Anda di halaman 1dari 17

Makalah Filsafat Islam

Ibnu Bajjah
Makalah ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen pembimbing:

Drs. Study Rizal LK. M.Ag

Disusun oleh:
Kelompok 9

Annisa Syifa Pitaloka 11180511000004 (A)


Sheila Permatasari 11180511000017 (A)
Syahidan 11180511000036 (B)
Hanny Febrianty 11180511000039 (B)
Irma Lutfiani Ismail 11180511000042 (B)
Rega Satria Felangi 11180511000055 (B)
Uswanul Askan 11180511000067 (B)

JURUSAN JURNALISTIK 4

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019/2020
A. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ibnu Bajjah adalah salah seorang tokoh filosaf yang namanya


sudah tak asing lagi di telinga kita. Nama lengkap beliau adalah Abu
Bakar Muhamad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalusi al-
Samqusti ibn Bajah. Selain sebagai filsuf, Ibn Bajah dikenal sebagai
penyair dan komponis. Ibn Bajah sebagai seorang filosof mengemukakan
teorinya yakni al-Ittishal, yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan
meleburkan diri dengan Akal Fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan
kekuatan insaniyah. Berkaitan dengan teori ittishal tersebut, Ibn Bajah
juga mengajukan satu bentuk epistemologi yang berbeda dengan corak
yang dikemukakan oleh al-Ghazali di Dunia Islam Timur.

Kalau al-Ghazali berpendapat bahwa ilham adalah sumber


pengetahuan yang lebih penting dan lebih dipercya, maka Ibn Bajah
mengkritik pendapat tersebut, dan menetapkan bahwa sesungguhnya
perseorangan mampu sampai kepada puncak pengetahuan dan melebur ke
dalam Akal Fa’al, bila ia telah bersih dari kerendahan dan keburukan
masyarakat. Kemampuan menyendiri dan mempergunakan kekuatan
akalnya akan dapat memperoleh pengetahuan dan kecerdasan yang lebih
besar. Pemikiran insani dapat mengalahkan pemikiran hewani, sekaligus
pikiran inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Lebih jauh, Ibn
Bajah menjelaskan bahwa masyarakat umum bisa mengalahkan
perseorangan.1

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Bajjah?


2. Apa saja karya tulis Ibnu Bajjah?
3. Bagaimana keadanaan sosio-kultural?
4. Apa saja pemikiran filsafat Ibnu Bajjah?

1
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hal. 93
B. PEMBAHASAN

2.1 Riwayat Hidup Ibnu Bajjah

Ibnu Bajjah adalah filosof Muslim yang pertama dan utama dalam
sejarah kefilsafatan di Andalus. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar
Muhammad ibnu Yahya ibnu Al-Sha’igh, yang lebih terkenal dengan
nama Ibnu Bajjah.2 Orang barat menyebutnya Avenpace.3 Ia dilahirkan di
Saragossa (Spanyol) pada akhir abad ke-5 H/abad ke-11 M. Riwayat
hidupnya secara rinci tidak banyak diketahui orang, begitu juga mengenai
pendidikan yang ditempuhnya dan guru yang mengasuhnya tidak terdapat
informasi yang jelas.

Menurut beberapa literature, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang


filsof ansich, tetapi ia juga seorang saintis yang menguasai beberapa
disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musikus,
dan matematika.4 Fakta ini dapat diterimakarena di masa itu (juga masa
filsafat Yunani) belum terjadi pemisahan dalam suatu buku antara sains
dan filsafat sehingga seseorang yang mempelajari salah satunya terpaksa
bersentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik, sehingga
Gubernur Saragossa Daulat Al-Murabith, Abu Bakar ibnu Ibrahim Al-
Sahrawi mengangkatnya menjadi wazir.5 Akan tetapi, sewaktu Kota
Saragossa jatuh ke tangan Raja Alfonso I di Aragon pada tahun 512
H/1118 M. Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke kota Seville via Valencia. Di
kota ini, ia bekerja sebagai seorang dokter. Kemudian dari sini ia pindah
ke Granada dan selanjutnya berangkat ke Afrika Utara, pusat kerajaan
Dinasti Murabith Barbar.

