PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berbagai ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat,
baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan,
kesehatan dan sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut
hukum. Dalam kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin
ilmu yang dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan
dalam ilmu ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal ini
terjadi karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan
beragam jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem
pemecahan yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan hukum.
Studi yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin modern,
telah muncul berbagai masalah di sekitar, transplantasi organ tubuh menggunakan
organ binatang, mengenai penggunaan obat penunda haid bagi wanita dan masih
banyak yang lainnya, yang mana mau tidak mau akan mendorong para pakar
hukum untuk mencarikan pemecahannya secara komprehensif dan utuh.
Tentu saja jawaban-jawaban tersebut diatas pada akhirnya menghendaki
adanya metode dan pendekatan yang digunakan. Dalam kaitan ini, telah pula
muncul metodologi ijtihad yang imam Jafar al-Shiddiq dari kalangan Syiah
Imamiyyah, istihsan Abu Hanifah dan lain sebagainya.
Dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut, maka para pakar
hukum Islam, termasuk dari Indonesia telah melakukan upaya jawaban hukum
terhadap berbagai masalah yang berkembang.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat
dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.3
Pengertian transplantasi ?
Apasajakah macam-macam transplantasi ?
Bagaimanakah hukum transplantasi organ tubuh manusia ?
Bagaimanakah dasar hukum transplantasi dengan binatang haram ?
Pengertian haid ?
Apa itu obat penunda haid ?
Hukum meminum obat penunda haid ?
Minum obat penunda haid agar puasa Ramadhan penuh
Tujuan
1.
2.
3.
4.
5.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
move from one place to another (bergerak dari satu tempat ke tempat lain).
Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah :
Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud
jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama
mempunyai fungsi tertentu. Yang dimaksud organ ialah : Kumpulan jaringan yang
mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai
fungsi tertentu, seperti jantung, hati dan lain-lain.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab kontemporer dikenal dengan
istilah naql al-ada atau juga disebut dengan zaru al-ada. Kalau dalam literatur
Arab klasik transplantasi disebut dengan istilah al-was (penyambungan). Adapun
pengertian transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan
kontemporer sama halnya dengan keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang
transplantasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pencangkokan.
Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri membagi transplantasi
itu pada dua bagian :
1.
1.
2.
diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis
3.
yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang
disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi
penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu
dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
2.2
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh
dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan
bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan
kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan
sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya karena
hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang yang
memerlukan dengan alasan krisis ekonomi.
Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang mengharap
imbalan atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ tubuh
manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash), maka tidak boleh
memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun
organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat
kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil
Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah
dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi
lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya, menghilangkan
penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini
tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
Bahaya
(kemudharatan)
tidak
boleh
dihilangkan
dengan
bahaya
(kemudharatan) lainnya
Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga
dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan
diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan
kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma,
hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera
meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului
kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan euthanasia atau mempercepat
kematian.
Tidaklah
berperasaan/bermoral
melakukan
transplantasi
atau
mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya
berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun
menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan
lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu
hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada
harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan
koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut :
Hadits Nabi, riwayat Malik dari Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, alBaihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Said al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari
Ibnu Abbas dan Ubadah bin al-Shamit :
Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat
madharat pada orang lain.
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan
koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor
tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.
Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi
mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh
karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat
kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud
mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
3. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah
meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut
pandangan Islam dengan syarat bahwa :
a. Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia
sudah berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak
berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
Darurat akan membolehkan yang diharamkan.
Bahaya itu harus dihilangkan.
b. Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan
menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor
kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia
meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni
1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang
yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari
yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli
waris.
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan
langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung Harapan
Kita tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan
dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri
mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan
terakhir pada tanggal 27 Juni 1987
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi
organ tubuh, antara lain:
Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah kami sebut dalam
pembahasan didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang
membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara
medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk
bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolaholah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti
transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syaratsyarat yang telah disebutkan diatas.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena
agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga
menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits
Rasulullah saw. : Sesungguhnya memecahkan tulang mayat muslim, sama
seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup. (HR. Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari Aisyah).
