Anda di halaman 1dari 18

Ibnu Bajjah: Si Anak Emas Di Era Kejayaan Islam Spanyol Ibnu Bajjah bernama Abu-Bakr Muhammad Ibnu Yahya

Ibnu Al-Sayigh yang populer disebut oleh orang barat dengan sebutan Avempace. (Berita SuaraMedia)
''Avempace''. Begitulah ilmuwan Barat biasa menyebut Ibnu Bajjah, ilmuwan Muslim terkemuka di era kejayaan Islam Spanyol. Ziaduddin Sardar dalam bukunya, Science in Islamic Philosopy, menabalkan Ibnu Bajjah sebagai sarjana Muslim multitalenta. Ibnu Bajjah dikenal sebagai seorang astronom, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, pujangga, filsuf, dan ahli logika serta matematikus. Sejatinya, Ibnu Bajjah bernama Abu-Bakr Muhammad Ibnu Yahya Ibnu Al-Sayigh. Namun, ia lebih populer dengan panggilan Ibnu Bajjah yang berarti "anak emas". Sang ilmuwan agung ini terlahir di Saragosa, Spanyol, tahun 1082 M. Ibnu Bajjah mengembangkan beragam ilmu pengetahuan di zaman kekuasaan Dinasti Murabbitun. Ibnu Bajjah dikenal sebagai penyair yang hebat. Pamornya sebagai seorang sastrawan dan ahli bahasa begitu mengilap. Salah satu bukti kehebatannya dalam bidang sastra dibuktikannya dengan meraih kemenangan dalam kompetisi puisi bergengsi di zamannya. Emilio Gracia Gomes dalam esainya bertajuk, Moorish Spain, mencatat Ibnu Bajjah sebagai seorang sastrawan hebat. Menurut seorang penulis kontemporer, Ibnu Khaqan, selain dikenal sebagai seorang penyair, Ibn Bajjah juga dikenal sebagai musisi. Ia piawai bermain musik, terutama gambus. Yang lebih mengesankan lagi, Ibnu Bajjah adalah ilmuwan yang hafal Alquran. Selain menguasai beragam ilmu, Ibnu Bajjah pun dikenal pula sebagai politikus ulung. Kehebatannya dalam berpolitik mendapat perhatian dari Abu Bakar Ibrahim, gubernur Saragosa. Ia pun diangkat sebagai menteri semasa Abu Bakar Ibrahim berkuasa di Saragosa.Setelah itu, selama 20 tahun, Ibnu Bajjah pun diangkat menjadi menteri oleh Yahya ibnu Yusuf Ibnu Tashufin, saudara Sultan Dinasti Murrabitun, Yusuf Ibnu Tashufin. Kehebatannya dalam filasat setara dengan Al-Farabi ataupun Aristoteles. Pemikirannya tentang filsafat sangat memengaruhi Ibnu Rusyd dan Albertus Magnus. Ibnu Bajjah menemukan gagasan filsafat ketuhanan. Ia menetapkan manusia boleh berhubungan dengan akal fa'al melalui perantaraan ilmu pengetahuan dan pembangunan potensi manusia. Menurutnya, manusia boleh mendekati Tuhan melalui amalan berpikir dan tidak semestinya melalui amalan tasawuf yang dikemukakan Imam Al-Ghazali. Dengan ilmu dan amalan berpikir tersebut, segala keutamaan dan perbuatan moral dapat diarahkan untuk memimpin serta menguasai jiwa. Ia meyakini usaha ini dapat menumpas sifat hewani yang bersarang dalam hati dan diri manusia. Pandangan filsuf multitalenta ini dipengaruhi oleh ide-ide Al-Farabi. Ia menuangkannya dalam Risalah //al-Wida// dan Kitab Tadbir al-Muttawwahid. Di dalam risalah dan kitab tersebut terlihat jelas pembelaannya terhadap karya-karya Al-Farabi dan Ibnu Sina. Sebagian pemikir mengatakan bahwa Kitab Tadbir al-Muttawwahid sama dengan buku al-Madinah al'Fadhilah yang ditulis AlFarabi. Al-Farabi dan Ibnu Bajjah meletakkan ilmu untuk mengatasi segala-galanya. Mereka hampir sependapat bahwa akal dan wahyu merupakan satu hakikat yang padu. Upaya untuk memisahkan kedua-duanya hanya akan melahirkan sebuah masyarakat dan negara yang pincang. Oleh sebab itu, akal dan wahyu harus menjadi dasar dan asas pembinaan sebuah negara serta masyarakat yang bahagia. Ibnu Bajjah pun sangat menguasai logika. Menurutnya, sesuatu yang dianggap ada itu sama benarbenar ada atau tidak ada bergantung pada yang diyakini ada atau hanyalah suatu kemungkinan. Justru, apa yang diyakini itulah sebenarnya satu kebenaran dan sesuatu kemungkinan itu boleh jadi mungkin benar dan tidak benar.

Kenyataannya, banyak perkara di dunia yang tidak dapat diuraikan menggunakan logika. Jadi, Ibnu Bajjah belajar ilmu-ilmu lain untuk membantunya memahami hal-hal yang berkaitan dengan metafisika, seperti ilmu sains dan fisika. Ibnu Bajjah juga terkenal dengan ungkapan yang menyebut manusia sebagai ''makhluk sosial''. Pendapat itu dilontarkan jauh sebelum sarjana Barat mencetuskannya. Ia pun telah menguraikan konsep masyarakat madani dalam tulisannya pada abad ke-11 M. Kehebatannya dalam berbagai ilmu telah membuat banyak kalangan benci dan iri. Ia pun akhirnya meninggal dunia akibat diracun pada 1138 M. Karya besar Sebagai ilmuwan agung, Ibnu Bajjah sangat produktif dan banyak menghasilkan beragam karya. Karya-karya Ibnu Bajjah yang ditulis dalam bahasa Arab banyak memengaruhi peradaban Barat. Betapa tidak, buah pikirnya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Yahudi dan Latin. Kini, manuskrip asli dan terjemahannya masih tersimpan di Perpustakaan Bodlein, Perpustakaan Berlin, dan Perpustakaan Escurial (Spanyol). Buah pikirnya yang paling populer adalah Risalah al-Wida. Dalam kitab itu, Ibnu Bajjah menceritakan tentang ketuhanan, kewujudan manusia, alam, dan uraian mengenai bidang perobatan. Karya Ibnu Bajjah lainnya yang berpengaruh adalah Kitab Tadbir al-Mutawahhid. Kitab itu mengungkap pandangannya dalam bidang politik dan filsafat. Ia lebih menekankan kehidupan individu dalam masyarakat yang disebut Mutawahhid . Risalah Tadbir al-Mutawahhid itu diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol. Karya lainnya adalah risalah al-Ittisal al-Aql Bi al-Insan. Karya yang satu ini mengupas secara detail tentang hubungan akal dengan manusia. Ibnu Bajjah juga telah menulis sebuah buku yang berjudul, Al-Nafs, yang membicarakan persoalan jiwa. Kitab itu juga menerangkan persoalan yang berkait tentang jiwa manusia dengan Tuhan dan pencapaian manusia yang tertinggi daripada kewujudan manusia yaitu kebahagiaan. Pembicaraan itu banyak dipengaruhi oleh gagasan pemikiran filsafat Yunani, seperti Aristoteles, Galenos, Al-Farabi, dan Al-Razi. "Perpustakan Berlin menyimpan 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajjah. Di antaranya ialah Tardiyyah (syair-syair) Risalah al-Akhlaq , Kitab al-Nabat dan Risalah al-Ghayah al-Insaniyyah ," ujar Carra dew Vaux. Ibnu Bajjah merupakan ilmuwan yang hebat dan sangat dihormati sepanjang sejarah. "Kedudukan Ibnu Bajjah setara dengan Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan Al-Farabi," kata Ibnu Khaldun. Kontribusi Ibnu Bajjah dalam Bidang Sains 1. Astronomi Ibnu Bajjah ternyata turut berperan dalam mengembangkan ilmu astronomi Islam. Seorang ilmuwan Yahudi dari Andalusia, Moses Maimonides, menyatakan bahwa Ibnu Bajjah telah mencetuskan sebuah model planet. ''Saya pernah mendengar Ibnu Bajjah telah menemukan sebuah sistem yang tak menyebut terjadinya epicycles. Saya belum pernah mendengar itu dari muridnya,'' ungkap Maimonides. Selain itu, Ibnu Bajjah pun telah mengkritisi pendapat Aristoteles tentang Meteorologi. Ia bahkan telah mengungkapkan sendiri teorinya tentang Galaksi Bima Sakti. Ibnu Bajjah menegaskan, Galaksi Bima Sakti sebagai sebuah fenomena luar angkasa yang terjadi di atas bulan dan wilayah sub-bulan. Pendapatnya itu dicatat dalam Ensiklopedia Filsafat Stanford sebagai berikut: ''Bima Sakti adalah cahaya bintang-bintang yang sangat banyak yang nyaris berdekatan satu dengan yang lainnya. Cahaya kumpulan bintang itu membentuk sebuah ''khayal muttasil'' (gambar yang berkelanjutan). Menurut Ibnu Bajjah, ''khayal muttasil'' itu sebagai hasil dari pembiasan (refraksi).'' Guna mendukung penjelasannya itu, Ibnu Bajjah pun melakukan pengamatan terhadap hubungan dua planet, yakni Yupiter dan Mars pada 500 H/1106 M. 2. Fisika

Dalam bidang fisika Islam, Ibnu Bajjah mengungkapkan hukum gerakan. Prinsip-prinsip yang dikemukakannya itu menjadi dasar bagi pengembangan ilmu mekanik modern. Pemikirannya dalam bidang fisika banyak memengaruhi fisikawan Barat abad pertengahan, seperti Galileo Galilei. Tak heran, jika hukum kecepatan yang dikemukakannya sangat mirip dengan yang dipaparkan Galilei. Menurut Ibnu Bajjah: Kecepatan = Gaya Gerak - Resistensi Materi. Ibnu Bajjah pun adalah fisikawan pertama yang mengatakan selalu ada gaya reaksi untuk setiap gaya yang memengaruhi. Ibnu Bajjah pun sangat memengaruhi pemikiran Thomas Aquinas mengenai analisis gerakan. Inilah salah satu bukti betapa peradaban barat banyak terpengaruh dengan sains yang dikembangkan ilmuwan Muslim. 3. Psikologi Ibnu Bajjah pun juga sangat berjasa dalam mengembangkan psikologi Islam. Pemikirannya tentang studi psikologi didasarkan pada ilmu fisika. Dalam risalah yang ditulisnya berjudul, Recognition of the Active Intelligence, Ibnu Bajjah menulis inteligensia aktif adalah kemampuan yang paling penting bagi manusia. Dia juga menulis banyak hal tentang sensasi dan imajinasi. ''Pengetahuan tak dapat diperoleh dengan pikiran sehat saja, tapi juga dengan inteligensia aktif yang mengatur intelegensia alami,'' ungkap Ibnu Bajjah. Ia juga mengupas tentang jiwa. Bahkan, secara khusus Ibnu Bajjah menulis kitab berjudul, Al-Nafs, atau Jiwa. Dia juga membahas tentang kebebasan. Menurut dia, seseorang dikatakan bebas ketika dapat bertindak dan berpikir secara rasional.(rpb) www.suaramedia.com
Top of Form

Bottom of Form IBNU BAJJAH DAN FILSAFATNYA


Oleh: Muh. Anas RA, S.Th.I
PENDAHULUAN Latar belakang saja. Di dunia islam perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dorong oleh ajaran al-quran dan hadis yang menganjurkan kepada umatnya supaya menghargai kekuatan akal dan mencari ilmu pengetahuan dimanapun Filsafat islam dibagian timur dunia islam(masyriqi) berbeda dengan filsafat islam di maghribi(bagian barat dunia islam).di timur terdapat tiga orang filosof terkemuka, al-kindi, al-farabi dan ibnu sina, di barat juga terdapat tiga orang filosof kenamaan, ibn bajjah, ibn thufail dan ibn rusyd. Filsafat islam lebih dulu muncul di timur sebelum di barat, sebagai akibat adanya peradaban yang berpusat di syam dan Persia setelah sebelumnya berpusat di Athena dan iskandariyah. Munculnya filsafat di kawasan maghribi terlambat dua abad lamanya dibanding dengan kehadiranya di kawasan masyriqi, setelah pemerintahan bani umayyah berdiri mantap, tidaklah sukar bagi orang arab menerjemahkan buku filsafat , kegiatan ini di lakukan orang suryan atas dorongan para khalifah dan para penguasa arab. Pada pertengahan abad ke-4 H, beberapa orang andalus pergi ke kawasan masyriqi untuk menuntut ilmu pengetahuan . karena kebutuhan pembangunan di andalus, orang mulai banyak menuntut ilmu matematika dan ilmu falak. Keadaan seperti itu tetap berlangsung selama dua abad, makin lama kebutuhan akan buku-buku filsafat terasa semakin mendesak, di samping kebutuhan akan buku-buku ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka lahirlah pemikir-pemikir filsafat. Dalam suasana perkembangan ilmu seperti tersebut di atas muncullah seorang filosof andalus bernama abu bakar Muhammad bin yahya ibn bajjah. Filsafat ibnu bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran islam dari kawasan di timur, seperti al-farabi dan ibnu sina. Hal ini di sebabkan kawasan islam di timur lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat dari kawasan

islam di barat (andalus). Dan inilah yang mendasari penulis untuk mengkaji bagaimana sosok ibn bajjah dalam memberikan perhatian dan kontribusi yang sangat besar terhadap dunia filsafat.

Rumusan Masalah
Sebagai tindak lanjut dari latar belakang di atas , kami akan memulai pembahasan berangkat dari rumusan masalah sebagai berikut: siapa sebenarnya sosok ibn bajjah itu? Bagaimana pemikiran ibn bajjah tentang filsafat? PEMBAHASAN Biografi ibn bajjah dan karyanya Ia adalah abu bakar Muhammad bin yahya, yang terkenal dengan sebutan ibn us-shaigh atau ibnu bajjah. Orang-orang eropa pada abad pertengahan menamai ibnu bajjah dengan avempance,[1] ibnu bajjah adalah filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalusia. Ia di lahirkan di Saragossa (spanyol) pada akhir abad ke-5 H/ abad ke-11 M.riwayat hidupnya secara rinci tidak banyak di ketahui orang. Begitu juga mengenai pendidikan yang ditempuhnya dan guru yang mengasuhnya tidak trdapat informasi yang jelas. Menurut beberapa literatur, ibnu bajjah bukan hanya seorang filosof ansich[2], tetapi ia juga seorang saintis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musikus, dan matematika. Fakta ini dapat di terima karena di masa itu belum terjadi pemisahan dalam suatu buku antara sains dan filsafat sehingga seseorang yang mempelajari salah satunnya terpaksa bersentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik, sehingga gubernur Saragossa dault-almurabith, abu bakar ibnu ibrahim al-sahrawi mengangkatnya menjadi wazir. Akan tetapi sewaktu kota Saragossa jatuh ketangan raja alfonso 1 di aragon ibnu bajjah terpaksa pindah ke kota Seville via Valencia. Di kota ini ia bekerja sebagai seorang dokter. Kemudian dari sini ia pindah ke Granada dan selanjutnya berangkat ke afrika utara, pusat kerajaan dinasti murabith barbar. Setelah itu ibnu bajjah berangkat pula ke fez, marokko. Di kota ini ia di angkat menjadi wazir oleh abu bakar yahya ibnu yusuf ibnu tashfin selama 20 tahun. Akhirnya di kota inilah ia menghembuskan napasnya yang terakhir pada bulan ramadhan 533 H/1138 M, menurut beberapa informasi kematianya ini karena di racuni oleh temanya, seorang dokter yang iri hati terhadap kejeniusanya. Menurut ibnu Thufail, ibnu bajjah adalah seorang filosof muslim yang paling cemerlang otaknya, paling tepat analisanya, dan paling benar pemikiranya. Namun amat disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini di sebabkan ambisi keduniaanya yang begitu besar dan kematianya yang begitu cepat. Karya tulis ibnu bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat, sebagai berikut. kitab tadbir al-mutawahhid, ini adalah kitab yang paling populer dan penting dari seluruh karya tulisanya, kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya sebagai insan al-muwahhid (manusia penyendiri). risalat al-wada, risalah ini membahas penggerak pertama(tuhan), manusia, alam, dan kedokteran. risalat al-ittisal, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal faal. kitab al-nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.

beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan escurial(spanyol). beberapa ulasan tentang buku-buku filsafat, antara lain dari aristoteles, al-farabi, dan sebagainya. Menurut carra de vaux, di perpustakaan berlin ada 24 risalah manuskrip karangan ibnu bajjah. Filsafat ibnu bajjah Ibnu bajjah adalah ahli yang menyandarkan pada teori dan praktek ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, ibnu bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-farabi[3], dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain, tidak seperti al-farabi dia berurusan dengan masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi, dia berkata untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibnu bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karyakaryanya aristoteles.[4] Uraian-uraian ini merupakan bukti yang jelas bahwa dia mempelajari teks-teks karya aristoteles dengan sangat teliti. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini kita akan menelusuri pemikiran filsafatnya. metafisika (ketuhanan) Menurut Ibnu bajjah, segalah yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini di gerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh ibnu bajjah disebut dengan aql. Kesimpulanya, gerakan alam ini jism yang terbatas- digerakkan oleh aql (bukan berasal dari subtansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak adalah aql, ia menggerakkan alam dan ia sendiri tidak bergerak. aql inilah disebut dengan Allah (aql, aqil, dan maqul) sebagaimana yang dikemukakan oleh al-farabi dan ibnu sina sebelumnya. Perluh di ketahui bahwa para filosof muslim pada umumnya menyebut Allah itu adalah aql. Argumen yang mereka majukan adalah Allah pencipta dan pengatur alam yang beredar menurut natur rancangan-Nya, mestilah ia memiliki daya berpikir. Kemudian dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof muslim menyebut Allah adalah zat yang mempunyai daya berpikir (aql), juga berpikir (aqil) dan objek pemikiranya sendiri (maqul). Keseluruhanya adalah zat-Nya yang Esa. Sebagaimana Aristoteles, ibnu bajjah juga mendasarkan filsafat metafisikanya pada fisika. Argument adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di alam ini. Jadi, Allah adalah azali dan gerakanya adalah bersifat tidak terbatas. Disinlah letak kelebihan ibnu bajjah walaupun ia berangkat dari filsafat gerak aristoteles, namun ia kembali kepada ajaran islam. Dasar filsafat aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris ini. Kendatipun

penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia masih bersifat empiris. Ibnu bajjah tampaknya berupaya mengislamkan argument metafisika aristoteles. Karena itu , menurutnya Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah pencipta dan pengatur alam. JIWA Menurut pendapat ibnu bajjah, setiap manusia mempunyai jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa di gerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah antaranya ada berupa buatan dan ada pula berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan yang di sebut juga oleh ibnu bajjah dengan pendorong naluri (al-harr al-garizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah. Jiwa menurut ibnu bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal, daya berpikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat bersatu dengan akal faal yang di atasnya dengan jalan marifah filsafat. AKAL DAN MARIFAH Ibnu bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Dengan perantaraan akal, manusia dapat mengetahui sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagiaan dan masalah ilahiyat. Akal menurut ibnu bajjah terdiri dari dua jenis. Akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis di peroleh hanya berdasarkan pemahaman terhadap sesuatu yang kongkret atau abstrak. Sedangkan akal praktis di peroleh melalui penyelidikan (eksperimen) sehingga menemukan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pengetahuan yang di peroleh akal ada dua jenis pula. Yang dapat di pahami , tetapi tidak dapat di hayati; yang dapat dipahami dan dapat pula dihayati. Berbeda dengan Al-ghazali, menurut ibnu bajjah manusia dapat mencapai puncak marifah dengan akal semata, bukan dengan jalan sufi melalui al-qlb, atau al-zauq. Manusia kata ibnu bajjah, setelah bersih dari sifat kerendahan dan keburukan masyarakat akan dapat bersatu dengan akal aktif dan ketika itulah ia akan memperoleh puncak marifah karena limpahan dari Allah. AKHLAK Ibnu bajjah membagi perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhubungan denganya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya, perbuatanperbuatan manusia. Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi ibnu bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang terantuk dengan batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparnya karena telah melukainya maka ia adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewananya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang menganggunya. Kalau melemparkanya agar batu itu tidak mengganggu orang lain,bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak bersangkut paut dengan pelemparan tersebut,

maka perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan yang terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut ibnu bajjah hanya orang yang bekerja dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubunganya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatanya dan bisa di sebut orang langit. Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaanya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekuranganya, karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukanya kepada naluri.[5] MANUSIA PENYENDIRI Filsafat ibnu bajjah yang paling populer ialah manusia penyendiri (al-insan al-munfarid) dalam menjelaskan manusia penyendiri ini, ibnu bajjah terlebih dahulu memaparkan pengertian tadbir al-mutawahhid. Lafal tadbir, adalah bahasa arab, mengandung pengertian yang banyak, namun pengertian yang diinginkan oleh beliau ialah mengatur perbuatan untuk mencapai tujuan yang di inginkan, dengan kata lain aturan yang sempurna. Dengan demikian, jika tadbir dimaksudkan pengaturan yang baik untuk mencapai tujuan tertentu,maka tadbir tentu hanya khusus bagi manusia. Sebab pengertian itu ,hanya dapat dilakukan dengan perantaraan akal,yang akal hanya terdapat pada manusia. Dan juga perbuatan manusia berdasarkan ikhtiar. Hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk hewan. Lebih lanjut ibnu bajjah menjelaskan tentang tadbir bahwa kata ini mencakup pengertian umum dan khusus .tadbir dalam pengertian umum, seperti disebutkan diatas ,adalah segala bentuk perbuatan manusia. Sementara itu tadbir dalam pengertian khusus adalah pengaturan negara dalam pencapaian tertentu. Yakni kebahagian.pada pihak lain ,filosof pertama spanyol ini menghubungkan istilah tadbir pada Allah swt.maha pengatur, yang disebut al-mutadabbir.ia telah mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa cacat. Pemakaian kata ini kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata. Akan tetapi,pendapat ibnu bajjah ini memang ada benarnya.tadbir yang akan dilaksanakan manusia mestinya mencontoh kepada tadbirnya allah swt.terhadap alam semesta.selain itu, tadbir hanya bisa dilaksanakan degan akal dan ikhtiar.pengertian ini tercakup manusia yang memiliki akal dan allah yang dalam filsafat disebut dengan aql. Adapun yang disebut degan istilah al-mutwahhid ialah manusia penyendiri. Degan kata lain, seorang atau beberapa orang, mereka mengasingkan diri masing-masing secara sendiri-sendiri, tidak berhubungan dengan orang lain , mereka harus mengasingkan diri dari sikap dan perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak baik. Mereka cukup hanya berhubungan dengan ulama atau ilmuwan, apabila para filosof tidak melakukan hal demikian mereka tidak akan mungkin berhubungan dengan akal faal karena pemikiran mereka akan merosot dan tidak pernah mencapai tingkat akal mustafad,yakni akal yang dapat berhubungan dengan akal faal. itulah sebabnya beliau menyamakan manusia penyendiri bagaikan tumbuhan. Jika ia tidak menyendiri dalam menghadapi kondisi seperti itu ia akan layu, artinya pemikiran filsafatnya mengalami kemunduran. Jika ini terjadi filosof di maksud tidak akan pernah mencapai kebahagiaan (saadah). Ibnu bajjah dalam filsafatnya ini dapat di kelompokkan ke dalam filosof yang mengutamakan amal untuk mencapai derajat manusia yang sempurna. Pada pihak lain, filsafat manusia penyendiri ibnu bajjah ini cocok dengan zaman modern ini. Manusia apabila hidup dalam masyarakat yang bergelimang dalam kemaksiatan dan kebobrokan atau dalam masyarakat materialistis harus membatasi pergaulanya dalam masyarakat dan ia hanya

berhubungan dengan masyarakat ketika memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupannya semata.[6] DAFTAR PUSTAKA Mustofa, Filsafat Islam, Jakarta, CV Pustaka Setia: 2004 Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT, Raja Grafindo, 2004 Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991 Fuad, Ahmad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997 [1] Ahmad hanafi. Pengantar filsafat Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,1991) hal. 157

[2] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam.(Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004) hal. 185 [3] A. Mustofa.Filsafat Islam.(Bandung: Cv Pustaka Setia, 2004) hal. 258 [4] Sirajuddin zar, hal, 191 [5] Ibid. hal, 195 [6] Ahmad hanafi, hal, 159 Diposkan oleh SANAD TH KHUSUS di 09:29 DEFINISI PURITANISME DAN MODERNISME PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat perubahan zaman yang semakin berubahnya tradisi yang ada dengan dalam kurun sejarah yang akan berjalan dengan tradisi sebelumnya. Sebagai suatu bukti tradisi yang tejadi pada abad modern yang jauh berbeda dengan generasi umat islam pertama. Perubahan tersebut dapat dilihat dari barang-barang kebutuhan hidup dalam rumah tangga yang dan alat pemenuhan kebutuan yang semakin modern, pola hidup yang disesuaikan dengan zaman modern serta alat-alat pemanuhan kebutuhan lainnya pun serba modern. Dari perubahan-perubahan yang terjadi sesuai perkembangan zaman makan akan terjadi pula perubahan tradisi dan budaya yang mengalir dari suatu wilayah ke belahan bumi lainnya yang berbeda tradisi. Perubahan tradisi tersebut mempengaruhi pola pikir yang akan berimbas kepada pemahaman terhadap ajaran agama. Dengan pemahaman yang berbeda tentu akan berpengaruh pula terhadap pelaksanaan syariat agama terutama syariat luhur yang terkadung dalam Islam. Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut membuat kekhawatira di kalangan fundamentalis muslim terhadap bahaya pengaruh asing yang bukan berasal dari ajaran islam. Seperti budaya Sinkritisme yang terjadi pada masyarakat pribumi Indonesia pada saat datangnya Islam yang notabene berasal dari agama Hindu. Oleh karenannya mendorong sebagian kelompok melakukan pergerakan dalam rangka memurnikan syariat islam yang sesunggunya agar terlepas dari sifat Takhayyul, Bidah, dan Khurafat yang rentan mempengaruhi akidah umat Islam. Tidak hanya persoalan akidah, yang menjadi pesoalan utama adalah masalah

kemunduran umat Islam yang semakin tertinggal daripada Barat. Maka lakukanlah usaha-usaha oleh pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran yang akan dibawa kepada kemajuan seperti yang terjadi pada masa kejayaan umat islam. PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM

1. Pengertian dan Difinisi Kata modern menurut Harun Nasution, dalam khazanah pemikiran Barat mangandung makna pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan olah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Perubahan dilakukan adalah untuk menyesuaikan keadaan masyarakat dengan perkembangan zaman oleh suatu bangsa dalam rangka mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Perubahan ini mensyaratkan agar memberikan solusi nyata dengan mendatangkan paradigma baru dalam suatu masyarakat untuk mewujudkan suatu kebangkitan bagi umat. Dikalangan masyarakat pemikir muslim moderni lebih dikenal dengan istilah Tajdid. Dalam pengertian garis besar makna kata puritanisme secara etimologis berasal dari bahasa Yunani pure yang berarti murni.

Sedangkan Puritanisme menurut istilah memiliki dua dimensi artian yaitu di lapangan pemikiran dan kepercayaan. Puritanisme di lapangan pemikiran. Misalnya dilapangan ilmu pengetahuan berupa tidak mau menggunakan kata atau ejaan yang mirip dengan perkataan atau ejaan bangsa asing. Dalam lapangan kepercayaan, merupakaan sikap untuk hanya berpegang kepada ajaran yang termuat dalam suatu kitab suci sesuai dengan arti kata. Pengertian yang tidak cocok dengan arti kata dianggap berbahaya atau salah. Disamping sikap mengenai makna ajaran agama pada beberapa golongan yang mengikuti cara siap hidup paling sederhana sesuai dengan keperluan kehidupan minimal tanpa mengganggu kesehatan (asketisme). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa puritanisme dapat ditarik suatu benang merah yaitu pemurnian. Dalam islam lebih hidmat jika memakai istilah sufi. Pemurnian ditujukan untuk mengembalikan umat islam kepada ajaran yang murni berasal dari pembawanya Nabi Muhammad saw yaitu al-Quran dan hadis agar bersih dari perilaku takhayyul, bidah dan khurafat yang dapat merusak ajaran dan aqidah umat islam. Dari pengertian diatas disimpulkan bahwa dalam bahasan pemurnian ini adalah kembali kepada ajaran islam yang murni yakni kembali kepada ajaran yang telah dibawa oleh Muhammad saw dan para sahabatnya yang berpedoman kepada sumber hukum islam yaitu al-Quran dan Hadis yang shahih untuk menyesuaikan antara perubahan zaman yang semakin aktual dengan ajaran islam yang murni untuk dapat dijalankan secara sinergis. 2. Antara Puritanisme/Pemurnian dan Modernisasi/Tajdid dalam Islam. Dari pengertian antara puritanisme dan modernisme diatas dapat dilihat bahwa kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Jika puritanisme mengandung arti memurnikan pemikiran atau ajaran dari segala aspek dari luar yang mencampuri atau mempengaruhi suatu pemikiran atau ajaran tertentu yang dapat menodai kemurnian ataupun ajaran tersebut. Sedangkan modernisme mengandung pengertian gerakan membuat suatu perubahan paradigma berpikir dalam masyaraklat suatu bangsa ke arah perubahan sesuai dengan perkembangan zaman yang sarat dengan perubahan di bidang