2
T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafat fi al-Islam, Terj. Muhammad Abd Al-Hadi Abu Zaidah,
(Khairo: Mathba’at al-Taklif, 1962), hlm. 280.
3
Majid Fakhry, A History of Muslim Philosophy, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1986), hlm. 397.
4
Ibn Bajjah, Kitab Tadbir al-Mutawahhid, Tahkik Ma’an Ziyadah, (Beirut: Daral-Fikr, 1978), cet.
1, hlm. 3
5
Umar Farukh, Tarikhnal-Fikr al-Arabi ila Ayyam ibn Khaldun, (Beirut: t.tp., 1962), hlm. 498.
Di saat transit di Syaitibah, Ibnu Bajjah ditangkap oleh penguasa
Al-Murabith, Amir Abu Ishak Ibrahim ibnu Yusuf ibnu Tsyfin yang
menuduhnya kafir (heresy). Hal ini disebabkan Daulat Al-Murabith,
penganut teologi al-Asy’ari karenanya mereka tidak dapat menerima
pandangan-pandangan filsafatnya. Kemudian, Ibnu Bajjah dibebaskan atas
bantuan Ibn Rusyd. Filosof besar Spanyol yang pernah menjadi
muridnya.6
Setelah itu, Ibnu Bajjah berangkat pula ke Fez, Marokko. Di kota
ini, ia diangkat menjadi wazir oleh Abu Bakr Yahya ibnu Yusuf ibnu
Tashfin selama 20 tahun. Akhirnya di kota inilah ia menghembuskan
napasnya yang terakhir pada bulan Ramadhan 533 H/1138 M. menurut
beberapa informasi,7 kematiannya ini karena diracuni oleh temannya,
seorang dokter yang iri hati terhadap kegeniusannya.

2.2 Karya Tulis Ibnu Bajjah

Menurut Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah adalah seorang filosof Muslim


yang paling cemerlang otaknya, paling tepat analisisnya, dan paling benar
pemikirannya. Namun, amat disayangkan pembahasan filsafatnya dalam
beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini disebabkan ambisi
keduniaannya yang begitu besar dan kematiannya yang begitu cepat.8

Karya tulis Ibnu Bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat,


ialah sebagai berikut.

1. Kitab Tadbir al-Mutawwahid, ini adalah kitab yang paling


populer dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini
berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu

6
Muhammad Saghir Hasan Al-Ma’sumi, “Ibnu Bajjah”, dalam M.M.Syarif (Ed.) A History of
Muslim Philosophy, Vol. I, (Wisbaden: Otto Harossowitz, 1963), hlm. 507. (Selanjutnya disebut
Muhammad Saghir, Ibnu Bajjah).
7
Umumnya dalam literature disebutkan kematian Ibnu Bajjah karena diracuni oleh Ibnu Zuhr,
lihat: Ibid.
8
Majid Fakhry, op.cit., hlm. 360.
menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan
dalam masyarakat negara, yang disebutnya sevagai Insan
Muwahhid (manusia penyendiri)
2. Risalat al-Wada’, risalah ini membahas Penggerak Pertama
(Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.
3. Risalat al-Ittishal, risalah ini menguraikan tentang
hubungan manusia dengan Akal Fa’al.
4. Kitab al-Nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.

2.3 Keadaan Sosio-Kultural

Ada sekitar dua abad lamanya, keterlambatan lahirnya filsafat di


kawasan Islam bagian Barat, Andalus, dan kawasan Islam bagian Timur.
Kebangkitan filsafat dalam dunia Islam (Timur), terjemahan diprakarsai
oleh Dinasti Abbasiyah (Khalifah Al-Makmun) walaupun embrionya
sudah mulai masa Khalifah Ibnu Yazid (Bani Umayyah). Gerakan
intelektual di Timur berkembang dengan cepat sebab orang-orang Suryani
di Timur, sebelumnya telah mengalihbahasakan buku-buku Yunani ke
dalam bahasa mereka dan karya mereka ini tetap terpelihara di kota-kota
sekitar Syria. Dengan demikian, ketika orang Islam menaklukkan kota-
kota ini tidak mendapat kesulitan untuk mendapatkan dan
menerjemahkannya.9