2.3
Akademi Fikih Islam Liga Dunia Muslim, Mekah, Arab Saudi, berpendapat
boleh mentransplantasi hewan yang dagingnya haram dimakan pada tubuh
2.
manusia. Namun kebolehan ini dibatasi oleh dua syarat: pertama tidak ada
lagi jalan keluar yang lain, kedua, nyawa si penerima organ dalam bahaya
3.
10
BAB III
PEMBAHASAN
HUKUM MENGGUNAKAN OBAT PENUNDA HAID UNTUK
MENYEMPURNAKAN PUASA RAMADHAN
11
obat ini mengandung hormon progestin dan hormon progesterone yang digunakan
untuk mempercepat atau memperlambat masa datangnya haid, baik secara
terpisah maupun kombinasi, karena siklus haid diatur oleh hormon estrogen dan
progesterone.
Adapun masalah penggunaan pil penunda haid bagi muslimah yang ingin
menyempurnakan ibadahnya, terutama ibadah puasa maupun ibadah haji,
sebelumnya harus diingat bahwa wanita muslimah yang kedatangan haid dibulan
Ramadhan yang penuh berkah tersebut maka tidak wajib untuk puasa. Artinya
dibulan tersebut mereka dilarang untuk puasa dan diwajibkan untuk
mengqadhanya dibulan yang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits nabi yang
diriwayatkan Aisyah r.a yang artinya: Kami diperintahkan untuk mengqadha
puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.
1.3 Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Meminum Obat Anti Haid
Ulama era klasik seperti Ibnu Qudmah al-Hanbaliy, Al-Hathaab al-Mlikiy,
dan Al-Ramliy al-Syfi'iy, tidak mempermasalahkan seorang wanita yang
meminum obat-obatan penunda haid. Dengan kata lain, mereka menetapkan
hukum tentang hal itu dengan mubah. Begitu juga dengan Ibnu Taymiyah, beliau
juga
memperbolehkan
wanita
menahan
keluarnya
haid
agar
dapat
12
Selain fatwa MUI tersebut, pendapat dan fatwa dari ulama serta lembaga
otoritatif lain di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah belum dapat ditelusuri.
Meski demikian, karena masalah penggunaan obat penunda haid merupakan
problema umum umat Islam, maka di tingkat lokal pun ternyata sebagian ulama
telah merespon problematika tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya forum
Bahtsul Masil Diniyyah di Yayasan As-Salam, Bandung yang membahas
persoalan tersebut. Forum itu merumuskan kesimpulan untuk membolehkan
penggunaan obat atau pil pencegah haid agar dapat menjalankan ibadah puasa
ramadhan dan ibadah lainnya selama tidak menimbulkan efek bagi kesehatan si
pengguna.
Meski pendapat tersebut bukan berasal dari ulama otoritatif, namun forum
tersebut dapat memberikan gambaran mengenai cara pandang para ulama lokal
terhadap persoalan fiqh kontemporer. KH. Tajuddin Subki, misalnya, dalam forum
tersebut meng-qiyas-kan kebolehan menggunakan obat penunda haid dalam bulan
Ramadhan sama dengan kebolehan menggunakannya untuk kepentingan ibadah
haji (thawaf). Sedangkan KH. Habib Syarif Muhammad mengatakan, hukum awal
pemakaian obat-obat penunda haid dalam Islam tidak diperbolehkan. Menurutnya
pemakaian obat tersebut berarti ingin melawan ketentuan yang yang telah
digariskan Allah. Namun hukum tersebut menjadi mubah karena adanya
pertimbangan yang bersifat manusiawi.
Selain pendapat di atas, kesimpulan berbeda muncul dari DPP Hidayatullah.
Ormas ini berpendapat bahwa menggunakan obat penunda haid adalah lebih
utama bagi wanita, dengan catatan hal itu berlaku bagi wanita yang tidak
mempunyai resiko dengan kesehatannya.
13
Pertama, pada dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah
wanita yang sedang melakukan satu bentuk rukhshah (keringanan). Sedangkan
Nabi bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai untuk dilakukan rukhshahnya
sebagaimana ia menyukai untuk ditunaikan 'azimahnya (beban normal)"(HR.
