Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SEMINAR PERADABAN

AJARAN ITTIHAD DALAM TASAWUF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Peradaban

Oleh:

Rizka Fardianti Dewi (A92219110)

Dosen Pengampu:

Dr. H. Ridwan Abu Bakar, M. Ag

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh
dosen yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan makalah yang berjudul “Ajaran Ittihad
Dalam Tasawuf”.

Dalam penulisan makalah ini penulis masih banyak kekurangan-kekurangan baik


dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah
ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada
mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan bantuan ini sebagai ibadah. Aamiin
Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Sidoarjo, 18 Maret 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan
mistisisme dalam islam, adapun tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung
untuk dekat dengan Tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di
hadirat-Nya, yang kesimpulannya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara jiwa manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan merenung penuh
ketenangan. Tasawuf adalah jalan dimana manusia berusaha untuk mengendalikan hawa
nafsunya dalam rangka supaya merasakan dirinya dilahirkan kembali di dalam ketenangan
dekat dengan Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan yang benar.
Terjadinya kegersangan dan kehampaan akan nilai-nilai keagamaan menempatkan
pendidikan tasawuf sebagai salah satu ajaran Islam menawarkan alternatif dalam upaya
mendidik manusia seutuhnya keluar dari berbagai permasalahan hidup saat ini.
Ajaran ittihad yang populer dibawakan seorang sufi bernama Abu Yazid ini tak
lepas kaitannya dalam lingkup pembelajaran tasawuf, yang mana dalam tasawuf sendiri
kata ittihad mengacu pada pengalaman sufi yang merasa bersatu dengan Tuhan. Saat
seorang sufi telah melewati maqam fana' dan baqo' maka yang terjadi selanjutnya adalah
ittihad atau menyatunya jiwa manusia dengan Tuhan yang tentu memerlukan usaha yang
maksimal seperti taubat, ibadah, dzikir dan beramal sholeh sehingga dapat dimungkinkan
tercapainya maqam ittihad. Secara sederhananya, seorang sufi akan keluar dari
kesadarannya yang biasa menuju kesadaran yang luar biasa dan akan berakhir ketika sufi
tersebut kembali pada kesadarannya semula yang biasa.
Dalam hal ini, walaupun ajaran ini pernah menimbulkan pro dan kontra di kalangan
fuqoha' akibat ucapan kiasan dari sebagian sufi yang pernah mengalaminya, maka kita
sebagai manusia awam sudah selayaknya mengetahui dan memahami yang diharapkan agar
tidak mudah menyalahkan yang mungkin saja ada beberapa pihak yang meyakini adanya
maqam tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Ittihad?
2. Siapa saja tokoh yang pernah mengalami Ittihad?
3. Bagaimana ajaran Ittihad dalam tasawuf?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk menjelaskan definisi Ittihad
2. Untuk mengetahui siapa saja tokoh yang pernah mengalami Ittihad
3. Untuk menjelaskan bagaimana ajaran Ittihad dalam tasawuf
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ittihad

Pengertian Ittihad sebagaimana disebutkan dalam sufi terminologi adalah


penggabungan antara dua hal menjadi satu. Kata ini berasal dari wahd atau wahdah yang berarti
satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinya bersatunya manusia dengan Tuhan.

Apabila seorang sufi dalam keadaan fana' , maka pada saat itu ia telah dapat menyatu
dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al baqa'. Di dalam perpaduan itu ia
menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang
dimaksud dengan Ittihad. Dapat disimpulkan bahwa berbicara fana' dan baqa' ini erat
hubungannya dengan Ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan
dari fana' dan baqa' ini sendiri adalah Ittihad itu.

Dengan demikian dalam baqa' dan fana', sejalan dengan Mustofa Zahri yang
mengatakan bahwa fana' dan baqa' tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham Ittihad.
Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana dikatakan oleh al-Badawi
“yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud berpisah dengan
yang lain”. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam Ittihad ini
bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dan yang dicintai (Tuhan) atau
tegasnya antara sufi dan Tuhan. 1

Dalam Al-Qur'an, paham Ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa
ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku bisa sampai kepada-
Mu?” Allah berfirman: tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu), baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dari riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah memberi peluang kepada manusia
untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah maupun batiniyah, yang caranya antara lain
dengan beramal sholeh, beribadah semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat akhlak

1 E. Sofwana Nurdin. Pengantar Ilmu Tasawuf. Bandung: Aslan Grafika Solution, 2020 hal. 50-51
yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan maksiat dan
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. 2

