Anda di halaman 1dari 30

HUKUM TRANSPLANTASI DAN EUTHANASIA

ISLAM KONTEMPORER

Dosen pembimbing :
Dr. H. Moh. Ufuqul Mubin, M,Ag.

Penyusun :
1. Thohirin (22062102024)
2. Arif Muthohir (22062102023)
3. Micho Agung Saputra (22062102022)
4. Eva Tri Kumalasari (22062102021)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

1
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DARUL ULUM LAMONGAN 2022/2023

DAFTAR ISI
SAMPUL ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..........................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ... ................................................................. 3


A. Latar Belakang Masalah ............................................................... …3
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Kajian Pustaka ................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN UMUM ………………………………………… 5


A. Transplantasi Organ Tubuh ............................................................... 5
1. Definisi Transplantasi Organ Tubuh Manusia .................................... 5
2. Sejarah Transplantasi……………………………………………..…..6
3. definisi eusthanasia pada manusia………………………………..…..6

BAB III TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH…………………….. 9


A. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Perspektif Hukum Nasional……9
B. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Perspektif islam Kontemporer… 9
1. Pandangan ulama Syaikh Abdul Qadim Zallum………..…………. 10
2. Pandangan ulama yang Masjfuk Zuhdi….………………..…………16
3. Pandangan Lembaga-Lembaga Ulama kontemporer Indonesia…18

BAB IV EUSTHANASIA……………………………….……………21
a. perspektif islam dalam Tindakan eusthanasia…………………………..22
b.sejarah eusthanasia…………………………………………………….. ..23
c. hukum eusthanasia di Indonesia…………………………………………23

BAB V PENUTUP……………………………………………………..28
A. Kesimpulan…………………………………………………….. 28
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………. 29

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa lampau menetaskan ketakjuban dan zaman modern justru lebih banyak dan
lebih tangkas mengemukakan kekaguman yang sebelumnya tiada terpikirkan oleh insan
dalam peningkatan ilmu pengetahuan. Hikmat peningkatan pemahaman
yang diarahkan oleh Tuhan. “Dia memberi tahu pada jiwa apa yang enggak
diketahuinya”.10 Zaman sekarang dengan adanya bantuan teknologi maka banyak hal yang
manusia dapat perbuat misalnya adanya donor darah dan donor- donor bagian anggota
tubuh lainnya.
Negara-negara muslimin, donor darah tidak dipungkiri bahkan menyerukan atau
menganjurkan untuk ikut serta menjadi pendonor yang mana menyumbangkan darah
merupakan bahagian dari organ tubuh. Maka ijma’ meyakinkan bahwa perbuatan
menyumbangkan darah bisa diterima oleh syara’. Ditetapkan oleh kaidah Syari‟ah bahwa
kemudharatan mesti dihilangkan, oleh karenanya manusia disyariatkan buat saling
tolongmenolong.
Menolong insan yang membutuhkan pertolongan seperti dalam keadaan
tertekekan atau terpaksa, menjadi tawanan, memberikan makan untuk manusia-manusia
yang lapar, menolong insan-insan yang terluka, memberikan pengobatan untuk jiwa yang
sakit maupun menyelamatkan hidup jiwa yang mengalami bahaya baik yang bersangkutan
dengan nyawa ataupun yang lainnya. Maka sebagai seorang muslim mewajibkan
mengulurkan tangan kepada insan yang dalam kondisi bahaya menimpa seseorang apabila
seseorang tersebut dalam keadaan mampu untuk menghilangkan bahaya itu sesuai
kemampuannya. Dan manusia tidak dapat hidup sendiri lantaran merupakan makhluk
sosial maka bahu-membahu dalam segala hal itu sangat dibutuhkan maka dari itu
mendonorkan atau memberikan sebagian organ tubuh yang kita miliki untuk membantu
sesama dalam menghilangkan kesakitannya sesuai kemampuan kita namun harus melihat
juga dari sisi mudharatnya untuk diri sendiri. Transplantasi dan eusthasia merupakan
salahsatu jalan dalam dunia kedokteran yang diyakini mampu mengurangi kesusahan ,
kesakitan dan rasa putus asa pada manusia yang diberi cobaan penyakit.
Keduanya, sampai saat ini masih menjadi perselisihan dalam dunia hukum negara dan
hukum agamawan. Melihat dan membandingkan antara manfaat dan madharat yang timbul
akibat keduanya, maka beberapa ahli hukum negeri dan ahli hukum agamawan memiliki
beberapa pendapat yang berbeda.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hukum transplantasi organ tubuh perspektif islam kontemporer?


2. Bagaimanakah hukum eustanasia pada mausia perspektif islam kontemporer?
3. Bagaimanakah hukum keduanya perspektif dunia (negara/ kedokteran) ?

3
C. Kajian Pustaka/ Penelitian Terdahulu
1. Mahjuddin, karya yang tertuang dalam bukunya tentang masail al-fiqh: kasus-kasus
aktual dalam hukum Islam. Buku ini hanya berfokus pada transplantasi organ tubuh
manusia khusus mata yang terdiri atas pengertian, permasalahan mata dan hukum donor
mata itu sendiri dalam perspektif hukum Islam. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai
oleh peneliti adalah untuk mengetahui prinsip dasar, proses dan dampak positif terhadap
orang lain dengan tindakan transplantasi organ tubuh perspektif fikih kontemporer.
2. Abuddin Nata, dalam bukunya masail al-fiqhiyah. Buku ini hanya membahas tentang
tipe-tipe transplantasi dari sisi donor dan peraturan transplantasi organ tubuh dalam
aspek kaidah Islam. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah untuk
mengetahui prinsip dasar, proses dan dampak positif terhadap orang lain dengan
tindakan transplantasi organ tubuh perspektif fikih kontemporer.
3. Khutbuddin Aibak dalam bukunya kajian fiqh kontemporer. Buku ini berfokus kepada
tipe-tipe donor organ tubuh, pandangan ulama-ulama kontemporer dan ayat-ayat yang
dapat membentuk landasan hukum. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti
adalah untuk mengetahui prinsip dasar, proses dan dampak positif terhadap orang lain
dengan tindakan transplantasi organ tubuh perspektif fikih kontemporer.
4. Tindakan Euthanasia Pasif Untuk Menghilangkan Penderitaan Pasien Menurut Hukum Pidana dan
Hukum Kesehatan dan Konsekuensi Yang Diterima Sebagai Bentuk Pertanggung Jawaban (Studi
Normatif Terhadap Ketentuan Hukum Pidana dan Hukum Kesehatan Di Indonesia), Skripsi karya
Herly Rouga L.T, alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, tahun 2008. Dalaam skripsi ini
Herly meneliti tentang euthanasia pasif yang diaanalisis menggunakan hukum pidana dan
kesehatan di Indonesia, kemudian memaparkan konsekuansi hukum yang akan diterima bagi para
dokter yang melakukan euthanasia pasif

4
BAB II
TINJAUAN UMUM

A. TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

1. Definisi Transplantasi Organ Tubuh

Transplantasi bersumber dari dialek inggris yakni transplantation, to take up plant


to another yang berarti mengambil untuk diberikan atau diletakkan pada tempat lain
ataupun menempatkan dari suatu tempat ketempat yang lain atau dalam bahasa Indonesia
disebut dengan pencangkokan.Transplantasi juga berarti transfer buatan dari mentransfer
sepotong organisme ke lokasi yang berbeda dalam organisme yang sama atau yang lainnya
yang disebut juga dengan pencangkokan yang menjadi penyatuan yang erat dengan
jaringan pada posisi yang baru.
Donor organ atau yang lebih dikenal dengan istilah transplantasi adalah proses
pemindahan jaringan atau organ manusia dari satu lokasi ke lokasi lain dalam tubuh sendiri
atau orang lain, menurut standar dan kondisi tertentu, selama organ dan penerimanya
cocok.
Beberapa ilmuan mengemukakan pendapat diantaranya: Transplantasi, menurut
Said al-Munawar, adalah proses pemindahan organ yang sehat atau berfungsi untuk
menggantikan organ yang tidak lagi berfungsi atau telah rusak secara medis. Sedangkan
transplantasi menurut Ratna Samil adalah dalam keadaan tertentu, transplantasi organ atau
jaringan dari satu lokasi ke lokasi lain. Sementara menurut Menurut M. Ali Hasan,
transplantasi adalah proses pemindahan organ tubuh yang sehat untuk menggantikan organ
tubuh yang tidak lagi sehat atau berfungsi secara efektif.. Sementera definisi transplantasi
menurut notoatmodjo adalah Memindahkan organ atau jaringan dari satu tubuh manusia ke
tubuh lain atau tubuh sendiri adalah prosedur medis.
Masjfuk zuhdi ikut mengemukakan pendapatnya tentang trasplantasi merupakan
perubahan posisi organ tubuh yang memiliki ikhtiar hidup sembuh dari penyakit dengan
cara mengganti organ rusak dan tidak berguna sekalipun diobati, apabila menggunakan
langkah medis biasa maka penderita tidak lagi mempunyai harapan untuk mempertahankan
dirinya.
Dalam kedokteran, bagaimanapun, istilah "transplantasi" mengacu pada upaya
untuk menggeser sebagian dari komponen tubuh dari satu lokasi ke lokasi lain, serta upaya
medis untuk memindahkan sel-sel jaringan atau organ dari donor ke penerima.Jaringan
yang dimaksud adalah kumpulan sel dari area terkecil tubuh individu yang melayani tujuan
tertentu.
Organ adalah sekelompok jaringan yang melakukan fungsi tertentu. Pemindahan
(engraftment) sel, jaringan, atau organ manusia dari donor ke penerima dengan tujuan
memulihkan fungsi di dalam tubuh, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). ke
penerima dengan tujuan mengembalikan fungsi komponen tubuh itu.
Transplantasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pemindahan
jaringan tubuh dari satu tempat ke tempat lain, serta penutupan luka tanpa kulit dengan
jaringan kulit dari bagian tubuh yang lain.
Transplantasi organ menurut undang-undang kesehatan adalah rangkaian tindakan
medis untuk memindahkan organ dan jaringan tubuh manusia dari tubuh manusia lain atau
tubuhnya sendiri dalam rangka terapi penggantian organ atau jaringan tubuh yang rusak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 alinea 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992.

5
Transplantasi organ dapat digolongkan sebagai tindakan penyelamatan jiwa berdasarkan
tujuan dan manfaatnya, yang menunjukkan bahwa diperkirakan akan memperpanjang
waktu hidup seseorang dari penyakit yang dideritanya.
Menurut kesepakatan ulama bahwa transplantasi merupakan pengambilan salah satu
organ tubuh dari seorang manusia, baik hidup maupun mati yang mana dengan harapan
untuk meneruskan kehidupan dan mananam ke tubuh atau jasad orang lain.
2. Sejarah transplantasi

Orang telah menverifikasi mendalami asal mula munculnya sebuah kepelikan dan
memikirkan bagaimana proses pengobatannya semenjak beribu tahun sebelum masehi
seiring dengan berkembangnya keterampilan dan teknologi di ilmu kedokteran yang
berkembang hingga saat ini, salah satu diantaranya yaitu transplantasi organ tubuh.94
Berkembangnya sebuah keahlian dan teknologi dilatarbelakangi oleh kepentingan makhluk
dengan keterbatasan fisik yang dimiliki sehingga makna dikembangkannya ilmu
pengetahuan dan teknologi ialah agar menjadi alat bagi manusia untuk mengembalikan
fungsinya dan memenuhi misi hidup di dunia untuk memenuhi kebutuhan dan bertahan
hidup.
Jauh sebelum Nabi Isa as. diutus, dunia mulai mempertimbangkan transplantasi
organ atau jaringan 4000 tahun yang lalu, dan transplantasi organ atau transplantasi organ
telah dilakukan selama kurang lebih 2000 tahun. Ada manuskrip yang ditemukan yang
menggambarkan percobaan transplantasi jaringan, dan ada juga kejadian transplantasi pada
Masa Nabi ketika operasi plastik dilakukan dengan menggunakan organ buatan atau
palsu.Menurut riwayat Abu Dawud, kakeknya Arfajah bin As'ad telah dipotong hidungnya
selama perang Kulab, dan dia memakai hidung palsu logam perak, tetapi hidungnya segera
mulai mengeluarkan bau yang tidak sedap atau berbau busuk, mendorong Nabi , saw, untuk
mendesak dia untuk memakai hidung palsu. terbuat dari emas.96 Sementara itu, di India,
seorang ahli bedah Hindu telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang disiksa
dengan transplantasi kulit dan jaringan lemak dari bawah lengannya.97 Gaspare Tagliacozzi,
seorang ahli bedah Italia yang mencoba memperbaiki cacat hidung seseorang menggunakan
kulit temannya pada tahun 1597 M, tergerak oleh pengalaman ini.98 Kemudian, pada tahun
1863, Paul Bert, seorang ahli bedah baru Prancis, mampu menjelaskan bahwa allograft,
atau transplantasi alat dari satu orang ke orang lain, selalu mengakibatkan penolakan dari
penerima, sedangkan autograft, atau pemindahan alat dari tubuh manusia yang sama,
tidak.99 Transplantasi seperti darah, tulang, dan kulit telah dilakukan sejak masa praanestesi,
menurut John Hunter, yang dikenal sebagai pelopor bedah eksperimental.
Sementara itu, Zirm telah melakukan transplantasi pada tahun 1905, yang merupakan
tantangan pada saat itu karena transplantasi organ yang membutuhkan pencangkokan
vaskular sangat sulit.

3. Definisi Eusthanasia
Eutanasia (dari bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan
θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit
atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan
suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan sering kali berubah
seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau

6
tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara
lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan
prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Eutanasia Ditinjau Dari Sudut Cara Pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.

 Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
 Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi di mana seorang pasien
menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis
meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah
suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
 Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara
sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan
tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien,
ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru
akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif sering kali dilakukan
secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak
keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga
karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus
keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari
pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, tetapi hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir
dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum
Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu
saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang
Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[24]

7
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu
suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit,
karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara
positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa
tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .

8
BAB III
HUKUM TENTANG TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

A. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Perspektif Hukum Nasional

Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental sebagai bagian dari warisan


dari kolonial Belanda yang berasaskan kodifikasi dalam arti semua hukum terhimpun
dalam buku peraturan perundang-undangan.159 Hukum kesehatan di Indonesia pada
praktiknya berlaku dua metode hukum yakni sistem eropa kontinental dan sistem
anglo saxon yang berlaku secara universal dan disesuaikan dengan bidang agama,
sosial budaya dan falsafah bangsa.
Dari segi hukum bahwa transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang
sebagai suatu usaha mulia dalam upaya menyelamatkan dan melindungi manusia.
Transplantasi diatur dalam Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
kemudian dilengkapi dengan peraturan pemerintah no. 53 tahun 2021 tentang
transplantasi organ dan jaringan tubuh yang telah disahkan oleh presiden Jokowi pada
tanggal 4 maret 2021.

1. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan merupakan pembaharuan


dari undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan. UU tentang
kesehatan yang mengatur tentang tindakan transplantasi terdapat beberapa pasal
yaitu:
a. Pasal 64 berbunyi:
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui
transplantasi organ dan/ atau jaringan tubuh, implant obat dan/ atau alat
kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi serta penggunaan sel punca.

2) Transplantasi organ dan/ atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan.

3) Organ dan/ atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belian dengan dalih


apapun.

b. Pasal 65
1) Transplantasi organ dan/ atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

2) Pengambilan organ dan/ atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/ atau ahli waris atau keluarganya.

c. Pasal 66
transplantasi sel baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya
dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.

d. Pasal 67

9
1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman


spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Hukum Transplantasi Organ Tubuh perspektif islam kontemporer

Keberadaan al-maslahah al-mursalah sebagai bentuk ijtihad modern untuk


menetapkan hukum dan menjawab semua kasus kontemporer termasuk sumber Al-
Qur'an dan hadits. Al-maslahah al-mursalah adalah argumen hukum untuk
menetapkan hukum dalam situasi baru yang tidak secara eksplisit ditentukan dalam
Al-Qur'an atau hadits. Ketika tidak ada penjelasan hukum yang jelas dalam Al-Qur'an
atau hadits, seperti dalam kasus transplantasi, diperlukan ijtihad ahli fiqh, tetapi itu
menyebabkan perbedaan pendapat.

maslahah mursalah merupakan bentuk dari mashlahah yang berarti


perbuatan-perbuatan yang mendorong manusia pada kebaikan atau dalam pengertian
lain bahwa setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti
menarik atau menghasilkan seperti keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti
menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan.164
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa mashlahah merupakan segala tindakan
yang dipandang baik dan dapat diterima oleh akal sehat karena mendatangkan
kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia serta sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan suatu hukum.

Sejauh bagaimana transplantasi organ, kita harus selalu ingat bahwa baik Al-
Quran maupun sunah tidak mendukung maupun mengutuknya. Fuqaha kontemporer
telah mempertimbangkan permasalahan ini dan memberikan pedoman fiqhiyyah
tertentu yang didasarkan pada dedikasi ajaran-ajaran dasar dua sumber hukum syariat,
yaitu Al-Quran dan sunah. Pandangan ulama berkenaan dengan transplantasi sebagai
berikut.

1. Syaikh Abdul Qadim Zallum

Beliau bernama lengkap al-„alim al-Kabir Syaikh Abdul Qadim bin Yusuf bin
Abdul Zallum lahir pada tahun 1342 H. Menurut pendapat paling kuat beliau lahir di
kota al-Khalil, Palestina dan beliau berasal dari keluarga beragama karena ayah
beliau salah seorang penghafal al-Qur‟an dan beliau pun membaca al-Qur‟an sampai
akhir hayatnya.165 Beliau mengemukakan pendapatnya berkenaan dengan
transplantasi organ tubuh yakni:

a. Transplantasi organ yang masih hidup


Seseorang diperkenankan syara‟ menyumbangkan organ tubuhnya kepada
orang lain yang membutuhkan seperti ginjal, mata dan lain sebagainya dengan

10
sukarela. Ketentuan tersebut dikarenakan adanya hak seseorang yang tercongkel
matanya akibat ulah orang lain untuk mengambil tebusan atau memaafkan orang lain
yang telah mencongkel matanya lantaran hakikatnya menyumbangkan tebusan atau
diyat. Memberikan tebusan berarti adanya ketetapan kepemilikan organ tubuh yang
akan didermakan. Adanya hak milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya
berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ tersebut yakni adanya
kebolehan untuk mendermakan organ tubuhnya kepada manusia lainnya yang
membutuhkan organ tersebut dan dalam hal ini Allah swt. membolehkan memberi
maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Firman Allah swt. QS. al-Baqarah/2:
178:
ۚ ‫اص ىِف ٱلْ َقْتلَى ۖ ٱحْلُُّر بِٱحْلُِّر َوٱلْ َعْب ُد بِٱلْ َعْب ِد َوٱُأْلنثَ ٰى بِٱُأْلنثَ ٰى‬ ِ ِ ۟ ِ َّ ٓ ٰ
ُ ‫ص‬َ ‫ب َعلَْي ُك ُم ٱلْق‬ َ ‫يََأيُّ َها ٱلذ‬
َ ‫ين ءَ َامنُو\ا ُكت‬
ۗ ٌ‫يف ِّمن َّربِّ ُك ْم َو َرمْح َة‬ ِ ِ‫وف وَأدٓاء ِإلَي ِه بِِإح ٰس ٍن ۗ َٰذل‬
ٌ ‫ك خَت ْف‬
ِ ِ ٌ ۢ ‫َأخ ِيه َشىء فَٱتِّبا‬
ِ ‫فَمن ع ِفى لَهۥ ِمن‬
َ َ ْ ْ ٌ َ َ ‫ع بٱلْ َم ْع ُر‬ َ ٌْ ْ ُ َ ُ َْ
‫يم‬ِ ‫فَم ِن ٱعت َد ٰى بع َد َٰذلِك َفلَهۥ ع َذ‬
ٌ ‫اب َأل‬
ٌ َ ُ َ ْ َ َْ َ
Terjemahnya:

hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barang siapa yang memdapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada
yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

b. Syarat mendermakan organ hidup

Syarat mubah dalam mendermakan organ tubuh ketika seseorang masih hidup
organ yang disumbangkan bukan organ yang vital yang dapat menentukan
kelangsungan hidup pihak penderma seperti hati, jantung dan paru-paru
lantaran apabila mendermakan organ tersebut maka penderma telah membunuh
dirinya sendiri padahal dalam firman Allah tidak diperbolehkan untuk bunuh
diri. QS. al-Nisa‟/ 4: 29:
‫اض ِّمن ُك ْم ۚ َواَل َت ْقُتلُ ٓو ۟ا‬ ِ ‫َأيُّها ٱلَّ ِذين ءامنُو ۟ا اَل تَْأ ُكلُ ٓو ۟ا َأم ٰولَ ُكم بينَ ُكم بِٱلْب‬
ٍ ‫ٰط ِل ِإٓاَّل َأن تَ ُكو َن جِت ََٰرةً َعن َتَر‬َ َْ َ ْ ََ َ َ
ِ ِ ‫ِإ‬
ً ‫َأن ُف َس ُك ْم ۚ َّن ٱللَّهَ َكا َن ب ُك ْم َرح‬
‫يما‬
Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu


dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka
sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

11
c. Hukum transplantasi dari donor jenazah

Hukum transplantasi organ jenazah berbeda dengan organ hidup. Jenazah


mesti mendapatkan kejelasan mengenai kepemilikan tubuh mayat, hukum
kehormatan mayat dan hukum darurat. Berkenan dengan kepemilikan tubuh seorang
jenazah maka beliau berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak dimiliki oleh
seorang pun sebab meninggalnya seseorang sebenarnya dia tidak lagi memiliki kuasa
atas suatu apapun, entah itu tubuhnya, hartanya maupun isterinya. Oleh karenanya,
dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya sehingga ia tidak berhak mendermakan
ataupun mewasiatkan salah satu organnya. Berdasarkan hal tersebut maka seseorang
yang telah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak
dibenarkan pula untuk mendermakannya.
Berkenaan dengan kebolehan mewasiatkan sebagian hartanya meskipun sudah diluar
kepemilikannya setelahmeninggal dunia lantaran Allah telah mengizinkan seseorang untuk
mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga tanpa izin dari ahli waris. Diluar ketentuan
tersebut harus berdasarkan izin ahli waris, adanya izin ahli waris hanya mencakup
tentang harta dan tidak dengan yang lain. Tidak mencakup wasiat tubuh lantaran ia
tidak berhak berwasiat untuk mendermakan salah satu organ tubuhnya setelah
meninggal. Berkenaan dengan ahli waris, Allah swt telah mewariskan harta benda si
mayit bukan tubuhnya maka dari itu ahli waris tidak berhak mendermakan salah satu
organ si mayit lantaran mereka tidak memiliki tubuh si mayit dan mereka tidak
berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Syarat sahnya mendermakan suatu
benda yakni pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan
disumbangkan dan mempunyai hak memanfaatkan benda tersbut dan selama hak
mewarisi tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki selain ahli waris,
bagaimanapun status karena seorang dokter tidak berhak memanfaatkan salah satu
organ tubuh seseorang yang sudah meninggal dunia untuk ditransplantasikan ke
orang yang membutuhkannya
Adapun kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya maka Allah swt.
telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara
sebagaimana kehormatan semasa hidup. Allah menetapkan bahwa sama saja dosanya
dengan menganiaya orang hidup.

ٍ ِ‫ال ح َّدثَنا سع ُد بن سع‬ ُّ ‫َّر َاو ْر ِد‬ ٍ َ َ‫َح َّدثَنَا ِه َشامُ بْ ُن َع َّما ٍر ق‬
‫يد‬ َ ُ ْ ْ َ َ َ َ َ‫ي ق‬ َ ‫ال َح َّدثَنَا َع ْب ُد الْ َع ِزي ِز بْ ُن حُمَ َّمد الد‬
ِ ِّ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم َكسر عظْ ِم الْمي‬
ِ‫ت َك َكس ِره‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ت ق‬ ‫ِئ‬
ْ َ َ ُْ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ‫َع ْن َع ْم َرةَ َع ْن َعا َشةَ قَال‬
‫َحيًّا‬
Artinya:

Telah menceritakan kepada kami hisyam bin Ammar berkata; telah


menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad ad-Dawardi berkata;
telah menceritakan kepada kami Sa‟d bin Amrah dari Aisyah ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda: “memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya
ketika masih hidup”. (HR. Ibnu Majah)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan


sebagaimana menghormati orang hidup. Begitupula melanggar kehormatan dan

12
penganiayaan mayat adalah sama-sama melanggar kehormatan dan aniaya orang
hidup seperti membedah perut, memenggal leher, mencongkel mata dan lain
sebagainya, hal tersebut tidak diperbolehkan sebagaimana menyakiti orang yang
hidup dengan mencaci maki, memukul atau melukainya maka hal tersebut termasuk
perbuatan yang diharamkan terhadap mayat.169

Penulis dapat menarik kesimpulan dari uraian diatas bahwa transplantasi pada
organ mayat tidak diperboleh diperbolehkan karena dianggap telah menganiaya
mayat dan tidak menghormatinya sedangkan menghormati orang yang telah mati
sama dengan orang yang masih hidup.

Mufti Muhammad Syafi' dari Pakistan dan Dr. Abd. Al-Salim al-Syukri dari
Mesir termasuk di antara para intelektual yang menolak transplantasi organ manusia.
Bagi ulama yang mengharamkannya berlandaskan pada hadis :

ٍ ِ‫ال ح َّدثَنا سع ُد بن سع‬ ُّ ‫َّر َاو ْر ِد‬ ٍ َ َ‫َح َّدثَنَا ِه َشامُ بْ ُن َع َّما ٍر ق‬
‫يد‬ َ ُ ْ ْ َ َ َ َ َ‫ي ق‬ َ ‫ال َح َّدثَنَا َع ْب ُد الْ َع ِزي ِز بْ ُن حُمَ َّمد الد‬
ِ ِّ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم َكسر عظْ ِم الْمي‬
ِ‫ت َك َكس ِره‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ت ق‬ ‫ِئ‬
ْ َ َ ُْ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ‫َع ْن َع ْم َرةَ َع ْن َعا َشةَ قَال‬
‫َحيًّا‬

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami hisyam bin Ammar berkata; telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad ad-Dawardi berkata;
telah menctakan kepada kami Sa‟d bin Amrah dari Aisyah ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda: “memecahkan tulang mayit seperti
memecahkannya ketika masih hidup”. (HR. Ibnu Majah)
Dilihat hadis diatas bahwa perbuatan memecahkan tulang mayat seorang
muslim adalah dilarang atau haram untuk dilakukan.170

Transplantasi organ tidak diperbolehkan, menurut Multi Muhammad Syafi,


karena tiga prinsip:

1) Kesucian tubuh manusia atau kesucian hidup


Mematahkan tulang seseorang setelah kematian sama tidak bermoralnya
dengan mematahkan tulang seseorang saat masih hidup.171 Al-Qur'an mengandung
ajaran yang menganjurkan manusia wajib menjaga dan memelihara kehidupan dirinya
sendiri maupun kehidupan orang lain.

2) Tubuh manusia sebagai amanah


Allah SWT. telah memuliakan manusia dengan menjadikan semua yang di
langit dan di bumi bermanfaat baginya sebagai nikmat dan kebaikannya. Dapat
disimpulkan bahwa manusia tidak berhak memberikan bagian tubuhnya karena
organ-organ tersebut pada hakekatnya dipercayakan kepada mereka.

3) Memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material

Dua contoh berikut menunjukkan mengapa tidak diperbolehkan


memperlakukan tubuh manusia sebagai entitas material belaka:

13
a) Fatwa alamgiriyyah menyatakan bahwa jika seseorang berada di ambang
kematian dan tidak dapat menemukan bahkan bangkai hewan untuk dimakan,
dan yang ada di dekatnya hanyalah daging manusia, ia tetap tidak boleh
memakannya.

b) Orang yang mencampurkan rambut wanita dengan rambut orang lain untuk
melihat laknat wanita dan laknat karena alasan itu ditegur atau dilaknat oleh
Allah swt. Sementara pedoman menyatakan bahwa wanita dapat
menambahkan gulungan gambar dengan bulu hewan atau wol, adalah
mungkin untuk menyimpulkan bahwa menggunakan rambut manusia untuk
alasan ini adalah ilegal. Sebagai akibat dari kasus sebelumnya, dapat
dipastikan bahwa penggunaan organ tubuh manusia juga ilegal.

Penolakan transplantasi organ tubuh yang diuraikan oleh al-Syukri dengan


pertimbangan-pertimbangan:
1) Kesucian tubuh manusia

Kemurnian diri insan berlandaskan sabda Nabi saw. bahwa mematahkan


rangka atau tulang seorang insan yang sudah tidak bernyawa setara dosa dan
menyalahi dengan mematahkan rangka insan yang masih hidup. Ulama meneguhkan
keharusan untuk mengebumikan ke keadaan semula tulang-tulang atau yang
tertinggal dari badan insan apabila tidak ada asas tertentu untuk mengeluarkan
jenazah maka keharusannya serupa dengan mengebumikan tangan dan kaki yang
dipenggal dari orang yang dikenai hukuman dalam skema menghormati dan
menjunjung tinggi diri insan.

2) Larangan mengambil manfaat benda yang tidak diperkenankan sebagai obat

Larangan meminta atau mencari obat dengan benda tidak halal dan menjelma
sebagai asas para fuqaha dan dokter-dokter yang menganut agama Islam dalam
melakukan kewajiban profesinya. Sebagaimana Nabi saw. Bersabda:

َ َ‫يد بْ ِن َأيِب ُح َسنْي ٍ ق‬ ِ ِ‫ي ح َّد َثنا عمر بن سع‬


‫ال َح َّدثَيِن‬ َ ُ ْ ُ َ ُ َ َ ُّ ِ‫الز َبرْي‬ ُّ ‫َح َّد َثنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمَثىَّن َح َّد َثنَا َأبُو َأمْح َ َد‬
َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ُ‫ال َما َأْنَز َل اللَّه‬
ِ
َ ِّ ‫اح َع ْن َأيِب ُهَر ْيَر َة َرض َي اللَّهُ َعْنهُ َع ْن النَّيِب‬ ٍ َ‫َعطَاءُ بْ ُن َأيِب َرب‬
ِ ‫ِإ‬
ً‫َداءً اَّل َأْنَز َل لَهُ ش َفاء‬

Artinya:
“Tidaklah Allah turunkan suatu penyakit melainkan akan menurunkan pula
obat untuk penyakit tersebut”. (HR. Bukhari)

Maka pulihkanlah dirimu dengan obat-obatan namun tidak boleh memulihkan


dirimu dengan zat-zat yang tidak diperkenankan atau terlarang.
3) Mempertahnkan keagungan hidup insan

14
Seorang tabib mendekati Nabi, menurut Abdurrahman bin Usman r.a. Juga,
saya bertanya tentang penggunaan katak sebagai obat. Tabib kemudian dilarang
melakukannya oleh Nabi. Karena hadits ini melarang pembunuhan katak untuk tujuan
medis, sebaiknya organ manusia tidak digunakan dalam pengobatan.

4) Menjauhkan diri dari penyebab ragu-ragu

Dalam sebuah hadis menyebutkan bahwa Nabi saw. Bersabda: sesuatu yang
dilarang dan halal sudah sama-sama jelas dan diantara keduanya diperoleh sebab
ragu-ragu maka siapa saja mengelak diri dari perkara yang ragu-ragu tersebut tatkala
mengelak dari perbuatan dosa pasti ia akan mengelak dari penyebab keraguan yang
secara gamblang tidak diperkenankan, siapa saja yang lancang bergulat dengan
penyebab ragu-ragu tersebut maka perihal yang mungkin terjadi atau besar
kemungkinan ia akan mempraktikan sesuatu secara tegas tidak diperbolehkan.
Perbuatan dosa merupakan tanah luas yang ditumbuhi rumput (bima) Allah dan siapa
saja yang menjaga kambingnya tidak jauh dari tanah yang luas ditumbuhi rumput
tersebut maka sesuatu yang mungkin terjadi ia akan masuk tidak dengan memohon
izin ke dalamnya.
Penggunaan organ tubuh manusia dalam praktik transplantasi dikaitkan
dengan pergumulan dengan hal-hal yang meragukan, menurut hadits berikut.
Akibatnya, menghindari praktik transplantasi organ akan menguntungkan kedua
belah pihak, yakni:
a) apabila transplantasi organ ditemukan dilarang, ia telah tinggal dalam batasbatas
Allah swt.
b) apabila transplantasi organ dipastikan sah, ia akan diberi ganjaran karena
menghindari sesuatu yang ia curigai termasuk dalam kategori terlarang.174
Alasan tidak diperbolehkannya transplantasi:
a) Organ orang yang sudah meninggal tidak dapat disumbangkan.
b) Seorang dokter tidak diperbolehkan menggunakan organ yang telah
meninggal untuk transplantasi kepada mereka yang membutuhkan.
c) Menurut hukum kehormatan dan penghakiman Allah swt. kehormatan mayat
harus dijaga dengan cara yang sama seperti orang hidup.
d) Sebagai pelanggaran kehormatan orang hidup, Allah melarang pelanggaran
mayat.
d. Keadaan darurat

Keadaan darurat yang membolehkan seseorang yng terdesak yang kehabisan


bekal makanan dan kehidupannya terancam akan kematian maka diperbolehkan
memakan apa saja yang didapatinya termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah
swt. Kondisi darurat merupakan keadaan yang gawat yang menimbulkan bahaya
bahkan dapat meninggal dunia apabila tidak ditangani dengan cepat. Batasan darurat
terhadap segala sesuatu termasuk transplantasi organ tubuh dalam QS. al-Baqarah/2:
173:
ِ
‫اغ َّواَل َع ٍاد فَٓاَل‬ ْ ‫َّم َوحَلْ َم اخْلِْن ِزيْ ِر َو َمٓا اُِه َّل بِهٖ لِغَرْيِ ال ٰلّ ِه ۚ فَ َم ِن‬
ٍ َ‫اضطَُّر َغْيَر ب‬ َ ‫امَّنَا َحَّر َم َعلَْي ُك ُم الْ َمْيتَةَ َوالد‬
‫اِمْثَ َعلَْي ِه ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َغ ُف ْوٌر َّر ِحْي ٌم‬
Terjemahnya:
“sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.

15
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang”.

Sebagaimana firmannya diatas, maka penulis berpendapat bahwa dalam


keadaan darurat, seseorang diperbolehkan sesuatu yang diharamkan untuk bertahan
hidup dengan syarat dalam keadaan terpaksa dan tidak berlebih-lebihan.
Maka dalam keadaan terpaksa, dibolehkan memakan makanan haram apa saja
yang didapatinya dan mempertahankan hidupnya dan ketika tidak memakan hal
tersebut maka ia akan mati, dalam hal tersebut dianggap sebagai bunuh diri
sebagaimana firman Allah QS. al-Nisa‟/4: 29 yang telah disebutkan diatas bahwa
janganlah kalian membunuh diri kalian. Hukum darurat dapat diqiyaskan pada
transplantasi organ kepada orang yang membutuhkan untuk menyelamatkan hidup
seseorang dari kematian dikarenakan kerusakan atau tidak berfungsinya organ
sebagaimana mestinya.

2. Masjfuk Zuhdi

Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi lahir di Rembang pada 01 Juni 1926, beliau putra
ke empat dari tujuh bersaudara dan terlahir dilingkungan pesantren dan berkarir di
dunia akademik di kota Malang yakni menjadi Dosen, Dekan, Rektor, Guru Besar
dan Hakim di Pengadilan Tinggi Agama.
Perkara boleh atau tidaknya transplantasi organ tubuh dalam hukum Islam
yaitu:

a. Transplantasi organ tubuh dalam keadaan sehat

Donor sehat berarti donor anggota tubuh yang diperlukan oleh siapa saja
ketika seorang donor masih sehat. Donor semacam ini boleh karena Allah swt
memperbolehkan memberikan organ yang dibutuhkan kecuali organ tunggal yang
mengakibatkan penyumbang dapat meninggal dunia maka hukumnya tidak boleh.
Meski demikian donor seperti ini diperbelohkan dengan syarat transplantasi yang
dilakukan tersebut tidak mengakibatkan pendonor meninggal dunia misalnya dengan
mendonorkan jantung, limpa atau paru-parunya karena hal tersebut mengakibatkan
kematian pada diri si pendonor padahal manusia tidak boleh membahayakan dirinya
apalagi sampai membunuh diri dan membunuh orang lain meskipun dengan sukarela.

Manusia juga tidak diperkenankan untuk mendonorkan organ tubuhnya yang dapat
mengakibatkan terjadinya pencampuradukan nasab atau keturunan misalnya donor
testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Allah telah
melarang untuk menisbahkan dirinya selain bapak atau ibunya.
Namun dalam hal in manusia tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan
yang dapat berakibat fatal untuk dirinya sendiri sekalipun tujuan baik yaitu demi
kemanusiaan. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah/2: 195:

ِِ ُّ ِ‫َّهلُ َك ِة ۛ َواَ ْح ِسُن ْوا ۛ اِ َّن ال ٰلّهَ حُي‬


َ ‫ب الْ ُم ْحسننْي‬
ِ ِ ِٰ ِ
ْ ‫َواَنْف ُق ْوا يِف ْ َسبِْي ِل اللّه َواَل ُت ْل ُق ْوا بِاَيْديْ ُك ْم اىَل الت‬
16
Terjemahnya:
.
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.179
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain semasa hidup
maka ia bersiap akan konsekuensi yang akan dihadapi bahwa akan kehilangan salah
satu organnya karena Allah menciptakan organ manusia berpasangan pasti memiliki
hikmah dan manfaat.
Kaidahnya yang artinya menghindari kerusakan atau risiko didahulukan atas
menarik kemaslahatan. Misalnya bahwa tidak diperbolehkan dalam Islam menolong
orang dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang dapat berakibat fatal untuk
dirinya.
b. Transplantasi Organ Tubuh Dalam Keadaan Koma

Melakukan transplantasi dalam keadaan koma tidak diperbolehkan meskipun


menurut dokter bahwa donor tersebut tidak memiliki harapan untuk hidup namun hal
tersebut dianggap mendahului kehendak Allah dan tindakan tersebut dikatakan
dengan euthanasia. Melakukan transplantasi pada orang yang sekarat adalah tindakan
yang tidak etis karena seharusnya orang yang sehat berusaha untuk menyembuhkan
orang yang sakit walaupun harapannya sangat kecil dan menurut dokter tidak ada
harapan lagi.
Hukum Islam tidak memperbolehkan karena salah satu hadis menyebutkan:
ِ ‫َألضررو‬
‫َألضَر َار‬ َ َ ََ
Artinya:
“tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan diri
orang lain”. (HR. Ibnu Majah).
Maksud dari hadis tersebut bahwa kita tidak boleh membahayakan orang lain
untung keuntungan diri sendiri karena perbuatan tersebut diharamkan dengan alasan
apapun sekalipun dengan tujuan kemanusiaan yang mulia.
Seseorang yang belum dinyatakan meninggal secara klinis berarti membuat
mudharat kepada si pendonor untuk mempercepat menjemput kematiannya. Manusia
wajib berikhtiar untuk kesembuhan penyakitnya dan mempertahankan hidupnya
tetapi hidup dan mati ditangan Tuhan karena itu manusia tidak diperbolehkan
mencabut nyawanya dan atau mempercepat kematian orang lain sekalipun dilakukan
oleh dokter dengan maksud untuk mengurangi atau menghilangkan penderitaan
seorang pasien.184
b. Transplantasi Organ Tubuh Dalam Keadaan Meninggal

Hukum transplantasi organ tubuh orang yang telah meninggal dunia, yakni:

1) Dilakukan setelah memastikan bahwa penyumbang ingin menyumbangkan


organnya setelah dia meninggal dunia melalui surat wasiat atau
menandatangani kartu donor atau yang lainnya.

17
2) Jika terdapat kasus penyumbang organ belum memberikan persetujuan
terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya setelah meninggal maka
persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga dekat penyumbang yang
dalam posisi dapat membuat keputusan asas penyumbang.

3) Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan
yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup
manusia lainnya.

4) Organ yang akan disumbangkan harus dipindakan setelah dipastikan secara


prosedur medis bahwa penyumbang organ telah meninggal dunia.

5) Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu
lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan
seizin hakim.

Seorang hakim tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh orang yang
telah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkan karena
kehormatan dan penganiayaan terhadap mayat.
Mengambil organ tubuh orang yang sudah meninggal dunia secara yuridis dan
medis hukumnya mubah yaitu diperbolehkannya menurut pandangan Islam dengan
syarat bahwa:

a. Resipien (orang yang menerima organ tubuh) dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi tersebut sedangkan ia sudah
berobat secara optimal baik dari segi medis maupun non medis akan tetapi tidak
membuahkan hasil. Hal ini berdasarkan kaidah fiqhiyah:
‫ات تُبِْي ُح الْ َم ْح ظُْو َرات‬
ُ ‫الض َُّر ْو َر‬
Artinya:
“keadaaan darurat menyebabkan dibolehkan hal-hal yang terlarang”
Kaidah fikih lainnya:
‫الضََّر ُر ُيزال‬
Artinya:
“kemudharatan harus dihilangkan”

Bahaya harus dihilangkan atau suatu bahaya yang lebih berat dapat
dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan atau apabila dihadapkan
kepada dua pilihan maka pilihlah yang paling rendah risikonya.
b. Transplantasi cocok dengan resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi
penyakit yang lebih gawat bagi dirinya dibandingkan dengan keadaan yang
sebelum dilakukan tindakan, disamping itu harus ada wasiat donor kepada ahli
waris untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia telah meninggal atau ada izin
dari ahli warisnya.
Ketika dalam kondisi darurat maka mayoritas ulama membolehkan
mengkomsumsi organ mayat manusia walaupun dengan syarat yang sangat ketat agar
kehormatan manusia tetap terjaga dan dapat terpelihara jiwanya. Transplantasi organ
tubuh bagi orang yang sakit yang harus diatasi agar resipien dapat tetap hidup.

18
3. Lembaga-Lembaga Ulama kontemporer Indonesia

a. Pakar hukum Islam kontemporer seperti Syekh Ibn Baz, al-Buti, Abd Allah
Kanun, Yusuf Qardawi, dan Abd Allah al-Faqih semuanya menyatakan bahwa
praktik transplantasi adalah halal dan muqayyad. Seseorang tidak dapat
mendonorkan organ tubuhnya karena itu menempatkannya dalam risiko,
kesulitan, dan kesengsaraan.Yusuf Qardawi meyakini bahwa tubuh adalah
anugerah dari Allah swt, namun manusia diberi wewenang untuk menggunakan
dan membelanjakannya seolah-olah itu adalah harta. Harta adalah milik Allah,
tetapi manusia diberi wewenang untuk memiliki dan membelanjakannya.
Apabila manusia diperbolehkan menyumbangkan hartanya maka demikian pula
dengan organ tubuh diperkenankan untuk orang yang membutuhkannya karena
organ tubuh sama halnya dengan harta benda. hanya saja, manusia
diperbolehkan membelanjakan semua harta bendanya tetapi membantasi
menyumbangkan seluruh organ tubuh.

Melihat maraknya aksi menyumbang darah yang merupakan bentuk dari


bagian tubuh pada zaman sekarang dan tersebar di Negara-Negara muslim
namun tidak seorang ulama mengkarinya bahkan menganjurkannya karena
seorang muslim harus menolong sesame dan menyelamatkannya dari bahaya
dengan berlandaskan kaidah bahwa mudharat harus dihilangkan. Beliau lebih
lanjut menjelaskan bahwasanya berupaya memulihkan orang lain misalnya
sakit gagal ginjal kemudian seseorang mendermakan satu bagian ginjalnya yang
bugar maka implementasi tersebut diperbolehkan oleh syara’ bahkan dianggap
mulia dan mendapat pahala bagi penyumbangnya namun kebolehan
mendermakan organ tubuh bertabiat adanya keterbatasan yakni individu tak
diperkenankan mendermakan organ tubuhnya yang dapat mendatangkan bahaya
untuk dirinya seperti organ tubuh satu-satunya karena dapat menyebabkan
kematian kepada pendermanya.
b. Lembaga Pengkajian Majelis Tarjih Muhammadiyah berkeyakinan bahwa jika
transplantasi dilakukan untuk tujuan pengobatan dan jika tidak dilakukan maka
nyawa pasien akan terancam, maka hukumnya boleh. Transplantasi organ untuk
merawat tubuh cacat diklasifikasikan sebagai darurat karena keselamatan
adalah prioritas utama untuk menghindari konsekuensi psikologis, menurut
hukum.

c. Muktamar Nahdatul Ulama memutuskan dalam ahkamul fuqaha bahwa ada


transplantasi organ manusia yang diperbolehkan dengan syarat memenuhi
ketentuan keamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia.
d. Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa transplantasi diperbolehkan
apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang dibenarkan
secara syar'i dan tidak menimbulkan dharar bagi pendonor, dan jenis organ
yang diambil bukan merupakan organ vital yang mempengaruhi kelangsungan
hidupnya, dan tidak ada perawatan medis selain transplantasi yang tersedia;
namun, transplantasi hanya diperbolehkan untuk tujuan tolong menolong dan
bukan untuk keuntungan komersial. Transplantasi juga dapat dilakukan jika
donor setuju dan jika petugas kesehatan atau pihak lain yang memiliki
kemampuan untuk memastikan keselamatan dan kesehatan proses transplantasi
menyarankannya. Klausul lain adalah jika pendapat ahli tentang keberhasilan

19
transplantasi organ kepada orang lain diperoleh dari ahli yang berkualitas dan
dapat diandalkan, maka proses transplantasi akan dilakukan oleh negara. Organ
reproduksi dan otak tidak dapat ditransplantasikan. Pada 8 Maret 2019, fatwa
itu dikeluarkan.
Berikut rangkuman posisi mereka dalam transplantasi organ:

a. sesuatu yang berfaedah atau al-mashlahah dan ketentraman masyarakat


Islam memang tidak memperbolehkan segenap acuan gagasan kepada jiwa
insan termasuk badan seseorang yang telah menjadi jenazah, menurut hukum bisa
digolongkan sebagai mutilasi kepada badan insan dan perbuatan melanggar buat
orang yang tidak bernyawa apabila seseorang menghilangkan satu bagian organ
badan insan yang tidak bernyawa kemudian ditransplantasikan kepada badan orang
lain. Namun demikian, mengumpulkan kebutuhan insan selaku bahan pertimbangan
penting dicatat sebagai asas hukum Islam. kaidah-kaidah yang menjadi landasan
seagai berikut:
1) ketika dihadapkan dua kebutuhan yang saling berlawanan maka keperluan
yang bisa memuat faedah lebih besar yang diutamakan.
2) jikalau terdesak mesti memilih ditengah dua perkara itu maka dipilih yang
teramat enteng kejelekannya.
3) keterdesakan menyebabkan sesuatu yang tidak diperbolehkan menjelma boleh
atau mubah.

Kaidah tersebut diterapkan berlandaskan asas yang mengedepankan


kebutuhan umum dan merintangi perkara yang berlawanan dengan dirinya. Dengan
demikian, jikalau kemaslahatan atau dapat dimanfaatkan secara umum yang
ditampakkan oleh suatu perbuatan lebih tinggi mutu dibandingkan tanda negatifnya,
maka perbuatan tersebut diizinkan akan tetapi jika akibat yang timbulkan dari
perbuatan tersebut amat besar daripada faedahnya, maka perbuatan tersebut tidak
diperbolehkan.

Dalam hal ini, hukum Islam akan membolehkan perut wanita hamil yang telah
meninggal untuk dipotong terbuka untuk memulihkan bayinya setiap kali ada gerakan
yang terdeteksi di perutnya. Akibatnya, pertimbangan kehormatan makhluk yang
telah meninggal menjadi batal demi hak makhluk hidup. Demikian pula, jika
diketahui bahwa orang yang meninggal telah menelan berlian atau sepotong emas,
hukum Islam akan membolehkan perut orang yang meninggal untuk dibedah
sehingga barang berharga itu dapat diberikan kepada pemiliknya yang sah. Argumen
logisnya adalah jika benda itu memang milik orang yang meninggal, maka ahli
warislah yang akan menerima barang mahal itu. Mengikuti alur pemikiran yang sama,
dapat dibenarkan untuk mengeluarkan salah satu organ yang diinginkan dari tubuh
seseorang dan mentransplantasikannya ke dalam tubuh orang lain yang masih hidup
setelah orang tersebut meninggal. Kegiatan ini mungkin dipandang baik karena
meningkatkan kualitas hidup individu yang hidup.

20
BAB IV
EUSTHANASIA

Dalam praktik medis di kenal istilah eutanasia (taisir al-maut). Mudah nya, eutanasia
adalah memudahkan kematian seseorang dengan se nga ja tanpa merasakan sakit. Beberapa
pihak mengungkapkan ala san eutanasia karena kasih sayang. Sebabnya sang pasien sudah
menderita sakit yang teramat parah. Secara medis kemungkinannya untuk bertahan hidup
sangat tipis. Namun kondisi organ tubuhnya masih berfungsi layaknya orang hidup.

Pengertian "mempercepat kematian" dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam


ajaran Islam, yang menentukan kematian hanya Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam
surah Yunus [10] ayat 49 yang mengatakan, "...Apabila telah datang ajal mereka, maka
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula)
mendahulukannya)."

Dengan demikian, eutanasia sebe narnya merupakan penghentian upaya medis yang
diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya. Eutanasia sendiri ada
dua jenis. Pertama eutanasia positif (taisir almaut al-fa'al). Maksudnya, tindakan ini me
mudahkan kematian pasien yang dilakukan oleh dokter dengan menggunakan bantuan alat
atau obat.

Contoh kasus eutanasia positif adalah seorang yang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa. Dokter dengan pertimbangan medis menilai peluang hidup sang
pasien sangat kecil. Lalu dokter memberinya obat dengan takaran tinggi yang dapat
menghentikan kesakitannya sekaligus menghentikan tanda-tanda kehidupan.

Sementara eutanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il), adalah tim medis tidak
menggunakan bantuan alat atau obat untuk mengakhiri kehidupan sang pasien. Namun yang
dilakukan adalah membiarkan sang pasien tanpa pengobatan.

Contoh kasus eutanasia negatif adalah penderita kanker yang sudah kritis hingga koma.
Lantas dalam perhitungan dan analisa tim medis, penderita tersebut sulit untuk bertahan.
Akhirnya tim dokter dan keluarga sepakat tidak mela kukan tindakan apapun namun tetap
memperpanjang harapan hidup sang pasien.

21
a. Perspektif Islam Dalam Tindakan Eustanasia

Syekh Yusuf Qaradhawi ketika ditanya masalah ini menjawab jika eutanasia yang
dimaksud adalah jenis yang positif, maka hal tersebut dilarang. Jika model eutanasia positif,
berarti si dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien.

Bahkan Syekh Yusuf Qaradhawi men golongkan hal tersebut sebagai pembunuhan
dan masuk kategori dosa besar. Walaupun, kata Syekh Qaradhawi, niat melakukan eutanasia
atas dasar kasih sayang.

Dalam Islam segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik
disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan, sebagaimana
disebutkan dalam hadis, "Tidak halal membunuh seorang Muslim, kecuali karena salah satu
dari tiga alasan, yaitu; pezina mukhsan/sudah berkeluarga, maka ia harus dirajam (sampai
mati); seseorang yang membunuh seorang Muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus
dibunuh juga; dan seorang yang keluar dari Islam."

Kemudian ia memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka ia harus dibunuh, disalib, dan
diasingkan dari tempat kediamannya." (HR. Abu Dawud dan an- Nasa'i dari Aisyah binti Abu
Bakar RA). Selain alasan-alasan di atas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain
dimasukkan dalam kategori perbuatan (jarimah) tindak pidana, yang mendapat sanksi hukum.

Sementara model eutanasia negatif, menurut Syekh Yusuf Qaradhawi berkisar pada
ikhtiar memberikan pengobatan dan tidak memberikan pengobatan. Mengobati penyakit
menurut jumhur hukum yang paling kuat adalah mubah. Sebagian kecil ulama
mewajibkannya seperti Ibnu Taimiyyah.

Para ulama berbeda pendapat manakah yang lebih baik antara berobat atau bersabar.
Yang berpendapat bersabar lebih baik berdalil dari hadis Ibnu Abbas tentang wanita penderita
epilepsi yang meminta Nabi SAW mendoakannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau
akan mendapatkan surga. Dan jika engkau mau aku akan doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu." Wanita itu menjawab, "Aku akan bersabar". (Muttafaq Alaih).

22
Syekh Qaradhawi berpendapat jika seseorang yang sakit lalu diberi berbagai macam
pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya namun tidak ada
perubahan maka bisa jadi me lanjutkan pengobatan tidak wajib hukumnya. Justru bisa jadi
menghentikan pengobatanlah yang wajib. Jadi taisir al-maut, seperti contoh eutanasia negatif
bukanlah termasuk membunuh jiwa.

b. Sejarah Eustanasia

Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan,
namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang tidak dapat
ditunda, namun kebanyakan orang tidak menghendaki bila kematian itu datang dengan
segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang
bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang
ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi. Tidak demikian halnya dengan orang
yang telah putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang diderita sangat menyiksanya.

Mereka ingin segera mendapatkan kematian, dimana bagi mereka kematian bukan
saja merupakan hal yang diharapkan, namun juga merupakan suatu hal yang dicari dan
diidamkan. Terlepas daripada siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah kematian,
mereka menginginkan kematian segera tiba. Kematian yang diidamkan oleh pada penderita,
sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan
mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut euthanasia yang mana dewasa
ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk dapat sembuh.
Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru.

Bahkan euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari Yunanilah
euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua Eropa
sendiri, Amerika maupun di Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss, euthanasia itu sudah
tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan euthanasia sudah dilegalisasi dan
diatur dalam Hukum Pidana (Hardinal, 1996:7-8). Euthanasia merupakan suatu persoalan
yang cukup dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan

c. Hukum Eustanasia Di Indonesia.

Di Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh pihak
Ikatan Dokter Indonesia (yang selanjutnya disebut IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985
yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli hukum Islam, akan tetapi
23
hasilnya masih belum ada kesepakatan yang bulat terhadap masalah tersebut (Akh. Fauzi
Aseri, 1995:51). Demikian juga dari sudut pandang agama, ada sebagian yang membolehkan
dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan euthanasia, tentunya dengan berbagai
argumen atau alasan.

Dalam Debat Publik Forum No. 19 Tahun IV, 01 Januari 1996, Ketua Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (yang selanjutnya disebut MUI) Pusat, Ibrahim Husein menyatakan
bahwa, Islam membolehkan penderita AIDS dieuthanasia bilamana memenuhi syarat-syarat
berikut: 1. obat atau vaksin tidak ada; 2. kondisi kesehatannya makin parah; 3. atas
permintaannya dan atau keluarganya serta atas persetujuan dokter; 4. adanya peraturan
perundang-undangan yang mana mengizinkannya. Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa
sekalipun obat atau vaksin untuk HIV/AIDS tidak atau belum ada dan kondisi pasien makin
parah tetap tidak boleh di euthanasia sebab hidup dan mati itu di tangan Tuhan (Masjfuk
Zuhdi, 1996:28-29). Pendapat tersebut merujuk pada firman Allah SWT dalam Surat Al-
Mulk ayat 2:

ۨۙ‫ت واحْلَٰيو َة لِيَْبلُو ُكم اَيُّ ُكم اَ ْحسن َعماًل ۗا و ُهو الْ َع ِز ْي ُز الْغَ ُفور‬ ِ َّ
ُْ َ َ َ َُ ْ ْ َ َ َ ‫الذ ْي َخلَ َق الْ َم ْو‬
”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Departemen Agama, 1989:955).
Tetapi dari pengalaman juga menunjukkan bahwa pada saat-saat ketika hal-hal yang
tidak secara tegas dilarang di dalam kitab-kitab suci dan dinyatakan terlarang menurut
pandangan pemuka agama, suatu saat dapat berubah. Pro kontra terhadap tindakan euthanasia
hingga saat ini masih terus berlangsung (Akh. Fauzi Aseri, 1995:51). Mengingat euthanasia
merupakan suatu persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan
masyarakat, khususnya bagi umat Islam.
Maka MUI dalam pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni
1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri
(Forum Keadilan No. 4, 29 April 2001:45). Secara logika berdasarkan konteks perkembangan
ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini merupakan suatu
konsekuensi dari proses penelitian dan juga pengembangan.
Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan
perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam mengakhiri
kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72). Namun akan timbulah berbagai permasalahan ketika
euthanasia didasarkan pada konteks yang lain seperti hukum dan agama, khususnya agama
Islam.
Dalam konteks hukum, euthanasia kian menjadi bermasalah karena berkaitan dengan
jiwa atau nyawa seseorang oleh hukum sangat dilindungi keberadaanya. Sedangkan dalam

24
konteks agama Islam, euthanasia menjadi bermasalah karena kehidupan dan kematian adalah
berasal dari penciptaNya (Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984:64).
Berbicara mengenai euthanasia, yaitu khususnya euthanasia aktif, berarti juga
berbicara mengenai pembunuhan, karena antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dalam dunia kedokteran, euthanasia dikenal sebagai tindakan yang dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu bertujuan memperpanjang hidup seseorang atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek atau juga mengakhiri hidup seorang pasien dan ini semua
dilakukan untuk mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik
tanpa penderitaan yang tidak perlu (K. Berthens, 2001:120). Tindakan euthanasia dalam
hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang
mana merupakan suatu jarimah.
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang
eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan. Hal tersebut
berbeda dengan Hukum Pidana Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal 344 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP), dimana dijelaskan bahwa
melakukan euthanasia merupakan suatu tindakan pidana (Natangsa Surbakti, 1998:115).
Meskipun di dalam hukum Islam itu belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam
menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal
euthanasia aktif yang dilakukan.
Euthanasia, tidak ubahnya dengan menghabisi pasien yang menderita tanpa sama
sekali mengakhiri penderitaan mereka. Dengan kata lain, pengobatan terhadap rasa sakit atau
nyeri yang tak terbendung bukan semata dapat dilakukan dengan pembunuhan, tetapi dapat
pula ditempuh dengan terapi lain. Tentu saja faktor agama akan sangat menentukan sikap
seseorang terhadap derita sakit dan juga nyeri yang dialamainya.
Filsafat Budha menyatakan bahwa derita sakit bersumber dari frustasi. Bagi kaum
Hindu yang menyakini bahwa pain (rasa sakit dan nyeri yang berasal dari bahasa Latin
poena) berarti siksaan akan lebih merasakan penderitaan nyeri dibanding seorang Muslim
yang menilai penderitaan sebagai cobaan dari Tuhan atau bahkan pembersihan diri sebelum
menghadap kepadaNya (Alwi Shihab, 1999:169). Ketika orang-orang yang mana pro
euthanasia menganggap bahwa kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap diri seseorang
adalah hak yang paling utama bagi mereka yang berdaya tinggi. Sebagaimana saya berhak
memilih kapal untuk berlayar, atau rumah untuk dihuni, sayapun berhak untuk memilih
kematian untuk dapat meninggalkan kehidupan ini. Maka Islam justru tidak sejalan dengan
filosofis tersebut.
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah SWT kepada manusia. Hanya Allah SWT yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita bagaimanapun bentuk dan
kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan baik melalui praktek euthanasia
apalagi bunuh diri. Islam akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis
dalam menghadapi setiap musibah. Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk berjuang,
bukanlah untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak
mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap mukmin mempunyai kekayaan yang
tidak bisa habis, yaitu senjata iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para

25
penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan diri kepada
Yang Maha Kuasa.
Agar supaya meringankan derita sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi
Saw. dengan sabdanya, Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada
cobaan yang beragam. Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif lain
dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam memberi jalan keluar dengan
menjanjikan kasih sayang dan rahmat Tuhan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Az-
Zumar ayat 53.
Agama maupun etika. Dalam berbagai studi dan literatur Islam, mengenai pandangan
terhadap tindakan euthanasia, nampaknya ada suatu kesepakatan atau paling tidak terdapat
kesamaan persepsi mengenai pengertian euthanasia. Euthanasia adalah suatu upaya yang
dilaksanakan untuk dapat membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara
mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi harapan
untuk hidup atau disembuhkan.
Begitu pula dari para tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir Syarifuddin bahwa
euthanasia adalah pembunuhan seseorang bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit
(Chuzaimah T. Yanggo, 1995: 61). Euthanasia yang sering terjadi pada umumnya dalam
dunia kedokteran misalnya tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan. Para tokoh
Islam juga sepakat bahwa eutahanasia ada dua macam yaitu euthanasia aktif dan euthanasia
pasif.
Euthansia aktif adalah tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang
bersangkutan masih menunjukkan tandatanda kehidupan (Chuzaimah T. Yanggo, 1995:62).
Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan tindakan yang dilakukan oleh dokter atau orang
lain untuk tidak lagi memberikan bantuan medis yang memperpanjang hidup pasien (Kartono
Muhammad, 1992:31).
Rumusan euthanasia yang dirumuskan di atas sejalan dengan pengertian yang
dirumuskan oleh komisi dari fatwa MUI, bahwa euthanasia adalah pembunuhan dengan
didampingi oleh pertimbangan medis bagi seorang penderita atau mengidap penyakit yang
mana tidak mungkin lagi disembuhkan (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari
1996: 60). Sebenarnya dalam menelaah berbagai konsep euthanasia yang telah dirumuskan
oleh para ahli, baik dari kalangan atau pakar Islam maupun diluar Islam, dasar-dasar
perumusannya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Hal ini sejalan
dengan fleksibilitas akan sumber ajaran Islam tersebut. Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS.
AlAn’am ayat 151: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar.” (Departemen Agama RI,
1992:214) Membunuh yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengandung pengertian segala
macam bentuk dan jenis pembunuhan, termasuk juga membunuh dengan jalan euthanasia itu
termasuk dalam kategori ayat tersebut, yaitu membunuh secara sengaja terhadap seseorang
dengan bantuan dari orang lain.
Dalam pengertian ini ada subjek, yaitu orang yang membantu melakukan proses
pembunuhan dan ada obyek yaitu pasien yang tengah mengalami penderitaan yang dinilai
cukup tragis. Akan tetapi pada Surat Al-An’am ayat 151 di atas ada pengecualian

26
pembunuhan yang tidak termasuk euthanasia seperti membunuh saat berperang melawan
orang kafir.
Inilah yang diisyaratkan membunuh dengan alasan yang dibenarkan. Dalam
pengertian yang lebih eksklusif yang mana mengarah kepada euthanasia pasif sebenarnya
dapat pula ditemukan dasarnya di dalam Al-Qur’an. Karena akan dianggap tindakan bunuh
diri, dimana pasien meminta sendiri untuk mempercepat kematiannya dengan diberi obat
yang bisa mempercepat kematiannya, keadaan yang demikian berarti berputus asa dan
mengingkari rahmat Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam QS. AnNisa ayat 29 yang
berbunyi: ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang
kepadamu.” (Departemen Agama RI, 1992:214)
Nyawa merupakan barang titipan Allah SWT, oleh karenanya tidak boleh diabaikan
apalagi untuk menghilangkan secara sengaja. Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat
selalu optimis sekalipun ditimpa suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam pulalah
memahami bahwa euthanasia adalah suatu keinginan dalam usaha mempercepat kematian
akibat ketidakmampuan menahan penderitaan.
Jadi euthanasia merupakan suatu usaha untuk membantu seseorang yang sedang
mengalami sakit atau penderitaan yang tidak mungkin disembuhkan untuk dapat
mempercepat kematian dengan alasan membantu menghilangkan penderitaan yang kian
dirasakan, padahal sama sekali tidak dapat mengakhiri penderitaannya. Jadi hukum Islam
dalam menanggapi euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk
menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat Islam diharapkan tetap
berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk penderita
sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT.
Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan diharapkan
kepada dokter untuk tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya.
Dan beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi
penderita yang penyakitnya menular. Contohnya saja bagi penderita AIDS, menurut AF.
Ghazali dan salah seorang Ketua MUI Pusat HS. Prodjokusumo mengatakan bahwa,
mengisolasi penderita AIDS dipandang penyelesaian yang terbaik ketimbang harus
dihilangkan nyawanya (di euthanasia) (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari
1996:61). Hal ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia dapat dihindari, mengapa
tidak dilakukan. Karena pepatah mengatakan dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan.
Kalau dokter sudah menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada
keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan bantuan kepada si pasien.

27
BAB V PENUTUP

Kesimpulan
1. Tranplantasi dalam perspektif islam masih menjadi perdebatan dikalangan ulama’.
Sebagian ulama’ mengharam transplantasi organ manusi, namun kebanyakan
ulama’ memperbolehkan transplantasi organ dengan kewajiban terpenuhinya
beberapa syarat.
2. Transplansi organ sudah marak terjadi di legalkan dalam undang – undang negara
kita. Tentunya dengan memenuhi syarat – syarat yang tertera.
3. Transplantasi sudah terjadi bahkan saat zaman Nabi Muhammad SAW. Terjadi
juga sebelum adanya perang dunia dan sesaat setelah perang dunia.
4. Eustanasia dalam perspektif islam kontemporer tidak membenarkan dan
mengharamkan adanya praktik eusthanasia. Karena secara tidak langsung
digambarkan sebagai percobaan bunuh diri. Namun, beberapa ulama berpendapat
bahwa Tindakan eusthanasia mampu mengurangi rasa sakit yang diderita oleh
pasien. Maka dari itu, mereka mempertimbangkan Tindakan ini dalam
penanganan medis.
5. Eusthanasia juga merupakan problematika dalam hukum negara. Karena bertolak
belakang dengan asas kemanusiaan.
6. Eusthanasia pasif masih dalam pertimbangan para ulama’, karena hanya berkutat
pada pemberian obat atau pemberhentian pemberian obat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abul Fadl Mohsin Ebrahim, 2004, Kloning, Euthanasia, Transfusi Darah,

Transfusi Organ, dan Eksperimen pada Hewan – Telaah Fikih dan Biotika

Islam (terjemahan). Serambi, Jakarta.

Adami Chaznawi, 2004, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Ahmad Asy-Syurbasi, 1991, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Bumi

Aksara, Jakarta

Ahmad Wardi Muslich, 2005, Hukum Pidana Islam, cetakan ke II, Sinar Grafika,

Jakarta.

Akh. Fauzi Aseri, 1995, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum

Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer,

Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Pustaka Firdaus,

Jakarta.

Amri Amir, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, (cet. ke-1) Widya Medika,

Jakarta.

Anton M. Moeliono, (et.all), 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Departemen Agama Republik Indonesia, 1989, Al Quran dan Terjemahannya,

CV. Jaya Sakti, Surabaya

Djoko dan Djaman, 1984, Euthanasia – Hak Asai Manusia Dan Hukum Pidana.

Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.

Djazuli, 2000, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

29
Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran Dan Hukum

Kesehatan, Kedokteran EGC, Jakarta.

Hasan dan M.Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah – Masalah

Kontemporer Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai