Anda di halaman 1dari 3

1.

PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG FILSAFAT ISLAM


Para pengamat Barat (orientalis) berbeda pendapat dalam menganalisa eksistensi
filsafat Islam. pada umumnya orientalis abad ke-19 menolak adanya filsafat itu, sedang
mereka yang hidup di abad ke-20 nampaknya mulai mengakui eksistensinya. Tetapi
mereka juga masih berbeda; sebagian mereka memandangnya sebagai saduran dari
filsafat sebelumnya. Sementara yang lain mengakui sebagai produk orang-orang Islam.
G.T Tenneman (w. 1719) mengemukakan bahwa kegiatan-kegiatan untuk
mempelajari filsafat di kalangan bangsa Arab mengalami berbagai rintangan sehingga
karya mereka tidak dapat diperhitungkan sebagai hasil karya sendiri. Ada empat faktor
yang menyebabkan mereka tidak dapat berfilsafat sendiri, yakni : 1) kitab suci Al-quran
menghalang-halangi kebebasan berfikir, 2) kefanatikan golongan Ahlus-sunna, 3)
keterpakuan pada pikiran-pikiran Aristoteles padahal sesungguhnya pikiran Aristo itu
tidak dapat dipahaminya dengan tepat, 4) tabiat mereka yang condong kepada angan-
angan. Dengan alasan tersebut, beliau menyimpulkan bahwa karya kaum Muslimin
hanyalah sekedar ulasan terhadap filsafat Aristoteles yang diterapkan atas ajaran-ajaran
Islam yang menghendaki kepercayaan yang buta.
Hal tersebut kemudian dikembangkan oleh Ernes Renan (w.1892 M). Ia mengamati
bahasa-bahasa Semit, dan Renan memberikan alasan yang dikemukakan dalam bukunya
“Averroes et I’Averroisme” bahwa bangsa Semit dimana umatnya yang paling maju
adalah umat Arab, tidak mampu berfilsafat. Oleh karena itu menurutnya bahwa filsafat
yang ada pada mereka tidak lain hanyalah kutipan tandus semata dari filsafat Yunani.
Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Renan dalam bukunuya “Histoire Generale
et Sisteme Copare des Langues Semitiue” bahwa apa yang disebut “filsafat Arab” tidak
lain hanyalah filsafat Yunani yang ditulis dalam bahasa Arab. Alasan-alasan rasial
tersebut di atas juga dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang lain seperti Christian Lassen
dan Schmolders, keduanya berkebangsaan Jerman.
Pada abad ke-20 para orientalis sudah mulai bersikap lunak, L.Gauthier misalnya,
mengakui kemampuan orang-orang Arab untuk berfikir seperti halnya bangsa-bangsa
lain. Menurut Gauthier bahwa keadaan bangsa Semit yang digambarkan tersebut di atas
sebernarnya timbul karena faktor-faktor dari luar, yakni faktor lingkungan dimana
mereka hidup.
Selanjutnya Emile Brahier, seorang tokoh pembela teori Semit Aria, dalam bukunya
“Histoire de La Philosophic” mengatakan bahwa filosof-filosof Arab adalah dari orang-
orang yang memeluk Islam dan mereka menulis karya-karyanya dengan bahasa Arab,
akan tetapi kebanyakan mereka bukan keturunan Semit melainkan dari keturunan Aria,
kerena itulah mereka mencari objek pemikirannya pada buku-buku peningalan Yunani
yang mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani dan bahasa Arab sekitar abad ke-6
Masehi oleh orang-orang Masehi Nestoria. Selain itu mereka mencarinya pada
peninggalan-peninggalan orang-orang Mazdak di Persia yang teklah bercampur baur
dengan pikiran-pikiran orang India.
Max Horten (1908), melangkah lebih jauh lagi, Ia tidak mengikutsertakan persoalan
Semit Aria. Ia mengatakan bahwa berbicara tentang filsafat Islam tidak sewajarnya bila
dibatasi obyek persoalannya pada pikiran-pikiran yang dikenal sebagai kelompok filosof
saja, melaikan harus pula diikutsertakan karya-karya mutakallimin. Pikiran-pikiran
mereka, terutrama menyangkut pembahasan-pembahasan mengenai keadaan wujud dan
pengenalan terhadap alam telah mendahului pendangan kelompok filosof tersebut.
