Anda di halaman 1dari 40

A.

Bidang Filsafat

1. Al KINDI

Nama lengkapnya Abu Yusuf bin Ishaq bin Ash Shabah bin Imran bin Asy’ats bin Qais Al-Kindi.
Nasabnya sampai pada Qathan berdarah Arab asli. Dalam biografinya, Al Khalili mengatakan
bahwa bahwa dia dilahirkan pada tahun 188 H (804 M). Akan tetapi sebagian sumber mengatakan
bahwa dia lahir pada tahun 186 H (802 M). Ada juga sumber yang mengatakan bahwa dia
dilahirkan pada tahun 185 H (801 M). Dia dilahirkan di Kufah, dan ayahnya adalah seorang pejabat
pemerintahan pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Secara etnis, Al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu
suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan
filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran
asing tersebut.
Al-Kindi menghabiskan masa kecilnya di Kuffah dalam belaian kasih sayang kedua orangtuanya
dan di bawah naungan kekuasaan ayahnya. Ketika Al-Kindi masih anak-anak, ayahnya meninggal
dunia. Keadaan yatim tidak mengendorkan semangatnya. Dia tetap terus mempelajari berbagai
macam ilmu di Kuffah, Basrah dan Baghdad. Dia memulai belajarnya dari ilmu-ilmu agama,
kemudian filsafat, logika, matematika, musik, astronomo, fisika, kimia, geografi, kedokteran dan
teknik mesin.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau
untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat
haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau
merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara filasafat dan
agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan karena
masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu tidak
banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang
mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-
apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan
keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan
selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat,
baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah
(keseluruhan).
Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Tidak aniah
karena tidak termasuk yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari
materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus dan spesies.
Tuhan adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal (Al-Haqqul
Wahid).
2. AL FARABI

Nama lengkapnya adalah al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Tarkhan bin Uzlagh al-
Farabi, lahir di Farab dan meninggal di Aleppo. Masa kecil ia di kenal anak cerdas, banyak belajar
ilmu agama, bahasa arab, Turki dan Persia. Ayahnya seorang opsir tentara Turki dinasti Samani,
keturunan Persia, dan ibunya berdarah Turki asli. Hidupnya berpindah di Baghdad selama 20
tahun, kemudian pindah ke Harran untuk belajar filsafat Yunani kepada Yuhana bin Hailan. Ia
menguasai 70 bahasa, hingga ia menguasai banyak ilmu pengetahuan , dan ilmu yang paling
menonjol adalah ilmu mantiq hingga melebihi Aristoteles.

Awal pendidikannya, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama,
(fiqih, hadits, hadits), dan aritmetika dasar. ia menuntut ilmu dari seorang guru Bishr Malta Yunus.
Di bidang seni ia menciptakan rebab dan kanun(kecapi).Masa muda ditambah dengan belajar
music di Bukhara, dan tinggal di Kazakhistan sampai usia 50 tahun, ia pergi ke Bagdad menuntut
ilmu selama 20 tahun. Setelah tinggal di Bagdad 10 tahun, kira-kira pada tahun 920 kemudian
mengembara ke Harran utara Syiria, saat itu menjadi pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil.
Kemudian belajar filsafat dari filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.

Pada tahun 940M mengembara ke Damaskus, dan bertemu dengan Sayf al-Daqla al-Hamdanid,
Kepala daerah(distrik) Aleppo sebagai simpatisan syi’ah. Kemudian wafat di Damaskus pada usia
80 tahun(Rajab 339 H/ Desember 950 M) masa pemerintahan al-Muthi era dinasti Abbasiyah.

Al-Farabi dikenal sebagai guru kedua ilmu filsafat atau komentator filsafat Yunani yang ulung di
dunia Islam, meskipun ia tidak berbahasa Yunani. Ia mengenal filsuf Yunani, Plato, Aristoteles,
dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya dibidang matematika, filosofi, pengobatan, musik, dan
sosiologi, Al-Farabi juga menulis kitab al-Musiqa dan dapat memainkan dan menciptakan
berbagai alat musik.

Al-Farabi hidup pada daerah otonomi dibawah pemerintahan Sayf al-Dawla dan di zaman
pemerintahan dinasti Abbasiyah yang berbentuk Monarki, dipimpin oleh seorang Khalifah. Saat
ia lahir masa pemerintahan khalifah al- Mu’tamid (869-892M) dan saat ia meninggal Abbasiyah
dijabat oleh al-Muthi’ (946-974M), masa pemerintahan dianggap periode paling kacau karena
politik tidak stabil. Maka al-Farabi berkenalan dengan pemikiran ahli filsafaat Yunani seperti Plato
dan Aristoteles dan mengkombinasikan pemikiran Yunani kuno dengan pemikiran Islam untuk
menciptakan sebuah Negara ideal.
3. IBNU BAJAH
Ibnu Bajjah adalah filosof Muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalus.
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya Ibnu Al-Sha’igh, yang lebih terkenal
dengan sebutan Ibnu BajjahSedangkan di Eropa terkenal dengan nama Avenpace.
Ibnu Bajjah lahir di Saragosa (Spanyol) dalam abd ke-5 H / abad ke-11 M dan wafat tahun 533 H
/ 1138 M. Tanggal kelahirannya tidak diketahui orang. Al-Bajjah berasal dari keluarga At-Tujib,
karenanya ia juga dikenal sebagai At-Tujibi. Meskipun kehidupannya tidak diketahui secara pasti,
begitu juga mengenai pendidikan yang ditempuhnya dan guru yang mengasuhnya tidak terdapat
informasi yang jelas, ia adalah seorang sarjana bahasa dan sastra Arab yang ulung serta menguasai
dua belas macam ilmu pengetahuan ketika ia pergi ke Granada.

Pada tahun 503 H / 1110 M, ketika Saragosa jatuh ke tangan Almoravid, Ibnu Bajjah ketika itu
berusia 20 tahun, telah memegang jabatan sebagai Wazir kepada Gabenor Berber, Abu Bakr bin
Ibrahim as-Sahrawi, yang lebih dikenali dengan nama Ibnu Tifalwit. Beberapa sumber lain juga
ada menyebutkan bahwa beliau memegang jabatan Wazir bagi Kesultanan Furcia.

Karya-karya Ibnu Bajjah

Menurut Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah adalah seorang filosof Muslim yang paling cemerlang otaknya,
paling tepat analisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun amat disayangkan pembahasan
filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini disebabkan karena ambisi
keduniaannya yang begitu besar dan kematiannya yang begitu cepat.
Karya tulis Ibnu Bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat ialah sebagai berikut :
1. Kitȃb Tadbîr al-Mutawahhid, ini adalah kitab yang paling populer dan penting dari seluruh
karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan
diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya
sebagai Insȃn Muwahhid (manusia penyendiri).
2. Risȃlȃt al-Wadȃ’, risalah ini membahas Penggerak Pertama (Tuhan), manusia, alam, dan
kedokteran.
3. Risȃlat al-Ittishȃl, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan Akal Fa’al.
4. Kitȃb al-Nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.
4. IBNU THUFAIL
Ibnu Thufail seorang filsuf, dokter, dan pejabat pengadilan Arab Muslim dari Al-Andalus.
memiliki nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail al-
Qaisi al-Andalusi (nama Latin Abubacer). Beliau hidup sekitar tahun 1105 sampai 1185.
Ibnu Thufail lahir di Guadix dekat Granada sekitar tahun 1105, ia dididik oleh Ibnu Bajjah
(Avempace). Ia menjabat sekretaris untuk penguasa Granada, dan kemudian sebagai wazir dan
dokter untuk Abu Ya’qub Yusuf, penguasa Spanyol Islam (Al-Andalus) di bawah pemerintahan
Muwahhidun, pada yang mana ia menganjurkan Ibnu Rusyd sebagai penggantinya sendiri saat ia
beristirahat pada 1182. Ia meninggal di Maroko.

Di zamannya nama baiknya sebagai pemikir dan pelajar telah membuatnya dipuji sebagai
Maecenas. Ibnu Thufail juga merupakan pengarang Hayy bin Yaqthan (Hidup, Putra Kesadaran)
roman filsafat, dan kisah alegori lelaki yang hidup sendiri di sebuah pulau dan dan yang tanpa
hubungan dengan manusia lainnya menemukan kebenaran dengan pemikiran yang masuk akal,
dan kemudian keterkejutannya pada kontak dengan masyarakat manusia untuk dogmatisme, dan
penyakit lainnya.

Pemikiran Ibnu Tufail banyak mempengaruhi Ibnu Rushd alias Averroes (1126- 1198 M). Ibnu
Rushd dikenal se bagai salah seorang murid Ibnu Tufail yang sukses. Bahkan, menurut catatan
sejarah, astronomer Nur Ed-Din Al-Bet rugi juga sempat menimba ilmu dari Ibnu Tufail. Ibnu
Rushd adalah murid kesayangan Ibnu Tufail. Tak heran jika ia mere ko mendasikan Ibnu Rushd
menggantikannya setelah pensiun pada 1182 M.
Suatu hari, Abu Bakar Ibnu Tufail memanggil saya dan memberi tahu saya,’‘ tutur Ibnu Rushd
dalam buku catatannya. Sang guru memintanya untuk menggantikan posisinya. Ibnu Tufail begitu
percaya kepada kemampuan Ibnu Rushd. ‘’Saya yakin Anda bisa karena saya tahu kemampuan
Anda.’‘ Ibnu Tufail mewariskan ilmu yang di perolehnya dari Ibnu Bajjah kepada Ibnu Rushd.
Ketiga ilmuwan itu turut menopang perkembangan peradaban Islam di Spanyol. Itulah yang
membuat Cordoba pusat Pemerintahan Spanyol Islam mampu mengimbangi kejayaan ke
khalifahan Islam Abbasiyah di Baghdad.
5. IBNU SINA

Beliau mempunyai nama lengkap Abu `Ali al-Husain ibnu `Abdillah ibn Hasan ibnu `Ali Sina,
namun dunia mengenal dirinya sebagai Ibnu Sina atau Aviciena. Ia lahir pada tahun 370 hijriyah
atau 980 M di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara wilayah Uzbekistan.

Ayah Ibnu Sina bernama Abdullah dan ibunya bernama Setareh. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu
Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah
terutama yang disampaikan oleh ayahnya.

Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru
menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan
menimba ilmu.

Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan.
Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau
sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh
bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil
Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.

Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai
menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi
akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan
Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa
bulan di penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan
jilid karya ilmiah dan risalah.

Di beberapa artikel yang menulis mengenai biografi Ibu Sina, Berkat telaah dan studi filsafat yang
dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun
sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina
adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
6. AL GHAZALI

Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Tusi al-Shafi’i al-Ghazali, dikenal dengan Imam
Al-Ghazali. Tahun 1058 A.D., dia lahir di Khorasan, tepatnya di desa Ghazalah, pinggir kota Thus,
yang terletak di bagian timur laut negara Iran, dekat dengan kota Mashhad, ibu kota wilayah
Khurasan.

Al-Ghazali berasal dari keluarga yang kuat agamanya. Setiap hari ayahnya pekerja sebagai
penenun kain dari bulu biri-biri. Hasil tenunannya dibawa ke kota Thus, untuk kemudian dijual.
Meskipun, ayahnya tidak memiliki harta yang banyak atau miskin, namun beliau seorang ayah
yang jujur dan baik hati.

Ayah Al-Ghazali suka bergaul dengan al-ulama dan para sufi. Pergaulan yang terjadi di antara
mereka untuk memetik ilmu agama, berbakti, dan berkhidmat pada mereka. Pergaulan beliau
dengan orang-orang yang berilmu dan sering mendengar pelajaran dari ilmu mereka membuat
beliaunya merasakan pengaruh positif.

Suatu hari ayah Al-Ghazali berdoa agar dikaruniai seorang anak yang berilmu, cerdik, dan shalih.
Kemudian, doanya tersebut dikabulkan oleh Allah SWT. Lalu lahirlah anaknya, anak yang diberi
nama Muhammad. Muhammad terus tumbuh menjadi seorang yang shalih sampai pada hari
tuanya, dia kemudian menjadi guru dari golongan al-shalihin dan dikenal sebagai al-Imam Abu
Hamid al-Ghazali.

