Anda di halaman 1dari 15

BEDAH MAYAT

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masa’il Fikhiyyah

Dosen Pengampu: Dr. Fajar Syarif, MA.Pd

Disusun Oleh:

Nisa Ali 20320071

Ra Khanza Nabila 20320075

FAKULTAS TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


‫س ِم هَّللا ِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِحيم‬
ْ ‫ِب‬
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam juga tak lupa penulis ucapkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan hasil observasi ini dengan judul Administrasi Pendidikan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Ujian Akhir Semester mata
kuliah Masa’il Fiqhiyyah. Terwujudnya makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini, dan penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr. Fajar Syarif, MA.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Masa’il
Fiqhiyyah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, dengan demikian penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan
bagi penulis pribadi khususnya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan
kepada penulis.

Tenggarong, 10 Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Perkembangan teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan


mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran
yang sangat maju tersebut, diagnosa mengenai sesuatu penyakit dapat lebih sempurna
untuk dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan
peralatan kedokteran yang modern itu, rasa sakit seseorang penderita dapat diperingan.
Hidup seseorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu,
dengan memasang ‘respirator’. Bahkan perhitungan saat kematian seseorang penderita
penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat. Di samping itu, beberapa negara
maju bahkan sudah mampu melakukan apa yang disebut dengan istilah ‘birth technology’
dan ‘biological engineering’. Dengan demikian masalah cepat atau lambatnya proses
kematian seseorang penderita sesuatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi
yang modern tersebut. Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka
ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga (3) jenis kematian, yaitu :
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah;
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar;
3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter.1

Sejarah perobatan telah mencatatkan bahwa bedah mayat, atau dengan lain perkataan
ilmu perobatanforensikmula diperkenalkan dari Negara Arab, kemudian berkembang ke
Yunani (Greek) dan negaranegara barat seterusnya ke seluruh dunia. Perkembangan
kemajuan sainsperobatan dalam ilmu pembedahan adalah berasaskan kepada keilmuan
yang dibawa oleh IbnuSina. Perkembangan dari masa ke masa melalui kajian dan
pengkajian ahli sainsperobatan telah menghasilkan teknologi modern dalam ilmu bedah
mayat dengan cara lebih saintifikuntuk mencari keadilan dan kebenaran.

Pada abad ke 21 ini, bedah mayat merupakan satu perkara yang tidak dapat dielakkan
dan bukan asing di semua kalangan. Ini karena ia adalah tindakan yang perlu diambil dan
dilakukan untuk kepentingan masyarakat seperti untuk menyelesaikan perkara pidana

1
DjokoPrakoso, Euthanasia: Hak Azasi Manusia Dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1984, hal-10.
seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan,
tindak pidana kesusilaan dan lain-lain. Pembedahan mayat ini dibolehkan karena
menyangkut kepentingan ilmu kedokteran dan penentuan keadilan dalam suatu hukum
pidana.2

Dalam kasus pidana, apabila penegak hukum tidak mau mengusut kejahatan karena
tidak mau dilakukan pembedahan mayat, maka secara tidak langsung dia memberikan
jalan kepada pelaku kejahatan untuk melakukan aksinyatanpa rasa takut. Hukum harus
ditegakkan meskipun melalui pembedahan mayat dan pembongkaran kuburan untuk
mencapai keadilan.3

b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari bedah mayat?
2. Apa tujuan dari bedah mayat?
3. Apa hukum dari bedah mayat?
4. Bagaimana pendapat para ulama mengenai bedah mayat?
5. Bagaimana fatwa MUI mengenai bedah mayat?
c. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari bedah mayat.
2. Untuk mengetahui tujuan dari bedah mayat.
3. Untuk mengetahui apa hukum dari bedah mayat.
4. Untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama mengenai bedah mayat.
5. Untuk mengetahui bagaimana fatwa MUI mengenai bedah mayat.

2
Makarim, S. Fatawa Al-Ustadz Umar Hubeis. Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Jakarta, 1993,
hal. 8.
3
Hasan, MA. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 150.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bedah Mayat


Bedah mayat dalam bahasa Arab disebut ‫ث ْال َموْ تَى‬
ِ َ‫ تَ ْش ِر ْي ُح ُجث‬. Bedah mayat adalah suatu
upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan
tertentu. Jadi, bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, walaupun hanya
sekedar mengambil barang dari tubuh (perut) mayat itu. Sebab, manusia harus dihargai
kendatipun ia sudah menjadi mayat. Apalagi yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
dan penegakan keadilan.4

B. Tujuan Bedah Mayat


Tujuan dilakukannya bedah mayat, di antaranya adalah:
a) Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
Pada prinsipnya ajaran islam memberikan tuntutan pada umatnya, agar selalu
berijtihad dalam suatu hal yang tidak ada ditemukan nashnya dengan memberikan
pedoman dasar dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

ٍ‫َو َجا ِهدُ ْوا ىِف اهّٰلل ِ َح َّق هِج َا ِدهٖ ۗ ه َُو ا ْجتَ ٰبىمُك ْ َو َما َج َع َل عَلَ ْيمُك ْ ىِف ّ ِادل ْي ِن ِم ْن َح َر ۗج‬

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama...” (Q.S. Al-
Hajj: 78).

Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi manusia, harus menggunakan akal pikiran yang
disebut dengan ijtihad dalam Islam, yang hasilnya untuk kemaslahatan umat dengan
ketentuan, bahwa kemaslahatan umum lebih diutamakan daripada kemaslahatan
perorangan. Demikian juga halnya kemaslahatan orang yang hidup lebih diutamakan
daripada orang yang meninggal. Dalam hal ini berarti janin perlu diselamatkan dengan
cara dilakukannya bedah mayat.

4
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah Al-haditsah: Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 152
b) Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat.

Dalam kehidupan sehari-hari bisa saja terjadi, bahwa seseorang menelan permata
orang lain, apakah karena alasan ingin menghilangkan jejak barang curian, atau karena
alasan lainnya dan sesudah itu dia pun meninggal (kebetulan). Kemudian pemilik barang
tersebut dapat menuntut agar barang permata tersebut dapat dikembalikan kepadanya.
Untuk mengeluarkan benda tersebut tentu harus dilakukan pembedahan.

Ada satu hal yang harus menjadi pertimbangan bagi si pemilik barang, yakni tentang
nilai barang yang ditelan oleh orang tersebut. Mungkinkah dapat dimaafkan, atau diminta
penganti yang nilainya sama dengan barang yang ditelan. Walaupun hukum
membenarkan untuk melakukan pembedahan, tetapi hendaknya ada pertimbangan-
pertimbangan tertentu yang amat erat hubungannya dengan kemanusiaan dan kepribadian
(pribadi muslim).

c) Untuk kepentingan penegakan hukum

Dalam suatu Negara, diperlukan penegakan hukum yang seadil-adilnya untuk


digunakan dalam mengatur umat. Dalam hal ini, penegak hukumlah yang lebih
bertanggung jawab untuk menegakkan hukum dengan disertai kesadaran seluruh warga
Negara tersebut.

Untuk penegakan hukum yang adil menurut Islam, tentu diserahkan kepada ahlinya
agar para ahli dapat menerapkannya dengan cara yang adil dan benar, sebagaimana
firman Allah SWT:

ِ‫ِا َّن اهّٰلل َ يَْأ ُم ُرمُك ْ َا ْن تَُؤ دُّوا ااْل َ ٰم ٰن ِت ِاىٰٓل َا ْه ِلهَ ۙا َو ِا َذا َحمَك ْمُت ْ بَنْي َ النَّ ِاس َا ْن حَت ْ مُك ُ ْوا اِب لْ َعدْ ل‬

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil...” (Q.S. An-Nisa: 58).

Biasanya bedah mayat dilakukan bila kematian seseorang diragukan, apakah karena
diracun, atau sengaja minum racun, atau pembunuhan yang dilakukan dengan cara lain.
Bahkan bila ditemukan keanehan dan kecurigaan, mayat yang sudah dikuburkan pun akan
digali kembali.
Penghormatan terhadap si mayat memang perlu dijaga, tetapi penegakan hukum lebih
penting lagi, karena menyangkut nasib seseorang yang akan dijatuhi hukuman berat atau
ringan.

d) Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran

Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan di segala bidang


kehidupan. Oleh karena itu, kita tidak heran bila para sarjana muslim di abad pertengahan
telah menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan melalui berbagai macam karya-
karyanya di bidang Filsafat, Fisika, Biologi, Ilmu Kedokteran, Ilmu Kesenian,
Matematika, Astronomi, dan sebagainya.

Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pembedahan mayat
yakni ilmu Anatomi, yang sebenarnya dasar-dasarnya sudah ada di dalam Al-Qur’an
sejak 14 abad yang lalu. Dan konsep inilah yang dikembangkan oleh sarjana muslim di
abad pertengahan hingga dipelajari oleh bangsa barat lewat penelitian ilmiah. Konsep
tersebut berbunyi:

ٍ ‫خَي ْلُ ُق ُكم يِف بطُو ِن اَُّم ٰهتِ ُكم خ ْل ًقا ِّم ۢ ْن بع ِد خ ْل ٍق يِف ظُلُ ٰم‬
ٍ ۗ ‫ت َث ٰل‬
‫ث‬ ْ َ َْ َ ْ ْ ُْ ْ

“Dia menjadikan kau dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan.” (Q.S. Az-Zumar: 6)

Adapun tiga kegelapan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah: kegelapan dala
perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam
rahim. Di masa lalu dengan tafsiran perut, rahim, dan tulang belakang. Tetapi setelah
ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, maka sebenarnya yang dimaksud dengan kalimat
tersebut adalah chorion, amnion, dan dinding uterus.

Ketiga bagian dalam tubuh tersebut telah dipelajari oleh ahli anatomi, yang
sebenarnya konsepsinya sudah ada sejak lahirnya agama Islam di bumi ini. Oleh karena
orang Islam tidak mengembangkan konsepsi tersebut karena menganggapnya sudah
cukup karena bersumber dari Tuhan, maka kemudian orang Barat yang
mengembangkannya dengan mengambil pedoman dari hasil studi mereka, melalui karya-
karya sarjana muslim tersebur. Berarti orang Barat tidak langsung mempelajarinya lewat
Al-Qur’an, tetapi melalui tulisan-tulisan pemikir Muslim yang hidup di abad
pertengahan.5

C. Hukum Bedah Mayat

Dalam Islam hukum pembedahan mayat dlihat berdasarkan tujuan dari dilakukannya
pembedahan mayat tersebut. Jika pembedahan mayat dilakukan demi kebaikan, apalagi
demi kebaikan banyak orang maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika pembedahan
mayat dilakukan semata-mata untuk keburukan dan pelampiasan dendam maka hal
tersebut tidaklah diperbolehkan. Pembedahan mayat yang diperbolehkan oleh beberapa
Ulama adalah sebagai berikut :

a) Pembedahan mayat untuk keperluan pendidikan

Dalam kasus ini pembedahan mayat diperlukan untuk mempraktekan dan menerapkan
teori yang telah didapat oleh para mahasiswa kedokteran atau kesehatan lainnya. Tanpa
melakukan hal tersebut maka para mahasiswa kedokteran dan kesehatan tidak dapat
mengetahui ilmu anatomi manusia.

b) Pembedahan mayat untuk keperluan forensik

Manusia meninggal dikarenakan berbagai macam faktor dan kejadian, diantaranya


adalah faktor kecelakaan, pembunuhan, kesehatan atau bahkan belum diketahui apa
penyebabnya. Lalu disitulah kegunaan dilakukannya pembedahan mayat atau forensik,
yaitu untuk menyelidiki penyebab kematian seseorang dan mencari kebenaran hukum dari
peristiwa yang terjadi.

Biasanya pembedahan mayat untuk keperluan forensik dilakukan berdasarkan


permintaan dari pihak kepolisian atau badan hukum untuk memastikan penyebab
kematian dari seseorang tersebut, apakah penyebab kematiannya karena alamiah atau
disengaja. Jika kematian tersebut disebabkan bukan secara ilmiah atau disengaja maka
autopsi forensik tersebut dapat menjadi alat bukti untuk melacak dan menangkap si
pelaku.

Pada intinya, tujuan pembedahan mayat forensik adalah untuk menetapkan hukum
secara adil seperti yang tertera dalam firman Alah SWT:
5
Mahjuddin, Masa’il Al-Fiqh: Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam, hlm 123-125
ِ‫ِا َّن اهّٰلل َ يَْأ ُم ُرمُك ْ َا ْن تَُؤ دُّوا ااْل َ ٰم ٰن ِت ِاىٰٓل َا ْه ِلهَ ۙا َو ِا َذا َحمَك ْمُت ْ بَنْي َ النَّ ِاس َا ْن حَت ْ مُك ُ ْوا اِب لْ َعدْ ل‬

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil...” (Q.S. An-Nisa: 58).

Bahwa kita sebagi umat muslim dianjurkan untuk menetapkan hukum di antara
manusia secara adil.

Beberapa imam mazhab memberikan pandangannya berkenaan dengan permasalahan


autopsi. Imam Ahmad bin Hambali berpandangan bahwa ibu yang sedang hamil dan
meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali janinnya itu masih hidup.
Imam Syafi’i menukilkan bahwa ibu hamil meninggal dunia dan janinnya masih hidup,
maka perutnya bisa dibedah untuk mengeluarkan bayinya. Hal ini sama hukumnya
dengan apabila dalam perut si mayat terdapat benda berharga maka mayat dapat dibedah
untuk mengeluarkan benda tersebut.

Imam Malik dalam ijitihadnya berpandangan bahwa seorang yang telah mati dan
dalam perutnya terdapat benda berharga, maka mayat itu harus dibedah, baik benda itu
milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau
hanya untuk mengeluarkan janin yang diperkirakan masih hidup. Imam Hanafi
memberikan pendapatnya yang berbeda dengan pandangan Imam Malik bahwa
seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk
mengeluarkan janin itu.6

Dalam beberapa kaedah fiqih disebutkan bahwa suatu yang dilarang dalam hukum
Islam dapat dibenarkan sekiranya terdapat suatu keadaan yang darurat. Ada beberapa
kaedah fiqih yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan autopsi,7 seperti:

ِ ‫اَلضَّرورات تُبِيح الْمحظُور‬


‫ات‬ َْ ْ َ ُ ْ ُ َُْ

“Keadaan yang darurat (genting) membolehkan hal-hal yang dilarang”.

6
Sya’rawi, M. A. Anda Bertanya Islam Menjawab (1st ed.). Jakarta: Gema Insani Press, 1992. Hlm 458
7
Al-Syinqithi. Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah. Beirut: `Alam al-Kutub. Hlm 170
Dengan demikian, autopsi dapat dijalankan demi kepentingan darurat sesuai dengan
kadar kebutuhannya. Sebahagian ulama kontemporer seperti Syeikh Hasanain Makhluf,
Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi dan beberapa lembaga fatwa ummat islam seperti fatwa
Majma’ Fiqih Islami (Organization of the Islamic Coference), Hai`ah Kibar Ulama (Arab
Saudi) dan Fatwa Lajnah Da`imah (Arab Saudi) membolehkan melakukan autopsi dengan
tujuan untuk menciptakan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan.8
Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Autopsi Jenazah
menyebutkan bahwa semua jenis autopsi dilarang atau haram dalam islam, tetapi dalam
kondisi yang darurat atau mendesak maka autopsi diperbolehkan. Pendapat yang
membolehkan autopsi mendasarkan dalilnya kepada kemaslahatan (Mashalih Mursalah).

Melakukan autopsi untuk kepentingan penegakkan hukum juga diatur dalam Pasal
122 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Ketentuan ini mengatur
tentang:

a) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan autopsi forensik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b) Autopsi forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli
forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke
tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan;
c) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab atas tersedianya pelayanan
autopsi forensik di wilayahnya;
d) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan autopsi forensik diatur dengan peraturan
menteri.

Undang-undang ini membolehkan dilakukannya tindakkan autopsi dengan syarat-


syarat tertentu, misalnya tindakan autopsi yang dikerjakan oleh dokter harus sesuai dengan
norma agama, kesusilaan, dan kode etik kedokteran Indonesia. Mayat diperlakukan dengan
baik dan menjaga kehormatan mayat serta tujuan pembedahan mayat tersebut untuk
kemaslahatan yang lebih besar. Ketentuan ini mengharuskan autopsi dilakukan oleh pihak-
pihak yang mempunyai kompetensi dibidang tersebut. Autopsi tidak dibenarkan dilakukan
oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai kepentingan dan kompetensi karena dapat merusak
keutuhan tubuh dan kehormatan mayat.

8
Al-Hazmi. Taqrib Fiqh Al-Thabib. Riyadh: Mansyurat al-Ashr, 1978. Hlm 90
D. Pendapat Para Ulama Mengenai Bedah Mayat

Sebagian para ulama berpendapat bahwa autopsi atau bedah mayat merupakan praktik
yang melanggar kehormatan jasad manusia yang sangat dijaga dan dimuliakan dalam Islam.
Pendapat ini sebagaimana yang disebutkan Al-Syinqithi dalam Ahkam Al-Jirahah Al-
Thibiyah. Sementara itu, ada pula sebagian ulama yang memperbolehkan autopsi karena tiga
hal.

Pertama, bedah mayat boleh dilakukan untuk kepentingan pendidikan. Hal ini
biasanya dilakukan oleh para pelajar, mahasiswa atau yang lainnya untuk mengetahui
anatomi tubuh manusia. Sebab, sebagai makhluk yang dianugerahi akal, jelas bahwa suatu
penelitian terkait dengan tubuh manusia sangat penting dilakukan.

Kedua, untuk keperluan olah forensik. Ada kalanya, meninggalnya manusia


menyisakan suatu misteri seperti apakah manusia itu meninggal secara alami, kecelakaan,
pembunuhan atau sebab lainnya. Maka untuk mengetahui penyebab yang benar dari kematian
itu, dilakukanlah autopsi oleh para dokter. Hal ini bisa menjadi suatu bukti ketika seseorang
meninggal secara tidak wajar untuk memperoleh keadilan.

Ketiga, bedah mayat dilakukan untuk memajukan ilmu pengetahuan khususnya di


bidang kesehatan. Allah Swt pada dasarnya telah menjelaskan bahwa segala penyakit ada
obatnya. Oleh sebab itu, bedah mayat bisa dilakukan untuk mengetahui penyakit apa yang
diderita seseorang sehingga dapat dicari obatnya. Para ilmuwan jelas yang memiliki
kewenangan untuk melakukan ini semata untuk memajukan ilmu pengetahuan.

Tiga alasan di atas digunakan oleh para ulama yang memperbolehkan autopsi seperti
yang diungkapkan ulama Mesir Syekh Hasanain Makhluf dan Syekh Sa'id Ramadhan al-
Buthi ulama dari Suriah. Tidak hanya itu, lembaga fatwa dari Arab Saudi seperti Majma'
Fiqih Islami OKI, Hai'ah Kibar Ulama Arab Saudi, dan Fatwa Lajnah Da'imah Arab Saudi
juga memperbolehkan autopsi dengan alasan-alasan di atas.

E. Fatwa MUI Mengenai Bedah Mayat


Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Autopsi Jenazah, pada dasarnya mengharamkan
Autopsi (Autopsi forensik dan Autopsi klinis), tapi kemudian membolehkan asalkan ada
kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat tertentu.

Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1 disebutkan, “Pada
dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadaannya dan tidak boleh
dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal autopsi adalah haram. Kemudian pada
“Ketentuan Hukum” nomor 2 pada fatwa MUI tersebut disebutkan, “Autopsi jenazah
diperbolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk
itu.” Ini berarti hukum asal autopsi tersebut dikecualikan, yaitu autopsi yang asalnya haram
kemudian dibolehkan asalkan ada kebutuhan dari pihak berwenang.

Kebolehan autopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat. Dalam
“Ketentuan Hukum” nomor 3 fatwa MUI tersebut, disebutkan syarat itu,yaitu:

1) Autopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan dibenarkan secara syar’i


(seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian
kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga
yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
2) Autopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan,
3) Jenazah yang diautopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan,
4) Jenazah yang akan dijadikan objek autopsi harus memperoleh izin dari dirinya
sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

DjokoPrakoso, Euthanasia: Hak Azasi Manusia Dan Hukum Pidana, Ghalia


Indonesia, 1984
Makarim, S. Fatawa Al-Ustadz Umar Hubeis. Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-
Islamiyyah, Jakarta, 1993.

Hasan, MA. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer


Hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997

Mahjuddin, Masa’il Al-Fiqh: Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam

Sya’rawi, M. A. Anda Bertanya Islam Menjawab (1st ed.). Jakarta: Gema Insani
Press, 1992

Al-Syinqithi. Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah. Beirut: `Alam al-Kutub

Al-Hazmi. Taqrib Fiqh Al-Thabib. Riyadh: Mansyurat al-Ashr, 1978

Anda mungkin juga menyukai