Anda di halaman 1dari 4

Istilah Tasawuf dan Identitas Sufi

Menurut Imam Al-Qusyairi


 by Sidaq

 6.233 Views

 Rabu, 10 April 2019

Tweet
Like
WhatsApp
 

LADUNI.ID, Tasawuf adalah ilmu untuk mengenal dan mendekatkan diri


kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-
Nya

Imam Al-Qusyairi berkata dalam Risalah-nya, "Sesungguhnya kalangan ini


(sufi) sudah terlalu populer untuk sekedar membutuhkan identitas dari
pecahan kata yang diambil dari bahasa." Artinya, istilah Tasawuf dan identitas
Sufi sudah lebih dikenal dan masyhur sehingga tidak membutuhkan definisi
lagi. Beliau melanjutkan, "Tasawuf adalah makna (substansi)nya, sedangkan
Sufi adalah orang (pelaku)nya. Setiap orang mengungkapkan sesuai dengan
apa yang dialaminya. Menyebutkan semuanya satu-persatu hanya akan
mengeluarkan kita dari topik pembicaraan sebenarnya, yaitu ringkasan. Saya
hanya akan menyinggung beberapa di antaranya saja." Kemudian beliau
menyebutkan riwayat-riwayat yang beliau dapatkan mengenai definisi
Tasawuf.

Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Abu Muhammad Al-Jariri,


"Tasawuf adalah masuk ke dalam budi pekerti yang luhur dan keluar dari
perilaku yang tercela." Ya, Tasawuf tak lain dan tak bukan adalah akhlaqul
karimah alias etika atau moral. Semakin tinggi moral seseorang, semakin
tinggi pula kadar Tasawufnya. Tentu saja untuk masuk ke dalam akhlak
terpuji, seseorang tidak dapat lepas dari agama, karena agama adalah sumber
moral. Maka, sangat keliru jika meneriakkan moral tapi di satu sisi
mengabaikan agama.

Riwayat kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang
Tasawuf, "Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq (Allah
SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Nya." Definisi ini agak dalam
maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi menjelaskan maksud
perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan segala macam rasa
yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-olah telah mati dan tak
merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan merasa hidup berduaan
saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata "darimu" maksudnya adalah dari
segala macam keinginan dalam dirimu. Ketika seseorang sudah tidak memiliki
keinginan apapun terhadap dunia karena ia telah merasa cukup dengan Allah,
maka saat itu ia telah merasakan hakikat Tasawuf.
Definisi lain dikemukakan oleh Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal
dengan panggilan Al-Hallaj, beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, "Dia
adalah seseorang yang sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima
orang lain." Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun
dan siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna
ini. Beliau menyanggah, "Sebenarnya untuk merasakan kesendirian, seseorang
tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat terpencil karena
manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika seseorang mampu bergaul
dengan orang lain –dengan tetap menjaga kesendirian hati hanya bersama
Allah, itulah yang lebih baik." Artinya, untuk menjaga kesendirian bersama
Allah, seseorang tidak perlu menyendiri secara fisik. Karena kesendirian itu
letaknya di hati, bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongkan adalah hati,
tidak mesti harus memisahkan jasad dari manusia.

Definisi lain dikemukakan oleh Abu Hamzah Al-Baghdadi, beliau berkata,


"Ciri-ciri Sufi sejati adalah merasa fakir setelah kaya, merasa hina setelah
mulia dan bersembunyi setelah tenar. Sedangkan ciri-ciri Sufi palsu adalah
merasa kaya setelah miskin, merasa mulia setelah hina dan mencari
popularitas setelah bersembunyi." Definisi ini juga cukup dalam maknanya.
Kalimat "merasa fakir setelah kaya" maksudnya adalah merasa diri tak
memiliki apapun. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya sendiri adalah milik
Tu(h)annya yaitu Allah. Seseorang yang masih merasa bahwa dirinya
memiliki sesuatu, maka ia bukan hamba, melainkan orang merdeka. Padahal
setiap manusia adalah hamba Allah. Maka, Sufi sejati adalah orang yang
merasa tidak memiliki apa-apa alias fakir setelah sebelumnya ia merasa
memiliki sesuatu. Selanjutnya, kalimat "merasa hina setelah mulia" maksudnya
adalah tawadhu' dan merasa rendah diri di hadapan makhluk, lebih lagi di
hadapan Sang Khalik. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tak lebih dari
segumpal darah dan daging yang berasal dari setetes air yang hina dan akan
kembali menjadi tanah, maka ia telah menjadi seorang Sufi sejati. Kemudian,
kalimat "bersembunyi setelah tenar" maksudnya adalah menenggelamkan diri
dalam ketiadaan dari pandangan makhluk sehingga ia hanya bersama Allah
saja. Hal ini sangat penting untuk menjaga keikhlasan. Itulah ciri-ciri Sufi
sejati. Sedangkan Sufi palsu adalah orang yang melakukan sebaliknya, merasa
kaya dan tidak membutuhkan Allah lagi setelah ia mengakui kefakirannya,
merasa mulia setelah ia mengakui kehinaannya dan mencari popularitas di
mata manusia setelah sebelumnya ia adalah orang tak dikenal.

Sumber: Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah

Anda mungkin juga menyukai