Biografi
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 H
(1126 M) di Barat ia dikenal dengan nama Averroes. Ayah Ibnu Rusyd adalah seorang ahli
hukum yang cukup berpengaruh di Kordoba. Sementara itu, banyak saudaranya menduduki
posisi penting di pemerintahan. Latar belakang keluarga itu lah yang sangat mempengaruhi
proses pembentukan tingkat intelektual Ibnu Rusyd di kemudian hari.
Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh perintis ilmu jaringan tubuh (histologi). Ia pun berjasa
dalam bidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah
seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta, dia mendalami banyak ilmu seperti
kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami ilmu filsafat dari Abu
Ja’far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan
ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai kadi (hakim)
dan fisikawan. Didunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator terbesar atas filsafat
Aristoteles yang mempengaruhi filsafat kristen dia abad pertengahan termasuk pemikiran
semacam St. Thomas Aquinas.
Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasi masalah kedokteran dan
hukum. Ibnu Rusyd juga seorang ahli filsafat yang cerdas. Pada saat itu buku-buku aristoteles
yang di terbitkan masih sangat dan sulit dipahami maka Ibnu Rusyd lah yang
menerjemahkannya.
Disela – sela kesibukannya sebagai seorang dokter dan hakim agung, Ibnu Rusyd
menyempatkan diri untuk menulis. Ia menghasilkan lebih dari 20 buku kedokteran salah
satunya adalah Al – Kulliyat fi al-Thibb yang kemudian diterjemahkan ke bahasa latin dan
diterbitkan pada tahun 1255 M.
Semasa hidupnya Ibnu Rusyd menghasilkan sekiranya 75 karya, yang semuanya ditulis
dalam bahasa Arab. Tidak banyak yang mengetahui kalau Ibnu Rusyd pernah hidup dalam
pembuangan. Ia pernah dibuang di Lecena Spanyol karena dianggap murtad dan menghina
kepala Negara.
Filsafat Ibnu Rusyd ada 2 macam yaitu, filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami
oleh orang Eropa pada abad pertengahan dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap
keberagamannya.
Kesimpulan : Ibnu Rusyd adalah seorang filsafat yang berasal dari Andalusia yang
mendalami banyak ilmu seperti kedokteran, hukum, matematika dan filsafat. Hampir semua
karyanya di terjemahkan kedalam bahasa latin.
2. AL-KINDI
Abu Yūsuf Yaʻqūb ibn ʼIsḥāq aṣ-Ṣabbāḥ al-Kindī (Arab: أبو يوسف يعقوب بن إسحاق الصبّاح الكندي,
Latin: Alkindus) (lahir: 801 - wafat: 873), dikenal sebagai filsuf pertama yang lahir dari
kalangan islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab , ia mahir berbahasa Yunani.
Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain
karya Aristoteles dan Plotinos. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang diterjemahkannya
sebagai karangan Aristoteles yang berjudul Teologi menurut Aristoteles, yang di kemudian
hari menimbulkan sedikit kebingungan.
Ia adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf Muslim pertama. Secara etnis,
al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku
besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan
filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran
asing tersebut.
Al Kindi telah menulis banyak karya dalam pelbagai disiplin ilmu,
dari metafisika, etika, logika dan psikologi, hingga ilmu
pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan optik, juga meliputi topik praktis
seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan gempa bumi.Di antaranya ia sangat
menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah
mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat.
3. AL-FARABI
Biografi Al - Farabi
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (872-950) disingkat Al-Farabi adalah
ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari daerah Farab, Kazakhstan. Beliau juga dikenal
dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi, juga dikenal di dunia barat
sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir).
Al Farabi dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka dari era abad pertengahan. Selama
hidupnya al Farabi banyak mencitapkan karya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-
karya al- Farabi dapat ditinjau menjdi 6 bagian:
2. Ilmu-ilmu Matematika
3. Ilmu Alam
4. Teologi
Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama)
yang membahas tentang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan
antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah Islam.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di negara
Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20
tahun. Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al
Farabi kemudian pergi mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria (sekarang
Suriah), di mana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia
kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun
kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal dan bersahabat para filsuf
Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai
bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik.
Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam
bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan
bebagai alat musik. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles,
karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama
dalam ilmu filsafat. Al-Farabi adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan,
Al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato
dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno
dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara
Utama). Semua penemuan Al-Farabi sangat bermanfaat bagi dunia pengetahuan di dunia.
4. AL-GHAZALI
Biografi AL GHAZALI (1058-1111 M)
A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al
Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak
pada tahun 450 H (1058 M). Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal
benang, karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga diambil dari
kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah yang banyak dipakai, sehingga
namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil
usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar
anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan
padanya untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam
hal ini ada dua versi:
1. Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah
seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.
2. Ayahnya menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan
dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran
sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-
gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya
ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam.
Ia kemudian menjadi murid Imam Al Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah
An Nizhâmiyah Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-
ilmu alam. Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al Juwaini kemudian
memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al Ghazali kemudian
meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M).
Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di kota Mu’askar.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang ilmu pengetahuan dan
kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi
keadaan yang demikian tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul
keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’,
dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari
hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti
dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah,
kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal
semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang
bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke
kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia
dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55
tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau
meninggal usia 54 tahun.
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof
Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam
beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang azalinya alam dan
pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian alam dan hanya
mengetahui soal-soal yang besar saja.
Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata,
mustahil adanya penyelewengan. Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan
kaum filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama,
pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari
karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam :
1. Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah masalah
filsafat.
2. Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-
raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.
5. IBNU SINA
Ibnu Sina merupakan seorang tokoh filsafat, ilmuwan, dokter dan penulis aktif yang
lahir di zaman keemasan peradaban Islam. Pada zaman tersebut ilmuwan-ilmuwan muslim
banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia dan India untuk
selanjutnya dikembangkan demi kemaslahatan umat. Pengembangan ini terutama dilakukan
oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi.
Ibnu Sina belajar filsafat dari Abu Abdillah an-Natili, seorang filosof kenamaan yang
kebetulan sedang berkunjung ke Bukhara. Beliau diminta ayah Ibnu Sina tinggal di
Ia mulai menulis pada usia 21 tahun, ketika berada di Khawarizm. Karya pertamanya
yang berjudul “Al-Majmu” yang mengandungi berbagai ilmu pengetahuan yang
lengkap. Nama-nama buku yang pernah dikarang Ibnu Sina, termasuk yang berbentuk risalah
ukuran kecil, dimuat dan di himpun dalam satu buku besar yang berjudul “Essai de
Bibliographie Avicenna” yang dihasilkan oleh Pater Dominican di Kairo. Antara yang
terkandung dalam buku tersebut termasuklah buku karangan yang amat terkenal yaitu al-
Qanun fi ath-Thibb (The Canon of Medicine) yang merupakan rujukan di bidang kedokteran
selama berabad-abad.
Pada hari-hari terakhirnya, Ibnu Sina mandi, bermunajat mendekatkan diri pada Allah
Swt, menyumbangkan hartanya untuk fakir-miskin, membela orang-orang yang tertindas,
Ibnu Sina meninggal dunia di Hamdan ,dalam usia 58 tahun pada bulan Ramadhan
428 H/1037 M . Ia dimakamkan di sana. Dalam rangka memperingati 1000 tahun hari
kelahirannya (Fair Millenium) di Tehran pada tahun 1955 M ia telah dinobatkan sebagai
“Father of Doctor” untuk selamanya-selamanya , dan di sana (Tehran) telah dibangunkan
sebuah monemun sejarah untuk itu. Makam beliau di Hamdan kini dikelilingi oleh makam-
makam doktor Islam yang lain.
6. IMAM BUKHARI
BIOGRAFI IMAM BUKHARI
Al-Bukhari lahir 13 Syawal 194 H (21 Juli 810) - wafat 256 H (870)), atau lebih dikenal
Imam Bukhari, adalah ahli hadis yang termasyhur di antara para ahli hadis sejak dulu
hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah
bahkan dalam buku-buku fiqih dan hadis, hadis-hadisnya memiliki derajat yang tinggi.
Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (pemimpin orang-orang
yang beriman dalam hal ilmu hadis). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia
merujuk kepadanya.
Kehidupan
Dia diberi nama Muhammad oleh ayahnya, Ismail bin Ibrahim. Yang sering menggunakan
nama asli dia ini adalah Imam Tirmidzi dalam komentarnya setelah meriwayatkan hadis
dalam Sunan Tirmidzi. Sedangkan kunyah-nya adalah Abu Abdullah. Karena lahir di
Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; dia dikenal sebagai al-Bukhari. Dengan demikian nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak
lama setelah lahir, dia kehilangan penglihatannya.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu
Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati hati
terhadap hal hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang
haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam
Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadis yang masyhur di Bukhara. pada
usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci terutama Mekkah dan
Madinah, di mana di kedua kota suci itu dia mengikuti kajian para guru besar hadits. Pada
usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal kitab-kitab
hadis karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik. Bersama gurunya Syekh Ishaq,
menghimpun hadis-hadis shahih dalam satu kitab setelah menyaring dari satu juta hadis yang
diriwayatkan 80.000 perawi sumber menjadi 7275 hadis.
Namun tidak semua hadis yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu
diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat di antaranya apakah sanad (riwayat) dari hadis
tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadis itu tepercaya dan tsiqqah
(kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis
dalam karya monumentalnya Al Jami'al-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Banyak para ahli hadis yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim
Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
Di antara guru-gurunya dalam memperoleh hadis dan ilmu hadis adalah Ali ibn Al Madini,
Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Muhammad ibn Yusuf Al Faryabi, Maki ibn Ibrahim
Al Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al Baykandi dan ibnu Rahawaih. Selain itu ada 289 ahli
hadis yang hadisnya dikutip dalam bukunya "Shahih Bukhari".
Dalam meneliti dan menyeleksi hadis dan diskusi dengan para perawi, Imam Bukhari sangat
sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam.
Tentang perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "Perlu dipertimbangkan, "Para
ulama meninggalkannya", atau "Para ulama berdiam diri dari hal itu" sementara perawi yang
hadisnya tidak jelas ia menyatakan, "Hadisnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan
perawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata, "Saya meninggalkan sepuluh ribu hadis
yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadis-hadis
dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku
perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan
sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai
sebuah hadis, mencek keakuratan sebuah hadis ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi
meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam,
Hijaz seperti yang dikatakan dia "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-
masing dua kali; ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan tidak dapat
dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli
hadis."
Di sela-sela kesibukannya sebagai ulama pakar hadis, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli
fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar
Wafat
Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai ke seantero dunia Islam. Di
Naisabur, tempat asal imam Muslim seorang Ahli hadis yang juga murid Imam Bukhari dan
yang menerbitkan kitab Shahih Muslim, kedatangan beliau pada tahun 250 H disambut
meriah, juga oleh guru Imam Bukhari Sendiri Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab
Shahih Muslim, Imam Muslim menulis. "Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, saya
tidak melihat kepala daerah, para ulama dan warga kota memberikan sambutan luar biasa
seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari". Namun kemudian terjadi fitnah yang
menyebabkan Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di
Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara dia disambut secara meriah. Namun ternyata fitnah
kembali melanda, kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli
yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand sebuah negeri tetangga Uzbekistan,
Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum
Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana dia jatuh sakit
selama beberapa hari, dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada
malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas Salat Dzuhur
pada Hari Raya Idul Fitri.
Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada
masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota
Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan
pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.
Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari
sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10
tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di
kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi
kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.
Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke
berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk
mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.
Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu
dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada
Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji
220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits padanya.
Selain itu Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz. di kota Hijaz ia belajar kepada Sa’id bin
Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar. Di Irak Muslim belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan
Abdullah bin Maslamah. Kemudian di Mesir, Muslim berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan
Harmalah bin Yahya. Termasuk ke Syam, Muslim banyak belajar pada ulama hadits kota itu.
Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah
Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir
Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur.
Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada
Imam Bukhari. Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat
sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al
Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang
tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa
pengulangan.
Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang
dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam
Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari
Naisabur). Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan
merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-
Nawawi juga memberi sanjungan: “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan,
ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Seperti halnya Imam Bukhari dengan Al-Jami’ ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih
Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding
kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033
hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada
penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak mencantumkan judul-judul pada
setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus
hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits.
Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa
argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya
berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh
kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim
dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul,
sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim.
Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan
antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain,
karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural
sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi
hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya
dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding
Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding
al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang
dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya.
Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang dilakukan
Bukhari lakukan. Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H dengan
mewariskan sejumlah karyanya yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan dunia Islam.
Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al–Khatib al-Bagdadi
meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya “Saya me-lihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim
selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru-guru hadits lainnya.
Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim: “Kami tidak akan kehilangan kebaikan
selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin.”
Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: “Adakah orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi
Hatim mengatakan: “Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray.”
Abu Quraisy berkata: “Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang.
Di antaranya adalah Muslim.” Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy.
Sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
1. Al-Jamius Syahih
2. Al-Musnadul Kabir Alar Rijal
3. Kitab al-Asma’ wal Kuna
4. Kitab al-Ilal
5. Kitab al-Aqran
6. Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal
7. Kitab al-Intifa’ bi Uhubis Siba’
8. Kitab al-Muhadramain
9. Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
10. Kitab Auladus Sahabah
11. Kitab Auhamul Muhadisin.
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Shahih atau Shahih Muslim.