Bagi para sufi yang membenarkan adanya pengalaman ittihad dalam perasaan luar biasa
dipandang sangat sejalan dengan ide yang terdapat dalam Hadis Qudsi berikut:

َّ َ‫ع ْبدِي يَتَقَ َّرب ِإل‬


‫ فَإِذَا أحْ بَبْته‬، ‫ي ِبالنَّ َوافِ ِل َحتَّى أحِ بَّه‬ َ ‫ َو َما يَزال‬، ‫علَي ِه‬ َّ َ‫ع ْبدِي ِبشَيء أَ َحبَّ ِإل‬
َ ‫ي مِ َّما ا ْفت ََرضْت‬ َ ‫ي‬ َّ َ‫ب ِإل‬
َ ‫َو َما تَقَ َّر‬
َ ‫إن َسألَنِي أ ْع‬
، ‫طيْته‬ ْ ‫ َو ِرجْ لَه ا َّلتِي َي ْمشِي ِب َها َو‬، ‫ و َيدَه ا َّلتي َيبْطِش ِب َها‬، ‫ْصر ِب ِه‬
ِ ‫ص َره ا َّلذِي يب‬ َ ‫ َو َب‬، ‫ ك ْنت َس ْم َعه الَّذِي َي ْس َمع ِب ِه‬،
‫َولَئِن ا ْستَعَاذَنِي ََلعِيذَنَّه‬

Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang
telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan
ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku
pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang
ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya
yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila
ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” (HR. Bukhari)

2.2. Tokoh yang mengalami Ittihad

Pada abad ketiga Hijriyah dalam dunia sufi ini mulai muncul gagasan tentang Ittihad
yang dipelopori oleh dua sufi terkemuka, yakni Abu Yazid Al Bustomi (wafat 260 261 Hijriyah
/ 875 Masehi) dan Abu Mansur Al-Hallaj (wafat 310 Hijriah / 922 Masehi). Mereka adalah dua
orang sufi yang mabuk kepayang dengan Tuhan.

Muncul sebutan Ittihad dari Abu Yazid Al Bustomi bahwa beliau pernah merasa
dinaikkan atau dimikrajkan sedemikian rupa sehingga berada di hadirat Tuhan dan bersatu
dengan-Nya. Sedangkan pada diri Al-Hallaj, Ittihad yang dirasakannya yakni melalui
proses hulul, dimana ia pernah merasa dimasuki ‘ruh’ Tuhan sehingga ruhnya disebut bersatu
(imtizaj) dengan Tuhan.

Sebelum mengalami Ittihad, Abu Yazid Al Bustomi memiliki keinginan kuat untuk
bersatu dengan Tuhan yang dipandangnya sebagai Kekasih, berharap dilimpahkan keesaanNya
sehingga orang akan memandang kepadanya hanya melihat Tuhan, bukan dirinya. Ia pernah

2
Siti Rohmah. Buku Ajar Akhlak Tasawuf. Pekalongan: PT. Expanding Management, 2021 hal. 180
berkata, “Pada suatu saat aku dinaikkan sampai ke hadirat Allah. Maka Tuhan berkata
kepadaku, ‘Hai Abu Yazid, sesungguhnya makhluk-Ku ingin melihat engkau’. Aku menjawab,
‘Wahai, Kekasihku, aku tidak ingin melihat mereka. Jika Engkau menghendaki hal demikian
dariku, sungguh aku tidak sanggup menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-
Mu, sehingga mereka bila melihatku akan berkata, “kami telah melihat engkau, padahal yang
mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada di sana.”

Juga dikisahkan, bahwa pernah seorang laki-laki mendatangi Abu Yazid di rumahnya.
Setelah orang itu mengetuk pintu rumah, Abu Yazid Al Bustomi bertanya, “Siapa yang kamu
cari? Orang itu menjawab, “Abu Yazid.” Lalu Abu Yazid Al Bustomi mengatakan, “Pergilah!
Tidak ada di rumah ini kecuali Allah”. Pada kesempatan yang lain, Abu Yazid juga berkata,
“Yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah.”

Seperti halnya Abu Yazid Al Bustomi, Al-Hallaj yang mabuk kepayang dengan Tuhan,
juga memandang Tuhan sebagai kekasihnya. Al-Hallaj mengalami perasaan bersatu dengan
Tuhan, yakni merasa dimasuki 'ruh' Tuhan sehingga ruhnya bersatu dengan Tuhan. Ia merasa
telah terjadi hulul (inkarnasi, berada, atau bertempatnya 'ruh' Tuhan dalam tubuhnya), sehingga
dua ruh bersatu dalam satu tubuhnya. Kata Al Hallaj, “Ruh-Mu telah disatukan dengan ruhku,
sebagaimana anggur disatukan dengan air yang suci. Jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau,
ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku”.

Di lain kesempatan, Al-Hallaj juga berkata, “Aku adalah Dia yang kucinta, dan Dia
yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua ruh yang telah bertempat dalam satu tubuh. Jika
anda lihat aku, Anda lihat Dia, dan jika anda lihat Dia, Anda lihat kami”.

Dari ungkapan-ungkapan aneh (syathahat) yang muncul pada keduanya itulah orang
memahami bahwa keduanya tidak saja mabuk kepayang dengan Tuhan, tetapi juga telah
memperoleh kesadaran atau perasaan luar biasa, yaitu merasa bersatu dan dan lenyap dalam
kebersatuan dengan Tuhan. 3

2.3. Ajaran Ittihad Dalam Tasawuf

Dalam tasawuf, Ittihad merupakan salah satu ajaran yang dibawa oleh Abu Yazid al-
Bustami, seorang sufi yang berada pada tingkat Ittihad merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
satu tingkatan yang menunjukkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.

3Abdurrahman Faisol, Memahami Kondisi Ittihad, Merasa Bersatu Dengan Tuhan yang Dialami Abu Yazid dan
Al-Hallaj. https://pecihitam.org/ittihad/ [18 Maret 2022 Pukul 20.34]
Adapun kata-kata yang keluar dari mulut seorang sufi yang mengalaminya, hal tersebut
bukanlah ungkapan yang sebenarnya diucapkan oleh sufi (sebagaimana dipahami oleh orang
awam), tapi karena dia dalam keadaan mabuk dan fana, sehingga ucapan-ucapan itu, yang
sebenarnya tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, seperti halnya kata-kata Abu Yazid dan Al-
Hallaj di atas, mereka bukan berarti mengakui dirinya sebagai Tuhan. 4

Kalangan Sufi pada umumnya berupaya menjelaskan bahwa ittihad itu terjadi tidaklah
dalam arti hakiki, hal tersebut terjadi tidak lebih dari perasaan yang muncul dalam kesadaran
luar biasa terutama pada para sufi yang tergila-gila khusyuk dengan Tuhan. Melihat kejadian
yang di alami Abu Yazid Al Bustami dan Al-Hallaj dimana mereka merasa bersatu dengan
Tuhan, bukan berarti bahwa keduanya pada setiap saat mengaku bersatu dengan Tuhan atau
mengaku sebagai Tuhan.

Imam Junaid Al Baghdadi, meskipun tidak memberikan apresiasi yang tinggi kepada
Abu Yazid Al Bustomi dan Al-Hallaj, tidaklah ia memberikan komentar negatif ketika
disampaikan berita bahwa Abu Yazid mengucapkan “Mahasuci aku mahasuci aku, alangkah
agungnya aku”. Imam Junaid Al Baghdadi memberikan komentar, “Dia (Abu Yazid) begitu
hancur luluh karena menyaksikan Tuhan, sehingga ia berbicara dengan apa yang membuatnya
demikian. Allah telah melenyapkan penglihatannya terhadap dirinya, tidak ada yang ia
saksikan kecuali Allah, maka ia bertutur tentang-Nya”.

Hujjatul Islam Imam Al Ghazali pun berusaha menjelaskan bahwa pengalaman sufi
seperti Abu Yazid dan Al-Hallaj dalam hal Ittihad adalah bermakna majaz (kiasan), sedangkan
dalam bahasa hakikat pengalaman demikian disebut tauhid. Imam Al-Ghazali menjelaskan,
“Sebagian sufi ketika mi’raj ke langit hakikat dikuasai oleh emosi luar biasa. Mereka
mengalami fana‘. Pada saat itu kemajemukan lenyap sama sekali dari diri mereka. Mereka
tenggelam dalam keesaan semata. Dalam keesaan itu, kesadaran akal mereka hilang dan
mereka mabuk terpesona. Tidak ada kemampuan bagi diri mereka untuk mengingat selain
Allah dan juga untuk mengingat diri mereka. Tidak ada yang tinggal bagi mereka kecuali Allah.
Mereka mabuk kepayang tanpa bisa dikendalikan akal mereka…”

Adapun Sulthanul Awliya’, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga memberikan


pencerahan tentang hal ini. Kata beliau, “Bila seorang sufi bersatu dengan Allah, maka makna
bersatu dengan Allah itu adalah berlepas diri dari makhluk dan kediriannya sendiri, serta

