Anda di halaman 1dari 18

QARAIN TAFSIRIYAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu: Sri Tuti Rahmawati, MA

Disusun Oleh:

Nisa Ali 20320071

Qurotul Aini 20320074

FAKULTAS TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

i
‫اَّللِ الره حْ َم ِن الره ِحيم‬
‫بِس ِْم ه‬

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam. Atas izin dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa
kurang suatu apa pun. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan
Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penulisan makalah berjudul “Qarain Tafsiriyah” bertujuan untuk memenuhi tugas


mata kuliah Ulumul Qur’an. Selama proses penyusunan makalah, penulis mendapatkan
bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada
Ibu Sri Tuti Rahmawati, MA selaku dosen mata kuliah Ulumul Qur’an.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan
saran. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Tenggarong, 14 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. i


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................ 1
C. TUJUAN PENULISAN .............................................................................................................. 2
BAB II..................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 3
A. Qarain/Qarain Lafzhiyah............................................................................................................. 7
B. Qarain/Qarain Ma’nawiyah......................................................................................................... 8
C. Qarain Muttashilah.................................................................................................................... 11
D. Qarain Munfashilah .................................................................................................................. 12
BAB III ................................................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................................................ 13
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 13
B. Saran ......................................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menerjemahkan al-Qur‘an ke dalam bahasa lain bukan hal mudah. Jangankan ke
dalam bahasa lain, bagi orang Arab sendiri bahasa al-Qur‘an tergolong sukar untuk dipahami.
Dengan gaya bahasa tinggi, memahami al-Qur‘an harus dengan modal keilmuan yang
memadai. Sehingga dihasilkan produk qarainan yang berkualitas dengan mempertahankan
pesan teks yang terkandung. Kaum Muslimin dalam rangka memahami al-Qur‘an telah
menghasilkan berton-ton kitab tafsir yang berupaya menjelaskan makna pesannya. Sekalipun
demikian, sejumlah besar mufasir muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung
bagian-bagian mutasyābihāt yang menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.1

Sejarah mencatat, penerjemahan al-Quran ke berbagai bahasa lain telah berlangsung


sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Penduduk muslim di Abbysinia di bawah pimpinan
Ja‘far Ibn Abi Talib membacakan beberapa versi qarain Surah Maryam kepada Negus.
Kejadian ini berlangsung kira-kira sebelum hijrah Rasulullah Saw. Bukti lain juga
menyebutkan bahwa setelah hijrah, Rasulullah Saw. mengirim surat kepada penguasa Persia,
Romawi, Mesir, dan Bahrain untuk diajak masuk Islam. Umumnya isi surat tersebut memuat
beberapa ayat al-Quran yang telah diqarainkan ke dalam bahasa dimana surat itu ditujukan.

Di Indonesia, penerjamahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Indoensia telah dilakukan


oleh beberapa Ulama. Di antara yang populer adalah Tafsir Qur‘an Karim karya Mahmud
Yunus yang terbit pertama kali tahun 1938 M., Al-Furqon oleh Ahmad Hasan terbit tahun
1953 M., Tafsir Annur karya T.M. Hasbi Ash siddiqie, kemudian Tafsir Qur‘an H. Zainuddin
Hamidi dan Fachruddin HS. Pada tahun 1960 M., dan Qarainan Al-Quran H.B. Jassin Bacaan
Mulia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan qarain lafzhiyah?
2. Apa yang dimaksud dengan qarain ma’nawiyah?

1
Daoud Mohammad Nassimi. 2008. A Thematic Comp Ara Tive Review Of Some English Translations
Of The Qur'an, The University of Birmingham,Tesis, h. 2

1
3. Apa yang dimaksud dengan qarain muttashilah?
4. Apa yang dimaksud dengan qarain munfashilah?
5. Apa saja contoh-contoh qarain tafsiriyah?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan qarain lafzhiyah.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan qarain ma’nawiyah.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan qarain muttashilah.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan qarain munfashilah.
5. Untuk mengetahui apa saja contoh-contoh qarain tasfiriyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qarain/Qarinah

Qarinah dalam bahasa Arab berasal dari kata qarana, yang artinya jama’a
(menggabungkan atau mengumpulkan) atau shaahaba (membarengi atau membersamai).
Jadi qarinah menurut pengertian bahasa Arab artinya adalah sesuatu yang berkumpul atau
membarengi sesuatu yang lain.2

Adapun menurut istilah dalam ushul fiqih, qarinah menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil
adalah setiap apa-apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan
itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan tuntutan tersebut. Qarinah ini tidak
dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) yang berbunyi : al-ashlu fi
ma’na al-amr at-thalab (asal dari mana perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat
perintah (amr) dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah, maka pengertian dasar dari amr itu
adalah tuntutan (thalab). Yang menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm
(tegas), atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr yang berupa takhyir (pilihan),
adalah qariah-qarinah yang menyertai amr tersebut.

Menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil, terdapat 3 (tiga) macam qarinah untuk memahami
jenis thalab, yaitu :

1. Qarinah yang menunjukkan jazm (hukum tegas), baik yang menunjukkan hukum
haram maupun hukum wajib.
2. Qarinah yang menunjukkan ghair jazm (hukum tidak tegas), baik yang menunjukkan
hukum mandub (sunnah) maupun hukum makruh.
3. Qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum mubah), yaitu qarinah yang menunjukkan
kesamaan antara tuntutan mengerjakan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan.

Qarinah yang pertama, yakni yang menunjukkan jazm (hukum tegas), ada banyak
macam bentuknya. Antara lain adanya penjelasan mengenai siksaan atau hukuman di
dunia atau di akhirat, atau yang semakna dengan itu, terhadap suatu perbuatan yang
dikerjakan, ataupun perbuatan yang tidak dikerjakan. Penjelasan mengenai hukuman

2
‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, h 19

3
untuk perbuatan yang dikerjakan, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri. Adanya
hukuman ini, merupakan qarinah bahwa perbuatan mencuri itu hukumnya haram. Firman
Allah SWT :

‫يم‬ ََّ ََ‫السا ِرقةََفاقْطعواَأيْ ِدي هماَجزاءََِِباََكسباَنكالََ ِمن‬


ََّ ‫اَللَِو‬
َ ‫اَللَع ِزيزََح ِك‬ َّ ‫السا ِرقََو‬
َّ ََ‫و‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Maidah [5] : 38).
Qarinah berupa penjelasan mengenai hukuman untuk perbuatan yang tidak dikerjakan,
contohnya siksaan di neraka Saqar bagi orang yang tidak sholat. Adanya ancaman siksaan ini,
merupakan qarinah bahwa mengerjakan sholat hukumnya wajib (lihat kembali contoh di atas
di awal tulisan).
Qarinah yang kedua, adalah qarinah yang menunjukkan ghairu jazm (hukum tidak tegas),
yang menunjukkan hukum sunnah atau makruh. Qarinah ini juga ada banyak ragam bentuknya.
Antara lain, adanya nash yang menunjukkan tarjih, yaitu melakukannya lebih baik daripada tak
melakukannya, tetapi kosong dari qarinah-qarinah yang menunjukkan jazm. Misalnya sabda
Rasulullah SAW :

‫تبسمكَيفَوجهَأخيكَصدقة‬

“Senyummu di hadapan saudaramu, adalah sedekah.” (HR Tirmidzi).

Hadits ini menunjukkan adanya tarjih, yaitu tersenyum itu lebih baik daripada tidak
tersenyum, karena ada pujian bahwa senyum kepada sesama muslim itu adalah sedekah. Tapi
nash ini tidak disertai qarinah yang menunjukkan jazm, misalnya yang tidak tersenyum akan
mati jahiliyah, atau dianggap melakukan perbuatan keji, dsb. Maka tersenyum pada saat
berjumpa dengan sesama muslim hukumnya adalah sunnah (mandub), bukan wajib.

Qarinah yang ketiga, adalah qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum mubah).
Bentuknya juga beraneka ragam. Di antaranya adanya perintah setelah larangan, yang
dirumuskan dalam kaidah ushuliyah yang berbunyi Al Amru ba’da an nahyi yufiidul
ibaahah (perintah setelah larangan menunjukkan hukum mubah).

4
Misalnya perintah berburu binatang setelah adanya larangan berburu bagi yang
berihram, yakni setelah jamaah haji melakukan tahallul. Allah SWT berfirman :

‫وإذاَحللتمَفاصطادوا‬

“Dan apabila kamu sudah menyelesaikan ibadah haji (bertahallul), maka berburulah.” (QS
Al Maaidah [5] : 2).

Perintah untuk berburu ini bukanlah berarti perintah wajib, namun sekedar kebolehan
berburu. Karena sebelum selesai beribadah haji haram hukumnya jamaah haji untuk berburu.
Jadi perintah itu bukanlah perintah wajib, melainkan sekedar perintah untuk menghilangkan
keharaman, yaitu menunjukkan boleh, bukan wajib berburu.

Peran qarinah sangat penting dan mutlak bagi seorang mujtahid yang hendak
mengistinbath suatu hukum syara’. Terdapat paling tidak tiga peran atau urgensi qarinah,
yaitu :

1. Pertama, qarinah berperan untuk memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna
tuntutan yang ada. Inilah peran paling penting dari qarinah. Dengan demikian, tanpa
mencari dan memahami qarinah, seorang mujtahid dalam upayanya mengistinbath
hukum tidak akan dapat menentukan makna tuntutan yang ada, apakah tuntutan itu
hukumnya wajib atau mandub, haram atau makruh, ataukah mubah.

Dengan kata lain, mujtahid yang mencari dan memahami qarinah akan termasuk orang yang
melakukan tadabbur terhadap Al Qur`an dan orang yang berusaha memahami makna-makna
Al Qur`an. Dengan kata lain, mujtahid yang mencari dan memahami qarinah akan terhindar
dari celaan sebagai orang yang tidak melakukan tadabbur terhadap Al Qur`an, serta terhindar
dari celaan sebagai orang yang hatinya telah tertutup / terkunci, sebagaimana firman Allah :

‫أفالَيتدبرونَالقرآنَأمَعلىَقلوبَأقفاهلا‬

5
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (melakukan tadabbur) Al Qur`an ataukah hati
mereka terkunci?” (QS Muhammad [47] : 24)

2. Kedua, pengamalan qarinah dapat menjamin pengamalan dalil secara komprehensif,


bukan secara parsial. Sebab orang yang tidak mencari qarinah atau yang tidak
mengamalkan qarinah, berarti mengabaikan dalil-dalil lain yang mengandung qarinah,
baik dalil dari Al Qur`an maupun As Sunnah. Dengan demikian qarinah mempunyai
peran untuk menjauhkan seorang mujtahid dari tindakan mengamalkan sebagian ayat
Al Qur`an dan meninggalkan sebagian ayat Al Qur`an lainnya, yang jelas dikecam
oleh Allah SWT dengan firman-Nya :

ُّ َ ِ‫ياة‬
َ‫الدنْيا‬ َ ‫اْل‬ َ َِ َ‫تاب َوتكْفرونَ َبِب ْعضَ َفما َجزاءَ َم َْن َي ْفعلَ َذلِكَ َ ِمْنك َْم َإِ َلََّ ِخ ْزي‬
ْ َ ‫يف‬ َِ ‫ض َالْ ِك‬
َِ ‫أفَت ْؤِمنونَ َبِب ْع‬

َ‫اَللَبِغافِلََع َّماَت ْعملون‬ َِ ‫وي ْومََالْ ِقيام َِةَي رُّدونََإِىلَأش َِدَالْع‬


ََّ َ‫ذابَوما‬

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian itu daripadamu, kecuali kenistaan
dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Dan Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah [2] : 85)

3. Ketiga, mengamalkan qarinah dapat menghindarkan diri dari kontradiksi (ta’arudh)


antar dalil yang secara lahiriah dapat nampak. Mujtahid yang mencari dan memahami
qarinah, akan dapat meletakkan dalil-dalil yang secara lahiriah bertentangan secara
proporsional, yaitu tanpa adanya pertentangan sama sekali. Sebab adanya kontradiksi
(ta’arudh) di antara dalil-dalil syar’i adalah sesuatu yang mustahil secara syar’i,
sebagaimana firman Allah SWT :

‫اختِالفاَََكثِيَا‬ ِِ ََِّ َ‫أفالَي تدبَّرونََالْقرآنََول َوََكانََ ِم َنَ ِعْن َِدَغ َِي‬


ْ َ‫اَللَلوجدواَف َيه‬ ْ ْ ْ ْ

6
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS
An Nisaa` [4] : 82).

B. Qarain Lafzhiyah
Qarain lafziyah juga disebut dengan qarain harfiah atau musawiyah.Yaitu pengalihan
bahasa sesuai dengan urutan kata bahasa sumber. Tata cara penerjemahan ini tidak
ubahnya dengan sekedar mencari padanan kata.

Qarain Harfiyah dilakukan dengan cara memahami terlebih dahulu arti kata demi kata
yang terdapat dalam teks. Setelah benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata dalam
bentuk bahasa sasaran dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber
meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya qarain harfiah dalam
pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber, tidak
mungkin dilakukan sebab, masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa sasaran)
selain mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dalam urut-urutan kata, juga ada kalanya
masing-masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.3

Qarain Lafzhiyah bisa juga diartikan sebagai pendekatan linguistik, penggunaan


pendekatan linguistik atau kebahasaan memiliki alasan yang kuat, mengingat al-Qur’an
merupakan pesan-pesan Allah yang dikemas dalam media bahasa. Cara paling mendasar
untuk memecahkan pesan-pesan tersebut adalah mencocokkannya dengan pengetahuan
kebahasaan yang secara konvensional telah berlaku dalam kehidupan bangsa Arab. Tanpa
bahasa Arab, tak ada yang dapat dipahami dari al-Qur’an.4

Menggunakan pengetahuan kebahasaan untuk menafsirkan al-Qur’an bukan berarti


selalu memaknai setiap kata dan kalimat-kalimatnya secara harfiah (literal). Orang Arab
mengenal mantuq (makna tersurat) dan mafhum (makna tersirat), sehingga pemahaman
tidak harus didapat dari kata-kata yang tertulis. Seperti dalam bahasa lain, sebagian lafaz
dalam bahasa Arab kadang juga memiliki makna haqiqi (literal) dan sekaligus majazi
(metafor). Dalam konteks makna haqiqi, sebuah lafaz ada kemungkinan memiliki makna
syar’i (legal), ‘urf (konvensional) dan atau lughawi (etimologis) sekaligus. Secara literal,

3
Ismail Lubis, 2004. Ihwal Penerjemahan Bahasa Arab Ke Dalam Bahasa Indonesia, Vol. 16 No.1. h.
97
4
Ata’ bin Khalil, 2006. al-Taisir fi Usul al-Tafsir, (Beirut: Dar al Ummah), h 32

7
kata tangan bermakna salah satu anggota badan, tapi secara metafor, tangan juga bisa
bermakna kekuasaan (qudrah).5

C. Qarain Ma’nawiyah
Qarain Ma’nawiyah/Tafsiriah ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata
atau susunan kalimat bahasa sumber.6 Qarain seperti ini mengutamakan ketepatan makna
dan maksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-urutan kata atau
susunan kalimat. Oleh sebab itu, bentuk qarain seperti ini disebut juga qarainan
maknawiah, karena mengutamakan kejelasan makna.7

Baik Azzarqany maupun Manna al-Qattan sama-sama menamakan qarain tafsiriaah


dengan nama maknawiah. Perbedaan pendapat mereka hanya terletak pada pemberian
keterangan tambahan. Az-Zarqani menamakan qarain tafsiriah dengan nama maknawiah
disertai keterangan, yakni qarainan tersebut mengutamakan kejelasan makna, sedangkan
Manna Al-Qattan tanpa alasan dan keterangan yang jelas.

Pemberian nama pertama, yakni qarain tafsiriah oleh Azzarqany bukan tanpa alasan
dan keterangan yang logis. Ahli Ilmu al-Quran ini menamakannya qarain tafsiriah karena
teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang
tepat, mirip dengan teknik penafsiran, meskipun bukan semata-mata tafsir. Teknik qarain
tafsiriah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber terlebih dahulu.
Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa sasaran
tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber.

Selain dari kedua klasifikasi di atas, beberapa Ulama telah membedakan antara qarain
ma’nawiyah dan qarain tafsiriyah. Qarain ma’nawiyah mengganti suatu kata dengan kata
lain yang sinonim dalam pengertian yang global, atau pengertian yang mendekati dengan
memperhatikan makna-makna tib’iyyah (primer) dan ba’idah (sekunder) juga
memperhatikan ciri khusus dan keistimewaan sebuah kata.Adapun qarain tafsiriyah
merupakan terjamah tafsir dari tafsir-tafsir Al-Qur‘an.8 Dengan demikian dapat dikatakan
qarain tafsiriah lebih mempertimbangkan penafsiran-penafsiran seperti yang terdapat

5
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, 2008. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al Fikr), h 306
6
Manna KholilAl-Qattan, 2008. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah. h. 307
7
Ismail Lubis, 2004. Ihwal Penerjemahan Bahasa Arab Ke Dalam Bahasa Indonesia, Vol. 16 No.1. h
98
8
Sulthan bin Abdullah Hamdan. Tarjamayul Quran Dzawabith wa Ahkam. AlMamlakah Al-Arabiyyah
As Sa’udiyyah: Malik Sa’ud University, h 6

8
pada kitab-kitab tafsir. Hanya saja tidak menggunakan bahasa Arab. Dengan kata lain
menerjemahkan tafsir al-Quran berbahasa arab ke berbagai bahasa.

Menurut Manna‘ al-Qattan, bahasa al-Quran dan juga perkataan orang arab adalah
baligh. Terdiri dari makna primer (ashliyah) atau sekunder (tsanawiyah).9 Makna ashliyah
yaitu makna-makna yang dapat dipahami sama bagi setiap yang mengetahui tanda-tanda
(madlulat) kata atau kalimat, dan mengetahui susunannnya dengan pengetahuan yang
global. Sedangkan makna tsanawiyah adalah kekhususan susunan kalimat yang dapat
menimubulkan ketinggian makna. Dengan demikian Al-Quran menjadi mu‘jizat. Makna
ashliyah terkadang sama dengan perkataan arab begitu juga susunannya namun tidak bisa
disamakan dengan bahasa al-Quran. Makna tsanawi inilah yang mungkin bisa
menunjukkan kemu‘jizatan alQuran dari segi makna dan susunan kata maupun
kalimatnya. Zamakhsyari, pengarang tafsir Al-Kasysyaf, menegaskan bahwa
sesungguhnya perkataan arab khususnya al-Quran, memiliki keistimewaan makna yang
tidak mampu diserupai untuk diuangkapkan dengan perkataan apapun.

Berkaitan dengan model penerjemahan tafsiriyah, Manna‘ al-Qattan menambahkan


penjelasan bahwa model penerjemahan semacam ini merupakan aktifitas menjelaskan
makna dari kalimat dengan menggunakan bahasa lain. Beliau juga mengistilahkan dengan
qarain tafsiril Quran.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beliau pada akhirnya
membedakan antara qarain maknawiyah dan qarain tafsiriyah.

Qarain ma’nawiyah lebih pada mengupayakan pencarian makna yang sesuai dengan
al-Quran dengan menggunakan bahasa lain. Atau dapat diistilahkan dengan
menerjemahkan sesuai dengan aslinya. Adapun qarain tafsiriah lebih diartikan dengan
penjelasan terkait dengan ayat-ayat alquran dari hasil pemahaman.

Qarain Ma'nawiyyah kadang disebut juga dengan Qarain Ghairu Lafdhiyyah dan
Qarain Haliyyah, yaitu sesuatu yang menunjukkan pada makna yang dikehendaki oleh
mutakallim dengan petunjuk selain lafadh, bisa berupa akal, adat kebiasaaan, ataupun
situasi dan kondisi dari runtututan kalam tersebut saat diungkapkan.
Misalnya :

َّ ‫ِل يَأۡخ ممذ م‬ٞ ‫َو ََك َن َو َرا ٓ َء مُه َّم ك‬


‫ُك َس كفينَ ٍة غَ ۡص ٗبا‬

9
Manna KholilAl-Qattan, 2008. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah. h. 308

9
"karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera" (QS. Al
Kahfi:79)

Maksud dari kata ‫ُك َس كفينَ ٍة‬


َّ ‫ م‬adalah ‫ُك َس كفينَ ٍة َصا كل َح ٍة‬
َّ ‫" م‬Setiap bahtera yang bagus". Bila
tidak dikira-kirakan ada lafadh ‫ َصا كل َح ٍة‬dalam susunan kalam tersebut, maka secara makna

akan terjadi kesalahan saat memahami apa yang dimaksud oleh ayat diatas.

Termasuk dalam qarain maknawiyyah adalah:

1. Qarain ‘Aqliyyah, yaitu qarain yang ditunjukkan oleh akal. Yang menjadi
penunjuknya adalah akal. Misalnya:

‫ب ۡلَف علهۥَكبِيه ۡم ََٰهذا‬

“Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya” (Q.S. Al-Anbiya:63).

Untuk dapat memahami siapa pelaku kerusakan, akal sudah sangat jelas mengetahui
bahwa pelakunya bukanlah berhala yang besar. Karena sebesar apapun berhala itu, dia
hanyalah patung yang tidak bisa apa-apa, tidak akan pernah bisa merusak kepada berhala
yang lain, meskipun berhala yang lebih kecil.

Jadi menyandarkan perusakan kepada berhala yang besar adalah hal yang mustahil
secara akal. Sehingga penyandaran perusakan ini adalah sebuah majaz dengan Qarain
'Aqliyyah (Petunjuk Akal).

2. Qarain ‘Adiyyah, yaitu sesuatu yang menunjukkan maksud mutakallim pada selain
makna hakiki, dengan petunjuk kebiasaan atau adat yang ada.
Misalnya:

‫هزمَالقائدَجيوشَاألعداء‬

"Panglima Perang memporak-porandakan tentara musuh".

Yang membuat lari tunggang langgang tentara musuh adalah seorang panglima
perang. Hal ini mungkin saja terjadi secara akal, namun secara adat kebiasaan hal itu

10
sangat tidak mungkin. Karena biasanya seorang panglima tidak akan maju sendirian
ketika berperang. Jadi secara adat kebiasaan, yang membuat cerai berai dan mengalahkan
tentara musuh bukanlah panglima seorang diri, tapi seluruh tentara dan panglima,
sehingga pada contoh diatas ada penyandaran secara majazi dengan Qarain 'Adiyyah
(penunjuk adat kebiasaan).

3. Qarain Siyaqul Kalam wal Maqam, yaitu petunjuk yang berupa runtutan suatu kalam
dan situasi kondisi saat kalam itu diungkapkan. Misalnya:
ۡ ۡ ۡ
‫ذقَإِنَّكَأنتَٱلع ِزيزَٱلك ِر َي‬

"Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia" (QS. Ad


Dukhan:49)

Untuk mengetahui dengan benar makna dari ayat tersebut, kita harus melihat runtutan
kalam sebelum ayat ini. Sehingga kita paham ungkapan ini untuk memuji ataukah
menghina. Dan setelah kita simak ayat-ayat sebelum ayat ini, kita menjadi tahu bahwa
ungkapan ini adalah untuk menghina.

D. Qarain Muttashilah
Qarain muttashilah atau yang dikenal dengan sebutan qarain yang
bersambung/menyatu adalah qarain yang terdapat dalam nash yang sama dengan nash
yang mengandung thalab (tuntutan). Misalkan firman Allah SWT :

ۤ ِ ‫اَالز َٰٰنَاِنَّهََكانََف‬
َ‫احشةََوساءََسبِْيال‬ ٓ ِ ‫ولَت ْقربو‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra` [17] : 32).

Ayat tersebut mengandung tuntutan (thalab), yaitu tuntutan untuk meninggalkan

ِ ‫( ولَت ْقربو‬wa laa taqrabuz zina). Dan pada nash yang sama, terdapat
perbuatan zina َٓ‫اَالز َٰٰن‬

qarain yang menunjukkan bahwa tuntutan itu adalah tuntutan untuk meninggalkan zina

11
َ‫اِنَّه‬
secara jazm (tegas), atau berhukum haram, yaitu firman-Nya yang berbunyi ََ‫َكان‬

ۤ ِ‫ف‬
َ‫احشةََوساءََسبِْيال‬ (innahu kaana fahisyatan wa saa`a sabiila).

E. Qarain Munfashilah
Qarain munfashilah atau yang dikenal dengan sebutan qarain yang terpisah adalah
qarain yang terdapat dalam nash yang berbeda dengan nash yang mengandung thalab
(tuntutan). 10

Contohnya, terdapat perintah (amr) dalam firman Allah SWT:

‫أقيمواَالصالة‬

“Dirikanlah shalat” (QS An Nuur : 56).

Ini adalah tuntutan (thalab) kepada muslim untuk sholat. Tuntutan ini ternyata disertai
qarain-qarain yang bersifat jazm (tegas), yaitu misalnya adanya ancaman siksa neraka
bagi yang tak sholat. Ini berarti sholat itu hukumnya wajib. Qarain itu antara lain firman
Allah SWT :

‫ن‬
َ‫َيفَسقرَقال ْواََلَْنك َِمنَالْمصلِ ْي‬
ْ ِ ‫ماَسلكك ْم‬

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab,”Kami


dulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] :
42-43).

Jadi qarain yang menentukan jenis tuntutan ini ada kalanya terdapat dalam nash yang
lain, yaitu pada nash yang berbeda dengan nash yang mengandung thalab.

10
Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarain ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An Nushush, h.
75-78

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Qarain/Qarain Harfiah juga disebut dengan qarain Lafziah atau Musawiyah.Yaitu
pengalihan bahasa sesuai dengan urutan kata bahasa sumber. Tatacara penerjemahan
ini tidak ubahnya dengan sekedar mencari padanan kata. Qarainan Harfiyah dilakukan
dengan cara memahami terlebih dahulu arti kata demi kata yang terdapat dalam teks.
Qarain Lafzhiyah bisa juga diartikan sebagai pendekatan linguistik, penggunaan
pendekatan linguistik atau kebahasaan memiliki alasan yang kuat, mengingat al-
Qur’an merupakan pesan-pesan Allah yang dikemas dalam media bahasa.
2. Qarain/Qarain Ma’nawiyah ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-urutan kata
atau susunan kalimat bahasa sumber. Qarainan seperti ini mengutamakan ketepatan
makna dan maksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urut-
urutan kata atau susunan kalimat. Oleh sebab itu, bentuk qarainan seperti ini disebut
juga qarainan maknawiah, karena mengutamakan kejelasan makna. Termasuk dalam
qarain ma’nawiyah yakni: qarain ‘aqliyyah, qarain ‘adiyyah, dan qarain siyaqul
Kalam wal Maqam.
3. Qarain muttashilah atau yang dikenal dengan sebutan qarain yang
bersambung/menyatu adalah qarain yang terdapat dalam nash yang sama dengan nash
yang mengandung thalab (tuntutan).
4. Qarain munfashilah atau yang dikenal dengan sebutan qarain yang terpisah adalah
qarain yang terdapat dalam nash yang berbeda dengan nash yang mengandung thalab
(tuntutan).

13
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan khalayak yang membacanya.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar kedepannya
penulis bisa lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Daoud Mohammad Nassimi. 2008. A Thematic Comp Ara Tive Review Of Some English
Translations Of The Qur'an, The University of Birmingham

Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al-Ushul, h 19

Ismail Lubis, 2004. Ihwal Penerjemahan Bahasa Arab Ke Dalam Bahasa Indonesia, Vol. 16
No.1

‘Atha bin Khalil, 2006. al-Taisir fi Usul al-Tafsir, Beirut: Dar al Ummah

Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, 2008. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al Fikr

Manna KholilAl-Qattan, 2008. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah

Sulthan bin Abdullah Hamdan. Tarjamayul Quran Dzawabith wa Ahkam. AlMamlakah Al-
Arabiyyah As Sa’udiyyah: Malik Sa’ud University

Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarain ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An


Nushush

14
15

Anda mungkin juga menyukai