PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah mencapai
puncaknya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam di
Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentranfer
khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya. Filsuf-
filsuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota ini.
Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Ibnu Thufail dikatakan orang berada di suatu tingkat yang ajaib dalam
ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa
orang menganggapnya sebagai orang panteis orang yang menganggap tidak ada
beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya
hanya seperti juga Al Ghazali , merasa telah mencapai tingkat ma’rifat yang tinggi
seperti katanya: ”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran
wala tasal anil khobari.” (terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan
tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang
beritanya)
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, juga mampu
menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu
Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau
novel alegori yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy
ibnu Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail.
Dimana karya itu tidak lepas dari penbacaan ulang atau pengaruh dari pemikiran
Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang berbeda.
Melalui kisah “Hayy ibnu Yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan bahwa
dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi
banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris
yang mengkisahkan seorang bayi yang tedampar di hutan dan di rawat oleh seekor
rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu dapat
tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat
spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik
dunia ini dan mencapai titik Musyahadah, akhirnya dapat menemukan kebenaran
sejati.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana biografi Ibnu Thufail?
2. Apa saja karya ilmiah Ibnu Thufail?
3. Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Thufail?
BAB II
PEMBAHASAN
4. Kosmologi Cahaya.
Ibnu Thufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa
kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu
dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari caHayya Tuhan. Proses itu pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus caHayya matahari kepada cermin.
CaHayya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain
dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan
matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula
suatu yang lain dari matahari dan cermin itu.
Kemajemukan caHayya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan
matahari kalau kita pandang sumber caHayya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat
dicermin, yang disitu caHayya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku
pada cahaya pertama serta perwujudannya didalam kosmos.
5. Epistimologi Pengetahuan.
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong,
imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya
tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka
keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua
pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hayy
di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan ekstasi
memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan
visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin
jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi
semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan
kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi
Ibnu Thufail.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan
keduanya, Ibnu Thufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa
kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak
lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung
dan intiutif lewat caHayya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan
mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati
orang manapun. Taraf ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-
kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan yang
merupakan caHayya suci hanya bisa dilihat lewat caHayya didalam esensi itu
sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal
serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri.esensi dan
visinya adalah sama.
6. Etika/Akhlak.
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-
bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan.
Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek
sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan
Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk
dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani.
Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan
terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan
perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa
hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan.
Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif
maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan
dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri,
demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu
disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua
yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan
rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.
7. Rekonsiliasi (Tawfiq) Fislafat dan Agama.
Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqhzan, Ibnu Thufail menekankan
bahwa antara agama dan filsafat tidak bertentang, dengan kata lain, akal tidak
bertentangan dengan wahyu, tetapi jugadapat diketahui dengan akal. Dalam hal
ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan
antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai
wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran).
Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris.
Kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan :
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada,
Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer
dengan sebutan Abubacer.
2. Karya Ibnu Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul
Hayy Ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
3. Ajaran Filsafat Ibnu Thufail meliputi :
a. Dunia
b. Tuhan
c. Jiwa
d. Kosmologi cahaya
e. Epistimologi pengetahuan
f. Etika/akhlak
g. Rekonsiliasi (Tawfiq) Filsafat dan Agama
MAKALAH
Guru pengajar
Muhammad Syukur, S.Pd.,M.Pd.I.,
SMKN 3 BONE
TAHUN AJARAN 2022/2023