Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FILSAFAT ISLAM II IBNU THUFAIL


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar Peradaban

Dosen Pengampu :

Drs. H. M. Ridwan, M. Ag

Disusun Oleh :

Liya Agustiningrum (A2219055)

SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Ibnu thufail” ini dengan lancar. Makalah islam dan
iptek ini bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah “Seminar Peradaban” dan untuk
meningkatkan pengetahuan kami tentang tokoh ilmuan dan filsafat islam.

Ibnu thufail adalah salah satu diantara sekian banyak filosof islam yang mampu menghasilkan
karya fenomenal yang berbau filosof-mistis mengenai bagaimana akal pikiran mampu
menangkap, merenungkan dan menyimpulkan bahwa segala sesuatu ada yang menggerakan
dan penggerak itu tiada lain adalah Allah SWT pencipta alam semesta.

Pemikiran filsafatnya tergambar jelas dalam karya novelnya yang berjudul “hayy ibnu yaqzhan”
meski akal mendominasi filsafat ketuhannya dan disebutkan dalam berbagai literatur bahwa
hayy ibnu yaqzhan merupakan sebagai reka ulang yang terpangaruhi oleh pemikiran filsafat
ibnu shina, namun karya tersebut mendapat tempat di dunia filsafat sebagai karya pencarian
jati diri seorang anak manusia bukan hanya sebagai curahan pemikiran atau khayalan ibnu
thufail belaka.

Dengan adanya makalah ini saya berharap dapat menambah wawasan atau pun menambah
referensi tentang siapa itu Ibnu thufail dan apa saja karya dan konstribusi beliau terhadap
islam.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Peradaban Islam mencapai kejayaannya atau yang biasa disebut dengan zaman keemasan
pada saat pemerintahan daulah Bani Abbasyiah. Hal ini terjadi di belahan Timur dan Barat. Pada
masa-masa tersebut, banyak tokoh intelektual Islam yang kemudian karya-karya mereka menjadi
rujukan bahkan bahan kajian hingga saat ini. Tidak sedikit pula di antara mereka yang menjadi
inspirator bahkan kemudian diadopsi oleh para intelektual Eropa modern.

Dalam belantara pemikiran intelektual Muslim zaman tersebut, banyak di antara mereka
adalah pemikir-pemikir handal dan filosof besar pada zamnnya bahkan hingga saat ini. Hingga
filsafat oleh para intelektual Muslim kemudian dijadikan sebagai sarana dalam mengenal Tuhan
(Pencipta), sampai pada jalan pencapaian kepada-Nya dengan melihat hasil ciptaannya.

Ada banyak teori yang kemudian lahir dari para pemikir muslim tersebut, di antaranya
adalah teori pancaran, emanasi, isyraqiyah, dan sebagainya. Dalam artikel ini akan menhkaji satu
di antara sekian banyak tokoh tersebut beserta pemikiran filsafatnya, yaitu Ibnu Thufail, yang
dituangkan dalam karya Romannya yang berjudul, Hay Bin Yaqdzan.

Rumusan Masalah

A. Bagaimana Riwayat Ibnu Thufail ?


B. Apa saja Karya Ibnu Thufail ?
C. Bagaimana Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail ?

Tujuan

A. Untuk mengetahui Riwayat Ibnu Thufail


B. Untuk Mengetahui Karya Ibnu Thufail
C. Untuk mengetahu pemikiran Filsafat Ibnu Thufail
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Abu Bakar yang lebih dikenal dengan Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab:
Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M., yaitu pada masa
pemerintahan Dinasti Muwahiddun.1 Nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad
ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Jadi Thufail
sebenarnya adalah nama dari Cicit beliau bukan nama ayahnya. Sedangkan dalam bahasa
latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.2 Setelah beranjak dewasa, Ibnu
Tufail berguru kepada Ibnu Bajjah (1100-1138 M), seorang ilmuwan besar yang memiliki
banyak keahlian. Berkat bimbingan sang guru yang multitalenta itu, Ibnu Tufail pun
menjadi seorang ilmuwan besar.
Pengetahuan dan karir Ibn Tufail luas sekali; meliputi filsafat, matematika,
kosmologi, kedokteran dan sastra. Namun itu pun tidak terlalu menakjubkan, karena di
zamannya Ibn Thufail, filsafat dan ilmu pengetahuan masih terjalin utuh membentuk satu
rumpun ilmu pengetahuan yang belum terpisah-pisah seperti zaman sekarang. Pada
awalnya Ibnu Tufail berkecimpung dalam lingkungan istana menjabat sebagai Sekretaris
Gubernur Granada dan kemudian Sekretaris Gubernur Ceuta dan Tangier, putra‘Abdal-
Mu’min, ajudan militer dan pengganti Ibn Tumart (473-524 H/1080-1130M.), seseorang
yang sangat dikagumi pada masanya, yang karismatis, pendiri dinasti al-Muwahhidun di
Spanyol dan Afrika Utara. Ia juga membuka praktek kedokterannya di Granada. Karier
Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai
dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M
Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier
(Arab: Thanjah ) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun
(1163 M – 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.3
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang
besar dalam pemerintahan. Ia diangkat sebagai dokter utama di Istana khalifah. Di pihak

1
MM. Syarif, Histhori of Muslim Philosofy (Germany: Allgluer Heimatverlag, 1963), h. 526; Bandingkan dengan
Ahmad Amin, Hay bin Yaqzhan, li Ibni Sina, wa Ibnu Thufail wa Suhrawardi (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt), 9.
2
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 205.
3
Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya, 2004), 205-206.
lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat
filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya
sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault
sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa.4
Namun, selain sebagai dokter pribadi dan teman diskusi Khalifah, Ibn Thufail
juga berperan sebagai semacam menteri kebudayaan untuk sekarang ini, yang tugasnya
khusus mencari dan mengundang banyak orang berilmu dan terpelajar ke lingkungan
Istana. Salah satu diantara mereka yang mendapat kehormatan diundang ke lingkungan
Istana adalah Ibn Rusyd (Averroes) muda, yang diperkenalkannya kepada Abu Ya’qub
sekitar tahun 1169 M.
Ketika Ibnu Rusyd datang ke istana, dan memperkenalkan diri pada khalifah Abu
Ya’qub Yusuf, beliau langsung ditanya tentang pandangan para filosof mengenai
permasalahan kekekalan dan penciptaan alam. Pada mulanya, Ibnu Rusyd sedikit tegang
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan khalifah, namun itu tidak
berlangsung lama, karena suasananya kembali menyenangkan dan terjadilah dialog serius
antara khalifah, Ibn Thufail dan Ibnu Rusyd. Selain memperkenalkan Ibn Rusyd kepada
khalifah, Ibn Thufail juga memberi kesempatan kepada Ibn Rusyd untuk menerjemahkan,
meringkas dan memberikan komentar atas buku-buku Aristoteles, sehingga penjelasan
tentang pemikiran Aristoteles yang pada mulanya sulit dipahami, menjadi lebih mudah
dimengerti oleh khalayak umum.
B. Karya Ibnu Thufail
Pengaruh Ibn Thufail di Dunia Islam dan Non Islam Pengaruh Ibn Thufayl dalam
masyarakat Islam maupun non-Islam adalah dalam falsafat Islam. Walau demikian
falsafat Islam tidak bisa lepas dari pengaruh yang masuk ke dalamnya baik dari tradisi
falsafat Yunani, maupun tradisi falsafat timur, karena falsafat Yunani juga terpengaruh
oleh falsafat timur. Walaupun demikian, terkait karya Ibn Thufayl, Hayy ibn Yaqzhân,
hampir dapat dipastikan bahwa karya Ibn Thufayl ini tidak dipengaruhi oleh Yunani,
ataupun pengaruh falsafat Timur lainnya. Sebaliknya, ia justru memberi pengaruh besar
pada gaya penulisan falsafat melalui cerita, roman, novel.

4
MM. Syarif, History, 526.
Pengaruh tersebut dapat dilihat misalnya dari penerjemahan Hayy ibnYaqzhân ke
banyak bahasa. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Giovanni Pico
della Mirandolla (Abad 15) sebagai karya besar (magnum opus) yang menjadi referensi
utama pada masa itu. Hayy ibn Yaqzhân juga diterjemahkan oleh Edward Pockoke juga
dalam bahasa Latin. Edward Pockoke memberikan catatan khusus pada terjemahannya
tersebut dengan menyebut Ibn Thufayl sebagai Philosophus Autodidaktus (al-faylasûf al
mu‘allim nafsahâ/sang failasuf otodidak), satu bentuk apresiasi tersendiri yang diberikan
pada Ibn Thufayl. Hayy ibn Yaqzhân kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris oleh Simon Ockley, dengan judul The Improvement of Human Reason, pada
tahun 1708. Kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul TheHistory of Hayy ibn
Yaqzhân pada tahun 1926.5
Beberapa ilmuan filsafat mengatakan, bahwa selain menulis roman filsafat “Hayy
Ibn Yaqzhan”, ia juga pernah menulis tesis tentang filsafat dan ilmu kedokteran. Tetapi
karya-karyanya itu tidak pernah sampai kepada kita, sehingga dapat dikatakan, bahwa
Roman filsafat “Hayy Ibn Yaqzhan” adalah satu-satunya karya Ibn Thufail yang pernah
ada. Ibn Thufail kemudian meninggal di daerah Marrakesh pada tahun 581 H/1185 M.
Sebagai bentuk penghormatan sultan kepada Ibn Thufail, beliau sendiri yang turun tangan
dalam upacara pemakamannya. Dan karyanya, “Hayy Ibn Yaqzhan” itu, di pandang
sebagai sebuah karya sastra prosa terbesar yang pernah ada di abad Pertengahan.6

Tahap-tahap Pemikiran dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan


a. Tahap Pengetahuan Empiris Setelah mencoba memaparkan secara ringkas kisah di
atas, penulis dapat membaginya dalam tiga tahapan dalam pencarian. Kisah hay ibn
yaqzan yang diawali dengan perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar
cara bertahan hidup, hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam
pencarian ilmu, dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris. Dimana pengetahuannya
masih terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan pengamatan yang
sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, dia semakin berusaha meningkatkan

5
Nasution, Filsafat, Ibid., 53.
6
MM. Syarif, Histori of Muslim Philosofy ((Germany: Allgluer Heimatverlag, 1963), 526- 528.
pengetahuannya. Memori- memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika dia
memahami fungsi dan kegunaan api. Dia mampu mengingat kesan pengalamannya lalu
mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang didapat. Hayy meneruskan
pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan
segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu,
dia juga mengamati benda-benda angkasa denga segala siklus yang dimilikinya.Hal
tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode
eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan
deduktif.
b. Tahap Pengetahuan Rasionalis Di sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu
Thufail yang sangat kental. Hal itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Ibnu Bajjah
sebagai filsuf rasional murni. Pengetahuannya tentang alam dengan segala
keberagamannya, pengetahuan tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang
angkasa dan sebagainya. Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya,
yang mengaturnya dan ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.. Dari wilayah empiris
lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada tahapan ini dia mendalami
pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika dia
telah memahami bahwa alam ini ada permulaannya, alam ini adalah sesuatu yang baru.
Maka dari itu ada suatu proses dari ada menjadi tiada.Proses itu memerlukan subyek yang
sama sekali diluar sifat yang diadakan.
c. Tahap pengetahuan Mistis-Tasawuf Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual
Ibnu Thufail dalam kisah Hay Ibn Yaqzan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan
intuitif. Hal ini dapat dilihat dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya
dalam maqam tertinggi dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hay ibn
yaqzan sampai disini mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak
cukup sampai pada pengetahuan 15 teoritik dan penalaran rasio atau akal saja.
Sebagaimana ia tidak puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang hanya berhenti
disitu.
Maka hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa
mencapai derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta
membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat indrawi”.
Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi. Selain itu, ini sebagai
hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran yang sering dipertentangkan,
yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua aliran utama itu menggunakan metode
berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi ternyata keduanya dapat dipertemukan
kembali. Mengenai pemikiran iluminasi Ibnu Thufail direfleksikan ketika Hay
mengetahui adanya kesamaan esensi antara dirinya, benda-benda alam sekitar dan benda
yang ada di langit. Esensi-esensi dipancarkan oleh satu esensi sejati yang tak terbatas.
Karena ketak terbatasan-Nya itu, Dia memanifestasikannya pada semua yang beragam.
Tentunya dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak dapat dilihat
kecuali dalam keadaan bersih dan suci.
C. Ajaran-ajaran Ibnu Thufail
1. Tentang Dunia

Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari
ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran
dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak
menganut salah satu doktrin saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain
pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis.
Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya
dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari
kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal
waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara
lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya
yang seksama.7

Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan


sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada
sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia,
dan karena itu kemaujudan dunia di kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan
pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya?

7
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 275
Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada
sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti
bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan
terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai
kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.8

2. Tentang Tuhan

Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta,
sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab
materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain
anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir
yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak
berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenalNya lewat
indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat
ditangkap oleh indera.9

Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap sebagai
penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat
perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada
sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika
kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak
gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak
tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari
gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului.

Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Tufail
mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu yang lain dari Tuhan. Dan
mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya yang sifat esensialnya merupakan
penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail
8
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 275
9
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 276
memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-
Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada
pada kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk
lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung
dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang
tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal.10

Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia
bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat
disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya
tentu akan sampai kepada Tuhan.11

3. Tentang Kosmologi Cahaya

Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu.
Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik
yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan.
Proses situ pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin.
Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya,
menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu
sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu.
Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang
sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut
dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam
kosmos.12

4. Epistemologi Pengetahuan

10
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 277
11
Sudarsono, filsafat islam, Jakarta : rineka cipta, 2004. Hal. 81
12
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 277
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji tuhan telah
tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai
dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan
sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik
kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan
exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang
jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan
indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara
pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain
membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.13

Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ
indera ini berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera
yang kacau mencapai otak menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian
dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.

Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif,
dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan
hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita
menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi
tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat dipertahankan atas dasar
induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak
pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya,
mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu
yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.14

Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail tidak
melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya.
Empirisme Hume berakhir dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya

13
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 278
14
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 278
melihat bahwa ikatan sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan,
tapi oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus
berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metoda
induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki
mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga ketidakmampuan akal induktif
untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat, dan akhirnya
menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al Ghazali bahwa
rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail
akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi
pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi,
tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi
sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati
orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas
pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci
hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat
pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan
esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.15

5. Etika/Akhlak

Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan demikian
menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak
pada pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-
benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas,
dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya
kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan
atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.

15
Mustofa, Filsafat Islam, bandung : Oustaka setia, 1997. Hal. 278
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan
tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus
melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu
pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya.
Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas
merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir
diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat
Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Ibnu Thufail dilahirkan dari salah satu suku di Maroko, Afrika Utara, di Andaluisa. Ia
menempatai beberapa jabatan penting dalam pemerintahan Bani Muwahidddun, pada masa
kehalifahan Abu Ya’qub Yusuf. Ibnu Thufail merupkan salah satu filosof msulim yang banyak
member inspirasi kepada para cendekiawan di zaman 64 berikutnya. Ia tidak meninggalkan
karya-karya yang sampai kepada kita selain sebuah roman filsafat Hay bin Yaqzhan. Ada tiga hal
penting yang ingin dijelaskan Ibnu Thufail dalam karyanya tersebut. Pertama, bahwa akal
manusia merupakan potensi terbesar yang dimiliki oleh manusia. Akal tersebut, menurut Ibnu
Thufail, dapat menunjukkan dan membawa diri seseorang pada kebenaran mutlak tentang
pencipta (Tuhan). Kedua, Ibnu Thufail memiliki pendapat, bahwa kebangkitan nanti hanya
dialami oleh jiwa manusia saja. Artinya, Ibnu Thufail mengingkari terhadap adanya kebangkitan
jasmani/jasad manusia. Ketiga, Ibnu Thufail berpendapat, bahwa dunia itu bermula (qadim),
artinya kemaujudan alam ini tidak diawali dengan ketidakmaujudan. Adapun analisis penulis,
sebagaimana yang telah penulis paparkan, bahwa Penulis tidak sependapat dengan dua pendapat
terakhir Ibnu Thufail di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Amin. Ahmad. 1995, Hay bin Yaqzhan li Ibni Sina, wa Ibnu Thufail wa Suhrawardi (Mesir: Dar
al-Ma’arif)

Hasan. Abdillah F. 2004, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam (Surabaya: Jawara Surabaya)

Mustofa. 1997, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia)

Nasution. Hasyimsyah. 2002, Filsafat islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama)

Saikh, Saed. 1994. Studies in Muslim Philosophi. (Delhi: Shah Offset Printer)

Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. (Bandung: Pustaka Setia)

Syarif. MM. 1963, Histhori of Muslim Philosofy (Germany: Allgluer Heimatverlag)

Zar. Sirajuddin. 2005, Filsafat Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada)

Anda mungkin juga menyukai