4
Rahmi Damis, “Al-Itihad Dalam Tasawuf”. Jurnal Ilmu Aqidah, 3 (1), 73-82.
menyesuaikan dirinya dengan kehendak Allah tanpa gerak dari kehendak dirinya; yang ada
hanya kehendak Allah. Itulah keadaan Fana’ dan dengan keadaan itulah ia bersatu dengan
Allah. Bersatu dengan Allah tidak seperti bersatu dengan ciptaan-Nya. Bukankah Allah telah
menyatakan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan ia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat…”

Menurut fuqoha’, gagasan ittihad seperti pada Abu Yazid Al Bustami dan Al-Hallaj
yang melalui bentuk hulul telah mengundang respon negatif terutama dari kalangan ulama yang
berada diluar kaum Sufi. Sikap mabuk kepayang dengan Tuhan saja sudah bisa mengundang
anggapan orang bahwa kedua Sufi ini terlalu berlebihan, bahkan telah sinting. Apalagi
munculnya ungkapan-ungkapan aneh yang mengesankan bahwa masing-masing telah
mengaku sebagai Tuhan dan menyuruh orang untuk menyembahnya.

Disebutkan, bahwa Abu Yazid Al Bustomi setelah melaksanakan sholat, mengeluarkan


syathahatnya, “Mahasuci aku, alangkah agungnya aku, maka sembahlah”. Sebagian dari orang
banyak yang sholat di belakang Abu Yazid menjadi heran dan ada sejumlah orang yang menilai
Abu Yazid sudah sinting sehingga mereka memisahkan diri dari Abu Yazid. Adapun perkataan
yang sering muncul dari Al-Hallaj, contohnya seperti “Ana Al-Haq, Aku adalah yang Maha
Benar” telah mengundang marah sebagian fuqaha’, sehingga mereka terdorong untuk
menggiring Al-Hallaj ke penjara dan menghukuminya zindiq dan kafir. Dengan alasan itu dan
alasan-alasan yang lain, Al-Hallaj pun dihukum mati.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Ittihad merupakan
penyatuan antara dua hal menjadi satu, diambil dari kata wahd atau wahdah yang berarti
satu atau tunggal, kemudian menjadi istilah Ittihad sebagai penyebutan tahapan maqam
dalam sufi yang posisinya berada setelah fana' dan baqa' . Dalam Al-Qur’an dapat juga
digambarkan seperti ketika Nabi Musa mencari Allah, riwayat ini menjelaskan bahwa
setiap manusia diberi peluang untuk bersatu dengan Allah, namun dengan cara beramal
sholeh serta melakukan hal-hal baik lainnya.
Tahapan Ittihad tidak mudah dilalui oleh beberapa sufi, hanya beberapa sufi
tertentu seperti Abu Yazid dan Al-Hallaj sejauh ini yang dapat mencapai maqam
tersebut, meski begitu keduanya juga tak ayal banyak mendapat resiko dikarenakan
syathahat yang mereka ucapkan. Salah satu yang terparah terjadi pada Al-Hallaj, ia
dihukum mati dikarenakan bentuk persatuannya dengan Tuhan ditambah masalah
beliau yang lain walaupun dari kacamata sufi sendiri yang ia lakukan tidak sepenuhnya
salah.
Karena Ittihad ini adalah bentuk mabuk kepayang seorang hamba terhadap
Tuhannya, sehingga jiwanya merasa bersatu, tak heran jika banyak pro kontra yang
meliputi, misal di mata para fuqoha' yang cenderung memandang hal ini dari sudut
pandang fiqih. Ada pun pendapat ulama' lain meskipun bukan respon negatif beliau-
beliau ini berpendapat netral yang sekiranya dapat diterima oleh semua kalangan.
DAFTAR PUSTAKA

Damis, R.(2017). “Al-Ittihad Dalam Tasawuf”. Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah , 3 (1), 73-82.

Faisol, A. (2020). Memahami Kondisi Ittihad, Merasa Bersatu Dengan Tuhan yang Dialami
Abu Yazid dan Al-Hallaj. https://pecihitam.org/ittihad/ [18 Maret 2022]

Nurdin, Eep S. Pengantar Ilmu Tasawuf. Bandung: Aslan Grafika Solution. 2020.

Rohmah, Siti. Buku Ajar Akhlak Tasawuf. Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management.
2021.

Toriqularif, Muhammad. (2018). “Abu Yazid Al Bustami dan Pengalaman Tasawufnya”.


Jurnal Al Falah. 18, (2), 259-262.

Anda mungkin juga menyukai