Sayangnya, pada usia 6 tahun, ayah Al-Ghazali meninggal dunia. Hal ini menjadikan Al-Ghazali
dan adiknya, Ahmad diasuh oleh mutasawwif, sahabat dari ayahnya. Meskipun diasuh oleh sahabat
ayahnya, ayah Al-Ghazali mewasiatkan sedikit harta pada sahabatnya untuk biaya kehidupan
anaknya.

Al-Ghazali belajar membaca dan menulis untuk pertama kali, di sahabat ayahnya tersebut. Namun,
suatu hari, harta tersebut habis dan sahabat ayahnya meminta Al-Ghazali dan adiknya pergi ke
Thus dan belajar madrasah di sana. Di tempat itu mereka bisa menuntut ilmu pengetahuan tanpa
harus memikirkan biaya makan.

Al-Ghazali, pada masa mudanya mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan di


sekolah dengan kurikulum yang bagus. Pendidikan itu dia dapatkan di Nishapur dan Baghdad.
Bahkan, Al-Ghazali juga memperoleh penghargaan di bidang filsafat dan agama. Dia juga pernah
ditunjuk sebagai profesor di Universitas Nizamiyah yang terletak di Baghdad. Universitas ini
bahkan dikenal sebagai institusi pendidikan yang bergengsi pada masa keemasan sejarah Islam.

Seiring berjalannya waktu, beberapa tahun kemudian, Al-Ghazali berhenti dari kehidupan
universitas dan keduniaan. Dia mencari kehidupan zuhud dan saat itu menjadi masa transformasi
mistis baginya.
7. IBNU RUSYD

Ibnu Rusyd (Ibnu Rushdi, Ibnu Rusyid, 1126 - Marrakesh, Maroko, 10 Desember 1198) dalam
bahasa Arab ‫ ابن رشد‬dan dalam bahasa Latin Averroes, adalah seorang filsuf dari Spanyol
(Andalusia). Kakeknya seorang konsultan hukum dan menjadi qadli & imam masjid besar di
Cordova. Ayahnya seorang hakim (qadli). .Sementara itu, banyak saudaranya menduduki posisi
penting di pemerintahan. Latar belakang keluarganya itulah yang sangat mempengaruhi proses
pembentukan tingkat intelektualitas Ibnu Rusyd di kemudian hari.

Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan muslim yang cerdas dan menguasai banyak bidang ilmu,
seperti al-Quran, fisika, kedokteran, biologi, filsafat, dan astronomi. Ia juga dikenal sebagai
seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu-ilmu pasti, di samping sangat
menguasai pula pengetahuan keislaman, khususnya dalam tafsir Al Qur’an dan Hadits ataupun
dalam bidang hukum dan fikih. Bahkan karya terbesarnya dalam bidang kedokteran, yaitu Al
Kuliyat Fil-Tibb atau (Hal-Hal yang Umum tentang Ilmu Pengobatan) telah menjadi rujukan
utama dalam bidang kedokteran. Ibnu Rusyd adalah seorang dokter tokoh perintis ilmu jaringan
tubuh (histology). Ia pun berjasa dalam bidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar.

Ia juga seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani. Kebesaran Ibnu Rusydi sebagai seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh zeitgeist atau
jiwa zamannya. Abad ke-12 dan beberapa abad sebelumnya merupakan zaman keemasan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam, yang berpusat di Semenanjung Andalusia
(Spanyol) di bawah pemerintahan Dinasti Abasiyah. Para penguasa muslim pada masa itu
mendukung sekali perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan mereka sering memerintahkan para
ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa, sehingga nama-
nama ilmuwan besar Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-
karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang.

Kecerdasan yang luar biasa dan pemahamannya yang mendalam dalam banyak disiplin ilmu,
menyebabkan ia diangkat menjadi kepala qadi atau hakim agung Cordoba, jabatan yang pernah
dipegang oleh kakeknya pada masa pemerintahan Dinasti al Murabitun di Afrika Utara.Posisi yang
prestisius dan tentunya diimpikan banyak orang. Posisi tersebut ia pegang pada masa pemerintahan
Khalihaf Abu Ya’kub Yusuf dan anaknya Khalifah Abu Yusuf.
8 . IBNU MISKAWAIH

Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yaqub Ibn Miskawaih, adalah seorang
filosof muslim yang di anggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di
samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya
pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya Ibnu Miskawaih adalah seorang dokter, sejarawan
dan ahli bahasa.[T.J.De Boer, Tarikh al –Falsafah fi al-islam. Terjemah Muhd. Abd al-Hadi Abu
Ridah.Kairo Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah. Tt. hlm 73] Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di
Rayy (Teheran Iran) dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari
1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-
1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi‟ah. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui
secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn
Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan,
sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Keahlian Ibnu
Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Pokok-pokok pemikiran
filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan dalam karya monumentalnya Tahdzib al-
al-Akhlaq wa Tathhir al-A`raq. Karya ini terdiri dari tujuh bab yang secara sistematis dimulai
dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal usulnya bab tiga,
yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan, terutama membicarakan tentang
kebaikan dan kebahagiaan; bab keempat, tatkala membicarakan keadilan dia mengikuti ethics
Aristoteles, bab kelima membahas persahabatan dan cinta kembali mengikuti Aristoteles. Pada
bab keenam dan ketujuh membahas pengobatan ruhani dan dia mengikuti Muhammad Ibnu
Zakaria al-Razi dalam kitab “ al-Tibb al-Ruhani” dan Ibnu Miskawaih menggunakan istilah yang
hampir sama, Tibb al-Nufus. Dalam kitab ini membahas hal yang berkaitan dengan berbangga diri,
susah dan takut mati serta penyembuhan penyakit jiwa yang oleh al-Kindi di tulis sebuah
penjelasan tentang menolak kesedihan. [F M.M. Syarif (ed) A. History of Muslim Philoshopy,
Waesbaden: Otto Harrosowitz, 1963, Vol. I hlm 90-96].Jumlah buku dan artikel yang berhasil
ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan
akhlak (Tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah: al-Fauz al-Akbar, Al-Fauz al-Asghar
(tentang metefisika: ketuhanan, jiwa dan kenabian)dan masih banyak yang lainnya.
B. BIDANG KEDOKTERAN

1. JABBIR BIN HAYYAN

Nama lengkapnya Abu Abdullah Jabir bin Hayyan al-Kuffi al-Sufi. Sumber lain menyebutkan
sebagai Abu Musa dan bukan Abu Abdullah. Jabir bin Hayyan merupakan seorang yang dianggap
paling pantas sebagai wakil utama alkemi (ahli kimia) Arab pada masa-masa awal
perkembangannya.

Ia lahir di Kuffah, Irak pada tahun 721 M dan meninggal dunia pada tahun 815 M. Jabir adalah
seorang yang berketurunan Arab, namun ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah orang Persia.
Ayahnya bernama Hayyan, seorang ahli obat-obatan (apoteker) dari Kufah yang kemudian pindah
ke Toos. Nama ayahnya sering pula dihubungkan dengan intrik-intrik politik yang terjadi pada
abad ke-8 M, yang pada akhirnya menyebabkan Dinasti Umayah terguling.
Tokoh besar yang dikenal sebagai “the father of modern chemistry” ini merupakan seorang muslim
yang ahli dibidang kimia, farmasi, fisika, filosofi dan astronomi. Kontribusi terbesar Jabir bin
Hayan adalah dalam bidang kimia. Keahliannya ini didapatnya dengan ia berguru pada Barmaki
Vizier, pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid di Baghdad.
Jabir Ibnu Hayyan mampu mengubah persepsi tentang berbagai kejadian alam yang pada saat itu
dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi, menjadi suatu ilmu sains yang dapat
dimengerti dan dipelajari oleh manusia.
Ia mengembangkan teknik eksperimentasi sistematis di dalam penelitian kimia, sehingga setiap
eksperimen dapat direproduksi kembali. Jabir menekankan bahwa kuantitas zat berhubungan
dengan reaksi kimia yang terjadi, sehingga dapat dianggap Jabir telah merintis ditemukannya
hukum perbandingan tetap.
Kontribusi lainnya antara lain dalam penyempurnaan proses kristalisasi, distilasi, kalsinasi,
sublimasi dan penguapan serta pengembangan instrumen untuk melakukan proses-proses tersebut.
Jabir Ibn Hayyan telah mampu mengubah persepsi tentang berbagai kejadian alam yang pada saat
itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi, menjadi suatu ilmu sains yang dapat
dimengerti dan dipelajari oleh manusia.
Penemuan-penemuannya di bidang kimia telah menjadi landasan dasar untuk berkembangnya ilmu
kimia dan tehnik kimia modern saat ini. Jabir Ibn Hayyan-lah yang menemukan asam klorida,
asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, tehnik distilasi dan tehnik kristalisasi. Dia juga yang
menemukan larutan aqua regia (dengan menggabungkan asam klorida dan asam nitrat) untuk
melarutkan emas.
Jabir bin Hayyan mampu mengaplikasikan pengetahuannya di bidang kimia kedalam proses
pembuatan besi dan logam lainnya, serta pencegahan karat. Dia jugalah yang pertama
mengaplikasikan penggunaan mangan dioksida pada pembuatan gelas kaca.
Jabir terus bekerja dan bereksperimen dalam bidang kimia dengan tekun di sebuah laboratorium
dekat Bawaddah di Damaskus dengan ciri khas eksperimen-eksperimennya yang dilakukan secara
kuantitatif, bahkan instrument-instrument yang digunakan untuk eksperimentnya ia buat sendiri
dari bahan logam, tumbuhan dan hewani.
Di laboratoriumnya itulah Jabir berhasil menemukan berbagai penemuan besar yang sangat
bermanfaat sampai saat ini, bahkan di laboratorium itu pula telah ditemukan berbagai peralatan
kimia miliknya. Di dalamnya didapati peralatan kimianya yang hingga kini masih mempesona,
dan sebatang emas yang cukup berat.
Tak hanya penemuan-penemuannya yang luar biasa yang telah ia ciptakan, namun pemikirannya
juga sangat berpengaruh bagi para ilmuwan muslim lainnya seperti Al-Razi (9 M), Tughrai (12
M) dan Al-Iraqi (13 M). Bahkan tidak hanya itu, buku-buku yang ditulisnya pun sangat
berpengaruh bagi perkembangan kemajuan ilmu kimia di Eropa.

2. HUNAIN BIN ISHAQ

Hunayn ibn Ishaq al-Ibadi adalah seorang penerjemah, cendekiawan, dokter, dan ilmuwan Kristen
Nestoria Arab yang berpengaruh. Dia dan murid-muridnya menerjemahkan terjemahan Arab dan
Syria mereka dari banyak teks-teks Yunani klasik ke seluruh dunia Islam, selama puncak
kekhalifahan Abbasiyah Islam.

Nama lengkap beliau Abu Zaid Hunain bin Ishaqal-'Ibadi dikenal dalam bahasa Latin sebagai
Johannitius (809-873 M) yang terkenal pengaruhnya dalam mewarnai kejayaan pendidikan pada
masa kepemimpinan al-Ma’mun sebagai seorang sarjana, dokter , dan ilmuwan , yang dikenal
untuk karyanya dalam menerjemahkan dan medis karya ilmiah di Yunani ke dalam bahasa Arab
dan Syria.

Gurunya Johanes bin Masweh sangat kagum kepada muridnya telah sampai pada puncaknya
sehingga dia mempersembahkan kepadanya sebuah buku dengan judul “An Nadir At Tayyibah”.
Reputasi ilmiah Hunain bin Ishaq menyebar di dalam dan luar kota Baghdad sehingga sampai ke
telinga Khalifah Al Ma’mun melalui dokter pribadinya Gibrail yang selalu memuji kepintaran dan
kemampuan ilmiah Hunain di dalam majelis ilmu sang khalifah.
4. IBNU SAHL

Nama lengkapnya adalah Abū Saʿd al-ʿAlāʾ ibn Sahl, ia adalah seorang ilmuwan Islam yang
mengabdikan dirinya di istana Khalifah Abbasiyah, Baghdad. Ia merupakan seorang fisikawan
muslim asal Arab yang terkenal dengan keahilannya tentang optik. Ia dilahirkan pada 940 M dan
meninggal di tahun 1000. Ia juga dikenal sebagai ilmuwan yang menguasai tiga ilmu penting
sekaligus, yakni optik, matematika, dan fisika. Namun menurut Len Berggren, Ibnu Sahl juga
menguasai bidang lain, yakini geometri yang ditulisnya pada akhir abad ke-10 M.

Penguasaannya dalam bidang optik membuktikan bahwa dirinya adalah seorang ilmuwan besar
dalam era keemasan peradaban Islam. Hal ini bisa diketahui tatkala Rashed (1993) berhasil
menemukan naskah yang telah terpisah di dua perpustakaan. Dirinya mengumpulkan kembali
naskah-naskah tersebut, kemudian ia terjemahkan, dan diterbitkan. Menurutnya, Ibnu Haitham
menyebut nama Ibnu Sahl, seorang ahli optik (juga) kebanggaan Islam yang bekerja dan hidup
pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11.

Meskipun begitu, Ibnu Sahl bukanlah orang (ilmuwan) pertama dalam bidang ini, yakini seabad
sebelum dirinya, peradaban Islam juga memiliki Al-Kindi (801 – 873 M) yang telah
mengembangkan bidang kajian terkait optik. Hasil penelitiannya mampu menghasilkan
pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-prinsip persepsi visual. Hasil penelitian Al-
Kindi tentang optik terekam dalam kitab berjudul “De Radiis Stellarum”. Buku yang ditulisnya
tersebut begitu berpengaruh bagi para ilmuwan Barat, seperti Robert Grosseteste dan Roger Bacon.

Al Kindi begitu mempengaruhi Ibnu Sahl hingga ia menemukan hukum refeleksi cahaya atau
hukum pembiasan. Namun sayang, hukum ini diklaim oleh fisikawan Belanda, yakini Willebrord
Snell (1591 – 1626) pada 1621. Padahal, enam abad sebelum Snell menemukan hukum tersebut,
Ibnu Sahl sudah terlebih dahulu menemukannya.

Hukum pembiasan cahaya karya Ibnu Sahl tersebut tertuang dalam karya yang ditulisnya pada 984
M yang berjudul “On Burning Mirrors and Lenses”. Dalam risalahnya tersebut, Ibnu Sahl
menjelaskannya secara detail dan gamblang tentang cermin membengkok dan lensa membengkok
serta titik api atau titik fokus.

Memang secara teknis, hukum pembiasan yang ditemukan Ibnu Sahl setara dengan hukum yang
ditemukan oleh Snell. Ia (Ibnu Sahl) menggunakan hukum pembiasan cahayanya untuk
memperhitungkan bentuk-bentuk lensa dan cermin yang titik fokus cahayanya berada di sebuah
titik poros. Sekitar 6 abad kemudian, Snell juga mengemukakan prinsip yang sama dengan yang
ditulisakan oleh Ibnu Sahl. Menurut dirinya (Snell), sinar datang, garis normal, dan sinar bias
terletak pada satu bidang datar.

Hal ini membuktikan bahwa ilmuwan Muslim telah lebih dulu menemukan berbagai temuan
penting dalam khazanah keilmuan saat ini. Ibnu Sahl merupakan ilmuwan perintis di bidang ilmu
optik. Howard R Turner dalam bukunya berjudul “Science in Medival” Islam pun mengakui bahwa
ilmu optik ditemukan oleh ilmuwan Islam.
5. AR RAZI ATAU RAZES

Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan
salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 – 930. Beliau lahir di Rayy, Teheran
pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Di awal kehidupannya, al-Razi begitu
tertarik dalam bidang seni musik. Namun al-Razi juga tertarik dengan banyak ilmu pengetahuan
lainnya sehingga kebanyakan masa hidupnya dihabiskan untuk mengkaji ilmu-ilmu seperti kimia,
filsafat, logika, matematika dan fisika.

Walaupun pada akhirnya beliau dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibnu Sina, pada awalnya
al-Razi adalah seorang ahli kimia.? Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr (1968), al-
Razi meninggalkan dunia kimia karena penglihatannya mulai kabur akibat ekperimen-eksperimen
kimia yang meletihkannya dan dengan bekal ilmu kimianya yang luas lalu menekuni dunia medis-
kedokteran, yang rupanya menarik minatnya pada waktu mudanya.? Beliau mengatakan bahwa
seorang pasien yang telah sembuh dari penyakitnya adalah disebabkan oleh respon reaksi kimia
yang terdapat di dalam tubuh pasien tersebut. Dalam waktu yang relatif cepat, ia mendirikan rumah
sakit di Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan medis.?
Selang beberapa waktu kemudian, ia juga dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Baghdad..
Beberapa ilmuwan barat berpendapat bahwa beliau juga merupakan penggagas ilmu kimia
modern. Hal ini dibuktikan dengan hasil karya tulis maupun hasil penemuan eksperimennya.

Al-Razi berhasil memberikan informasi lengkap dari beberapa reaksi kimia serta deskripsi dan
desain lebih dari dua puluh instrument untuk analisis kimia. Al-Razi dapat memberikan deskripsi
ilmu kimia secara sederhana dan rasional. Sebagai seorang kimiawan, beliau adalah orang yang
pertama mampu menghasilkan asam sulfat serta beberapa asam lainnya serta penggunaan alkohol
untuk fermentasi zat yang manis.
C. BIDANG MATEMATIKA

1. UMAR AL FARUKHAN

Umar bin Farukhan atau Umar Al Farukhan, adalah salah satu tokoh islam yang memiliki peranan
dalam kemajuan ilmu sains dan teknologi pada jaman bani Abbasiyah. Beliau turut andil dalam
peranan perkembangan ilmu di bidang Matematika, selain beliau juga ada tokoh islam yang
memiliki peranan dalam bidang yang sama (Matematika) yaitu Al- Khawarismi .
karena jasa beliau yang begitu membantu di masa kini, untuk mengenang jasa - jasanya salah satu
contoh di depan Fakultas Matematika di Universitas Amrikhabir, Taheran, Iran telah dibuatnya
patung beliau sebagai simbol untuk mengenang jasa beliau.

2. AL KHAWARIZMI

Al-Khwarizmi memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi. Dia
dapat disebut sebagai salah satu pemikir terbesar sepanjang sejarah, terutama salama masa
pertengahan. Pada peradaban Islam, nama Al-Khwarizmi juga dikenal sebagai ilmuwan Islam
yang paling berpengaruh.
Peranan terbesar Al-Khwarizmi terutama pada bidang matematika. Ia bahkan disebut sebagai the
‘father of algebra’. Kenapa ia dianggap sebagai ilmuwan besar dan sangat berpengaruh? Ini karena
kontribusinya dalam penemuan aljabar atau jabr.

Al-Khwarizmi juga memberikan kontribusi yang besar terhadap ilmu astronomi, ilmu bumi, dan
juga ilmu sejarah. Namun, di antara semua kepiawaiannya tersebut, Al-Khwarizmi paling dikenal
karena kemampuannya dalam bidang matematika.

Al-Khwārizmī lahir pada tahun 780 Masehi di kota Khwārizm (sekarang Khiva, Uzbekistan). Dan
dia meninggal di tahun 847 Masehi di Baghdad.

Semasa hidupnya, ia tinggal dan menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Baghdad. Ia bekerja
di the “House of Wisdom” atau sekolah kehormatan (Dār al-Ḥikma) di bawah kepemimpinan al-
Maʾmūn. Ia bekerja sebagai seorang dosen, sekaligus sebagai seorang peneliti dan penulis.

Ia hidup di masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Al-Khwārizmī juga memiliki gelar sebagai Abū
‘Abdu llāh atau Abū Ja’far.
3. BANU NUSA

The Banu Musa bersaudara ( "Sons of Moses"), yaitu Abu Ja'far, Muhammad bin Musa ibn
Shakir (sebelum 803 - Februari 873), Abu al-Qasim, Ahmad bin Musa ibn Shakir (d abad ke-9.)
Dan Al-Hasan bin Musa bin Shakir (d. abad ke-9), tiga ulama abad ke-9 yang tinggal dan bekerja
di Baghdad.
Banu Musa bekerja di observatorium astronomi yang didirikan di Baghdad
oleh AbbasiyahKhalifah al-Ma'mun serta melakukan penelitian di Rumah Kebijaksanaan .
Mereka juga berpartisipasi dalam ekspedisi abad ke-9 untuk membuat geodesik pengukuran untuk
menentukan panjang dari gelar.

Banu Musa adalah tiga anak Musa ibn Shakir , yang sebelumnya dalam hidup telah
menjadiperampok dan astronom di Khorasan silsilah diketahui. Setelah berteman al-Ma'mun ,
yang saat itu seorang gubernur Khurasan dan tinggal di Marw , Musa dipekerjakan
sebagaiperamal dan astronom . setelah kematiannya, putranya tampak oleh pengadilan al-
Ma'mun. Al-Ma'mun mengakui kemampuan dari tiga bersaudara dan mendaftarkan mereka di
terkenal house of Wisdom , perpustakaan dan pusat penerjemahan di Baghdad.
Belajar di Rumah Kebijaksanaan bawah Yahya bin Abi Mansur , mereka berpartisipasi dalam
upaya untuk menerjemahkan Yunani kuno karya ke dalam bahasa Arab dengan mengirimkan
untuk teks Yunani dari Bizantium , membayar uang dalam jumlah besar untuk terjemahan mereka,
dan belajar bahasa Yunani sendiri. pada perjalanan tersebut, Muhammad bertemu dan merekrut
matematika terkenal dan penerjemah Tsabit bin Qurrah . Di beberapa titik Hunayn ibn Ishaq juga
bagian dari tim mereka. Saudara-saudara yang disponsori banyak ilmuwan dan penerjemah, yang
dibayar sekitar 500 dinar per bulan. Jika bukan karena upaya saudara-saudara, banyak teks-teks
Yunani yang mereka diterjemahkan akan hilang dan dilupakan.
Setelah kematian al-Ma'mun, Bani Musa terus bekerja di bawah khalifah al-Mu'tasim , al-Wathiq ,
dan al-Mutawakkil . Namun, pada masa pemerintahan al-Wathiq dan al-Mutawakkil persaingan
internal muncul antara ulama di Rumah Kebijaksanaan. Di beberapa titik Banu Musa menjadi
musuh untuk al-Kindi dan berkontribusi penganiayaannya oleh al-Mutawakkil. Mereka kemudian
dipekerjakan oleh al-Mutawakkil untuk membangun kanal untuk kota baru al-Jafariyya.
Pekerjaan penting lain dari mereka adalah kitab pada pengukuran pesawat dan angka bulat, sebuah
karya dasar dari geometri yang sering dikutip oleh metematikawan islam dan eropaBanu Musa
bekerja di observatorium astronomi yang didirikan di Baghdad oleh AbbasiyahKhalifah al-
Ma'mun serta melakukan penelitian di Rumah Kebijaksanaan . Mereka juga berpartisipasi dalam
ekspedisi abad ke-9 untuk membuat geodesik pengukuran untuk menentukan panjang dari gelar.
D. BIDANG ASTRONOMI

1. AL FARAZI

Abu abdallah Muhammad bin Ibrahim al-Fazari(meninggal 796 atau 806) yaitu seorang filsuf,
matematikawan dan astronom Muslim. Ia banyak menterjemahkan buku-buku sains ke dalam
bahasa Arab dan Persia. Ia juga merupakan astronom muslim pertama yang menciptakan
astrolobe, alat untuk mengukur tinggi bintang. Ia pernah menerima kiprah untuk men-
terjemahkan ilmu angka dan ilmu hitung, serta ilmu astronomi India yang berjulukan Sind Hind,
oleh khalifah Al Mansyur dari Abbasiyah.

Ayahnya berjulukan Ibrahim Al-Fazari yang juga seorang astronom dan matematikawan.
Beberapa sumber menyebut dia sebagai seorang Arab, sumber lain menyatakan bahwa ia yaitu
seorang Persia. Al Farazi menetap serta berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan
Abbasiyah.

