Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

BERSUCI DARI NAJIS


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fqih Ibadah
Dosen Pengampu : Feri Eko Wahyudi, S.ud., M.H.

Oleh :
Sartika Mansur (1901020006)
Fina Sultan(
Kelas Sosiologi Agama 3A

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KOTA PALOPO
2020
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita
berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu
membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada
kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita
capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta
teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun
materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa
maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian,
yang kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami
jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah-makah kami di lain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-
mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-
teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau
mengambil hikmah dari makalah pembagian najis dan cara mensucikannya ini.

Palopo, 26 Oktober 2020

Penulis

2
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 4
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penulisan 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Najis 6
B. Macam-macam Najis 7
C. Benda-benda yang Najis 8
D. Cara Bersuci dari Najis 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 14
B. Saran 15
DAFTAR PUSTAKA

3
4

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam setiap menjalankan ibadah kita harus suci atau bersih, baik
jasmani atau rohani karena itu sebagai syarat sahnya ibadah. untuk rohani,
kita terlebih dahulu mengucap 2 kalimat syahadat. untuk jasmani, maka kita
perlu bersih dari kotoran atau najis, baik badan maupun pakaian yang kita
pakai. untuk membersihkan najis atau kotoran itu kita perlu bersuci
(thaharah).
Allah berfirman yang Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah” (QS
al-Mudatsir: 4). Dan (QS at-Taubah: 108 “....di dalamnya (mesjid) terdapat
orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri, sesungguhnya Allah
suka kepada orang-orang yang selalu membersihkan diri dan Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS at-Taubah: 108).
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap
Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat
bermacam – macam, seperti sholat puasa, naik haji, jihad, membaca al-
qur’an, dan lainnya. setiap ibadah memiliki syarat – syarat untuk dapat
melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat mutlak untuk
melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya
haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya,
baligh, berakal, dan sebagainya. Contoh lain jika kita akan melakukan ibadah
sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas
dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalahkan jika kebersihan dan
kesucian diri seseorang dari najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut
tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis
merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah,
terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.

4
5

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian najis?
2. Apa saja macam-macam najis?
3. Apa saja benda-benda yang termasuk najis?
4. Bagaimana cara bersuci dari najis?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian najis.
2. Untuk mengetahui macam-macam najis.
3. Untuk mengetahui benda-benda yang termasuk najis.
4. Untuk mengetahui cara bersuci dari najis.

5
6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Najis
Najis adalah perkara yang secara otomatis dapat menghambat ibadah
kita, karena sifat najis adalah mengkotori sesuatu dan tidak akan bersih
ataupun suci sebelum di bersihkan. Untuk itu kita perlu berhati-hati dalam
menghadapi perkara-perkara tentang najis. Sudah sucikah badan dan pakaian
anda? Dizaman sekarang ini banyak orang yang tidak memperdulikan
masalah najis dan penyuciannya , ini merupakan hal yang fatal dalam
persoalan ibadah.
Najis adalah bentuk kotoran yang setiap muslim diwajibkan untuk
membersihkan diri darinya atau mencuci bagian yang terkena olehnya.
mengenai hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah:
222)
Secara etimologis, “najis” berarti sesuatu yang mengotori. Sedangkan
menurut syara’, “najis” adalah sesuatu yang kotor yang dapat menghalangi
keabsahan shalat selama tidak ada sesuatu yang meringankan (rukhsah).1
Tak jauh berbeda dari pendapat di atas, Hasan Saleh menyebutkan
bahwa pengertian najis ditinjau dari arti bahasa adalah perkara yang
menjijikan. Sedangkan menurut arti secara syara’ adalah benda yang
dianggap menjijikan yang menjegah keabsahan shalat seandainya terbawa
didalamnya.2

1 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-


Qur’an dan Hadits (Terjemahan), (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 99
2 H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta:Rajawali
Pers,2008), hlm. 21

6
7

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

...... ‫ان‬
ِ ‫ِ ي َم‬ ْ ‫الطهُو ُر َش‬
‫ط ُر اإْل‬ ُّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ق‬
Artinya: Rasulullah SAW bersabda, "Bersuci itu sebagian dari iman,.....”
(HR. Muslim).3

B. Macam-macam Najis

Najis terdiri dari beberapa macam, baik berbentuk cair maupun padat.
Contoh najis yang bersifat cair adalah; khamr, air seni (urine), darah, dll.
Sedangkan yang bersifat padat di antaranya; bangkai, tinja, dll.

1. Najis Mughalazhah (Najis Berat)

Yaitu najis berat, contohnya anjing, babi, dan peranakan dari


keduanya, berikut pula air seni, air liur, tinja, dll yang bersumber dari
binatang-binatang tersebut. Apabila suatu benda terkena najis karena
bersentuhan dengan anjing atau babi, yang salah satunya basah, 4 maka
benda tersebut dihukumi najis Mughalazhah.

2. Najis Muthawasithah (najis sedang)


Najis Muthawasithah adalah semua najis selain anjing dan babi
atau peranakan dari keduanya. Najis Muthawasithah ini berupa
najis ‘ainiyyah (najis yang dapat diketahui dengan menggunakan indera
manusia). Maka menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu
dianggap belum sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis
tersebut.5

3. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)

Yaitu najis ringan, contohnya yaitu air seni bayi laki-laki yang
belum berumur dua tahun dan belum makan apa pun selain ASI. Najis
3 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Edisi Indonesia), (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998), hlm. 15.
4 Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hlm. 105
5 Ibid., hlm. 107

7
8

mukhaffafah ini adalah najis yang mendapat toleransi dari syara’, sehingga
tidak wajib dihilangkan dengan cara dicuci.6

C. Benda-benda yang Najis


1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia
Adapun bangkai binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang
darat yang tidak berdarah ketika masih hidupnya seperti belalang serta
mayat manusia, semuanya suci.
Firman Allah Swt:

Artinya:“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maidah: 3)

Adapun bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu
juga mayat manusia, tidak masuk dalam arti bangkai yang umum dalam
ayat tersebut karena ada keterangan lain. Bagian bangkai, seperti daging,
kulit, tulang, urat, bulu, dan lemaknya semuanya itu najis menurut madzab
syafi’i.

2. Darah
Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa. Firman Allah
Swt. Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-
Maidah: 3)
3. Nanah
Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair,
karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk.
4. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu
Semua itu najis selain dari mani, baik yang biasa seperti tinja, air
kencing ataupun yang tidak biasa, seperti mazi, baik dari hewan yang halal
dimakan ataupun yang tidak halal dimakan.

6 Ibid., hlm. 108

8
9

5. Khamr/Arak (setiap minuman keras yang memabukan

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)


khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

6. Anjing dan Babi


Semua hewan suci, kecuali Anjing dan Babi.
Sabda Rasulullah Saw:

‫َح ِد ُك ْم إِ َذا َولَ َغ‬ ِ ِ ‫عن أَيِب هري ر َة عن النَّيِب ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم قَ َال طُه‬
َ ‫ور إنَاء أ‬
ُ ُ َ َ َ َْ ُ َ ِّ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ
ٍ ‫فِ ِيه الْ َك ْلب أَ ْن ي ْغسل سْبع ِمرا ٍر أُواَل ُه َّن بُِتر‬
‫اب‬ َ َ َ َ ََ ُ ُ

Artinya: Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
"Kesucian bejana salah seorang di antara kalian, kalau di
dalamnya dijilat anjing, hendaknya dicuci tujuh kali, salah satu
diantaranya dengan tanah. " (HR. Muslim & Abu Daud)

7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup.


Hukum bagian-bagian badan binatang yang diambil selagi hidup
ialah seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang
dipotong itu juga najis, seperti babi dan kambing. Kalau bangkainya suci,
yang dipotong selagi hidupnya sewaktu hidupnya pun suci pula, seperti
yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal
dimakan, hukumnya suci.7
8. Kotoran dan Kencing Hewan.
Menurut syari’at Islam, semua yang keluar dari hewan adalah
najis, baik itu kotoran maupun kencingnya.

7 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), hlm. 16-20.

9
10

9. Hewan Jalalah (Liar)


Jalalah adalah hewan liar yang memakan kotoran, baik kotoran
unta, sapi, kamping, ayam, angsa, dan lain-lainnya, sehingga hewan
tersebut berubah baunya.
10. Wadi
Wadi adalah cairan kental yang biasanya keluar setelah seseorang
selesai dari buang air kecilnya (kencing). Wadi ini dihukumi najis dan
harus disucikan seperti halnya kencing, tetapi tidak wajib mandi.
11. Madzi
Madzi adalah cairan bening sedikit kental yang keluar dari saluran
kencing ketika bercumbu atau nafsu syahwat mulai terangsang.
Terkadang tidak merasakan akan proses keluarnya. Hal itu sama-sama
dialami oleh laki-laki dan juga wanita, akan tetapi jumlahnya lebih
banyak.
12. Kencing dan Muntah Manusia
Menurut kesepakatan para ulama, keduanya adalah najis.
13. Mani
Mengenai mani, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama,
yang mana sebagian dari mereka menganggapnya najis. Yang jelas ia
tetap suci.8

D. Cara Bersuci dari Najis


1. Najis Mughalazhah (Najis Berat)
Apabila suatu benda terkena najis mughalazhah (Najis Berat),
maka benda itu hanya bisa disucikan dengan cara dicuci tujuh kali yang
salah satu di antaranya menggunakan debu yang merata pada seluruh
tempat yang terkena najis. Adalah wajib hukumnya untuk meratakan
tempat atau pakaian yang terkena najis mughalazhah dengan air yang
dicampur debu. Menurut pendapat yang azhar, penggunaan debu tidak

8 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,  Op.Cit., hlm. 16-22

10
11

bisa digantikan dengan bahan lain seperti abun atau asynan.9 Hal tersebut
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:

‫َح ِد ُك ْم إِذَا َولَ َغ‬ ِ ِ ‫عن أَيِب هري رةَ عن النَّيِب ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم قَ َال طُه‬
َ ‫ور إنَاء أ‬
ُ ُ َ َ َ َْ ُ َ ِّ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ
ٍ ‫فِ ِيه الْ َك ْلب أَ ْن ي ْغسل سْبع ِمرا ٍر أُواَل ُه َّن بُِتر‬
‫اب‬ َ َ َ َ ََ ُ ُ

Artinya: Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
"Kesucian bejana salah seorang di antara kalian, kalau di
dalamnya dijilat anjing, hendaknya dicuci tujuh kali, salah satu
diantaranya dengan tanah. " (HR. Muslim & Abu Daud)

2. Najis Muthawasithah (najis sedang)


Jika najis muthawasithah ini berupa najis ‘ainiyyah (najis yang
dapat diketahui dengan menggunakan indera manusia). Maka
menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap belum
sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut. Jika ternyata
najis muthawasithah sulit dihilangkan, wajib digunakan bahan-bahan
semacam sabun. Jika ternyata (setelah dicuci dengan sabun) warna atau
bau najis tersebut masih ada dan benar-benar sulit dihilangkan, itu tidak
mengapa. Jika najis muthawasithah tidak berwujud, seperti air seni yang
sudah kering, dan sudah tidak ada rasa, warna dan baunya, maka cukuplah
najis itu dihilangkan dengan mengalirkan air pada bagian yang terkena
najis dengan satu kali siraman.10
Sabda Rasulullah SAW.:

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫َن أ َْعرابِيًّا دخ ل الْمس ِج َد ورس‬


َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َ َّ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْي َر ِة أ‬
َ َ‫ال ابْ ُن َعْب َدةَ َر ْك َعَتنْي ِ مُثَّ ق‬
‫ال اللَّ ُه َّم ْارمَح ْيِن َوحُمَ َّم ًدا َواَل َت ْر َح ْم‬ َ َ‫ص لَّى ق‬ ِ‫ج ال‬
َ َ‫س ف‬ٌ َ
‫ث أَ ْن‬ ْ َ‫ت َو ِاس ًعا مُثَّ مَلْ َي ْلب‬ ِ
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم لََق ْد حَتَ َّج ْر‬
َ ُّ ‫ال النَّيِب‬
َ ‫َح ًدا َف َق‬
َ ‫َم َعنَ ا أ‬
9 Ibid., hlm. 105-106
10 Ibid., hlm. 107

11
12

‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ِِ ِ ِ


ُ ‫َّاس إِلَْي ه َفَن َه‬
َ ُّ ‫اه ْم النَّيِب‬ ُ ‫ع الن‬ َ ‫َس َر‬ ْ ‫ال يِف نَاحيَ ة الْ َم ْس جد فَأ‬ َ َ‫ب‬
‫ص بُّوا َعلَْي ِه َس ْجاًل ِم ْن َم ٍاء أ َْو قَ َال‬ ُ ‫ين‬ َ ‫ين َومَلْ ُتْب َعثُوا ُم َع ِّس ِر‬
ِ ِ َ َ‫وق‬
َ ‫ال إمَّنَا بُعثْتُ ْم ُميَ ِّس ِر‬ َ
ٍ‫ذَنُوبا ِمن ماء‬
َْ ً
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya pernah ada seorang Arab
badui masuk ke dalam masjid, sedangkan Rasulullah SAW
duduk, lalu orang tersebut mengerjakan shalat, kata Ibnu Abdah,
"Dua rakaat" kemudian berkata (orang itu), "Ya Allah! Berilah
aku rahmat dan Muhammad, dan janganlah engkau beri rahmat
seseorang yang bersama kami!" Maka Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya kamu telah mempersempit suatu
perkara yang luas. " Kemudian orang itu tetap tinggal, sehingga
kencing di sudut masjid. Maka orang-orang dengan segera
membentaknya, lalu Nabi SAW melarang mereka dan bersabda,
"Sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk mempermudah,
tidak diutus untuk mempersulit. " Tuangkanlah air satu timba ke
atas kencing itu!" (HR. Bukhari, Muslim & Abu Daud)

3. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)


Najis mukhaffafah ini adalah najis yang mendapat toleransi dari
syara’, sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara dicuci. Meskipun
terdapat banyak air, cara untuk mensucikan najis tersebut cukup dengan
memercikkan air pada tempat yang terkena najis tersebut, dan tidak
disyaratkan untuk mengalirkan air. Mayoritas ulama berpendapat bahwa
air seni anak kecil adalah najis, oleh sebab itu syari’ (Allah dan
Rasulullah) memberikan keringanan pada proses penyuciannya. Adapun
air kencing bayi perempuan atau bayi khunsa (berkelamin ganda)
hendaklah dicuci sebagaimana halnya air kencing perempuan dewasa,
bagitu pula halnya dengan air seni bayi laki-laki yang sudah memakan
makanan selain ASI.11 Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.

11 Ibid., hlm. 108

12
13

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫ت َرس‬ ْ َ‫ص ٍن أَنَّهَا أَت‬ َ ْ‫ت ِمح‬ ِ ‫س بِ ْن‬ ٍ ‫َعن أُ ِّم قَ ْي‬
‫ر ْتنِي‬z َ َ‫َو َسلَّ َم بِاب ٍْن لَهَا لَ ْم يَ ْبلُ ْغ أَ ْن يَأْ ُك َل الطَّ َعا َم ق‬
َ zَ‫ال ُعبَ ْي ُد هَّللا ِ أَ ْخب‬
‫لَّ َم‬z‫لَّى هَّللا ُ َعلَيْ ِه َو َس‬z‫ص‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ِ ‫ال ِفي َحجْ ِر َرس‬ َ َ‫اك ب‬ َ ‫أَ َّن ا ْبنَهَا َذ‬
‫ض َحهُ َعلَى ثَ ْوبِ ِه‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ َما ٍء فَن‬
َ ِ ‫فَ َد َعا َرسُو ُل هَّللا‬
‫َولَ ْم يَ ْغ ِس ْلهُ َغ ْساًل‬
Artinya: Dari Ummu Qais binti Muhshan RA, bahwasanya dia pernah
datang menghadap Rasulullah SAW dengan membawa bayi
laki-lakinya yang belum makan makanan. Kata Ubaidullah,
"Ummu Qais memberitahu saya bahwa bayi laki-lakinya
kencing di pangkuan Rasulullah, kemudian Rasulullah meminta
air dan memercikkannya pada bajunya tanpa membasuhnya."
(HR. Muslim)

13
14

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologis, “najis” berarti sesuatu yang mengotori. Sedangkan
menurut syara’, “najis” adalah sesuatu yang kotor yang dapat menghalangi
keabsahan shalat selama tidak ada sesuatu yang meringankan (rukhsah).
Najis terbagi tiga jenis, yaitu:
1. Najis Mughalazhah (Najis Berat)
2. Najis Muthawasithah (najis sedang)
3. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Berikut ini beberapa benda yang termasuk najis, yaitu: bangkai, darah,
nanah, segala benda cair yang keluar dari dua pintu, khamr/arak (setiap
minuman keras yang memabukan), anjing dan babi, bagian badan binatang
yang diambil dari tubuhnya selagi hidup, kotoran dan kencing hewan, hewan
jalalah (liar), wadi, madzi, kencing dan muntah manusia dan mani.
Cara mensucikan najis yaitu:
1. Najis Mughalazhah (Najis Berat)
Apabila suatu benda terkena najis mughalazhah (Najis Berat),
maka benda itu hanya bisa disucikan dengan cara dicuci tujuh kali yang
salah satu di antaranya menggunakan debu yang merata pada seluruh
tempat yang terkena najis.
2. Najis Muthawasithah (najis sedang)
Jika najis muthawasithah ini berupa najis ‘ainiyyah (najis yang
dapat diketahui dengan menggunakan indera manusia). Maka
menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap belum
sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut. Jika ternyata
najis muthawasithah sulit dihilangkan, wajib digunakan bahan-bahan
semacam sabun. Jika ternyata (setelah dicuci dengan sabun) warna atau
bau najis tersebut masih ada dan benar-benar sulit dihilangkan, itu tidak
mengapa.

14
15

3. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)


Najis mukhaffafah ini adalah najis yang mendapat toleransi dari
syara’, sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara dicuci. Meskipun
terdapat banyak air, cara untuk mensucikan najis tersebut cukup dengan
memercikkan air pada tempat yang terkena najis tersebut, dan tidak
disyaratkan untuk mengalirkan air.

B. Saran
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dalam pembuatannya. Untuk itu kami memohon maaf apabila ada
kesalahan dan kami sangat mengharap saran yang membangun dari pembaca
agar kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

H.E. Hasan Saleh. (2008). Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer.
Jakarta:Rajawali Pers.

Sulaiman Rasjid. (2014). Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. (1998) Fiqih Wanita (Edisi Indonesia).


Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Zuhaili, Wahbah. (2010). Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas Masalah Fiqhiyah


Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits (Terjemahan). Jakarta: Almahira.

16

Anda mungkin juga menyukai