ilmu, teknologi, seni, politik, budaya, dan sebagainya. Perubahan tersebut secara lansgung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan beragama dan berimbas kepada pemahaman terhadap akidah. Maka dengan adanya pergerakan modernisasi pemikiran islam diharapkan dapat mewujudkan kesesuaian antara kemajuan zaman dan agama. Jika dilihat ke belakang, dimulai setelah selama dua setengah abad sepeninggal Nabi Muhammad saw dapat dikatakan secara luas ditandai dengan ketegangan antara Islam ortodoks dengan Sufisme. Ortodoksi Sunni mengalami kristalisasi setelah bergulat dengan aliran Mutazilah (rasionalisme dalam islam), aliran Syiah dan kelompokkelompok Khawarij. Pergulatan itu sesugguhnya masih terus berlangsung sampai abad ke-13 H dan kekuatan besar yang dihadapi Sunni adalah sufisme yang pada tahap lanjutan mengalami degenerasi. Disamping itu merajalelanya bidah di kalangan umat telah membuat sebagian umat buta terhadap ajaran-ajaran orisinil, yakni ajaran-ajaran yang tertera dalam al-Quran dan sunnah yang shahih. Bagi banyak pengamat, sejarah silam di masa modern pada intinya adalah sejarah dampak Barat terhadap masyarakat Islam, yang khusunya sejak abad ke-13 H/19 M. mereka memandan Islam sebagai suatu massa yang semati-matinya menerimapukulanpukulan destruktif atau pengaru-pengaru yang formatif dari Barat. Dari penggalan sejarah yang dikemukakan, ternyata yang menjadi faktor kemunduran itu adalah perhelatan didalam tubuh umat islam itu sendiri yang membuat melemahnya muwahhadah umat. Dengan melihat kejadian tersebut, tergugahlah hati Ibnu Taimiyah untuk melakukan perubahan islam pada peralihan abad 13 dan 14 H. Sehingga dengan usahanya Ibnu Taimiyah disebut sebagai bapak tajdid atau reformis Islam. Ia melakukan kritik tajam tidak saja kearah sufisme dan para filosof yang mendewakan rasionalisme. Kritik Ibnu Taimiyah sendiri selalu menuju kearah seruan agar umat islam kembali kepada al-Quran dan Sunnah serta memahami kembali kedua sumber hukum Islam dengan landasan ijtihad. Namun jika dianalisa lebih global, penulis tertarik kepada pendapat bahwa modernisme bukanlah merupakan ataupun kekalahan antara dua orientasi kultural: antara Timur dan Barat, atau antara Islam dengan non Islam. Namun yang sesungguhnya adalah antara dua zaman yang berbeda, misalnya abad Agraria dan abad Teknis. Atau keunggulan zaman sejarah terhadap zaman pra-sejarah dengan dimensi yang jauh lebih besar dan intensitas yang jauh lebih hebat. Tetapi nampaknya segi kekurangan paling serius daripada abad modern ini ialah dalam hal yang menyangkut diri kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang keruhanian dan keagamaan. Hal inilah yang diantisipasi sebelumnya oleh Ibnu Taimiyah dalam menghadapi modernisasi. Maka dengan adanya dari waktu ke waktu usaha pembaharuan, atau penyegaran, atau pemurnian pemahaman umat kepada agamanya adalah sistem yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah bagi umat islam sebagai suatu yang telah diisyaratkan oleh Nabi. Maka dari sudut tinjauan diatas maka wajar saja nantinya pada abad ke 18 Jazirah Arab menyaksiakan usaha pembaharuan yang militan dilancarkan oleh Syekh Muhammad bin Abd al-Wahhab (1115-1206 H/1703-1792 M), yang melahirkan apa yang dinamakan gerakan Wahabi. Selanjutnya di belahan bumi lainnya kita menyaksikan beberapa pergerakan lainnya pun dilakukan oleh para kaum modernis dengan melihat alasan yang sama walaupun situasi yang berbeda dan lapangan pergerakan yang berbeda-beda pula sesuai dengan corak masing-masing. Seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, sang reformis Muhammad Rasyid Ridha, sayyid Ahmad Khan, Mustafa Kemal Attaturk dan banyak lagi para pembaharu lainnya yang berjuang untuk perubahan mengejar ketertinggalan dari

bangsa-bangsa lain yang telah jauh lebih maju. 3. Kesimpulan Modernisme mengandung makna pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adap istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan olah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Puritanisme dalam islam mempunyai pengertian usaha untuk mengembalikan umat islam kepada ajaran yang murni berasal dari pembawanya yakni Nabi Muhammad saw. yaitu al-Quran dan hadis agar bersih dari perilaku takhayyul, bidah dan khurafat yang dapat merusak ajaran dan aqidah umat islam. Pengertian antara puritanisme dan modernisme dapat dilihat bahwa kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Jika puritanisme mengandung arti memurnikan pemikiran atau ajaran dari segala aspek dari luar yang mencampuri atau mempengaruhi suatu pemikiran atau ajaran tertentu yang dapat menodai kemurnian islam. Sedangkan modernisme mengandung pengertian gerakan membuat suatu perubahan paradigma berpikir dalam umat islam yang lebih aktual. Maka dengan adanya pergerakan modernisasi diharapkan dapat mewujudkan kesesuaian antara kemajuan zaman dan agama. Tujuan keduanya adalah untuk menyesuaikan antara perubahan zaman yang semakin aktual dengan ajaran islam yang murni. Jika menggunakan analisa lebih global, modernisasi bukanlah merupakan ataupun kekalahan antara dua orientasi kultural: antara Timur dan Barat, atau antara Islam dengan non Islam. Namun yang sesungguhnya adalah perubahan antara dua zaman yang berbeda, misalnya abad Agraria dan abad Teknis, zaman masyarakat pedesaan menuju masyarakat perkotaan, dan bahkan antara zama pra-sejarah kepada zaman sejarah. Jadi substansinya adalah perubahan-perubahan global yang terjadi pada suatu masa yang berangkat dari ketertinggalan menuju perubahan yang lebih maju. Tetapi nampaknya segi kekurangan paling serius daripada abad modern ini ialah dalam hal yang menyangkut diri kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang keruhanian dan keagamaan. Hal inilah yang diantisipasi oleh kaum modernis muslim dalam menghadapi masalah keumatan yang terus diperjuangkan dari masa ke masa. Perhelatan ini tetap akan terjadi dan mengalami benturan antar kultur di belahan bumi manapun hal itu terjadi.

DAFTAR PUSTAKA Fazlur Rahman. Islam. (New York: Ancho Book) Terjemahan. 1979 Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang) 1986 Hasan Sadily DKK. Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru) 1984 John J. Donohue, John I. Esposito. Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-Masalah. (Jakarta : Cinta Niaga Rajawali) Terj. 1993 Pustaka Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Khazanah Intelektual Islam/Editor: Nurkholis Madjid (Jakarta: Bulan Bintang) 1994 Ditulis oleh ading hawalid di 02:04 0 komentar

IBNU BAJJAH TENTANG PERBUATAN MANUSIA, FILOSOF DAN NABI Perbuatan Manusia dan Etikanya Setiap perbuatan yang dilakukan tentunya adalah untuk tujuan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di bumi. Namun perbuatan manusi yang didasarkan pada kebutuhan hidup yang bercampur dengan keinginan dan hawa nafsu kadang kala membuat ketidaksesuaian dan kesenjangan dalam komunitas maupun lingkungan. Ketidaksesuaian perilaku itu membuat terklasifikasinya perbuatan manusia dalam pandangan para filosof. Menurut Mahmud Shaghir dalam Ibnu Bajjah yang dikutip oleh Zaharuddin Zar, perbuatan manusia terbagi menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu perbuatan manusia adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Zaharuddin Zar mencontohkan, perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun jika perbuatan makan tersebut dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan hidup, perbuatan itu jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan bahwa tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan yang bermotifkan rasio atau dengan akal (rasio) maka dinamakan perbuatan manusiawi. Kalau didorong oleh nafsu hewani berarti perbuatan hewan, tetapi kalau perbuatannya itu didasarkan akal budi, maka hal itu adalah perbuatan manusia. Perbuatan manusia adakalanya didorong oleh naluri yang juga tidak berbeda dengan yang terdapat pada hewan. Selain itu, manusia memiliki kelebihan dengan adanya naluri insani yang tidak terdapat pada hewan. Dengan ini, manusia dapat melakukan aktivitas berdasarkan pertimbangan akal, bebas dari rangsangan naluri hewani. Manusia apabila didasarkan pada pemuasan akal (rasio) semata, perbuatan ini mirip dengan perbuatan Ilahy daripada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan jiwa telah dapat menekan keinginan hewani yang selalu menentang akal. Pada dasarnya manusia bebas melakukan perbuatannya sesuai dengan iradah yang diberikan Tuhan. Namun dengan pertimbangan akal dan wahyu menuntun manusia untuk berpijak pada adat-adat kebenaran yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran sesuai menurut pertimbangan akal dan nurani. Secara ringkas Ibnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga tingkatan sebagai berikut.(Al-Iraqy: 62) 1. Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan. 2. Tujuan rohaniah khusus, dilakukan atas dasar kepuasan ruhaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyah dan aqliyah. 3. Tujua ruhaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurna dan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah. Keistimewaan manusia dari makhluk lain adalah daya pikir yang manjadi sumber perbuatannya. Perbuatan dan tingkah laku yang didasarkan atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah. Kalau perbuatan manusia hanya didasarkan atas pikiran demi kebenaran, maka perbutannya itu lebih merupakan perbuatan Ilahi dari perbuatan manusiawi. Sehingga kalau akal sudah memutuskan sesuatu, tidak dapat ditentang oleh jiwa hewani. Pada dasarnya jiwa hewani itu tunduk pada akal, keculi pada manusia yang menyeleweng dari sifat kemanusiaanya, sehingga kelakuannya menyerupai binatang.

Untuk menundukkkan segi hewani pada dirinya guna mencapai tujuan yang lebih tinggi, ia harus memulai dengan melaksanakan segi-segi kemanusiaannya. Kemurnian akal yang selau diikuti dengan realisasi dalam bentuk perbuatan dan penuh pertimbangan akal membawa manusia jauh dari sifat hewani menuju sifa Ilahy. Namun jika perbuatan yang hanya mengikuti keinginan hawa nafsu maka inilah yang dikatakan perbuatan hewani. Jika karakteristik utama manusia dan tindakannya yang patut adalah akal budi, maka jelaslah bahwa manusia merupakan salah satu bentuk intelektual atau spiritual yang merupakan bagian tertinggi dari skala besar wujud. Oleh karena itu Ibnu Bajjah menentukan posisi manusia sepanjang skala bentuk-bentuk spiritual dalam hierarki universal dari wujud yang telah dipopulerkan oleh kaum Neo-Platonis Muslim. Jika nalar manusia yang selaras dengan pertimbangan adalah sensi manusia, bukannya dorongan-dorongan impulsif, manusia sebenarnya adalah makhluk dan berbentuk (form) spiritual yang banyak diperbincangkan oleh kaum noeplatonis dan mistis. Bagi Ibnu Bajjah, ada empat tipe makhluk spiritual, yakni: 1. Bentuk-bentuk dari benda langit (forms of the heavenly bodies) yang sama sekali bersifat immaterial. Oleh Ibnu Bajjah, tipe ini disepadankan dengan akal-akal terpisah (sparate intelligences) yang dalam kosmoligi Aristotelian dan islam diyakini sebagai penggerak benda-benda langit itu sendiri; 2. Akal-akal capaian (mustafad) atau akal aktif yang juga bersifat immaterial; 3. Bentuk-bentuk immaterial yang diabstraksikan dari materi; 4. Bentuk-bentuk atau refresentasi-refresentasi yang tersimpan dalam tiga daya jiwa ; sensus communis, imajinasi, dan memori. Seperti bentuk-bentuk material, bentuk-bentuk ini dinaikkan ke tingkat spiritual melalui fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah pemikiran rasional. Kategori yang pertama bersifat sama sekali immaterial, sementara yang kedua, sekalipun pada hakikatnya immaterial, tetapi mempunyai hubungan tertentu dengan materi. Karena intelek itu merupakan maqulat material sesuai dengan kemampuan pencapaiannya, atau menjadikan mereka sesuai dengan kapasitas aktifnya. Yang ketiga mempunyai suatu hubungan tertentu dengan materi, sejauh bentuk-bentuk seperti itu dipisahkan dari substarata materi mereka. Sementara yang keempat berada di tengahtengah antara bentuk-bentuk material dan spiritual. Teori Etika Perbuatan manusia, menurut Ibnu Bajjah, dapat dibagi menjadi perbuatan yang sukarela (voluntary) dan tidak involuntary. Yang disebut belakangan ialah tindakan yang terjadi akibat impuls yang ada pada segenap pada manusia dan binatang, sedangkan yang pertama ialah tindakan yang terjadi akibat pertimbangan akal dan pilihan bebas yang hanya ada pada manusia. Di negara-negara korup, semua tindakan bersifat involunter dan impulsive; tidak berpijak pada pertimbangan akal sehat, tetapi pada hasrat memenuhi hajat hidup (seperti yang disebutkan Al-Farabi tentang kota darurat) atau hasrat memuaskan hawa nafsu (pada kota tercela) atau hasrat penaklukan (pada kota tiran). Sifat akali yang berasal dari ruhani yang menggerakkan manusia pada kesusilaan membuat manusia mengenal akhlak. Sifat akali manusia menjadi pangkal ilmu mereka adalah sifat kesempurnaan yang mutlak yang dapat mengatasi sifat-sifat hewani pada manusia. Antara lain sifat manusia yang dianalogikan seperti sifat berani dari singa, sifat sombong dari merak, sifat malu dan sebagainya. Ibnu bajjah membagi pertumbuhan-pertumbuhan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhibungan dengannya, baik dekat maupun jauh. Bagian kedua ialah pebuatan yang timbul dari pemikiran yang harus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya :

perbuatan-perbuatan manusia. Pangkal perbedaan kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri malainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang yang terantuk (tersandung) batu kemudian luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparkannya karena batu itu telah melukianya, maka ini adalah perbuatan yang hewani yang didorong oleh naluri hewani yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang telah mengganggunya. Kalau melemparkan batu itu agar tidak mengganggu orang lain bukan karena kepentingan dirinya, maka perbuatan itu adalah pekerjan manusia, dan pekerjaan itu bisa dinilai dalam lapangan akhlak. Karena menurut Ibnu Bajjah hanya perbuatan yang dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, dan itu bisa disebut dengan perbuatan manusia. Setiap orang yang akan menundukan segi hewani pada dirinya, maka tidak lain ia harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dengan demikian segi hewani pada dirinya dapat ditundukkan kepada ketinggian segi kemanusiaan dan seseorang bisa menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan itu timbul disebabkan ketundukannya pada naluri. Filosof dan Nabi Filosof barat yang pertama kali mempelajari secara mendalam pemikiran Al-Farabi dan Aristoteles adalah Ibnu Bajjah. Karangan-karangan Ibnu Bajjah dapat menuntun Ibnu Rusyd untuk mengenal Al-Farabi dan Aristotelas. Ibnu Bajjah menentang pandangan Al-Gazali mengenai filsafat, akan tetapi banyak mengomentari filsafat Aristoteles. Ibnu Bajjah berhasil memberi corak baru filsafat Islam di barat terutama mengenai teori marifat dalam efitologi. Dalam hal ini pandangannya berbeda sama sekali dengan Al-Gazali. Menurut Al-Gazali, ilham merupakan sumber pengetahuan yang paling penting dan paling dipercaya. Setelah datang Ibnu Bajjah maka ia menolak teori tersebut dan menetapkan bahwa seorang dapat mencapai puncak marifat dan melebur diri pada akalfaal, jika ia telah dapat terlepaskan dari keburukuan-keburukan masyarakat, dan menyendiri serta dapat memakai kekuatan fikirannya untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya, seperti yang kita dapati pada risalah Tadbir Al-Mutawahhid. Ibnu Bajjah menentang pikiran Al-Gazali yang menetapkan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya. Semua pengetahuan manusia sia-sia belaka sebab itu tidak bisa mengantarkan manusia kepada suatu kebenaran. Namun Ibnu Bajjah mengatakan bahwa masyarakat manusia itulah yang mengalahkan perorangan dan melumpuhkan kemampuan-kemampuan berpikirnya, serta menghalang-halanginya dari kesempurnaan, melalui keburukan-keburukannya yang membanjir dan keinginan-keinginan yang deras. Jadi seseorang dapat mencapai tingkat kemuliaan setinggi-tingginya melalui pemikiran dan menghasilkan marifat yang tidak akan terlambat, apabila akal pikiran dapat menguasai perbuatan-perbuatan seseorang yang dapat mengabdikan diri untuk memperolehnya. Kesimpulan Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk keinginan

hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi. Manusia, menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatannya dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatannya ini mirip dengan perbuatan Ilahy dari pada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan karena jiwa telah dapat menekan keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya. Perbuatan seperti itulah yang dikehendaki oleh Ibnu Bajjah bagi warga masyarakat yang hidup dalam negara utama. Adapun tujuan manusia hidup di dunia ini, adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Untuk itu, diperlukan usaha yang bersumber pada kemauan bebas dan pertimbangan Akal dan jauh dari nafsu hewani. Lebih jauh Ibnu Bajjah mengelompokkan perbuatan manusia kepada Perbuatan hewani dan perbuatan manusiawi. Watak sejati manusia pada hakikatnya bersifat Intelektual, yang merupakan karakteristik semua bentuk spiritual. Dan hanya manusia spiritual inilah yang benar-benar dapat merasakan kebahagiaan. Ibnu Bajjah menyatakan bahwa kemajuan intelektual bukanlah sematamata atas usaha manusia, tetapi disempurnakan oleh Tuhan dengan memasukkan cahaya ke dalam hati.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Hanafi. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan-bintang. 1991. Hasyimsyah Nasiution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. Madjid Fakhry. Ibnu Bajjah, Opera Metaphysica. Terjemahan. Beirut 1968. Muslim Ishaq. Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), Surabaya: Bina Ilmu. 1980. Sudarsono. Filsafat islam. Jakarta: Rineka Jaya. 2004. Zaharuddin Zar. Filsafat Islam. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2004. hlm. Segala kritik dan saran serta masukan yang bermafaat sangat dibutuhkan dalam tulisan ini dalam menambah khazanah pendidikan penulis. * Penulis adalah Mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang.

Filsafat Islam di Dunia Barat menurut Ibnu Bajjah


BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Filsafat islam di dunia barat berbeda dengan filsafat islam di dunia timur. Dimana dalam makalah ini akan membahas mengenai filsafat islam oleh tokoh islam di dunia Barat. Tokoh ini adalah Ibnu Bajjah, seorang tokoh yang lahir di Saragossa, Andalus pada tahun 475 H (1082 M), berasal dari keluarga al-Tujib karena itu ia dikenal dengan sebagai al-Tujibi yang bekerja sebagai pedagang emas (Bajjah=Emas). Tetapi, di Barat ia lebih dikenal dengan nama Avempace. Secara mendetail, perjalanan hidupnya sejak kecil sampai dewasa kurang diketahui. Akan tetapi, filsafatnya akan dibahas dalam makalah kami ini. B.Rumusan Masalah Dari latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.Bagaimana latar belakang pemikiran filsafat Ibnu Bajjah sebagai seorang filsuf dan sufi sekaligus? 2.Bagaimana pokok-pokok pemikiran filsafat Ibnu Bajjah terutama konsepnya tentang Tadbir Al-

Mutawahhid? BAB II PEMBAHASAN A.Riwayat Hidup Ibnu Bajjah Ibnu Bajjah adalah filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalus. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Yahya ibnu Al-Shaigh, yang lebih terkenal dengan nama ibnu Bajjah. Orang barat menyebutnya Avenpace. Ia dilahirkan di Saragossa (Spanyol) pada akhir abad ke-5 H/abad ke-11 M. Riwayat hidupnya secara rinci tidak tidak banyaqkm diketahui orang. Begitu juga mengenai pendidikan yng ditempuhnya dan guru yang mengasuhnya tidak terdapat informasi yang jelas.1 Selain sebagai seorang filsuf, Ibnu Bajjah dikenak sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu Saragossa berada di bawah kekuasaan Abu Bakar Ibnu Ibrahim al-Shahrawi dari daulah alMurabithun, Ibnu Bajjah dipercayakan sebagai Wazir. Tetapi pada tahun 512 H Saragossa jatuh ke tangan raja Alfonso I dari Arogan dan Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Sevilla. Di kota ini ia bekerja sebagai dokter, kemudian ia pindah ke Granada, dan dari sana ia pindah ke Afrika Utara, pusat dinasti Murabithun. Malang bagi Ibnu Bajjah setibanya di kota Syatibah ia ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasifin yang menuduhnya sebagai murtad dan pembawa bidah, karena pikiran-pikiran filsafatnya yang asing bagi masyarakat Islam di Maghribi yang sangat kental dengan paham sunni ortodoks. Atas jasa Ibnu Rusyd, yang pernah menjadi muridnya, Ibnu Bajjah dilepaskan. Ia melanjutkan karirnya sebagai ilmuwan di bawah perlindungan penguasa Murabithun. Akhirnya, ia meninggal pada 533 H (1138 M) di Fez, dan dimakamkan disamping makam ibn Arabi. Menurut satu riwayat ia meninggal karena diracuni oleh seorang dokter bernama Abu al-Ala ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.2 B.Karya Tulis Ibnu Bajjah Menurut Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah adalah seorang filosof muslim yang paling cemerlang otaknya, paling tepat anallisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun, amat disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini disebabkan ambisi keduniaannya yang begitu besar dan kematiannya yang begitu cepat. Karya tulis Ibnu Bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat ialah sebagai berikut: 1.Kitab Tadbir al-Mutawahhid, ini adalah kitab yang paling popular dan terpenting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini diberisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya sebagai Insan Muwahhid (manusia penyendiri). 2.Risalat al-Wada, risalah ini membahas penggerak pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran. 3.Rilasat al-Ittishal,risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal faal. 4.Kitab al-Nafsh, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.3 5.Tardiyyah, berisi tentang syair pujian 6.Risalah-risalh Ibnu Bajjah yang berisi tentang penjelasan-penjelasan atas risalah-risalah al-Faraby dalam masalah logika. 7.Majalah al-Majama al-Ilm al-Arabi.4 C.Filsafat Ibnu Bajjah Filsafat Ibnu Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari kawasan di timur, seperti alFaraby dan Ibnu Sina. Hal ini disebabkan kawasan islam di timur lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat dari kwasan islam di barat (Andalus). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan menelusuri pemikiran filsafatnya. 1.Metafisika (Ketuhanan) Menurut Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi menjadi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yangakhir rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak, dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Gerak jisim mustahil timbul dari substansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas), yang oleh Ibnu Bajjah disebut dengan akal. Kesimpulannya, gerakan alam ini jisim yang terbatas digerakkan oleh akal (bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak ialah akal, ia menggerakkan akal dan ia sendiri tidak bergerak. Akal inilah yang disebut dengan Allah (aqlu aqil dan maqul); sebagaimana

yang dikemukakan oleh al-Faraby dan Ibnu Sina sebelumnya. 2.Materi dan Bentuk Menurut pandangan Ibnu Bajjah, materi (al-Hayula) tidak mungkin bereksistensi tanpa bentuk (alShurat). Sementara itu, bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya tanpa materi. Jika tidak, secara pasti kita tidak mungkin dapat menggambarkan adanya modifikasi (perubahan-perubahan) pada benda. Perubahan-perubahan tersebut adalah suatu kemungkinan dan inilah yang dimaksud dengan pengertian bentuk materi. Pandangan Ibnu Bajjah ini diwarnai oleh pemikiran Aristoteles dan Plato. Menurut Aristoteles, materi adalah sesuatu yang menerima bentuk yang bersifat potensialitas dan dapat berubah sesuai bentuk. Sementara menurut pandangan Plato, bentuk adalah nyata dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk bereksistensi. Bentuk, menurut Plato, terdapat diluar benda. Bentuk yang dimaksud Ibnu Bajjah mencakup arti jiwa, daya, makna, dan konsep. Bentuk hannya dapat ditangkap dengan akal dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Bentuk pertama, menurut Ibnu Bajjah, merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi, yang dikatakannya sebagai tidak mempunyai bentuk. 3.Jiwa Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah diantaranya ada berupa buatan dan ada pula yang berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri (al-Harr al-gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah. Jiwa, menurut Ibnu Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akherat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal, daya berfikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat bersatu dengan akal faal yang diatasnya dengan jalan marifah filsafat. 4.Akal dan Marifah Ibnu Bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Dengan perantaraan akal, manusia dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagiaan dan masalah Ilahiyat. Oleh karena itu pengetahuan yang diperoleh akal ada dua jenis pula: yang dapat tetapi tidak dapat dihayati, yang dapat dipahami dan dapat pula dihayati. Berbeda dengan Al-Ghazali, menurut Ibnu Bajjah manusia dapat mencapai puncak marifah dengan akal semata bukan dengan jalan sufi melalui al-qalb. Manusia kata Ibnu bajjah, setelah bersih dari sifat kerendahan dan keburuka masyarakat akan dapat bersatu dengan akal aktif dan ketika itulah ia akan memperoleh puncak marifah karena limpahan dari Allah. 5.Akhlak Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginana hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi. Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan ajaran islam, yang juga mendasarkan perbuatan pada motivasi pelakunya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan perbuatannya atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan. Manusia, menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatannya dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatannya ini mirip dengan perbuatan Ilahy dari pada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan karena jiwa telah dapat menekan keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya. Perbuatan seperti itulah yang dikehendaki oleh Ibnu Bajjah bagi warga masyarakat yang hidup dalam negara utama. 6.Politik Pandangan politik Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al-Farabi. Sebagaimana Al-Farabi,

dalam buku Ara Ahl al-Madinat al-Fadhilat, ia (Ibnu Bajjah) juga memebagi negara menjadi negara utama (al-Madinat al-Fadhilat) atau sempurna dan negara yang tidak sempurna, seperti negara jahilah, fasiqah, dan lainnya. Demikian juga tentang hal-hal yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugasnya selain pengatur negara, juga pengajar dan pendidik. Pendapat Ibnu Bajjh sejalan dengan Al-Farabi. Perbedaanyya hanya terletak pada penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat). Warga negara utama, menurut Ibnu Bajjah mereka tidak lagimemerlukan dokter dan hakim. Sebab mereka hidup dalam keadaan puas terhadap segala rezeki yang diberikan Allah, yang dalam istilah agama disebut dengan al-qanaah. Mereka tidak mau memakan makanan yang akan merusak kesehatan. Mereka juga hidup saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menghormati. Oleh karena itu, tidaklah akan ditemukan perselisihan antara mereka. Mereka seluruhnya mengerti undangundang negara dan mereka tidak mau melanggarnya. Berbeda dengan AL-Farabi, dalam konsep politiknya Ibnu Bajjah menambahkan adanya diantara masyarakat yang mutawahhid, yaitu uzlah falsafi yang berbeda dengan uzlah tasawuf Al-Ghazali. 7.Tasawuf (manusia Penyendiri) Renan berpendapat bahwa Ibnu Bajjah memiliki kecenderungan kepada tasawuf, tapi tentu salah ketika dia menganggap bahwa Ibnu Bajjah menyerang al-Ghozali karena ia menandaskan intuisi dan tasawuf. Sesungguhnya, Ibnu Bajjah mengagumi al-Ghozali dan menyatakan bahwa metode alGhozali memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan bahwa metode ini didasarkan pada ajaran-ajaran nabi suci. Sang sufi menerima cahaya di dalam hatinya. Cahaya di dalam hatinya ini merupakan suatu spekulasi, yang lewat spekulasi itu hati melihat hal-hal yang dapat dipahami seperti orang melihat obyek yang tertimpa sinar matahari lewat penglihatan mata, dan lewat pemahaman hal-hal yang dapat dipahami ini dia melihat semua yang melalui implikasi mendahului mereka atau menggantikan mereka. D.Tadbir al-Mutawahhid Ibnu Bajjah menjelaskan tentang tadbir, bahwa kata ini mencakup pengertian umum dan khusus. Tadbir dalam pengertian umum, seperti disebutkan diatas, adalah segala bentuk perbuatan manusia. Sementara itu, tadbir dalam pengertian khusus adalah pengaturan negara dalam mencapai tujuan tertentu, yakni kebahagiaa. Pada pihak lain, filosof pertama Spanyol ini menghubungkan istilah tadbir kepada Allah SWT. Karena Allah SWT Maha Pengtur, yang disebut al-Mutadabbir. Ia telah mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa cacat. Pemakaian kata ini kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata. Akan tetapi, pendapat Ibnu Bajjah ini memang ada benarnya. Tadbir yang akan dilaksanakan manusia mestinya mencontoh tadbir Allah SWT. terhadap alam semesta. Selain itu, tadbir hanya dapat dilaksanakan berdasarkan akal dan ikhtiar. Pengertian ini tercakup manusia memilki akal dan Allah yang dalam filsafat disebut dengan akal. Adapun yang dimaksud dengan istilah al-Mutawahhid ialah manusia penyendiri. Dengan kata lain, seseorang atau beberapa orang, mereka mengasingkan diri masing-masing secara sendiri-sendiri, tidak berhubungan

Anda mungkin juga menyukai