Dengan keberhasilan Dinasti Abbasiyah nai “panggung”


kekuasaan di kawasan Islam bagian Timur pada abad ke 8 H/749 M,
menggantikan Dinasti Umayyah, segera muncul di Spanyol Dinasti
Umayyah tandingan. Dinasti ini dibangun oleh Abdur Rahman Al-Dhakil,
cucu Hisyam ibnu Al-Malik, khalifah ke-10 Umayyah di kawasan Islam
Timur. Secara menakjubkan Abdur Rahman berhasil menyelamatkan diri
dari dunia Islam Timur ke Spanyol (Andalus), ketika penguasa Abbasyiah
9
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm 188.
melakukan pembunuhan tanpa ampun terhadap keluarganya, Bani
Umayyah. Dalam waktu yang relatif singkat, Dinasty Ummayah Andalus
telah mengancam Daulat Abbasiyah di Timur, baik secara politik maupun
kultural. Pada masa sesudahnya secara brilian Dinasti Umayyah Andalus
ini telah memainkan peranan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di “pentas” sejarah, yang menjadi cikal bakal kemajuan ilmu
pengetahuan di Barat (Eropa Barat).10
Kendatipun kompetesi antara Bagdad (Timur) dan Cordova (Barat)
cukup ketat, namun di sektor kebudayaan dan peradaban tetap menjadi
hubungan yang erat antara keduanya. Hal ini menjadi bukti adanya
kesatuan budaya dalam Islam.
Menurut Shaid, pengarang buku Thabaqat al-Umam, sebelum
Islam masuk ke Andalus wilayah ini kosong dari ilmu pengetahuan dan
filsafat. Tidak satu pun penduduknya memiliki ketenaran di bidang ilmu
pengetahuan. Di kala itu hanya baru ada monumen-monumen kuno
dibagun oleh raja-raja Romawi. Dengan kata lain, sekalipun sekalipun ada
peradaban, boleh dikatakan amat sederhana. Karena itu, pendapat
Montgomery Watt dapat diterima ketika ia menyatakan bahwa pengaruh
budaya Islam di Eropa terjadi setelah kaum Muslim menaklukkan Spanyol
dan Sisilia. Tepatnya kegiatan intelektual ini mulai dikembangkan pada
abad ke9 H. di bawah pemerintahan Muhammad ibnu Abdur Rahman
(852-886 H).
Pada masa pemerintahan Al-Hakim II (961-976 H) karya ilmu
pengetahuan dan filsafat diimpor secara besar-besaran dari Timur
sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas yang sangat besar
kini mampu menyaingi Bagdad sebagai pusat ilmu pengetahuan di Dunia
Islam. Dikatakan orang, lebih kurang 400.000 buku terhimpun di
perpustakaan Cordova. Di antara buku-buku tersebut lebih dahulu dikenal
di Andalus daripada di kawasan Timur, seperti kita al-Aghani.
10
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm 188.
Pada abad ke-11 dan pada masa pemerintahan Dinasti Al-
Muwahhidin, bermunculan para ilmuan dan para filosof Muslim di
Andalas. Di antara mereka iala Abd Al-Rahman ibnu Al-Ismail, ahli
logika pertama, Abu Usman Said ibnu Fathun, juru tata bahasa dan musik;
Maslamah Ibnu Ahmad Al-Majrithi, pakar matematika, astronomi, dan
kimia, ia pula yang memboyong buku Ikhwan Al-Shafa dari kawan Islam
Timur; Abu al-Hakim amr Al-Kirmani pakar geometri, murid Al-Majrithi;
Abdullah ibnu Al-Nabbasy Al-bajga’i, pakar fisika dan matematika; Ibnu
Bajjah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd.
Sebagaimana di Dunia Islam kawasan Timur, di Andalas
perkembangan fisafat dan ilmu pengetahuan lainnya juga didorong oleh
ajaran Alquran dan hadis yang menganjurkan kepada umatnya supaya
menghargai kekuatan akal dan mencari ilmu pengetahuan di mana pun
saja. Di samping itu, faktor yang paling dominan, adanya kecintaan
penguasa pada filsafat dan ilmu pengetahuan dan ia ikut pula
memprakasai perkembangannya, seperti Khalifah Abd Al-Mukmin
(Dinasti Al-Muwahhid) menyediakan biaya hidup secukupnya bagi
penuntut ilmu pengetahuan dan juga menyediakan tempat khusus di
samping istananya untuk kegiatan ilmu pengetahuan.11
Menurut W. Montgnomery Watt, meskipun di kawasan Islam
bagian Barat sebagaimana di kawasan Islam bagian Timur berkembang
teologi al-Asy’ary, namun kondisi antara keduanya berbeda. Di kawasan
Islam bagian Barat, seperti Ibnu Tumart penyebaran al-Asy’ary, tetapi ia
tidaklah Asy’arisme yang taat asas. Pandngan teologinya lebih didasarkan
pada pemikiran filsafat daripada letterlek wahyu. Di sisi lain, penguasa
Al-Muwahhid memberikan toleransi yang besar terhadap perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya.12 Agaknya pemikiran W.
Montgnomery Watt ini dapat diterima karena tanpa toleransi penguasa dan

11
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’I, Jilid
IV, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishiriyyat, 1967), hlm. 272.
12
W. Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy, Terll. Umar Basalim, (Jakarta: Mida
Surya Grafindo, 1987), hlm. 511.
tanpa adanya kebebasan berpikir, perkembangan filsafat tidak mungkin
terjadi.

2.4 Pemikiran Filsafat Ibnu Bajjah


Filsafat Ibnu Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari
kawasan di Timur, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Hal ini disebabkan
kawasan Islam di Timur lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan
kajian filsafat dari kawasa Islam di Barat (Andalas). Untuk lebih jelasnya,
di bawah ini kita akan menelusuri pemikiran filsafatnya.

1. Metafisika (Ketuhanan)
Menurut Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujudad)
terbagi dua: yang bergerak dan tidak bergerak. Yang bergerak
adalah jisim (materil) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi
dari perbuatan yang mengerakkan terhadap yang digerakkan.
Gerakan ini digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir
rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak
bergerak; dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda
dengan jisim (materi).
Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul
dari substansinya sendiri sebab ia terbatas oleh jisim. Oleh karena
itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak
terbatas), yang oleh Ibnu Bajjah disebut ‘aql.
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Bajjah juga mendasarkan fisafat
metafisikanya pada fisika. Arugumen adanya Allah adalah dengan
adanya gerakan di alam ini. Jadi, Allah adalah azali dan
gerakannya bersifat tidak terbatas. 13
2. Materi dan Bentuk
Menurut pandangan Ibnu Bajjah, Materi (al-Hayula) tidak
mungkin bereksistensi dengan sendirinya tanpa materi. Jika tidak,
13
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm 192.
secara pasti kita tidak mungkin dapat menggambarkan adanya
modifikasi (perubahan-perubahan) pada benda. Perubahan-
perubahan tersebut adalah suatu kemungkinan dan inilah yang
dimaksud dengan pengertian bentuk materi.
Bentuk menurut Ibnu Bajjah, bertingkat-tingkat. Tingkat
yang paling rendah adalah bentuk materi pertama dan yang paling
tinggi adlah bentik akal pemisah (al-‘aql al-mufarid). Dari bentuk
yang paling rendah sampai pada bentuk yang paling tinggi terjalin
seperti mata rantai. Akal manusiawi dapat mencapai bentuk
kesempurnaannya dengan melewati rantai tersebut dengan
berfilsafat. Jiwa seperti ini dapat berhubungan dengan Akal Aktif.
Setiap materi, menurut Ibnu Bajjah, mempunyai tiga bentuk,
bentuk rohani umum atau bentuk intelektual, bentuk khusus dan
bentuk fisik. 14
3. Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai
satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana
jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan
dengan dua jenis alat; alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah.
Alat-alat jasmaniah diantaranya ada beberapa buatan dan ada pula
yang berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini
lebih dahulu dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibnu Bajjah
dengan pendorong naluri (al-harr al-gharizi) atau roh insting. Ia
terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.
Jiwa menurut Ibnu Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal
setelah mati. Di akhirat jiwalah yang akan menerima pembalasan,
baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka).
Akal, daya berpikir bagi jiwa, satu bagi setiap orang yang berakal.

14
H. Sirajuddin Zar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm 194.
Ia dapat bersatu dengan Akal Fa’al yang di atasnya dengan jalan
ma’rifah filsafat.15
Filsafat jiwa Ibnu Bajjah tentang jiwa pada prinsipnya didasarkan
pada filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina.
4. Akal dan Ma’rifah
Ibnu Bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat
penting. Dengan perantaraan akal, manusia dapat mengetahui
sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagiaan dan musalah
Ilahiyat. Akal, menurut Ibnu Bajjah terdiri dari dua jenis
a. Akal teoretis, akal ini dapat diperoleh hanya berdasarkan
pemahaman terhadap sesuatu yang konkret atau abstrak,
b. Akal praktis, akal ini diperoleh melalui penyelidikan
(eksperimensi) sehingga menemukan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh akal ada dua jenis
pula yang dapat dipahami, tetapi tidak dapat dihayati, yang dapat
dipahami dan dapat pula dihayati.16
5. Akhlak
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan
hewani dan manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas
dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah
perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan
yang bersih lagi luhur.
Pandangan Ibnu Bajjah di atas sejalan dengan ajaran Islam,
yang juga mendasarkan perbuatan pada motivasi pelakunya. Lebih
lanjut ia menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan
perbuatannya atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat
mencapai kebahagiaan.

15
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm 195.
16
Muslim Ishak, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), (Surabaya: Bina Ilmu, 1980),
hlm.31.
Sercara ringkas Ibnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia
menjadi tiga tingkat sebagai berikut.
i. Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah.
Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
ii. Tujuan rohaniah khusus, dilakukan atas dasar kepuasan
rohaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiah
dan aqliyah.
iii. Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar
kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan
Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurna yang ingin
dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.
6. Politik
Pandangan politik Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh pandangan
politik al-Farabi. Sebagaimana al-Farabi, dalam buku Ara’ ahl al-
Madinat al-Fadhilat, ia (Ibnu Bajjah) juga membagi negara
menjadi negara utama dan negara yang tidak sempurna, seperti
negara jahiliah, fasiqah, dan lainnya.
Pendapat Ibnu Bajjah ini sejalan dengan al-Farabi.
Perbedaannya hanya terletak pada penekanannya. al-Farabi titik
tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik tekannya
pada warga negara (masyarakat). 17
Warga negara utama, menurut Ibnu Bajjah, mereka tidak lagi
memerlukan dokter dan hakim. Sebab mereka hidup dalam
keadaan puas terhadap segala rezeki yang diberikan Allah, yang
dalam istilah agama disebut denga al-qana’ah. Mereka tidak mau
memakan makanan yang akan merusak kesehatan. Mereka juga
hidup saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling
menghormati. Oleh karena itu, tidaklah akan ditemukan

17
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm 198.
perselisihan antara mereka. Mereka seluruhnya mengerti undang-
undang negara dan mereka tidak mau melanggarnya.18

7. Manusia Penyendiri
Filsafat Ibnu Bajjah yang paling populer ialah manusia
penyendiri (al-insan al-munfarid). Pemikiran ini termuat dalam
magnum opnum-nya Kitab Tadbir al-Mutawahid. Sebagaimana al-
Farabi, pembicaraan Ibnu Bajjah tentang hal ini erat kaitannya
dengan politik dan akhlak.
Dalam menjelaskan manusia penyendiri, Ibnu Bajjah terlebih
dahulu memaparkan pengertian tabdir at-mutawahid. Lafal tabdir,
menurut Ibnu Bajjah adalah mengatur perbuatan-perbuatan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, dengan kata lain, aturan yang
sempurna.
Adapun yang dimaksud istila al-mutawahid menurut Ibnu
Bajjah ialah seorang filsof atau beberapa orang filsof hidup pada
salah satu negara yang tidak sempurna, mereka harus
mengasingkan diri dari sikap dan perbuatan-perbuatan masyarakat
yang tidak baik. Mereka cukup hanya berhubungan dengan ulama
atau ilmuwan. Akan tetapi, apabila tidak ditemukan ulama dan
ilmuwan, mereka harus mengasingkan diri secara total, dalam arti
tidak berhubungan sama sekali dengan masyarakat, kecuali dalam
hal-hal yang tidak dapat dihindarkan sekedar keperluan atau
kebutuhan.
Apabila filsuf tidak melakukan hal demikian, mereka tidak
akan mungkin dapat berhubungan dengan Akal Fa’al karena
pemikiran mereka akan merosot dan tidak akan pernah mencapai
tingkatn Akal mustafad, yakni akal yang dapat berhubungan
dengan Akal Fa’al. Itulah sebabnya Ibnu Bajjah menyamakan

18
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm 199.
manusia penyendiri bagaikan tumbuhan. Jika tidak menyendiri
dalam menghadapi kondisi seperti itu, ia akan layu, artinya
pemikiran filsafatnya mengalami kemunduran. Jika itu terjadi,
filsof dimaksud tidak akan pernah mencapai kebahagiaan
(sa’adah)19
Filsafat manusia penyendiri menurut Ibnu Bajjah diatas mirip
dengan ajara tasawuf agar manusia meniru sifat-sifat Allah:
takhallaqu bi akhlaq Allah (hiaslah dirimu dengan akhlak-ahlak
Allah). Ini dimaksudkan bukan menyaingi Allh, tetapi manusia
diharapkan agar mengembangkan sifat-sifat baik yang terdapat
dalam dirinya.

C. KESIMPULAN
Ibnu Bajjah adalah filosof Muslim yang pertama dan utama dalam sejarah
kefilsafatan di Andalus. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad
ibnu Yahya ibnu Al-Sha’igh, yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Bajjah. Ia
juga aktif dalam dunia politik, sehingga Gubernur Saragossa Daulat Al-

19
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm 202.
Murabith, Abu Bakar ibnu Ibrahim Al-Sahrawi mengangkatnya menjadi
wazir.
Karya tulis Ibnu Bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat, ialah
sebagai berikut.
1. Kitab Tadbir al-Mutawwahid, ini adalah kitab yang paling
populer dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini
berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu
menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan
dalam masyarakat negara, yang disebutnya sevagai Insan
Muwahhid (manusia penyendiri)
2. Risalat al-Wada’, risalah ini membahas Penggerak Pertama
(Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.
3. Risalat al-Ittishal, risalah ini menguraikan tentang
hubungan manusia dengan Akal Fa’al.
4. Kitab al-Nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.

Filsafat Ibnu Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari


kawasan di Timur, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina.

1. Metafisika (Ketuhanan)
Menurut Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujudad) terbagi dua:
yang bergerak dan tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim
(materil) yang sifatnya finite (terbatas). Penggerak ini bersifat
azali. Gerak jisim mustahil timbul dari substansinya sendiri sebab
ia terbatas oleh jisim. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal
dari gerakan yang infinite (tidak terbatas), yang oleh Ibnu Bajjah
disebut ‘aql.

2. Materi dan Bentuk


Menurut pandangan Ibnu Bajjah, Materi (al-Hayula) tidak
mungkin bereksistensi dengan sendirinya tanpa materi. Jika tidak,
secara pasti kita tidak mungkin dapat menggambarkan adanya
modifikasi (perubahan-perubahan) pada benda. Bentuk menurut
Ibnu Bajjah, bertingkat-tingkat. Tingkat yang paling rendah adalah
bentuk materi pertama dan yang paling tinggi, mempunyai tiga
bentuk, yaitu bentuk rohani umum atau bentuk intelektual, bentuk
khusus dan bentuk fisik.
3. Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai satu
jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani.
Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa menurut Ibnu Bajjah,
adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akhirat jiwalah
yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga)
maupun balasan siksaan (neraka).
4. Akal dan Ma’rifah
Ibnu Bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting.
Akal, menurut Ibnu Bajjah terdiri dari dua jenis, yaitu Akal
teoretis, akal ini dapat diperoleh hanya berdasarkan pemahaman
terhadap sesuatu yang konkret atau abstrak dan Akal praktis, akal
ini diperoleh melalui penyelidikan (eksperimensi) sehingga
menemukan ilmu pengetahuan.
5. Akhlak
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan
hewani dan manusiawi. Pandangan Ibnu Bajjah di atas sejalan
dengan ajaran Islam, yang juga mendasarkan perbuatan pada
motivasi pelakunya. Sercara ringkas Ibnu Bajjah membagi tujuan
perbuatan manusia menjadi tiga tingkat sebagai berikut, Tujuan
jasmaniah, ini manusia sama derajatnya dengan hewan, Tujuan
rohaniah khusus, Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiah
dan aqliyah dan Tujuan rohaniah umum (rasio), Inilah tingkat
manusia yang sempurna yang ingin dicapai manusia penyendiri
Ibnu Bajjah.
6. Politik
Pandangan politik Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik
al-Farabi. ia (Ibnu Bajjah) juga membagi negara menjadi negara
utama dan negara yang tidak sempurna, seperti negara jahiliah,
fasiqah, dan lainnya. Pendapat Ibnu Bajjah ini sejalan dengan al-
Farabi. Perbedaannya hanya terletak pada penekanannya. al-Farabi
titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik
tekannya pada warga negara (masyarakat).
7. Manusia Penyendiri
Dalam menjelaskan manusia penyendiri, Ibnu Bajjah terlebih
dahulu memaparkan pengertian tabdir at-mutawahid. Lafal tabdir,
menurut Ibnu Bajjah adalah mengatur perbuatan-perbuatan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan, dengan kata lain, aturan yang
sempurna. Istilah al-mutawahid menurut Ibnu Bajjah ialah seorang
filsof atau beberapa orang filsof hidup pada salah satu negara yang
tidak sempurna, mereka harus mengasingkan diri dari sikap dan
perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak baik. Apabila filsuf
tidak melakukan hal demikian, mereka tidak akan mungkin dapat
berhubungan dengan Akal Fa’al karena pemikiran mereka akan
merosot dan tidak akan pernah mencapai tingkatn Akal mustafad,
yakni akal yang dapat berhubungan dengan Akal Fa’al. Filsafat
manusia penyendiri menurut Ibnu Bajjah diatas mirip dengan ajara
tasawuf agar manusia meniru sifat-sifat Allah: takhallaqu bi
akhlaq Allah (hiaslah dirimu dengan akhlak-ahlak Allah).

DAFTAR PUSTAKA

Fakhry, Majid.1986.A History of Muslim Philosophy, Terj. Mulyadi

Kartanegara,.Jakarta: Pustaka Jaya.


Ibn Bajjah.1978.Kitab Tadbir al-Mutawahhid, Tahkik Ma’an Ziyadah.Beirut:

Daral-Fikr.

Umar Farukh.1962.Tarikhnal-Fikr al-Arabi ila Ayyam ibn Khaldun,.Beirut: t.tp.

Zar, H. Sirajuddin.2004. Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya.Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.

Hasan Ibrahim Hasan. 1967.Tarikh al-Islam, al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqafi

wa al-Ijtima’I, Jilid IV.Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishiriyyat .

W. Montgomery Watt.1987.Islamic Theology and Philosophy, Terll. Umar

Basalim.Jakarta: Mida Surya Grafindo.

Ishak Muslim.1980.Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol). Surabaya:

Bina Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai