Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah mencapai
puncaknya. Baik dalam pemerintahan  maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam di
Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentranfer
khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya. Filsuf-
filsuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota ini.
Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Ibnu Thufail dikatakan orang berada di suatu tingkat yang ajaib dalam
ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa
orang menganggapnya sebagai orang panteis orang yang menganggap tidak ada
beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya
hanya seperti juga Al Ghazali , merasa telah mencapai tingkat ma’rifat yang tinggi
seperti katanya: ”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran
wala tasal anil khobari.” (terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan
tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang
beritanya)
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, juga mampu
menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu
Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau
novel alegori yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy
ibnu Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail.
Dimana karya itu tidak lepas dari penbacaan ulang atau pengaruh dari pemikiran
Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang berbeda.
Melalui kisah “Hayy ibnu Yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan bahwa
dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi
banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris
yang mengkisahkan seorang bayi yang tedampar di hutan dan di rawat oleh seekor
rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu dapat
tumbuh dewasa dengan  intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat
spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik
dunia ini dan mencapai titik Musyahadah, akhirnya dapat menemukan kebenaran
sejati.

B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimana biografi Ibnu Thufail?
2.      Apa saja karya ilmiah Ibnu Thufail?
3.      Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Thufail?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Biografi Ibnu Thufail.


Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn
Muhammad ibnu Muhammad  ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi
Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan
sebutan Abubacer.
Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam
kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan
kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya
sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M
(549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta (Arab: Sabtah) dan Tangier (Arab
: Thanjah / Latin : Tanger) Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti
Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan
sekaligus menjadi qadhi.
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun
578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu
Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub
dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan
disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat)
yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga dia tidak dikenal orang banyak. Namun
karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzhan
(Si Hidup anak Si Sadar), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah
Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).

B.   Karya-Karya Ibnu Thufail.


Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd sering berbincang, berdebat
dan saling evaluasi seputar masalah-masalah kedokteran dan filsafat. Evaluasi
dan  perdebatan mereka yang khusus membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat
oleh Ibnu Tufail dalam karyanya “ ‫ومباحث‬ ‫( ”مراجعات‬Muraja’at wa Mabahits; Revisi-revisi
dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd dimasukkan menjadi
bagian dari salah satu karangannya: “‫( ”الكليات‬al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari
Ibnu Tufail yang masih bisa dinikmati adalah “ ‫الطب‬ ‫في‬ ‫وزة‬XX‫( ”األرج‬Arjuzah fi at-Thib)
sepanjang 7700 bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami’ al-Qarawiyyin Fes
– Maroko dalam bentuk manuskrip.

Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga merupakan master


bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu perbintangan secara ringkas
dilukiskan oleh Lyon Goteh seorang orientalis Perancis: “Walaupun tidak ditemukan
tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju
dengan  teori sistem jagat  raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah
memiliki teori baru”. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail
memiliki teori-teori sensasional sekitar sistem jagat raya dan dasar-dasar perputarannya.
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang
masih ada ialah  risalah Hayy Ibn  Yaqzan dan Asrar Al hikmah Al Mashariqiyah,  yang
disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa
risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul
lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al-mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang
berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama
dengan buah  karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur
(Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu Tufail
dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok pikiran  ini bisa diidentifikasi sebagai
tasawwuf  yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof  muslim termasuk Ibnu Bajjah.
Diskursus rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan
pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
C.   Pemikiran-Pemikiran Ibnu Thufail.
Setelah mempelajari pemikiran para filosof Islam yang telah mendahuluinya -
terutama masalah  makrifah, ternyata para filosof Islam tidak terlepas dari kritikannya,
baik itu terhadap Ibnu Bajjah, Al-Farabi, Ibn Sina maupun Al-Ghazali. “...dia mengkritik
Ibnu Bajjah sebagai orang yang berpikiran singkat, tidak berpandangan  jauh,
membangun pikiran filsafatnya hanya atas kaidah-kaidah akal dan logika, seraya
meremehkan dasar pengalaman lain yang bersifat kasyf ruhani. Juga dia mengkritik al-
Farabi sebagai filosof yang ragu-ragu, tidak memberi kepastian dalam masalah-masalah
falsafi. Demikian pula dia mengkritik Ibn Sina sebagai seorang yang menulis kitab as-
Sifa’, dimana dia mengatakan kitab itu ditulis berdasakan mazhab Aristoteles, sedangkan
orang yang membaca kitab itu tidak menemukan dalam kitab Aristoteles. Ibnu Thufail
mengkritiknya karena gaya bahsa Ibnu Sina sangat kabur dan mendalam sehingga
seringkali tidak dipahami maksudnya.
Adapun Al-Ghazali dipandangnya sebagai orang yang banyak menulis untuk
orang awam, sehingga menggambarkan sikap munafik -muka dua- dan tidak konsisten.
Dalam buku Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkafirkan para filosof Islam yang tidak
percaya akan dibangkaitkannya ruh dan jasad sekaligus pada hari akhirat. Namun dalam
kitab al-Mizan dan al-Munqis min al-Dhalal, Al-Ghazali membenarkan dan menerima
pendapat para filosof yang dikafirkannya itu. Dengan demikian, seakan-akan Al-Ghazali
mengkafirkan dirinya sendiri. Makanya Ibnu Thufail dalam penyajian filsafatnya
menggunakan model tersendiri yaitu yang termuat dalam Hayy Yaqzham yang penuh
tamsil dan kadang sulit untuk dipahami. Namun untuk memahaminya bisa melihat
kerangka dasarnya. Dalam muqaddimahnya, Ibnu Thuafail menjelaskan tujuan penulisan
buku itu untuk menyaksikan kebenaran menurut cara yang ditempuh para ahl Zauq dan
musyahadah yang telah mencapai tingkat kewalian. Ini tidak mungkin dijelaskan
hakikatnya dengan kata-akata. Akan tetapi hanya bisa dengan lambang. Makanya
penyajian Hayy Ibn Yaqzham ditujukan agar orang mau menuruti jalan itu.
Selain itu, para ahli seperti Muhammad Ghalab mengatakan, ”tujuan risalah Hayy
Ibn Yaqzham adalah menunjukkan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk
mengetahui kebenaran yang tidak bertentangan dengan agama”. Sementara Harun
Nasution mengatakan, “… lewat kisah Hayy Ibn Yaqzhan ini dijelaskan
keharmonisan  antara akal dan wahyu. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan
kewajiban berterima kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara yang tepat untuk
menyatakan terima kasih tersebut.”
1. Dunia.
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan
oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat Islam, Ibnu Thufail,
sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat.
Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya,
dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan
pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia
melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya
dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak
lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan  karena itu tidak dapat
mendahului mereka dalam  hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-
kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep
Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai
kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan
bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan
suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di
kesampingkan  lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau
begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya?
Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak,
sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya.
Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya?
Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu
Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan
sementara dunia ini.
2. Metafisika (Tuhan).
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya
satu pencipta, sebab dunia tidak bisa maujud dengan sendirinya. Juga sang
pencipta bersifat immaterial, sebab  materi yang merupakan suatu kejadian dunia
di ciptakan oleh satu pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat
material akan membaca suatu kemunduran  yang tiada akhir yang adalah
musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak
berwujud benda. Dan karena dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat
mengenalinya lewat indra kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinisasi hanya
menggambarkan hal-hal di tangkap oleh indra.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak sebagaimana
di katakan oleh aristoteles,  membutuhkan penggerak atau penyebab efesien dari
gerak itu. Jika penyebab efesien ini berupa sebuah benda, maka kekuatannya tentu
terbatas dan karenanya tidak mampu menghasilkan suatu pengaruh yang
tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab efesien dari gerak kekal harus bersifat
immaterial. Ia tidak boleh di hubungkan dengan materi ataupun di pisahkan
darinya, ada di dalam materi itu atau tanpa materi itu, sebab penyatuan dan
pemisahan, keterkandungan atau keterlepasan merupakan tanda-tanda material,
sedang penyebab efesien itu, sesungguhnya lepas dari itu semua.
Tuhan menurut Ibnu Thufail adalah pemberi wujud pada semua makhluk.
Untuk membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen,
yaitu:
a.       Argumen Gerak (al-Harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang
meyakini alam baharu (hadits), berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian
ada. Oleh karena itu berarti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan
alam dari tidak ada menjadi ada yang disebut dengan Allah. Tapi bagi orang yang
meyakini alam kadim, alam ini tidak didahului oleh tidak ada dan selalu ada,
gerak alam ini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir, karena zaman tidak
mendahuluinya (tidak didahului oleh diam) adanya gerak ini menunjukkan secara
pasti adanya penggerak.

b.      Argumen Materi (al-Madat)


Argumen ini menurut Ibnu Thufail dapat membuktikan adanyaAllah, baik
yang meyakini alam qadim maupun hadisnya. Dalam hal ini Ibnu Thufail
mengemukakan pokok pikirannya yang terkait antara satu dengan yang lain, yaitu:
1)      Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk;
2)      Setiap materi membutuhkan bentuk;
3)      Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak
4)      Segala yang ada (maujud) untuk bereksistensi membutuhkan pencipta.
Dengan argumen di atas dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini,
Ia Maha Kuasa, bebas memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.
c.       Argumen al-Gayyat dan al-Mayyat.
Pada argumen ini pernah dikemukakan oleh al-Kindi dan Ibnu Sina,
bahwa segala yang ada di alam ini mempunyi tujuan tertentu dan merupakan
inayah dari Allah.
3. Jiwa.
Menurut Ibnu Thufail jiwa manusia adalah makhluk yang tertinggi
martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasad dan ruh (al-Madad wa al-
Ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tdak tersusun. Jiwa bukan
jisim dan juga bukan sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan hancur
(mengalami kematian) jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah
mengenal Allah selama dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail jiwa terdiri dari tiga tingkat, yakni dari yang rendah
jiwa tumbuhan dan jiwa hewan, kemudian tingkat jiwa yang martabatnya lebih
tinggi keduanya, yaitu jiwa manusia (al-Nafs al-Natiqat)

4. Kosmologi Cahaya.
Ibnu Thufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa
kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu
dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari caHayya Tuhan. Proses itu pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus caHayya matahari kepada cermin.
CaHayya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain
dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan
matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula
suatu yang lain dari matahari dan cermin itu.
Kemajemukan caHayya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan
matahari kalau kita pandang sumber caHayya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat
dicermin, yang disitu caHayya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku
pada cahaya pertama serta perwujudannya didalam kosmos.
5. Epistimologi Pengetahuan.
Tahap  pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong,
imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya
tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka
keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua
pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hayy
di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan ekstasi
memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan
visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin
jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi
semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan
kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi
Ibnu Thufail.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan
keduanya, Ibnu Thufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa
kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak
lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung
dan intiutif  lewat caHayya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan
mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati
orang manapun. Taraf ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-
kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi Tuhan yang
merupakan  caHayya suci hanya bisa dilihat lewat caHayya didalam esensi itu
sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal
serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri.esensi dan
visinya adalah sama.
6. Etika/Akhlak.
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh,  jiwa hewani dan esensi non-
bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan.
Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek
sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan
Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya dan  kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk
dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani.
Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan
terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan
perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa
hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan.
Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif
maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan
dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri,
demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu
disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah  suatu akhir diri, dua
yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan
rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.
7. Rekonsiliasi (Tawfiq) Fislafat dan Agama.
Melalui roman filsafat Hayy ibn Yaqhzan, Ibnu Thufail menekankan
bahwa antara agama dan filsafat tidak bertentang, dengan kata lain, akal tidak
bertentangan dengan wahyu, tetapi jugadapat diketahui dengan akal. Dalam hal
ini, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan
antara filsafat dan agama. Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai
wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran).
Sementara salman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris.
Kebenaran yang dikehendaki agama, karena sumbernya sama, yakni Allah SWT.

BAB II
PENUTUP
Kesimpulan :
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada,
Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer
dengan sebutan Abubacer.
2. Karya Ibnu Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul
Hayy Ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
3. Ajaran Filsafat Ibnu Thufail meliputi :
a. Dunia
b. Tuhan
c. Jiwa
d. Kosmologi cahaya
e. Epistimologi pengetahuan
f. Etika/akhlak
g. Rekonsiliasi (Tawfiq) Filsafat dan Agama
MAKALAH

KISAH IBNU THUFAIL

Guru pengajar
Muhammad Syukur, S.Pd.,M.Pd.I.,

Nama : Muhammad Irsan

SMKN 3 BONE
TAHUN AJARAN 2022/2023

Anda mungkin juga menyukai