya akan pemikiran-
pemikiran filsafat.
Salah satu dari tokoh sufi yang memiliki corak pemikiran filsafati atau teosofi
yaitu Abu Yazid Al-Bustami. Selain beliau, tokoh sufi lain yang juga dikenal
sebagai perintis yaitu Ibn Musarrah dari Andalusia.
4
Books. Goole.co.id tasawuf cultural pengatar, prof, Dr, Nur Syam M,Si
5
“Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu
Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu
Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa
dan Mahatinggi.
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid atau yang juga dikenal Bayazid itu
adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan
tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah
Engkau bukan ia maksudkan akunya Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi
sebenarnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan
melalui lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. 5
5
Tazkiya jurnal keislaman, kemasyarakatan dan kebudayaan Vol, 16 No 1 Januari-juni 2015
6
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Faham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh
sufi sebagai sejarah dengan konsep liqa al-rabbi menemui tuhan. Paham ittihad ini juga
dapat dipahami dari keadaan ketika nabi musa ingin melihat allah.
Al-ittihad yang diamalkan oleh al-busthami adalah suatu maqam yang tertinggi
untuk lebih dekat kepada allah, tapi sebelum sampai ke al-ittihad seorang sufi harus
terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’. Berbicara fana’ dan baqa’ sangat erat
kaitannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohani dengan tuhan, karena
tujuan dari fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah ittihad itu,
Jadi untuk sampai kepada ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami
fana’ an al-nafs, dalam arti kehancuran jiwa.
7
Daftar pustaka
Khaja Khan B,A Khan salib. 2000 tasawuf apa dan bagaimana.Jakarta,PT Raja Grafindo persada
Books. Goole.co.id tasawuf cultural pengatar, prof, Dr, Nur Syam M,Si