Thabrani dan al-Baihaqi. Al-Munawi berkata:"Perawinya perawi hadis shahih).
Kedua, Rasulullah juga bersabda:" Barang siapa yang berbuka pada suatu
hari di bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan
Allah, maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia ia
betul-betul melakukannya"(HR. Abu Dawud). Pengertian sebaliknya dari sabda
Nabi ini berarti orang yang mengqadha' akibat buka puasa atas dasar udzur, maka
qadha'nya sepadan dengan puasanya di bulan Ramadhan.
Ketiga, terdapat hadis yang pengertian zhahirnya mengindikasikan bahwa
tidak sholatnya wanita akibat udzur dan tidak berpuasanya wanita --meski diqadha-- adalah bagian dari kekurangan wanita dalam beragama. Kutipan hadis
tersebut adalah:
, :
Bukankah jika sedang haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa?" Mereka
menjawab: "Benar".
langsung
dengan
cacatnya
bersangkutan.
14
kualitas
agama
wanita
yang
Artinya :Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, .
Meski demikian, Utsaimin mengatakan bahwa haid bagi seorang wanita
merupakan hal alamiah yang apabila dicegah akan memberikan efek negatif bagi
tubuh wanita. Ibnu Utsaimin mengkhawatirkan penggunaan obat tersebut akan
membuat wanita lupa terhadap masa haidnya, sehingga mereka bingung dan ragu
dalam mengerjakan shalat dan berkumpul dengan suami. Ia menegaskan, bahwa
dirinya tidak mengatakan penggunaan pil tersebut haram, tapi ia tidak senang
kaum wanita menggunakannya karena khawatir terhadap kemungkinan madharat
yang menimpanya.
Ibnu Utsaimin juga menyitir hadits Nabi, yang menyatakan ketika beliau
menjumpai Aisyah menangis setelah berihram untuk umrah, maka beliau
bertanya: Ada apa denganmu, barangkali engkau sedang haid?. Aisyah
menjawab: Ya. Lalu beliau bersabda Ini sesuatu yang telah ditulis oleh Allah
untuk anak-anak perempuan Adam. Dengan mengutip hadits tersebut, Ibnu
Utsaimin menganjurkan wanita untuk bersabar jika tertimpa haid, sebab hal itu
merupakan ketentuan Allah yang bersifat alamiah.
Dengan kata lain, menurutnya penggunaan obat tersebut adalah makruh.
Syaikh Mutawaali al Syarawi mengatakan, bahwa wanita yang melakukan hal itu
berarti telah menolak rukhshah (keringanan hukum) yang diberikan Allah
kapadanya. Selain itu, meminum obat pencegah haid menurutnya dapat merusak
metabolisme tubuh manusia.
15
Perbuatan itu harus dihindari oleh para wanita muslim, khususnya pada
bulan Ramadhan.
Ramadhan yang telah terlewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan
Allah dalam nash yang jelas. Sebagai ulama berpengaruh di Saudi, pendapat alSyarawi dan terutama Ibnu Utsaimin tersebut merupakan pendapat mayoritas
ulama Saudi Arabia. Sehingga keputusan lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia
pun senada, bahwa wanita boleh meninum obat-obatan untuk mencegah
datangnya haid dengan syarat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pakar
medis dan dokter bahwa hal itu tidak membahayakan kesehatan atau organ
reproduksinya.
Namun sebaiknya, hal itu dihindari karena Allah telah memberikan
keringanan untuk tidak berpuasa kepada wanita yang sedang haid dan
menggantinya pada hari-hari lain. Hal itu lebih sesuai dengan ajaran Islam dan
tidak beresiko bagi kesehatan.
Pengaruh Pemakaian Obat Penunda Haid
Menurut Hanafi, penggunaan Pil Obat pengatur siklus haid, disamping
mempunyai dampak positif juga mempunyai dampak negatif.
1. Dampak Positif
a.
f.
2. Dampak Negatif
a.
d. Darah tinggi
f.
Keputihan
16
BAB III
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Hukum Transplantasi Dengan Hewan Najis, Kalangan Syafiiyah
Mendonorkan
organ
tubuh
dari
manusia
yang
masih
hidup
17