Ibnu Sab’in atau nama lengkapnya adalah Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad
bin Nashr. Beliau berasal dari Andalusia, Spanyol. Ibnu Sab’i di juluki “Quthb Ad-Din”
atau dikenal pula dengan nama Abu Muhammad. Ibnu Sab’in lahir tahun 614H / 1217M
di Murcia Spanyol.1 Ibnu Sab’in belajar agama dari Madzhab Maliki, ia menuliskan karya
sebanyak 41 judul. Namun beberapa karyanya telah hilang, sebagian ada yang disunting
Abdurrahman Badawi dengan judul “Ras’il Ibnu Sab’in” (1965M). Dalam karyanya Ibnu
Sab’in banyak menguraikan tasawufnya baik secara teoritis maupun praktis.
Ibnu Sab’in juga mempelajari filsafat Yunani, Persia, India dan Hermetisisme.
Selain aliran filsafat barat, ia juga mempelajari karya filsuf Islam dari bagian barat dan
timur, bagian timur Ibnu Sina, Al-Farabi. Sementara bagian barat seperti, Ibnu Bajah,
Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd. Dalam ilmu teologi Ibnu Sab’in menekuni aliran
Asy’ariyyah, ia juga ahli dalam ilmu fiqih dan aliran-aliran di dalamnya.
Paham tasawuf yang digagas Ibnu Sab’in adalah paham taawuf falsafi, yang
dikenal dengan kesatuan mutlak. Esensi paham yang dibawanya yaitu, wujud adalah
wujud Allah semata. Dengan demikian, wujud-wujud yang lain hakikatnya tidak lebih
dari wujud yang satu, wujud dalam kenyataannya hanyalah satu persoalan yang tetap.
Paham seperti itu biasa disebut kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak menurut terminologi
Ibnu Sab’in, hampir tidak mungkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri, hal ini karena
para pengikutnya berlebihan dalam memutlakkannya selain itu gagasan tersebut juga
menolak atribut-atribut, tambahan dan nama.
Ibnu Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama, wujud Allah menurut
beliau adalah segala yang ada di masa lalu, masa kini dan masa depan. Ibnu Sab’in juga
menyerupakan wujud dengan lingkaran, porosnya adalah wujud yang mutlak (luas),
sedangkan wujud yang nisbi (sempit) berada di dalam lingkaran. Kedua wujud tersebut
hakikatnya satu, wujud hanya ada satu, tidak dua apalagi banyak.
Dasar dari paham Ibnu Sab’in adalah adalah kesatuan mutlak, pencapaian
kesatuan mutlak menurut Ibnu Sab’in adalah individu paling sempurna, baik dimiliki
seorang faqih, filsuf atau sufi. Paham kesatuan mutlaknya ia masukkan dalam berbagai
bidang bahasan filosofis. Ibnu Sab’in juga berpendapat, jiwa dan akal budi berasal dari
wujud yang satu begitu juga dengan moral. Ibnu Sab’in berpendapat, seseorang yang
mencapai kesatuan mutlak adalah kebahagiaan, kebajikan dan kedermawanan itu sendiri.
Latihan-latihan rohaniah praktis dapat mengantar kepada moral luhur, tunduk dibawah
1
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 159.
konsepsinya wujud. Misalnya, dzikir seorang pencapai kesatuan mutlak, si pedzikir
dalam dzikir ini adalah yang berdzikir. Sementara itu tingkatan dan keadaan, yang
merupakan buah dari dzikir, juga tidak keluar dari lingkup kesatuan mutlak tersebut.
Begitu juga dengan hidup menyendiri, berpuasa, berdoa, dan mendengar, semua itu
mengantar seseorang pada kesatuan mutlak.
Ibnu Masarrah
Ibnu Masarah memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Masarrah
(269-319). Ia seorang sufi yang sekaligus filsuf dari Andalusia, Spanyol. Ibnu Masarrah
memiliki kecenderungan yang besar terhadap filsafat, hal itu mungkin terjadi karena
bersamaan dengan masa Ibnu Masarrah, di Andalusia telah muncul tasawuf falsafi. Ibnu
Masarrah lebih sering disebut sebagai filsuf ketimbang sufi, namun pandangan-
pandangan kefilsafatannya dikemas dengan kezahidannya.
Ibnu Masarrah juga menulis beberapa kitab, seperti Tauhid al-Muqinin, al-Huruf
dan al-Tabsirat. Dalam bukunya “Risalah al-‘Itibar” Ibnu Masarrah menjelaskan
2
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami baina Ad-Din wa Al-Falsafah, hlm. 123-124.
3
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawufi, hlm. 163.
bagaimana untuk mencapai kebenaran yang hakiki, melalui buku tersebut Ibnu Masarrah
berupaya meneruskan apa yang dilakukan Al-Kindi yaitu menyelaraskan antara filsafat
dengan agama. Hal tersebut tentu mendapat banyak kecaman, dan dianggap sebagai
pembuad bid’ah, Ibnu Masarrah sependapat dengan Al-Kindi bahwa filsafat tidak
bertentangan dengan agama.
Dalam mencari kebenaran yang hakiki, menurut Ibnu Masarrah terdapat dua cara,
yaitu:
1. Wahyu (Agama)
2. Akal