Horten mengakui bahwa para Filosof Islam telah melengkapi kekurangan-
kekurangan Aristoteles, suatu hal yang menunjukan kreativitas yang patut dihargai. Dari
segi lain Ia melihat keorisinilan filsafat Islam karena keimanan yang teguh dimiliki oleh
tokoh-tokohnya, yalni bahwa Islam adalah agama wahyu yang mutlak kebenarannya.
Dengan demikian, padangan yang menyatakan Islam sebagai faktor penghalang,
secara berangsur-angsur hilang. Terutama karena Al-quran sendiri telah membangkitksn
semangat berfikir di kalangan umatnya. Sehingga dalam tempo yang singkat, Islam telah
mewujudkan revolusi berfikir yang tidak ada tandingannya dalam sejarah umat manusia.
Pendapat yang dikemukakan oleh Max Horten itu diperkuat oleh Maurice de Wulf
dalam bukunya “Histoire de La Philoshopic” bahwa filosof-filosof Islam dalam
penyelidikannya tentang wujud lebih senang berfikir sendiri dan tidak latah dalam
menghadapi pemikiran filosof-filosof Yunani, karena berpegang teguh pada prinsip-
prinsip Al-quran.
Adanya keaslian filsafat Islam lebih tegas lagi dikemukakan oleh Montet dalam
bukunya “Al-Islam”:
“Sesungguhnya filsafat Islam meskipun prinsip dan dasar-dasarnya bersifat pikiran
Aristoteles, namun demikian ia bukanlah suatu bentuk perulangan dari pikiran-pikiran
Yunani. Karena orang-orang Islam meskipun bersikap hormat terhadap orang-orang
Yunani karena dianggap sebagai guru besar mereka, namun batas-batas tertentu mereka
sadari betapa pentingnya mempertahankan kemurnian dan identitias mereka,
sebagaimana yang tercermin pada buku-buku hasil karya mereka”.
2. PANDANGAN ISLAM TENTANG FILSAFAT ISLAM
Kendati Islam sudah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII masehi, namun filsafat
dikalangan kaum Muslimin baru dimulai pada abad VIII. Hal ini disebabkan karena pada
abad pertama perkembangan Islam tidak terdapat isme-isme atau paham-paham selain
wahyu. Di kalangan kaum muslimin filsafat dianggap berkembang dengan baik mulai
abad IX masehi sampai abad XII. Keberadaan filsafat pada masa ini juga menandai masa
kegemilangan dunia Islam, yaitu selama masa Daulah Abbasiyah di Baghdad (750-1258)
dan Daulah Amawiyah di Spanyol (755-7492). Menurut Hasbullah Bakry, istilah
skolastik Islam jarang dipakai dalam Khazanah pemikiran Islam. Istilah yang sering
dipakai adalah ilmu kalam atau filsafat islam.
Menurut Mustofa Abdul Razik pemakaian kata filsafat di kalangan Umat Islam
adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al-
Islam (hakim-hakim Islam). Menurutnya, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di
negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-
bahasa pemiliknya.
Menurut Ibrahim Madkur, filsafat Islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia
Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu
dan akal, agama dan filsafat.
Menurut Ahmad Fuad Al-Ahwany, filsafat Islam adalah pembahasan tentang alam
dan manusia yang disinari ajaran Islam.
Menurut Muhammad Atif Al-Iraqy, filsafat Islam secara umum di dalamnya
tercakup ilmu kalam, ilmu ushul fiqh, ilmu tasawuf, dan ilmu pengetahuan lainnya yang
diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus adalah pokok-pokok atau
dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan oleh para filosof muslim.
Jelaslah dari sini bahwa filsafat Islam merupakan hasil pemikiran umat Islam secara
keseluruhan. Pemikiran umat Islam ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al-quran
dan hadist.

Sumber
Jurnal Aqidah-Ta Vol. III No.1 Thn.2017 mengenai Pandangan Orientalis Tentang
Eksistensi Filsafat islam Oleh M.Basir Syam.
https://niamspot.blogspot.com/2012/05/pandangan-islam-tentang-filsafat.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai