AL-MAUDUDI
Disusun Oleh:
Moch. Wasil
22201022004
Dosen Pengampu:
Dr. Nurul Hak, S.Ag., M.Hum.
NIP: 19700117 199903 1 001
1
BAB I
PENDAHUAN
A. Latar Belakang
Nama Abu al-A’la al-Maududi di dunia dakwah dan pergerakan Islam, bukan
asing lagi. Hampir seluruh tokoh pergerakan Islam internasional, langsung atau tidak
langsung, merujuk ke pemikiran yang dibangun Al-Maududi dalam dakwahnya. Di
Indonesia, lebih khusus, pikiran Al-Maududi dirujuk oleh para aktifis dakwah
kampus, khususnya dalam kurun abad ke dua puluh. Dalam setiap diskusi umum dan
terbatas, ketika aktifis mendiskusikan masalah keumatan, nama al-Maududi hampir
pasti disebut. Penyebabnya, dasar pemikiran dakwah yang dibangun oleh Al-
Maududi, berskala global, bukan lokal atau regional. Juga gagasan revolusioner Al-
Maududi dialami oleh semua dunia Islam yang berada di bawah cengkeraman Barat
yang telah menjajah dunia Islam berabad-abad lamanya. Sekalipun mereka telah
merdeka dari penjajahan Barat, namun ada sisi yang belum mengalami kemerdekaan
yang sesungguhnya, di antaranya kemerdekaan pola pikir dan ideologi, di samping
sisi lain seperti ekonomi, pendidikan, budaya dan lainnya.
1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 27.
2
pesat. Oleh sebab itu, penulis dalam makalah ini akan membahas mengenai
historiografi Islam masa modern.
B. Rumusan Masalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Historiografi Islam Modern
Periode historiografi Islam modern dimulai pada abad ke-18, terutama di
Mesir, yang mengalami perkembangan menuju modern setelah kedatangan
Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 M. 2 Pengaruh pengetahuan Barat yang
dibawa oleh Napoleon dan orang-orang Perancis mencetuskan semangat
pembaruan di Mesir dan menginspirasi pemimpin seperti Muhammad Ali Pasya
serta ilmuwan Muslim lainnya.3 Salah satu tokoh penting historiografi Islam
modern pada masa itu adalah Abdurrahman al-Jabarti, seorang ulama al-Azhar dan
peneliti sejarah. Kunjungannya ke fasilitas penelitian Napoleon Bonaparte
menghadirkan kejutan ketika ia melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi Barat. Hal ini membuatnya merasa bahwa umat Islam mengalami
kemunduran dalam menghadapi kemajuan pengetahuan dan teknologi tersebut.
Pembaruan dalam Islam di Mesir dipicu oleh degradasi pendidikan yang
terbatas pada kajian agama tanpa adanya pemahaman yang sistematis dan ilmiah.
Universitas Al-Azhar juga terpengaruh oleh pola pikir ini, yang hanya memusatkan
pada ilmu agama dan melarang kajian keilmuan rasional, sistematik, dan ilmiyah.
Pemikiran keislaman yang terbuka dan pendidikan yang berorientasi pada
rasionalitas tidak berkembang di kalangan umat Islam Mesir, karena ketika ilmu
pengetahuan membahas hal-hal yang rasional dan di luar konteks agama, sering kali
menimbulkan reaksi keras dan penolakan. Umat Islam Mesir cenderung merasa
nyaman dengan sikap sufisme dan mistisisme.
Kedatangan Napoleon Bonaparte memberikan terobosan dalam pemikiran
umat Islam, di mana pendidikan dan pengajaran Barat menjadi bagian dari
perkembangan ilmu pengetahuan. Kebangkitan intelektual ini sangat
mempengaruhi perkembangan historiografi Islam yang kemudian mengalami
transisi menuju historiografi Islam modern. Pada periode ini, penulisan sejarah
dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan sejarah dari Timur Tengah dan Asia Selatan,
seperti Abdurrahman al-Jabarti (1753-1825), Ahmet Cevdet Pasha (1895), dan
2
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), 924.
3
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
BIntang, 2003), hlm. 23-24.
4
Ahmad ibn Khalid Al-Nasiri (1897).4
Setelah Al-Jabarti, historiografi Islam mengalami perkembangan pada
paruh kedua abad ke-19, di mana kelompok-kelompok terkenal seperti Rifa Al-
Thahtawi, lulusan Al-Azhar yang melanjutkan studinya di Perancis, dan Ali
Mubarak dengan latar belakang ilmu pengetahuan alam, astronomi, teknik, dan
arkeologi, memberikan pengaruh signifikan terhadap kesadaran penulisan sejarah
di Mesir pada abad ke-19. Banyak buku ditulis dan penelitian sejarah dilakukan
secara intensif dan komprehensif.5
Pada abad ke-20, Barat menjadi acuan dalam metodologi dan pendekatan
historiografi Islam. Sejarawan Islam pada masa itu banyak mengadopsi tema,
metode, dan pendekatan penulisan sejarah dari Barat. Ini disebabkan oleh
peningkatan jumlah sejarawan Islam yang mendapatkan pendidikan yang baik di
Barat. Kemajuan ilmu pengetahuan di Barat berlangsung dengan cepat, dan
pembahasan peristiwa sejarah dikaji dengan cakupan yang lebih luas daripada
sebelumnya.
Pada masa ini, muncul dua tokoh terkenal dalam historiografi Islam, yaitu
Muhammad Husain Haykal dan Mahmud Abbas Al-Ikkad. Kedua tokoh ini
memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan penulisan sejarah
Islam modern. Muhammad Husain Haykal, misalnya, dikenal dengan karyanya
yang monumental berjudul "Al-Sira al-Nabawiyya" (The Life of the Prophet), yang
memberikan pandangan baru tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Haykal menggunakan pendekatan kritis dan analitis dalam penulisan sejarah ini,
yang mengilhami banyak sejarawan Islam lainnya.
4 Setia Gumilar, Historiografi Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Bandung: Pustaka Setia,
2017), 264.
5 Ibid., 266.
6 Ibid., 269.
5
B. Biografi Al-Maududi
7
Yusri Abdul Ghani, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004),190.
8
Franz Rosenthal, A History of Muslim Historiography, (Leiden: EJB, 1968), 172.
6
berhasil menjadikan al-Jam’iyyat sebagai surat kabar Islam berpengaruh di India
pada dekade 1920-an.9
Selanjutnya pada tahun 1932, ia memimpin penerbitan majalah yang
berorientasi kepada kebangkitan Islam, Tarjuman al-Qur’an di Hiderabad.
Komitmennya terhadap nilai dasar agama Islam membuatnya aktif terlibat di dunia
dakwah. Melalui media yang dia kelola, dia menulis sejumlah opini yang berkaitan
dengan dakwah. Akan tetapi kondisi pada saat itu, dimana India dibawah
kolonialisme Barat, juga menuntut al-Maududi terlibat aktif dalam gerakan politik
Khilafat Movement yang dipimpin oleh Muhammad Ali dan Abu al-Kalam yang
bertujuan untuk mendirikan negara Islam dalam bentuk Khilafah.
Ia menyarankan agar umat Islam hijrah ke Afganistan, kemudian
menggagas system pemerintahan Khilafah. Di sini dia jadi sepenuhnya aktif dalam
gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi kaum muslim untuk mendukung Partai
Kongres. Kemudian, Al-Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan dengan
pemimpinan penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Al-Maududi
menerbitkan surat kabar nasionalis Hamdard. 10
Namun itu tidak lama. Selama itulah pandangan politik al-Maududi kian
religious. Dia bergabung dengan Tahrikul Hijrah (gerakan hijrah) yang mendorong
kaum muslim India untuk meninggalkan India ke Afganistan yang dianggap sebagai
Dar al-Islam (negeri Islam). Aktifitasnya sebagai Dekan Fakultas Teologi pada
Islamic College, memberikan kharisma tersendiri bagi Al-Maududi. Pokok-pokok
pemikirannya dapat membumi melalui corong universitas dimana ia bekerja.
Melalui ide yang disebarkan melalui corong akademik ini, ia membentuk sebuah
organisasi yang bernama Jama’at Islami dan menjadi pimpinannya selama 30 tahun
(1941-1971).
Gagasan-gagasan Al-Maududi terutama keinginannya mengembalikan
Islam sebagai sebuah system bernegara seringkali bertabrakan dengan kebijakan
Pemerintah Pakistan. Pemerintah menganggap hal ini sebagai ancaman. Untuk
tidak banyak memberi pengaruh di masyarakat, maka Pemerintah memenjarakan
Al-Maududi. Meski di penjara, Al-Maududi tetap berjuang melalui ide-ide yang
ditulisnya. Ia tidak henti-hentinya menawarkan Islam sebagai alternatif bagi umat
Islam modern yang dirundung kebingungan ideologis, filsafah, dan sosial politik.
9 Ibid., 174
10 Ibid., 175.
7
Karya tulis Al-Maududi mencakup bidang Tafsir, hukum, politik, dan
sejarah. Diantara karyanya yang terkenal al-Jihad fi al-Islam (1930), Risalat
Diniyyah (1932), Tafhim al-Qur’an yang diselesaikan selama 30 tahun (1942-
1972), dan The Islamic Law and Constitution (1955), dan masih banyak lagi karya-
karya yang dituli oleh Al-Maududi.
Tulisannya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, sehingga
secara tidak langsung, Al-Maududi sudah memberikan dan membumikan
pemikirannya di bidang sosial, politik dan keagamaan. Hanya saja cita-citanya
untuk membangun sistem Khilafah di Pakistan tidak tercapai, meski Pakistan
akhirnya memproklamirkan diri sebagai negara Islam dengan sebutan Republik
Islam Pakistan tahun 1399 H/ 1979 M, Al-Maududi wafat, meninggalkan sejumlah
gagasan yang hingga saat ini masih hidup, dan sejumlah karyanya dapat dibaca di
setiap saat.11
11 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
(Jakarta: Gramedia, 2002), 232-233.
8
BAB III
KESIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor
Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Ghani, Yusri Abdul. 2004. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Gumilar, Setia. 2017. Historiografi Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. Bandung:
Pustaka Setia.
Hitti, Philip K. 2008. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogakarta: Tiara Wacana.
Mulia, Musdah. 2010. Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal. Depok: Kata Kita.
Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang.
Rosenthal, Franz. 1968. A History of Muslim Historiography. Leiden: EJB.
Tobroni, Faiq. “Pemikiran Ali Syari’ati dalam Sosiologi (Dari Teologi Menuju Revolusi)”.
Jurnal Sosiologi Reflektif. Vol. 10. No. 1, (Oktober 2015).
10