Anda di halaman 1dari 2

Abu Yazid al-Busthami adalah seorang sufi yang memiliki tempat yang sangat istimewa

dikalangan kaum sufi. Ajaran-ajarannya memberikan banyak pengaruh bagi kaum sufi secara
khusus dan khazanah tasawuf secara umum. Ide-idenya membawa warna baru di dunia
asketisme dan mistisme Islam. Bahkan ia dijadikan tokoh yang menjadi batas asketisme yang
praktis di abad pertama dan kedua hijiriyah dengan tsawuf yang lebih teoritis, sistematis, dan
metodologis. Aboebakar atjeh mengungkapkan, bahwa hingga akhir abad kedua hijriah ajaran
sufi merupakan kezuhudan (asketisme), dan pada abad ketiga orang-orang mulai meningkat
kepada wushul dan ittihad (mistisme). Orang-orang sudah ramai mebicarakan kelenyapan
dalam kecintaan (ittihad fi al-mahabbah), dan menjadi satu dengan tuhan (‘ain al-jama’)
sebagaimana yang diucapkan Abu Yazid al-Busthami.

a. Fana’ dan Baqa’


Fana’ dan Baqa’ adalah terminologi tasawuf yang dikenal dikalangan sufi pada abad ketiga
hijriah. Abu Yazid al-Busthami disebut-sebut sebagai penggagas ajaran ini, bahkan bisa
dikatakan fana’ dan baqa’ adalah ajaran terpenting Abu Yazid al-Busthami dari semua ajaran-
ajarannya. Perbincangan tentang fana’ tidak bisa lepas dari perbincangan baqa’, karena dua hal
ini saling melengkapi. Fana’ secara bahasa berasal dari kata “faniya” yang berarti musnah atau
lenyap. Sedangkan baqa’ secara bahasa adalah kekal atau tetap. Jika kita mendalami lebih jauh
makna fana’ menurut pandangan para sufi di masa kemunculannya dalam khazanah tasawuf,
fana’ memiliki akan memiliki banyak makna dan arti. Fana’ adakalanya diartikan sebagai
keadaan moral yang luhur. Dalam fana’ menurut Yazid al-Busthami terkandung pula fana’
kehendak. Ketika Abu Yazid al-Busthami telah fana’ dan mencapai baqa’ keluar dari mulutnya
kata-kata yang ganjil, yang jika tidak berhati-hati dalam memahami akan menimbulkan kesan
seolah-olah Abu Yazid al-Busthami mengakui dirinya sebagai Tuhan padahal sesungguhnya ia
manusia biasa, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan tuhan.
Diantara ucapan ganjilnya ialah “tidak ada tuhan melainkan saya. Sembahlah saya, amat
sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku”. Tentang kefanaan Abu Yazid ini pernah diceritakan
oleh sahabatnya Zunnun al-Mishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, terjadilah percakapan
antara utusan dan Abu Yazid:
Abu Yazid : “siapa diluar?”
Utusan : “Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”
Abu Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid.
Rombongan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar
keterangan itu Zunnun berkata,”sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang
fana”. Ciri yang mendominasi kefanaan Abu Yazid sendiri adalah sirnanya segala sesuatu selain
Allah dari pandangannya, yang mana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali satu, Allah.
Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya karena dirinya melebur dengan zat yang Maha Kuasa.
Meski telah mencapai tingkatan fana’, ia tetap disiplin berpegang teguh pada hukum-hukum
Islam. Menurut Abu Yazid, seorang wali (kekasih Allah) harus tetap melaksanakan syariat, agar
tuhan tetap menjaga tingkat spiritual (keagamaan) yang pernah dicapainya.
Dalam fana’ seorang sufi akan merasa sirna atau tenggelam dalam lautan ketuhanan yang
baqa, seperti tenggelamnya besi dalam lautan api yang menyala. Di saat itu sifat-sifat
kemanusiaannya tidak dirasakannya lagi, yang ada hanyalah sifat-sifat ketuhanan yang baqa
pada dirinya. Keadaan itulah yang disebut baqa, yakni merasa hidup dengan sifat tuhan yang
kekal/abadi. Jika sesorang sufi mengatakan bahwa dia telah fana’ dari dirinya, dan dari
makhluk-makhluk, sejatinya dirinya dan makhluk-makhluk itu tetap ada. Maka dia sebenarnya
hanya tidak lagi mengetahui, merasakan, dan memperhatikan keberadaan dirinya dan makhluk-
makhluk disekitarnya. Pengetahuan, perasaan, dan perhatiannya hanya tertuju kepada Allah
saja, tidak menyisakan untuk yang lainnya. Inilah yang disebut sebagai keadaan baqa’. Al-
Kalabdzi memberikan definisi yang berbeda tentang fana’, menurutnya fana’ adalah hilangnya
semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, dan ia
menghilangkan segala kepentingan dirinya ketika berbuat sesuatu. Secara lebih sederhana fana’
bisa diartikan lenyapnya inderawi atau kemanusiaan, yakni bersifat seperti manusia biasa yang
suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Fase fana’ dan baqa’ adalah fase pendahuluan sebelum seorang sufi itu sampai pada
penyatuan dengan tuhan (ittihad). Asmaran As mengungkapkan bahwa sebelum seorang sufi
itu sampai pada penyatuan dengan tuhan (ittihad), dia harus melenyapkan dirinya melalui
fana’.

Anda mungkin juga menyukai