6.233 Views
Tweet
Like
WhatsApp
Riwayat kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang
Tasawuf, "Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq (Allah
SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Nya." Definisi ini agak dalam
maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud
perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan segala macam rasa
yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-olah telah mati dan tak
merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan merasa hidup berduaan
saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata "darimu" maksudnya adalah dari
segala macam keinginan dalam dirimu. Ketika seseorang sudah tidak memiliki
keinginan apapun terhadap dunia karena ia telah merasa cukup dengan Allah,
maka saat itu ia telah merasakan hakikat Tasawuf.
Definisi lain dikemukakan oleh Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal
dengan panggilan Al-Hallaj, beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, "Dia
adalah seseorang yang sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima
orang lain." Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun
dan siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna
ini. Beliau menyanggah, "Sebenarnya untuk merasakan kesendirian, seseorang
tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat terpencil karena
manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika seseorang mampu bergaul
dengan orang lain –dengan tetap menjaga kesendirian hati hanya bersama
Allah, itulah yang lebih baik." Artinya, untuk menjaga kesendirian bersama
Allah, seseorang tidak perlu menyendiri secara fisik. Karena kesendirian itu
letaknya di hati, bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongkan adalah hati,
tidak mesti harus memisahkan jasad dari manusia.