Muhammad bin Ibrahim al-Fazari bersama ayahnya, Ibrahim al fazari, merupakan spesialis
matematika dan astronom di istana kekhalifahan Abbasiya, di era khalifah harun al Rasyid. Ia
menyusun banyak sekali jenis penulisan astronomi.

Bersamaan dengan Ya’qub ibn Thariq dan ayahnya, ia membantu menterjemahkan teks
astronomi India oleh Brahma gupta (abad 7 M), Brahma Sphuta Siddhanta, ke dalam bahasa
Arab sebagai Az jiz ala Sini al Arab atau kitab Sindhind. Terjemahan ini dimungkinkan sebagai
saran penting dalam tranmisi angka hindu dari India ke dalam Islam.

Dinasti Abbasiyah yang berkuasa ketika itu memperlihatkan peluang dan derma yang sangat
besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan apalagi dalam bidang astronomi. Khalifah al-
Mansyur yaitu penguasa Abbasiyah pertama yang memberi perhatian serius dalam pengkajian
astronomi dan astrologi.
Khalifah Harun al rasyid mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk
menerjemahkan bermacam-macam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India,
sampai Persia. Al Farazi yaitu salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Beliau memegang
kiprah penting dalam kemajuan ilmu astronomi di masa Abbasiyah.

Al-Fazari menerjemahkan beberapa literatur abnormal ke dalam bahasa Arab dan Persia.
Bersama dengan beberapa cendekiawan lain, menyerupai Naubakht, dan Umar ibnu al-
Farrukhan al-Tabari, dia meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan di dunia Islam.

2. AL BATTANI ATAU BETAGNIUS

Nama lengkap al-Battani adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan Al -
Battani al-Harrani. Di Eropa, ia dikenal dengan sebutan Albategnius atau al-Batenus. Ia
lahir pada tahun 858 M di daerah Battan, Harran, yang terletak di Barat Daya Irak. Cucu
dari ilmuwan Arab terkemuka, Tsabit bin Qurah, yang dikenal sebagai ahli astroomi dan
matematika terbesar di dunia pada abad pertengahan ini wafat pada tahun 317 H (929
M).

Awalnya, al-Battani hidup di kalangan komunitas Sekte Sabian, sebuah sekte pemuja
bintang yang religius dari Harran yang memiliki motivasi kuat untuk mempelajari ilmu
perbintangan. Sekte Sabian ini banyak menghasilkan para ahli matematika dan ahli falak
terkemuka seperti Thabit bin Qurrah. Namun meski demikian, al -Battani bukanlah
seorang Sabian, mengingat bahwa nama yang melekat pada dirinya menunjukkan bahwa
ia adalah seorang Muslim.

Kepakaran dan popularitas yang diraih al-Battani sebagai ahli astronomi dan
matematika terbesar di dunia pada abad pertengahan kiranya tak bisa dilepaskan dari
latar belakang keluarganya yang memiliki darah ilmuwan. Ayahnya yang bernama Jabir
ibn Sinan dan merupakan seorang pakar sains terkenal telah mengarahkan putranya
untuk menekuni dunia pengetahuan sejak kecil. Kepada ayahnyalah al -Battani belajar
astronomi dan matematika. Memasuki masa remaja, al-Battani berhijrah ke Raqqa yang
terletak di tepi sungai Eufrat untuk menekuni bidang sains. Di kota inilah al -Battani
melakukan berbagai penelitian hingga menemukan beragam penemuan cemerlangnya.
Kala itu, Raqqa menjadi terkenal dan mencapai kemakmuran karena khalifah Harun al -
Rasyid, khalifah kelima dalam dinasti Abbasiyah, membangun sejumlah istana di kota
tersebut pada 14 September 786 sebagai salah satu bentuk penghargaan atas sejumlah
penemuan yang dihasilkan oleh penelitian yang dilakukan al-Battani. Usai
pembangunan sejumlah istana di Raqqa, kota ini pun menjadi pusat kegiatan ilmu
pengetahuan dan perniagaan.

Ali bin Isa Al-Asthurlabi atau Yahya bin Abu Manshur yang merupakan dua ilmuwan
terkemuka dalam bidang astronomi yang hidup pada masa al-Battani bisa jadi—meski
tidak ada data yang pasti akan hal ini—merupakan guru astronomi dari al-Battani selain
dari ayahnya. Namun yang jelas, al-Battani telah menguasai berbagai buku astronomi
yang banyak beredar pada masanya, terutama buku Almagest karya Ptolemaeus.

Ibnu an-Nadim dalam Al-Fihrist menyebutkan bahwa al-Battani memulai perjalannya


mengamati masalah-masalah astronomi sejak tahun 264 H (878). Dengan pendapat ini
benar, berarti al-Battani pernah tinggal dalam waktu yang cukup lama di kota Raqqa
dan melakukan penelitian astronomi yang berhasil ditemukannya pada tahun 306 H (918
M). Selain itu, al-Battani juga pernah tinggal lama di kota Anthakiyyah di utara Syria,
tempat dia membuat teropong bintang yang disebut dengan "Teropong Al-Battani."
Secara umum, masa di mana al-Battani hidup adalah masa kejayaan ilmu astronomi
Arab dan masa ditemukannya berbagai penemuan ilmiah di Arab dalam bidang ini.
3. ABDUL WAFA
Abu Wafa. Ahli matematika Muslim fenomenal di era keemasan Islam ternyata bukan hanya Al-
Khawarizmi. Pada abad ke-10 M, peradaban Islam juga pernah memiliki seorang matematikus
yang tak kalah hebat dibandingkan Khawarizmi. Matematikus Muslim yang namanya terbilang
kurang akrab terdengar itu bernama Abul Wafa Al-Buzjani. “Ia adalah salah satu matematikus
terhebat yang dimiliki perabadan Islam,” papar Bapak Sejarah Sains, George Sarton dalam
bukunya bertajuk Introduction to the History of Science. Abul Wafa adalah seorang saintis serba
bisa. Selain jago di bidang matematika, ia pun terkenal sebagai insinyur dan astronom terkenal
pada zamannya.

Kiprah dan pemikirannya di bidang sains diakui peradaban Barat. Sebagai bentuk pengakuan dunia
atas jasanya mengembangkan astronomi, organisasi astronomi dunia mengabadikannya menjadi
nama salah satu kawah bulan. Dalam bidang matematika, Abul Wafa pun banyak memberi
sumbangan yang sangat penting bagi pengembangan ilmu berhitung itu.

4. AL FARGHONI ATAU AL FRAGENIUS

Al-Farghani adalah seorang ahli astronomi muslim yang sangat berpengaruh. Nama lengkapnya
adalah Abu al-Abbas bin Muhammad bin Kalir al-Farghani. Di Barat, para ahli astronomi abad
pertengahan mengenalnya dengan sebutan al-Farghanus.

Al-Farghani berasal dari Farghana, Transoxania. Farghana adalah sebuah kota di tepi sungai
Sardaria, Uzbekistan. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah al-Ma'mun (813-833) hingga masa
kematian al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani sangat beruntung hidup di dua masa tersebut
karena pemerintah kekhalifahan memberi dukungan penuh bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Buktinya, sang khalifah membangun sebuah lembaga kajian yang disebut Akademi
al-Ma'mun, dan mengajak al-Farghani untuk bergabung. Bersama para ahli astronomi lain, ia
diberi kesempatan menggunakan peralatan kerja yang sangat canggih pada masa itu. Ia
memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengetahui ukuran bumi, meneropong bintang, dan
menerbitkan laporan ilmiah. Pada tahun 829, al-Farghani melakukan penelitian di sebuah
observatorium yang didirikan oleh khalifah al-Ma'mun di Baghdad.

Al-Farghani juga termasuk orang yang turut memperindah Darul Hikmah al-Ma'mun dan
mengambil bagian dalam proyek pengukuran derajat garis lintang bumi. Al-Farghani juga berhasil
menjabarkan jarak dan diameter beberapa planet. Pada masa itu, hal tersebut merupakan
pencapaian yang sangat luar biasa.
Hasil penelitian al-Farghani di bidang astronomi ditulisnya dalam berbagai buku. Harakat as-
Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang) adalah salah satu karya utamanya
yang berisi kajian bintang-bintang. Sebelum masa Regiomontanus, Harakat as-Samawiyya wa
Jawami Ilm an-Nujum adalah salah satu buku yang sangat berpengaruh bagi perkembangan
astronomi di Eropa.

Di dalam buku tersebut, al-Farghani memang mengadopsi sejumlah teori Ptolemaeus, tapi ia
mengembangkanya lebih lanjut hingga membentuk teorinya sendiri. Tak heran, Harakat a-
Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum mendapatkan respon yang positif dari para ilmuwan muslim
dan non muslim. Buku ini pun diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Harakat as-Samawiyya wa
Jawami Ilm an-Nujum yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris mengalami perubahan judul
menjadi The Elements of Astronomy. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan pula dalam dua versi
bahasa Latin. Salah satunya diterjemahkan oleh John Seville pada tahun 1135, sebelum kemudian
direvisi oleh Regiomontanus pada tahun 1460-an. Sebelum tahun 1175, karya ini juga sempat
diterjemahkan oleh Gerard Ceremona.

Tidak hanya aktif di bidang astronomi, al-Farghani juga aktif di bidang lain, seperti teknik.
Seorang ilmuwan yang bernama Ibnu Tughri Birdi berkata bahwa al-Farghani pernah ikut
melakukan pengawasan pada proyek pembangunan Great Nilometer di Kairo Lama (861).
Nilometer adalah sebuah alat pengukur pasang-surut air sungai Nil. Alat ini dibangun di pulau
Roda, sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan Kairo. Nilometer berbentuk tiang yang mampu
mencatat ketinggian air. Bangunan tersebut berhasil diselesaikan bersamaan dengan meninggalnya
khalifah al-Mutawwakil, sang pencetus pembagunan Nilometer.

Al-Farghani juga pernah ditugaskan melakukan pengawasan pada sebuah proyek penggalian kanal
di kota baru, al-Ja'fariyya, yang terletak berdekatan dengan Samaran di daerah Tigris. Proyek
tersebut bernama Kanal al-Ja'fari. Saat itu, al-Farghani memerintahkan para pekerja untuk
membuat bagian hulu kanal lebih dalam dari pada bagian yang lain. Dengan begitu, tidak akan ada
air yang mengaliri kanal tersebut, kecuali jika permukaan air sungai Tigris sedang pasang.
Kebijakan al-Farghani ini sempat membuat khalifah marah, namun hitungan al-Farghani
kemudian dibenarkan oleh seorang pakar teknik yang berpengaruh, Sind bin Ali. Akhirnya, sang
khalifah mau menerima kebijakan tersebut. Dalam bidang teknik, al-Farghani juga membuat karya
dalam bentuk buku, yaitu Kitab al-Fusul, Ikhtiyar al-Majisti, dan Kitab 'Amal al-Rukhamat.

Karya utama al-Farghani yang berbahasa Arab masih tersimpan baik di Oxford, Paris, Kairo, dan
di perpustakaan Universitas Princeton. Atas karya dan jasanya yang begitu banyak, nama al-
Farghani dikenal sebagai salah satu perintis astronomi modern. Al-Farghani adalah tokoh yang
memperkenalkan sejumlah istilah astronomi asli Arab pada dunia, seperti azimuth, nadir, dan
zenith.
E. BIDANG BAHASA DAN SASTRA

1. ABU NAWAS

Biografi Abu Nawas. Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia
dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari
ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Abu Nawas merupakan seorang pujangga
Arab dan dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul
beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota
legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai
pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak.
Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.

Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang
unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai
sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada
Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami.
Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman,
Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya
bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat
Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu
Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-
orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul


dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan
para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada
masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya
bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam
khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke
dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang
dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah
bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan
Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan
menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali
lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia
sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah
kepada kekuasaan Allah.

Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi,
justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya
bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid,
Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan
– tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.

2. ABU TAMAM
Abu Tamam dilahirkan di Desa Jasim daerah Syam pada tahun 192 H. Nama kecilnya adalah
Habib ibn Aws al Ta'iy. Dia hidup di Mesir beberapa saat,lalu kembali ke Syam , dan di sinilah
dia memulai kehidupannya sebagai seorang penyair. Dia hidup sekitar empat puluh tahun, dan
meninggal di Mawsul pada tahun 230 H. Syair-syairnya terkumpul dalam satu kitab yang berjudul
Diwan Abi Tamam . Salah satu syairnya adalah syair pujiannya kepada Khalifah Mu'tasim Billah.
Sebagai sebuah karya sastra, walaupun ini syair pujian, namun isi yang terkandung didalamnya
juga berisi gambaran/simbol kehidupan masyarakat pada masa kekhalifahan Mu'tasim Billah,
seperti kebudayaan dan kehidupan sosial saat itu, khususnya yang hidup pada masa Abu Tamam
dan Khalifah Mu'tasim Billah.
3. BASYAR BIN BURDAH

Salah seorang sastrawan Arab, penyi’ir terkemuka, di zaman Abbasyiah ialah Basyar bin Burda.
Ia lahir di Bashrah dalam keadaan cacat penglihatan, namun dia mempunyai ketajaman otak dan
fikiran, sehingga Basyar sangat menjiwai setiap aspek keilmuan yang mengalir
untuknya. Kehidupannya sangat penuh dengan perlawanan. Ini dilihat dari pertentangan-
pertentangan yang terjadi antara dirinya dengan para penguasa ketika itu.

Dalam segi pendidikan, dia pernah menghadiri halaqah Washil bin Atha’, yaitu kajian Sastra dan
Fiqih. Dia memulai kehidupannya yang penuh perlawanan tersebut di Bashrah. Tak tahan dengan
perlawanan di Bashrah, dia mengunjungi Hiran dan Iraq, ketika itu ia mengeluarkan Syi’ir Madah-
nya untuk Yazid bin Amru bin Hubairah. Kemudian ia kembali ke Bashrah, namun di sana ia tidak
diterima hingga wafat pemimpin Bashrah ketika itu. Selanjutnya ia mengunjungi Baghdad dan
memuji Khalifah Makmun. Akibat lidahnya yang oportunis dia untuk saat-saat kemudian dibenci
oleh penguasa Baghdad, dibunuh atas perintah seorang wazir Baghdad.

Melihat jalan hidupnya tersebut jelas watak Basyar ialah seorang yang Ibahiyan (orang yang
berbuat sesuka hati, tidak memiliki konsekwensi hidup, suka berfoya-foya serta suka
membanggakan diri. Hal tersebutlah yang membuat dia tidak begitu sukses dalam bergaul dengan
para pejabat, walaupun dia seorang sastrawan, tapi sastrawan yang membuat para pejabat
pemerintahan sakit hati akibat syair-syair hija’ (cercaannya) terhadap pemerintahan yang melukai
hati pejabat-pejabat istana. Walau tak sukses menjalin kemitraan dengan petinggi-petinggi
Abbasiyah, tapi dalam soal bersastra dia sukses menyalurkan inspirasi seninya dalam syair-
syairnya yang indah.

Begitu banyak sya’ir yang ia hasilkan dalam dekade-dekade kehidupannya, namun amat
disayangkan tidak banyak yang dapat kita nikmati dan kita temui sekarang dalam ensiklopedi-
ensiklopedi syair Arab. Di antara tema-tema sya’irnya tercatat adanya syair Madah (pujian), Hija’
(cercaan), Fakhar (membanggakan diri), ghazal (permainan cinta) dan Ritsa’ (ratapan).
4. AL MATANABBY

Al-Mutanabbi merupakan salah satu penyair besar yang hidup pada masa dinasti Abbasiyah. Nama
aslinya adalah Ahmad bin Khusain bin Khasan al-Jufi. Beliau lahir tepatnya pada tahun
303H/915M. Ia lahir dari kalangan keluarga miskin didaerah Kindah, Kufah. Ayahnya bernama
Khusain bin Khasan bin Abdul al-Shamad, tetapi ada riwayat lain yang mengatakan bahwa
namanya ayahnya adalah Muhamad bin Murrah bin Abdul Jabbar. Sementara Ibunya seorang
Hamdzaniyyah yang namanya tidak diketahui secara jelas. Ayahnya bekerja sebagai penjual air
keliling di kampungnya, sehingga tidak aneh kalaui mendapat gelar Abd al- Saqa.

Melihat dari keadaan ekonomi keluarganya yang miskin, saat masih kecil Al-Mutanabi
mempunyai bakat kepenyairan yang hebat dan sudah terlihat. Melihat itu ayahnya sangat bersih
keras membanting tulang bekerja untuk membiayai masalah pendidikannya dan berusaha
mencarikan ulama yang mashur untuk dijadikan guru dalam mendidik anaknya. Ia belajar bahasa
dan sasta arab di Kuttab al-Awaliyyin, itu tidak berlangsung lama karena ayahnya harus
membawanya pergi disebabkan terjadi pemberontakan Qaramithah pada 316 H/ 928 M. Setelah
itu kemudian ayahnya bersama al-Mutanabbi kecil pindah kedaerah Syam pada 321 h/ 933 M. di
daerah Syam tersebut al-Mutanabbi tumbuh dan berkembang, ia banyak belajar ilmu pengetahuan
terutama bahasa dan sastra arab kepada para ulama seperti Ibnu Siraj, Abu al-Hasan al-Akhfasy,
al-Zajjaj, Abu Bakar Muhamad bin Duraid dan Abu Ali al-Farisi. Ia bersama ayahnya tinggal di
Syam selama 15 tahun. Setelah tinggal cukup lama di Syam al-Mutanabbi kemudian pindah ke
Aleppo pada tahun 337H/948M. dan setelah beberapa tahun tinggal di sana ia pindah ke daerah
Fusthat/Mesir tahun 346H/957M. dan terakhir ia pindah ke Irak dan Persia pada tahun
350H/962M, sampai sang ajal mencabutnya pada 354H/965M.

Melihat dari aspek kehidupannya yang sering pindah tempat, dapat dipastikan ia merupakan
penyair yang suka mengembara. Pada waktu itu mengembara merupakan suatu fenomena yang
sangat lumrah dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Tidak hanya dilakukan oleh al-Mutanabbi
tetapi para penyair dan para ulama terdahulu dapat dipastikan pernah melakukan perjalanan
pengembaraan dalam mencari ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut terjadi, seiring dengan
banyaknya dilakukan ekspansi dan perluasan wilayah yang menyebabkan terjadinya penyebaran
para ulama di berbagai wilayah yang ditaklukan, konsekuensi logisnya pernyebaran ilmu
pengetahuan di tiap daerah sudah menjadi hal yang lazim. Disamping itu sarana prasarana dan
komunikasi pengetahuan tidak sepesat zaman modern ini, pengetahuan bisa diakses dimanapun
akan tetapi tradisi pengetahuan klasik seperti riwayat sangat dominan saat itu. Sehingga saat itu
solusi yang konkret untuk belajar dan mencari ilmu pengetahuan adalah dengan mengembara
untuk menemui para ulama.

Setelah dewasa bakatnya dalam bersyair sudah tak terejawantahkan lagi, ia bergumam untuk
menjadi seorang penyair sejati, dan bertekad untuk mencari penghidupan sebagai seorang penyair
dan menjual syair-syairnya kepada para penguasa dan orang-orang kaya yang berduit. Sejak saat
itu ia berusaha keras untuk mendekati para penguasa untuk membacakan syair madhnya, ataupun
membacakan syair hijanya yang sangat kuat dan luar biasa agar merah simpati penguasa itu,
sehingga ia mencapai puncak kejayaannya sebagai penyair resmi istana pada masa Sayf al-Daulah
dari dinasti Khamdan di Aleppo, Syiria. Sepanjang karirnya, al-Mutanabbi dikenal sebagai penyair
handal dalam bidang puisi pujian (madh), yakni satu ragam puisi pujian yang digunakan untuk
menyanjung seseorang. Selain itu ia handal di bidang puisi istidraz, ia juga sangat piawai dalam
bidang puisi satire (hija) dan eulogy (ratapan). Oleh karena itu, Toha Husen, seorang kritikus sastra
Arab modern, mengatakan bahwa kedudukan al-Mutanabbi layaknya pemimpin para penyair pada
zamannya karena ketajaman puisinya.

Al-Mutanabi sebagai seorang penyair yang mashur, memiliki watak dan kepribadian jelek,
pemikiranya keras, suka berubah-ubah tak tentu arah, tidak mudah tunduk pada penguasa
manapun, sombong dan suka bertualang. Ia dikenal sebagai pemberontak mungkin karena banyak
dari syair-syair hija’nya yang keras secara blak-blakan mengkritisi penguasa setempat, terlebih
lagi ia pernah terlibat dalam gerakan politik Syiah Qaramatihah yang ekstrim. Akibatnya ia tidak
saja keluar masuk istana para penguasa akan tetapi ia juga keluar masuk penjara.

Di dalam literatur sastra Arab disebutkan bahwa al-Mutanabbi menjalani karirnya sebagai penyair
madh dengan mencari perlindungan kepada penguasa dalam lingkungan dinasti Abbasiyah. Pada
awalnya ia masuk dalam klan Tannukh dan keluarga Taghj mempersembahkan puisi madhnya,
kemudian ia memuji Badr bin Amar dan Abu al-‘Asyair, berikutnya adalah Saif al-Daulah,
penguasa dinasti Hamdaniyah; Kafur, penguasa dinasti Ikshidiyah, dan Adad ad-Daulah, penguasa
sentral dinasti Abbasiyah dari keluarga Buwaih. Semua itu dilakuakan semata matu bukan untuk
mencari perlindunga akan tetapi untuk mencari penghidupan dengan membacakan dan menjual
syair pujiannya itu.

5. ABDULLAH BIN MUQAFFA


Abdullah bin Muqaffa adalah penulis Arab yang berasal dari Persia. Dialah yang pertama kali
melakukan penerjemahan dalam sejarah dan sastra Arab, baik dari segi isi maupun dari gaya
ungkapnya. Penerjemahan itu mengakibatkan dua hal yang sangat penting : yaitu pindahnya
bangsa Arab dari kehidupan bergaya Badui kepada kehidupan Modern dan keterlibatan orang
bukan Arab dalam bidang penulisan sastra Arab.

Para pengikut nasionalisme yang menganggap bangsa bukan Arab lebih unggul dari bangsa Arab,
telah gagal memberikan kesan bahwa kedudukan bahasa Arab sangat rendah. Mereka juga
mengakui bahwa bahasa Al – quran milik orang muslim (apapun bahasa asli mereka) dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat Islam. Akan tetapi, mereka menolak bahwa
kaidah – kaidah bahasa Arab didasarkan atas apa yang dipakai oleh orang Arab badui. Karena
tidak ada sama sekali bukti yang memperkuatnya, misalnya seorang penyair yang bersal dari
mereka. Jeleknya, orang badui malah dijadikan penghujat bagi masalah yang muncul dalam
bahasa. Bukti yang paling nyata, menurut mereka, adalah adanya penulis atau pelajar yang
mengatakan bahwa dirinya telah berbicara seperti halnya orang badui. Meskipun demikian,
kehidupan umat-khususnya sejak awal kekhalifahan Abbasiyah telah jauh dari kehidupan badui.
Orang – orang yang berpengaruh dalam daulah itu, sebagian besar berasal dari Persia, tidak
merasakan adanya hubungan emosional dengan kehidupan Arab, bahkan watak, nilai – nilai etika
dan estetika pun berbeda. Orang – orang dinasti Abbasiyah, berkat kemampuan mereka sendiri,
mampu berbicara seperti halnya orang badui. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengisi pikiran
mereka yang modern dan kaya itu dengan gaya ungkap bahasa lama. Oleh sebab itu meski
diadakan perubahan yang sangat mendasar bagi model ungkapan bahasa Arab. Bahasa Arab harus
dikembangkan sesuai perubahan yang terjadi dkehidupan umat. Itulah salah satu perubahan yang
mungkin saja menyangkut pemikiran dan makna yang belum pernah terbertik dalam pikiran
bangsa Arab terdahulu. Ibn Al – Muqaffa adalah pakar dalam bidang yang satu ini. Dia
menyisihkan bahasa Arab kuno, dan membangun gaya ungkap bahasa arab yang benar, mudah dan
sederhana yang dapat mengungkapkan makna dan muatan katanya. Dia mengadakan revolusi
besar besaran dalam bahasa Badui kuno, berikut kosakata yang sesuai dengan dunia modern. Dia
melakukan penyederhanaan ( langsung kepada maksud ), penyusunan gramatikal yang jelas, selain
menghindari pemakaian kata yang mengandung banyak arti, mengatur struktur pembicaraan,
menghilangkan bentuk ungkapan takjub dan permintaan tolong serta memilih kata yang mudah
dipahami dan menghindari setiap musykil yang terdapat dalam bahasa orang badui.

Ibn Al – Muqaffa berpendapat bahwa peniruan terhadap orang – orang terdahulu menjadi batu
penghalang yang besar dalam perkembangan pemakaian ungkap baru. Karena itu dia memilih gaya
ungkap yang bagus dan menarik, jelas, mudah dipahami dan gampang disampaikan. Dia
menghindarkan diri dari tabiat kasar dan rumit orang – orang arab kuno, kemudian menggantinya
dengan bahasa – bahaswa yang mudah, teratur dan jelas. Gaya bahasanya biasa, tetapi mudah
dipahami. Dengan cepat, gaya bahasa Ibn Al – Muqaffa diikuti oleh banyak orang dan dipakai
dalam dunia sastra oleh para sarjana, penulis di dunia Islam.
Kerena pendidikan Ibn Al – Muqaffa banyak diperoleh dari Persia, dia sendiri sangat condong
kepada Persia dan ingin menghidupkan umatnya dengan menyebarkan sastra, politik dan sejarah
mereka, maka tidak aneh bila buku – buku Ibn Al – Muqaffa adalah buku yang mula – mula
dipengaruhi oleh sastra asing, dengan memperluas makna dan konsepnya.

Dia banyak menerjemahkan buku dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa dialah yang pertama kali menyerukan penyatuan pemikiran yang tumbuh dari
kerja sama, tanggung jawab, dan saling pengertian antar generasi, lintas waktu, diantara umat timur
yang bermacam – macam. Hal yang sama kemudian direalisasikan oleh peradaban Islam dengan
sangat baik setelah dia tiada yaitu, ketika peradaban Islam mulai hidup, kuat, dan sangat
berpengaruh dalam kehidupan berbagai umat dan bangsa.

6. IBNU QUTAIBAB
Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri al-Marwazi.
Kuniyahnya adalah Abu Muhammad. Ia dinisbatkan pada al-Dainuri, yaitu suatu daerah di mana
ia pernah menjadi hakim di sana. Sebagian ulama berpendapat, Ibnu Qutaibah juga dinisbatkan
pada al-Marwazi yang merupakan tempat kelahiran ayahnya.
Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan sebutan al-Qutba atau al-Qutaibah yang
merupakan bentuk tashghir (memiliki arti kecil) dari kata Qutbah dan bentuk tunggal dari kata
aqtab yang mempunyai arti jeroan binatang ternak. Tidak diketahui dengan jelas mengapa ia
dinisbatkan pada kata tersebut.
Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H/ 828 M di Baghdad, dan ada yang mengatakan di
Kufah. Pada masa itu Baghdad merupakan ibu kota negara yang berada di dekat bekas ibu kota
Persia, Ctesiphon. Jadi dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan dinasti Abbasyiah berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Sejak saat itu Baghdad tidak pernah sepi dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemunculan ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu
Qutaibah untuk menyerap ilmu dari beberapa ulama setempat.
Tidak puas dengan apa yang didapatkan di Bahgdad, Ibnu Qutaibah pun mulai gemar melakukan
perlawatan dari satu daerah ke daerah yang lain untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang
dilakukan para ulama pada waktu itu. Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur dan tempat-
tempat lain untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama yang ada di sana. Ibnu
Qutaibah belajar hadis pada Ishaq bin Rahawaih, Abu Ishaq Ibrahim bin Sulaiman al-Ziyadi,
Muhammad bin Ziyad bin ‘Ubaidillah al-Ziyadi, Ziyad bin Yahya al-Hassani, Abu Hatim al-
Sijistani dan para ulama yang semasa dengan mereka.
Selain mempelajari ilmu-ilmu agama, Ibnu Qutaibah juga haus akan pengetahuan yang
berkembang pesat pada waktu itu. Semangatnya yang tinggi dalam mencari ilmu semakin
membara ketika menyaksikan berbagai macam pemikiran yang meracuni sebagian besar umat
Islam, sehingga pada akhirnya Ibnu Qutaibah tumbuh berkembang menjadi seorang ulama yang
berwawasan luas, kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan mampu mewarnai corak
pemikiran keilmuan yang berkembang pada saat itu. Ibnu Qutaibah juga mampu memberikan
solusi terhadap problem keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh
ulama Kalam, dengan uraian yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan, yang
sebelumnya memperbincang-kan sekitar permasalahan tersebut masih dianggap tabu oleh
sebagian ulama Salaf khususnya golongan Ahl al-Sunnah.
Selain itu, Ibnu Qutaibah juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh
ensiklopedik besar, sehingga tidak heran jika Ibnu Qutaibah menjadi rujukan bagi Ibnu Atsir dalam
mengupas lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami dalam karyanya al-Nihayah fi
Ghorib al-Hadits dan ulama lain dalam permasalahan yang sama.
Dalam bidang fikih, Ibnu Qutaibah senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab ulama yang
teguh memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun secara pribadi dia mengikuti
madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishaq.
Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari
300 buah. Ibnu Qutaibah banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun
ulama lainnya.
F. BIDANG ILMU HADIS

1. IMAM BUKHARI

Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah bin Bardizbah. Lahir
pada bulan Syawwal, tahun 194 Hijriyah. Pengarang Kitab Shahih Bukhari, kitab paling shahih
setelah Al-Qur’an. Pernah mengalami kebutaan sewaktu kecil lalu sembuh berkat doa ibunya yang
dikabulkan oleh Allah.

Beliau memulai menuntut ilmu hadits ketika berumur 10 tahun dan mengambil hadith dari ulama
yang berada di kota beliau. Telah hafal kitab Ibnul Mubarak dan Waqi’ bin Jarrah ketika berumur
16 tahun. Lalu pergi ke Mekkah bersama Ibu dan saudaranya Ahmad untuk menunaikan haji. Dan
beliau tetap tinggal di sana untuk menuntut ilmu, sedangkan Ibu dan saudaranya kembali ke
kampung halaman.

Mengenai guru-gurunya, beliau sendiri pernah mengatakan bahwa dia telah mengambil hadits dari
1080 syaikh dan semuanya adalah ahlus sunnah. Beliau juga terkenal sebagai ulama sekaligus ahli
ibadah. Murid dekat beliau Al-Firabri mengisahkan bahwa tidaklah Imam Bukhari menulis satu
hadits di dalam kitab shahihnya, kecuali beliau shalat dua rakaat sebelumnya.

Beliau juga terkenal sebagai ulama yang memiliki hafalan ya sangat kuat. Pernah suatu hari
sepuluh ulama di kota Baghdad berkumpul untuk menguji hafalan beliau. Setiap orang
membacakan kepada beliau sepuluh hadits, setiap hadits telah diacak sanad dan matannya. Dan
setiap kali ditanya, beliau selalu mengatakan tidak tahu tentang riwayat hadits tersebut. Pada
akhirnya beliau sendiri yang menyusun kembali riwayat hadits ke matannya yang yang benar.

Adapun pujian para ulama kepada Imam Bukhari, maka banyak sekali. Ada di antara mereka yang
mengatakan bahwa keutamaan beliau dibandingkan ulama lainnya seperti keutamaan laki-laki atas
perempuan. Bahkan, ada seorang ulama yang ingin menyumbangkan umurnya kepada Imam
Bukhari agar beliau tetap hidup dan mengajarkan ilmu kepada ummat.

Beliau wafat pada malam sabtu, bertepatan dengan malam idul fitri, dan dikebumikan setelah
shalat dzuhur pada tahun 256 Hijriah di desa Hartank yang terletak dengan Samarkand atau yang
lebih dikenal dengan Uzbekistan.
2. IMAM MUSLIM

Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz
al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M. Naisabur,
saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan sebutan Maa
Wara’a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia
Tengah.

Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi
kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun,
Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya.
Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya
ketika salah dalam periwayatan hadits.

Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke berbagai
tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk mendapatkan
silsilah yang benar sebuah hadits.

Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu dan
berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada Muhammad
bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji 220 H, Muslim
bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits padanya.

Selain itu Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz. di kota Hijaz ia belajar kepada Sa’id bin
Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar. Di Irak Muslim belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan
Abdullah bin Maslamah. Kemudian di Mesir, Muslim berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan
Harmalah bin Yahya. Termasuk ke Syam, Muslim banyak belajar pada ulama hadits kota itu.

Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah
Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir
Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh
Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada Imam
Bukhari.

Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang dikenal
telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada
Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam
Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut
Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000
hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam
Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab
Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.

Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan
ilmu jarh dan ta’dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Selain itu,
Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan
riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana
(menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan
kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai
orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.

3. IBNU MAJAH
Ibnu Majah lahir pada tahun 207 H / 209 H di daerah Qazwin (salah satu kota yang terkenal di
kawasan ‘Iraq). Sebutan Majah dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan
sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid.
Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih shahih. Kata “Majah” adalah gelar
ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal.
208.IbnKatsrdalamAl-Bidayahwan-Nibayah,jilid11,hal.52.

Imam Ibnu Majah mulai menginjakkan kakinya di dunia pendidikan sejak usia remaja, dan
menekuni pada bidang hadits sejak menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada
kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H).

Bakat dan minat yang sangat besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa Imam Ibnu
Majah berkelana ke penjuru negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah
mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam seperti buku:
fikih,tafsir,hadits,dansejarah.

Dalam bidang sejarah Imam Ibnu Majah menulis buku “At-Târîkh” yang mengulas sejarah atau
biografi para muhaddits sejak awal hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku “Al-
Qur’ân Al-Karîm” dan dalam bidang hadits beliau menulis buku “Sunan Ibnu Majah”.
Disayangkan sekali karena buku “At-Târîkh” dan “Al-Qur’ân Al-Karîm” tidak sampai pada
generasi selanjutnya karena dianggap kurang monumental.

4. IMAM AN NASAI

Nama Imam an-Nasa`i adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr. An-Nasa`i
merupakan seorang lelaki yang tampan, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu
yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat
menarik. Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan
keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal.

Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena Imam an-Nasa`i mengadakan perjalanan
ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu Imam an-Nasa`i berumur 15 tahun.
Beliau tinggal di samping Qutaibah di negerinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga
Imam an-Nasa`i dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-
haditsnya.

Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki oleh orang-orang pada
zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam.
Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para
imam huffazh dan yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits,
mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i memperoleh derajat
yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.
Imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif dalam
meriwayatkannya. Maka ketika Imam an-Nasa`i mendengar dari Al Harits bin Miskin, dan banyak
meriwayatkan darinya, akan tetapi Imam an-Nasa`i tidak mengatakan; ‘telah menceritakan kepada
kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata;
‘dengan cara membacakan kepadanya dan aku mendengar.’
Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal tersebut karena terdapat
kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan tidak memungkinkan baginya untuk
menghadiri majlis Al Harits, kecuali Imam an-Nasa`i mendengar dari belakang pintu atau lokasi
yang memungkinkan baginya untuk mendengar bacaan qari` dan Imam an-Nasa`i tidak dapat
melihatnya. Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam an-Nasa`i “Sunan an-Nasa`i”
sebagai kitab kelima dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud dan Jami’ at-Tirmidzi.
Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, Imam an-Nasa`i berkeliling ke negeri-negeri
Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga Imam an-Nasa`i dapat mendengar dari banyak
orang yang mendengar hadits dari para hafizh dan syaikh. Di antara negeri yang Imam an-Nasa`i
kunjungi adalah sebagai berikut; Khurasan, Iraq; Baghdad, Kufah dan Bashrah, AlJazirah; yaitu
Haran, Maushil dan sekitarnya, Syam, Perbatasan; yaitu perbatasan wilayah negeri islam dengan
kekuasaan Ramawi, Hijaz, Mesir.

5. ABU DAWUD
Nama lengkapnya adalah Sulaiman al-Asy’at ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syidad ibn ‘Umran al-Azdiy
al-Sijistaniy. Beliau seorang ulama hadis kenamaan yang bukan dari bangsa Arab, melainkan dari
Sijistan, sebah negeri muslim di Asia Tengah, yang kini termasuk bekas wilayah Uni Sovyet.
Beliau lahir pada tahun 202 H/817 M.
Pada masa kecil, Abu Dawud gemar menuntut ilmu ke berbagai negeri. Beliau melawat ke Hijaz,
Syam, Mesir, Iraq, al-Jazirah, dan Khurasan. Beliau menjumpai sejumlah ulama hadis. Abu Dawu-
d sering mengunjungi Bagdad dan menetap lama di kota tersebut. Pada masa tersebut, Gubernur
Basrah, saudara Khalifah al-Muwaffiq, ia diminta menetap di Basrah. Abu Dawud memenuhi
permintaan gubernur. Hal ini tidak mengherankan, karena setiap penguasa muslim berlomba-
lomba untuk mengharumkan daerahnya dengan ilmu dan menjadikan daerahnya kiblat ilmu
pengetahuan. Abu Dawud meninggal di Basrah pada tanggal 16 Syawal 275 H/889 M dalam usia
75 tahun.
Abu Dawd mempunyai banyak guru, di antaranya Imam Ahmad ibn Hanbal, ahli hadis dan pendiri
mazhab fikih, al-Qa’nabiy, Abu ‘Amir al-Darir, Muslim ibn Raja’, al-Wahid al-Syayalisiy,
Sulaiman ibn A'rb, dan sebagainya. Pada beliaulah Abu Dawd mengumpulkan beberapa buah
hadis dan Abu Dawd telah menulis sejumlah 500.000 ribu hadis. Beliau telah memilih dari
padanya 4.800 hadis dalam Sunan Abi Dawud.
Sedangkan ulama yang meriwayatkan hadis beliau dan merupakan muridnya yang terkenal adalah
Abu Isa al-Turmuziy, ‘Abd al-Rahman al-Nasa’iy, Abu Bakr ibn Abu Dawud (puteranya sendiri),
Abu Awnah, Abu Sa’id al-‘Arabiy, Abu ‘Aliy al-Lu’lu’, Abu Bakr ibn Dassa, Abu Salim
Muhammad Sa’id al-Jaldawiy, dan sebagainya.
Umumnya ulama mengakui bahwa Abu Dawud adalah seorang imam yang dalam bidang fikih,
ilmu, hafalan, ibadah, beliau termasuk ulama yang membela sunnah.
Sunan Abi Dawud merupakan kitab standar dalam urutan teratas kitab hadis lainnya setelah al-
Bukhariy dan Muslim, sehingga al-Khathabiy berkata bahwa, kitab tersebut adalah kitab yang
sangat mulia, belum pernah disusun kitab seperti itu yang menerangkan hukum sepertinya, ulama
pada mengakuinya.
Ibn al-‘Arabiy memberikan komentar bahwa barangsiapa di rumahnya ada al-Quran dan
kitab Sunan Abi Dawud, maka tidak usah memerlukan kitab hadis lain lagi, hal tersebut sesuai
dengan pengakuan al-Gazaliy. Hal ini oleh penulis menilai bahwa Abu Dawud adalah ulama yang
ahli dalam bidang hadis dan fikih, di mana tidak diragukan lagi keahliannya. Beliau wafat pada
tahun 275 H, di Basrah
G. ILMU TAFSIR
1. IBNU JARIT
Nama Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah tidak asing di telinga kaum Muslim saat ini. Ya, karena
ia seorang ulama besar yang warisan kitabnya masih dirujuk hingga kini. Ibnu Jarir memiliki nama
lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalib ath-Thabari
rahimahullah. Ia dilahirkan pada 224 H di Amol, Thabaristan, Persia (selatan Laut Kaspia). Setelah
menapaki beberapa negeri guna menuntut ilmu, ia kemudian menetap di “gudang ilmu” Baghdad
hingga wafat.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah tumbuh di alam keilmuan yang mengantarkannya menjadi
seorang sejarawan dan pemikir Muslim ampuh Persia. Perjalanan menutut ilmu dimulainya setelah
240 H. Ia sempat mengenyam pendidikan di Rayy, Syam, Mesir, dan Baghdad. Semangatnya yang
menggelora tak saja dalam aktivitas menimba ilmu, dalam “mangikat” ilmu yang telah dikuasainya
pun juga begitu. Ada riwayat mengatakan, sejarawan yang juga mufasir ini mampu menulis 40
halaman dalam sehari.

Benarlah, Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berhasil melahirkan karya-karya monumental


selama hidupnya. Di antara kitabnya yang masyhur adalah Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah
Para Nabi dan Raja), atau lebih dikenal dengan Tarikh ath-Thabari. Kitab ini memuat sejarah dunia
sampai 915 M dengan akurasi tingkat tinggi dalam mencatat sejarah Arab dan Muslim.

Karya monumental lainnya adalah Tafsir ath-Thabari, yang sering dijadikan rujukan oleh para
pemikir Muslim lain, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir rahimahumullah. Penulisan
kitab ini melalui proses spiritual yang tak sederhana. Dikatakannya, “Tiga tahun lamanya aku
memohon pilihan terbaik kepada Allah dan meminta pertolonganNya atas penulisan karya tafsir
yang aku niatkan, sebelum aku mengerjakannya. Lantas Dia memberikan pertolonganNya
kepadaku.”

Ibnu Jarir juga menulis kitab perihal hadits, yakni Tahdzibul Atsar. Di sini termuat hadist beserta
illatnya, jalan-jalannya, hukum-hukum yang terkandung, serta perbedaan pendapat para ahli fiqih
beserta dalil-dalilnya, yang juga diterangkan dari segi bahasa. Sayangnya, kitab ini tidak sempat
disusun sampai tuntas. Namun ada kitab hadits yang sempurna disusunnya, yakni Musnad Ibnu
Abbas. Bahkan ia menjadi kitab terbaik di masanya.

Menurut al-Khathib al-Baghdadi rahimaullah, Ibnu Jarir adalah salah satu ulama yang
perkataannya dijadikan putusan hukum dan pendapatnya dijadikan rujukan. Ia juga hafal al-
Qur’an, menguasai qira’at, paham akan makna, faqih dalam hukum, paham hadits beserta serba-
serbinya, paham atsar shahabat dan tabi’in, serta menguasai sejarah.

Dunia keilmuan rupanya telah menjadi pilihan hidupnya. Agar lebih fokus sebagai intelektual,
Ibnu Jarir rahimahullah memilih tidak mau menerima jabatan di pemerintahan. Di masa itu
memang sudah menjadi kebiasaan ulama menjauhi kekuasaan. Ia pernah ditawari jabatan Qadhi,
tetapi ditolaknya. Demikian juga jabatan sebagai al-Mazalim (lembaga pengaduan atas tindak
kezaliman).
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah wafat pada hari Ahad di bulan Syawal 310 H dalam usia 86
tahun. Menjelang wafat, seseorang memintanya agar berwasiat. Lalu ia berkata, “Hal yang aku
jadikan agamaku kepada Allah dan aku wasiatkan adalah apa yang sudah valid (dalil yang shahih)
di dalam kitab-kitab karyaku. Amalkanlah itu!” Ia wafat di Baghdad dan dimakamkan di sana.
Wallahu a’lam.

2. IBNU ATHIYA AL ANDALUSY


Nama lengkapnya adalah al-Qadhi Abu Muhammad Abd al-Haq ibn Ghalib ibn Abdurrahman ibn
Ghalib ibn Athiyyah al-Muharibi. Ia lahir di Granada pada tahun 481 H. Ia dibesarkan di tengah
keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya adalah seorang ulama hadis
terkemuka yang hafal beribu-ribu hadis. Dari ayah inilah ia mendapat pendidikan dasar agama
Islam.

Ibnu Athiyyah dianugerahi kecerdasan yang luar biasa. Karena itu, pelajaran yang diterimanya
dengan mudah dihafalkan. Tentang hal ini, Imam as-Sayuthi dalam kitab Bughya al-
Wu’ad berkata, “Ia orang yang mulia. Terlahir dari keluarga yang berilmu. Otaknya sangat cerdas.
Bagus pemahamannya dan terpuji budi pekertinya.”

Riwayat hidup Ibnu Athiyyah tak pernah sepi dari pengembaraan menuntut ilmu. Kota-kota seperti
Qurthubah, Isybiliyyah, Marsiyah, dan Balansiyah adalah sedikit kota yang pernah dikunjungi.
Beragam disiplin ilmu ia pelajari dari sejumlah ulama. Misalnya, Abu Ali Husin ibn Muhammad
al-Ghassani. Ulama ini adalah gurunya yang utama. Namun sayang, ia berguru tak lama sebab al-
Ghassani wafat pada tahun 498 H.

Setelah itu, Ibnu Athiyyah berguru kepada al-Faqih Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn
Muhammad at-Taghlibi. Sebagaimana al-Ghassani, ia juga belajar hingga at-Taghlibi wafat pada
tahun 508 H. Demikian juga kepada Abu Ali al-Husin ibn Muhammad ash-Shadafi hingga ash-
Shadafi wafat pada tahun 514 H. Hatta, pada tahun 542 H Ibnu Athiyyah meninggal dunia di
Andalus.

Salah satu karyanya yang berupa tafsir diberi nama al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir Al-Qur’an al-
Aziz yang mampu membangkitkan nasionalisme Arab. Melalui tafsir itu, ia tak henti-hentinya
memberi semangat kepada generasi muda untuk bersatu dan memandang kehidupan dengan penuh
optimistis.

H. ILMU SEJARAH
1. AL WAQIDY
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad Ibn’ Umar Ibn al-Aslami Waqid. Lahir pada
tahun 130 H/748 M. Beliau adalah seorang sejarawan dan penulis biografi Muslim awal dari Islam
Nabi Muhammad mengkhususkan diri dalam kampanye nya. Al-Waqidi menjabat sebagai hakim
(kadi) untuk Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Ia lahir dan dididik di Madinah. Al-Waqidi adalah
seorang kolektor tak kenal lelah dari tradisi dan penulis banyak buku. Sekretarisnya, Muhammad
Ibnu Sa`ad juga seorang sejarawan terkenal. Dia memanfaatkan informasi yang dikumpulkan oleh
al-Waqidi. Keduanya menulis biografi Nabi Muhammad yang suplemen penting untuk “Sirat
Rasul Allah”. Karya-karyanya antara lain; Al-Magazy, Fathu Afrika, Fathul Ajam, dan lain-lain.
Beliau meninggal pada tahun 207 H/ 822 M.

2. IBNU SAAD
Nama sebenarnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin sa’ad bin Mani’ al-Quraisy al Bashri al
Baghdadi, ia seorang imam penghapal hadits dan seorang ahli fiqh sejarah yang terpercaya
( Tsiqah ), ia dilahirkan di Bashrah pada tahun 168 H.

Ibn Sa’ad memiliki gelar kehormatan yang banyak. Ia adalah seorang al-Hafiz, al-‘Allamah, al-
Hujjah, al-Tsiqah dan lain sebagainya. Ini membuktikan keilmuan Ibn Sa’ad yang luas, baik itu
ilmu Sejarah maupun Hadits; meliputi pelacakan dan periwayatannya, keghariban dan
pemahamannya. Ia mengetahui berita-berita Nabi Muhammad dan orang-orang sesudah mereka.
Disamping itu Ibnu Sa’ad adalah seorang yang saleh, ia selama 60 tahun berpuasa seperti Nabi
Daud, yaitu sehari puasa dan sehari lagi tidak.

Diantara kitabnya yang terkenal adalah al-Thabaqat al-Kubra, yang didalamnya dijelaskan kisah
kisah nabi nabi terdahulu istimewa Nabi kita Muhammad saw sebagai pendahuluan bagi sejarah
sejarah rasul dan peperangan peperangan yang beliau lakukan diterangkan dalam Sirah
Nabawiyah, setelah itu barulah diterangkan Thabaqat para Sahabat, Tabi’in dan orang orang
sesudah mereka sampai kepada masa Ibnu Sa’ad sendiri.Ibnu Sa’ad wafat pada tahun 230 H di
Baghdad.

3. IBNU HISYAM
Nama aslinya adalah Abdul Mulk Ibnu Hisyam Ibnu Ayyub Al Himyari al Ma’arifi (Ma’arif ialah
salah satu kabilah terbesar dari Yaman). Sebagian ulama’ lain mengatakan marga Ibnu Hisyam
adalah al Dzuhali (sebuah kabilah yang di nisbatkan kepada Dzuhali Ibnu Syaiban). Tidak di
ketahui secara pasti tahun berapa beliau di lahirkan, namun yang pasti beliau di lahirkan dan
tumbuh dewasa di Bashroh, setelah menimba ilmu di kota kelahirannya ini, akhirnya beliau
menguasai dan mahir tentang sastra arab, sehingga tak heran beliau menyandang gelar an Nahwiy
(ahli nahwu). Sedang untuk pengetahuan siroh nabi (ilmu sejarah) beliau berguru kepada Yunus
Ibnu Habib (w. 182 H.), Abi Ubaidah Ma’mar Ibnu al Mutsanna (w. 218 H.), Abi Mihroz Kholf
Al Ahmar (w. 180 H.), dan Abi Zaid al Anshori (w. 210 H.).

Beliau meninggal dunia pada tahun 213 atau 218H. Ibnu Hisyam telah menulis kitab as-Sirah an-
Nabawiyah. Kitab ini mengandungi peristiwa sirah yang diriwayatkan oleh gurunya, al-Bakka-ie
daripada Ibnu Ishaq, di samping peristiwa sirah yang beliau riwayatkan sendiri daripada guru-
gurunya.
I. BIDANG FIQIH

1. IMAM ABU HANIFAH

Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang
pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang
pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang
shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj
bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian
lainnya sambil mempelajari ilmu agama.

Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran
sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar
agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau
sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah
haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam
perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama
terbaik di kota Mekah.

Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari
sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah
guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh
perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan
haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji
atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.

Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu
permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta
argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan
menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung
seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal
dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.

Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah
sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah
dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf,
Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam
kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang
istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di
Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan
beliau dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.

Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir
mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara
bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”

Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar
Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan
menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki
Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan
India.

2. IMAM MALIK

Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Harits bin Ghuyman bin
Khutsail bin Amr bin Harits. Ibunya adalah Aliyah bin Syarik al-Azdiyah. Keluarganya berasal
dari Yaman, lalu pada masa Umar bin Khattab, sang kakek pindah ke Kota Madinah dan menimba
ilmu dengan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi salah seorang
pembesar tabi’in.

Imam Malik dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah wafatnya Nabi kita Muhammad,
tepatnya tahun 93 H. Tahun kelahirannya bersamaan dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat
Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Malik kecil tumbuh di
lingkungan yang religius, kedua orang tuanya adalah murid dari sahabat-sahabat yang mulia.
Pamannya adalah Nafi’, seorang periwayat hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari
Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat besar lainnya, radhiallahu
‘anhum. Dengan lingkungan keluarga yang utama seperti ini, Imam Malik dibesarkan.

Ibu Imam Malik adalah orang yang paling berperan dalam memotivasi dan membimbingnya untuk
memperoleh ilmu. Tidak hanya memilihkan guru-guru yang terbaik, sang ibu juga mengajarkan
anaknya adab dalam belajar. Ibunya selalu memakaikannya pakaian yang terbaik dan merapikan
imamah anaknya saat hendak pergi belajar. Ibunya mengatakan, “Pergilah kepada Rabi’ah,
contohlah akhlaknya sebelum engkau mengambil ilmu darinya.”

Imam Malik belajar dari banyak guru, dan ia memilih guru-guru terbaik di zamannya agar banyak
memperoleh manfaat dari mereka. Di antara pesan dari gurunya yang selalu beliau ingat adalah
untuk tidak segan mengatakan “Saya tidak tahu” apabila benar-benar tidak mengetahu suatu
permasalahan. Salah seorang guru beliau yang bernama Ibnu Harmaz berpesan, “Seorang yang
berilmu harus mewarisi kepada murid-muridnya perkataan ‘aku tidak tahu’.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu syariat secara komperhensif, Malik bin Anas mulai dikenal sebagai
seorang yang paling berilmu di Kota Madinah. Beliau menyampaikan pelajaran di Masjid Nabawi,
di tengah-tengah penuntut ilmu yang datang dari penjuru negeri.

Salah satu hal yang menarik dari kajian fiqih yang beliau sampaikan adalah penafsiran-penafsiran
hadits dan pendapat-pendapat beliau banyak dipengaruhi oleh aktifitas yang dilakukan penduduk
Madinah. Menurut Imam Malik, praktik-praktik yang dilakukan penduduk Madinah di masanya
tidak jauh dari praktik masyarakat Madinah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penduduk Madinah juga mempelajari Islam dari para leluhur mereka dari kalangan para sahabat
Nabi. Jadi kesimpulan beliau, apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan yang tidak
bertentangan dengan Alquran dan sunnah, maka perbuatan tersebut dapat dijadikan sumber
rujukan atau sumber hukum. Inilah yang membedakan Madzhab Imam Malik disbanding 3
madzhab lainnya.

Dari segi fisik, Imam Malik dikarunia fisik yang istimewa; berwajah tampan dengan perawakan
tinggi besar. Mush’ab bin Zubair mengatakan, “Malik termasuk seorang laki-laki yang berparas
rupawan, matanya bagus (salah seorang muridnya mengisahkan bahwa bola mata beliau berwarna
biru), kulitnya putih, dan badannya tinggi.” Abu Ashim mengatakan, “Aku tidak pernah melihat
ahli hadits setampan Malik.”

Selain Allah karuniai fisik yang rupawan, Imam Malik juga memiliki kepribadian yang kokoh dan
berwibawa. Orang-orang yang menghadiri majlis ilmu Imam Malik sangat merasakan wibawa
imam besar ini. Tak ada seorang pun yang berani berbicara saat ia menyampaikan ilmu, bahkan
ketika ada seorang yang baru datang lalu mengucapkan salam kepada majlis, jamaah hanya
menjawab salam tersebut dengan suara lirih saja. Hal ini bukan karena Imam Malik seorang yang
kaku, akan tetapi aura wibawanya begitu terasa bagi murid-muridnya. Demikian juga saat murid-
muridnya berbicara dengannya, mereka merasa segan menatap wajahnya tatkala berbicara.
Wibawa itu tidak hanya dirasakan oleh para penuntut ilmu, bahkan para khalifah pun menghormati
dan mendengarkan nasihatnya.

3. IMAM SYAFII

Imam Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 Hijriyah dengan nama Abu Abdullah Muhammad bin
Idris As-Syafi’i Al Muthalibi Al Quraisyi. Dari namanya, beliau masih tergolong kerabat dari
Rasulullah saw. melalui klan Quraisy dari Bani Muthalib yang mana merupakan kakek Rasul.
Imam Syafi’i dikenal sebagai ulama besar yang cerdas, bahkan di usianya yang ke-15, keilmuan
Imam Syafi’i sudah setaraf seorang mufti. Tak pelak saat ini sosoknya telah dianggap sebagai
mufti besar Islam Sunni.
Sebelum kelahirannya, Rasulullah saw. sudah jauh-jauh hari meramalkan tentang kelahiran
seseorang yang baik laku budinya, cerdas akal pikirnya, dan kelak akan menjadi mujaddid Islam
penerus perjuangan Rasulullah. Rasulullah bersabda:

“Setiap seratus tahun sekali Allah akan membangkitkan seorang pemimpin besar dari keturunanku
(Quraisy) yang akan memperbarui keadaan umat dalam hal keagamaan. Adapun orang pertama
adalah Umar bin Abdul Aziz, sedangkan pada Abad Kedua adalah Muhammad bin Idris As-
Syafi’i.”

Pada usia dua tahun, ibunda Imam Syafi’i Fatimah binti Ubaidillah Al Azdiyah membawa pulang
beliau ke tanah airnya. Ketika itu kondisi Imam Syafi’i adalah seorang anak yatim yang ditinggal
mati ayahanda ketika ia masih di dalam kandungan. Di Mekkah, Imam Syafi’i dibesarkan oleh
ibunya dengan sederhana dan bahkan serba kekurangan.

Namun di tengah kondisi ekonomi yang serba kurang itu tak membuat Imam Syafi’i putus asa
apalagi bermalas-malasan dalam menuntut ilmu. Bahkan saking cintanya terhadap ilmu Allah,
Imam Syafi’i selalu mencatat ilmu-ilmu yang didapatnya di medium seperti tembikar, tulang-
belulang, serta pelepah kurma.

Tentang dunia literasi yang digelutinya, Imam Syafi’i menulis sebuah syair soal pentingnya
mencatat dan menulis ilmu pengetahuan yang didapat:
“Pengetahuan itu ibarat binatang buruan, yang jika ditangkap lekas diikat erat-erat. Suatu
kebodohan bagi seorang pemburu jika berburu rusa di hutan, setelah didapatinya buruan tersebut,
lalu dilepaskan,”

Imam Syafi’i banyak menghabiskan waktunya di Masjidil Haram untuk mempelajari berbagai
macam ilmu agama seperti ilmu fiqih, Alquran, Hadis, bahasa, dan kesusasteraan. Pada usia tujuh
tahun, Imam Syafi’i dapat menghafal Alquran sebanyak 30 juz dengan lancar dan fasih. Inilah
bukti kecerdasan otak dan akal budi yang dimiliki Imam Syafi’i. Karena tak semua manusia yang
memiliki kecerdasan otak bisa menghafal Alquran di usia semuda itu, kecuali jika Allah
menjaganya dari perbuatan dosa.

Selain kecerdasannya, Imam Syafi’i juga dikenal sebagai imam yang rajin berkelana demi
menuntut ilmu. Menurut Imam Syafi’i dari syair yang pernah ditulisnya, seseorang yang tidak
pergi dari kampung halamannya untuk menuntut ilmu, maka ia diibaratkan seperti air jernih yang
ada di dalam wadah kecil seperti gelas. Seiring berjalannya waktu, air jernih itu akan keruh. Beda
halnya dengan orang yang pergi menuntut ilmu, ia diibaratkan seperti air yang mengalir di sungai.
Jikapun bermuara, ia akan bertemu samudera yang luas dan jernih.

Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik. Pada usia sepuluh tahun, Imam Syafi’i mampu
menghafal kitab Muwatha yang disusun oleh Imam Malik. Dari kecintaannya pada kitab tersebut
jugalah yang pada akhirnya melabuhkan kakinya ke Madinah untuk berguru dan nyantri kepada
Imam Malik.

Haus akan ilmu jugalah yang pada akhirnya membuat Imam Syafi’i memohon izin pada Imam
Malik untuk menuntut ilmu kepada Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, dan ulama-
ulama lainnya di Iraq. Tak hanya restu, Imam Malik juga mengantarnya hingga ke Baqi dan
membekali Imam Syafi’i dengan uang 45 dinar sebagai bentuk mengaminkan keinginan mulia
Imam Syafi’i.

Tercatat, Imam Syafi’i telah menuntut ilmu ke berbagai daerah. Selain Mekkah, Madinah, dan
Iraq, Imam Syafi’i juga berkelana menuntut ilmu ke Baghdad, Persia, Yaman, hingga Mesir.
Setelah lima tahun tinggal di Mesir inilah kemudian kondisi Imam Syafi’i mulai sakit-sakitan dan
pada akhirnya imam besar Sunni itu wafat di sana pada tahun 204 Hijriyah.

4. IMAM AHMAD BIN HAMBAL


Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl
bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar
bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal
sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -
menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga
tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada
masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umayyah. Disebutkan bahwa dia
dahulunya adalah seorang panglima.
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah
binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau.
Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah
mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat
murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim
dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang
mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah
menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan
beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal
para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur
14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan
penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi
beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan
diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah
bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits,
tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan
berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para
perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah
al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus
berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186.
Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy
hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil
hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri
Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu
darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau
banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri
beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama
lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin
‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau
berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku
dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid,
tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”

Anda mungkin juga menyukai