Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Pandangan Ulama Terkait Monogami, Poligami, dan Perceraian


Dosen Pengampu: Drs. H. Baehaqi M.Pd

Disusun Oleh:

Bq Ditia Widari (210101107)

Khairunnisa (210101105)

Alpani Rahman (210101110)

Hamzan Wathoni (200101084)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKUKTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2023
Kata Pengantar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji Syukur ke hadirat Allah yang maha


Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul
“Pandangan Ulama Terkait Monogami, Poligami, dan Perceraian” dengan tepat waktu. Makalah
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Kontemporer. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan menambah wawasan kepada kita semua tentang bagaimana pandangan ulama serta
dalil-dalil mengenai monogamy, poligami, dan perceraian.

Kami mengucapkan terimaka kasih kepada bapak Drs.H. Baehaqi M.Pd selaku dosen
pengampu mata kuliah kuliah Fiqh Kontemporer yang sudah memberikan tugas ini kepada kami
untuk menambah wawasan kami selaku mahasiswa. Ucapan terimakasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca diharapkan demi kesempurnaan makalah
kami. Demikian, apabila terdapat banyak kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................................

Daftar Isi .........................................................................................................................

Bab I Pendahuluan ..........................................................................................................

A. Latar Belakang ....................................................................................................


B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
C. Tujuan .................................................................................................................

Bab II Pembahasan..........................................................................................................

A. Pengertian Monogami, Poligami, dan Perceraian ................................................


B. Dasar atau Dalil Monogami, Poligami, dan Perceraian ........................................
C. Pendapat ulama tentang Monogami, Poligami, dan Perceraian .............................

Bab III Penutup ...............................................................................................................

Simpulan .........................................................................................................................

Daftar Pustaka .................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar belakang pembahasan ini muncul dari kebutuhan untuk menggali pemahaman yang
lebih mendalam tentang konsep-konsep pernikahan dan perceraian dalam pandangan agama,
terutama dalam konteks Islam. Dalam masyarakat yang kompleks dan bervariasi, isu-isu seperti
monogami, poligami, dan perceraian seringkali menimbulkan perdebatan dan pertanyaan yang
mendalam.

Pada tahap awal, makalah ini memberikan definisi yang jelas mengenai ketiga konsep
tersebut. Monogami, sebagai model pernikahan dengan satu pasangan hidup, dan poligami, yang
memungkinkan lebih dari satu pasangan, menjadi titik awal pemahaman. Sementara perceraian
merujuk pada pemutusan sah ikatan pernikahan, yang melibatkan pertimbangan hukum dan
etika.

Kemudian, dalam latar belakang, makalah ini menguraikan dalil-dalil agama yang
menjadi landasan bagi pandangan tersebut. Dalil-dalil ini mencakup ayat-ayat Al-Quran, hadis-
hadis Nabi Muhammad, serta interpretasi dari para ulama terkemuka. Beberapa dalil mendukung
monogami sebagai model yang lebih mengutamakan keadilan dan kesetiaan, sementara yang lain
memberikan dasar bagi praktik poligami dalam batasan-batasan tertentu. Juga, dalil-dalil tentang
perceraian menggarisbawahi kondisi-kondisi yang mengizinkan atau membatasi pemutusan
ikatan pernikahan.

Selanjutnya, makalah ini mencermati pendapat-pendapat ulama yang terbagi dalam


berbagai aliran dan mazhab. Beberapa ulama mengambil pendekatan yang berfokus pada
keutuhan keluarga, menganggap monogami sebagai model yang paling sesuai dengan semangat
kesetaraan dan komitmen dalam Islam. Sebaliknya, beberapa ulama membenarkan praktik
poligami dengan argumen bahwa ada kebutuhan sosial dan kemanusiaan tertentu yang dapat
diatasi melalui model ini. Adapun pandangan terkait perceraian juga bervariasi, di mana
beberapa ulama menekankan pentingnya menjaga ikatan pernikahan, sementara yang lain
memandang adanya kondisi di mana perceraian diperbolehkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian monogami, poligami, dan perceraian dalam konteks
pernikahan dalam pandangan agama, terutama Islam?
2. Apa saja dalil-dalil agama yang menjadi landasan bagi pandangan mengenai
monogami, poligami, dan perceraian?
3. Bagaimana berbagai ulama dan mazhab menafsirkan serta menginterpretasikan
pengertian dan dalil-dalil terkait ketiga konsep tersebut?
C. Tujuan
1. Mendefinisikan dengan jelas pengertian monogami, poligami, dan perceraian
dalam pandangan agama, terutama Islam.
2. Mengidentifikasi dan menguraikan dalil-dalil agama yang menjadi dasar bagi
pandangan mengenai monogami, poligami, dan perceraian.
3. Menganalisis berbagai pandangan ulama dari berbagai aliran dan mazhab tentang
monogami, poligami, dan perceraian, serta faktor-faktor yang memengaruhi
pandangan mereka.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Monogami, Poligami, dan Perceraian


1. Monogami

Pernikahan dalam islam merupakan ibadah yang sangat dianjurkan bagi setiap
ummatnya. Begitupun dengan sistem pernikahan mogogami yang telah dicontohkan langsung
oleh Nabi Muhammad saw saat menikah dengan Siti Khadijah selama 25 tahun. Monogami
berasal dari bahasa latin yakni monogamia yang terdiri dari kata mono dengan asal kata manos
yang berarti satu, tunggal, dan sendirian dan gamy dengan akar kata gamos yang berarti
perkawinan. Sehingga dapat diartikan kata monogamy berarti pernikahan tunggal atau hanya ada
satu ikatan perkawinan1. Sedangkan secara terminology, monogami memiliki dua pengertian: (1)
suatu kondisi perkawinan yang hanya dilakukan dengan satu orang. (2) perkawinan yang
dilakukan dengan satu orang untuk selamanya.

Secara sederhana, monogami merupakan hubungan perkawinan dimana seseorang hanya


memiliki satu pasangan dalam hidupnya selama hubungan perkawinan itu masih berlangsung.
Dalam kehidupan masyarakat sistem pernikahan monogami lebih mendominan daripada dengan
sistem pernikahan poligami. Meskipun sebenarnya dalam agama islam kedua sistem pernikahan
ini dinyatakan sah.

2. Poligami

Kata poligami sendiri diambil dari sepenggal kata dari Bahasa Yunani yaitu poli/polus
yang memiliki arti banyak, sedangkan kata gamein/gamos yang berarti kawin/perkawinan. Dari
dua kata tersebut dapat diartikan bahwa poligami dari segi bahasa adalah perkawinan secara
banyak2. Dalam Bahasa Arab istilah Poligami disebut dengan ta’addud az-zaujat3. Berasal dari
kata ta’addada artinya bilangan dan al-zawjat yang berarti isteri. Poligami dalam Kamus Besar

1
Feny Dyah Aprillia and Vivien Indrawati Setya, “Komparasi Poligami Dan Monogami Dalam Perspektif Hukum
Islam,” Ijlil 1, no. 1 (February 7, 2021): 75–90,
2
Labib M.Z, Pembelaan Umat Muhammad (Surabaya: Bintang Pelajar, 1986), h. 15
3
Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir ArabIndonesia, ( Jakarta: Pustaka Progresif, 1985), h. 970
Bahasa Indonesia artinya, sistem perkawinan dimana salah satu diantaranya memiliki/mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan4.

Jika ditinjau dari aspek antropologi sosisal yakni kebiasaan dari masyarakat biasanya
memahami kata poligami sebenarnya disebut dengan poligini. Poligini adalah sistem pernikahan
dimana seorang pria mengawini banyak wanita di waktu yang bersamaan, jika sebaliknya
seorang wanita mengawini banyak pria di waktu yang bersamaan maka hal ini disebut dengan
poliandri. Sehingga secara istilah poligami merupakan dalam sistem pernikahan dimana salah
satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Meskipun dikatakan ‘salah satu pihak’ tapi adanya istilah poliandri jadi yang dimaksud poligami
disini adalah ketika seorang suami memiliki banyan istri di waktu yang bersamaan 5.

3. Perceraian

Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut
istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan
tersebut adalah lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan
oleh syara’6. Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”. Talaq
berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang
merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq dan furqah mempunyai pengertian umum
dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh
suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami7.

Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan
antara suami-istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti
mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga

4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 1089
5
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam Jilid 4, Pustaka Baru Van Hoeve, (Jakarta, 1996.)
6
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz. 11, h.
175
7
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: PT.
Liberti, 2004), h. 103
kedua belah pihak8. Dengan artian bahwa perceraian ini merupakan jalan keluar terakhir dalam
sebuah pernikahan jika tidak ditemukannya solusi yang bisa mendamaikan antara suami dan
isteri.

B. Dasar atau Dalil Syara’ atas Monogami, Poligami, dan Perceraian


1. Dasar Hukum Monogami
Sejak lima belas abad yang lalu, Islam telah menetapkan monogami sebagai salah satu prinsip
dasar dalam perkawinan. Prinsip ini bertujuan untuk menyediakan dasar dan fondasi utama
dalam membentuk kehidupan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Oleh karena itu,
dalam Islam, bentuk perkawinan yang menjadi standar awal adalah monogami. Pendekatan ini
memiliki dasar yang kuat karena melalui monogami, tujuan membentuk keluarga yang bahagia
menjadi lebih mudah dicapai karena tidak ada beban yang berlebihan.
Keuntungan lain dari monogami adalah kemampuannya dalam meredam dan mengurangi
rasa cemburu, iri hati, serta keluhan dalam kehidupan sehari-hari dengan istri. Islam juga
menekankan agar para pria menikahi wanita yang mereka cintai. Dalam konteks ini, penting bagi
pria untuk menjaga sikap monogami, kecuali jika ada alasan yang sah untuk memiliki lebih dari
satu istri, misalnya jika istri pertama tidak mampu memiliki anak. Pada awalnya, ajaran Islam
secara tegas menyatakan bahwa pria seharusnya hanya memiliki satu istri.
Isyarat atau tanda-tanda dalam Al-Qur'an yang mendorong laki-laki untuk memilih
monogami dapat kita lihat dari sejumlah ayat yang mengarahkan laki-laki untuk menikah setelah
mencapai kesiapan finansial. Dalam konteks ini, mempertahankan status lajang tanpa alasan
yang jelas tidak dianjurkan, karena pernikahan memiliki manfaat yang signifikan. Al-Qur'an
menunjukkan pandangan ini melalui berbagai ayat yang menggarisbawahi urgensi pernikahan. 9

ّٰ ‫ض ِل ْۗه َو‬
ُ‫ّٰللا‬ ّٰ ‫ص ِل ِحيْنَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َواِ َم ۤا ِٕى ُك ْۗ ْم ا ِْن يَّ ُك ْونُ ْوا فُقَ َر ۤا َء يُ ْغنِ ِه‬
ْ َ‫ّٰللاُ ِم ْن ف‬ َ ْ ‫َواَ ْن ِك ُحوا‬
ّٰ ‫اْليَامٰ ى ِم ْن ُك ْم َوال‬
‫َوا ِس ٌع َع ِل ْي ٌم‬

Dan Kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (
berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang

8
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan
Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta No. 52 Th. XII 2001 h.7
9
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer,( Jakarta: Kencana, 2016) Hal. 61.
Perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Maha luas ( pemberian-Nya) lagi maha mengetahui. QS. An-Nur (24):32.

2. Dasar Hukum Poligami


Dalam konteks syariat Islam, meskipun poligami diperbolehkan, namun tidak dianggap
sebagai perbuatan yang sangat dianjurkan. Namun, dalam situasi tertentu, Islam tetap
memberikan solusi bagi seorang laki-laki yang ingin memiliki lebih dari satu istri. Dalil yang
sering dijadikan dasar dalam pembahasan mengenai poligami dalam Islam terdapat dalam ayat
Al-Qur'an Surah An-Nisa' (4):3 :

‫ع ۖ فَإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم‬ َ ‫اء َمثْن َٰى َوث ُ ََل‬


َ ‫ث َو ُر َبا‬ ِ ‫س‬َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬َ ‫ط‬ َ ‫طوا فِي ْال َيتَا َم ٰى فَا ْن ِك ُحوا َما‬ ُ ‫َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ َّْل ت ُ ْق ِس‬
‫ت أَ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ٰذَلِكَ أَ ْدن َٰى أ َ َّْل تَعُولُوا‬
ْ ‫احدَةً أَ ْو َما َملَ َك‬
ِ ‫أَ َّْل تَ ْع ِدلُوا فَ َو‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
Jika kita merujuk pada ayat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum
Islam, poligami memang diizinkan, namun dengan ketentuan bahwa suami harus mampu berlaku
adil terhadap istri-istrinya.
Keadilan yang dimaksudkan dalam hal ini hanya mencakup aspek fisik atau materi,
seperti kesetaraan dalam memberikan nafkah, tempat tinggal, waktu bermalam, serta perlakuan
yang adil dalam menjalankan tanggung jawab dan kewajiban terhadap istri-istri tersebut. Namun,
dalam hal perasaan cinta atau aspek non-fisik, tidak dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi
selama hal tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi nyata terhadap salah satu istri. Oleh karena
itu, perasaan seperti ini bukanlah ukuran keadilan terhadap istri-istri, mengingat manusia pada
dasarnya tidak memiliki kendali penuh atas urusan perasaan dalam cinta. 10
Keadilan dalam bentuk kedua, yaitu keadilan yang bersifat batin, melibatkan perasaan
dan cinta. Bagi seorang suami, usaha untuk adil dalam memberikan perasaan cinta kepada istri-

10
Mustofa Al Khin dalam Athiyatul Afifah dan Masrokhin, Tinjauan Madzhab Syafi’I Terhadap UU Perkawinan
Nomor 1/1994 Tentangsyarat adanya Izin Istri Dalam Poligami, Indonesian Journal Of Islamic Law Vol. 4, No. 1,
Desember 2021, hal. 35
istri adalah suatu hal yang sangat berat. Hal ini umumnya sulit dilakukan secara sempurna sesuai
dengan petunjuk yang ada dalam Al-Qur'an.

‫صت ُ ْم ۖ فَ ََل تَ ِميلُوا ُك َّل ْال َم ْي ِل فَتَذَ ُروهَا َك ْال ُم َعلَّقَ ِة ۚ َو ِإ ْن‬
ْ ‫اء َولَ ْو َح َر‬
ِ ‫س‬َ ِ‫لَ ْن تَ ْستَ ِطيعُوا أَ ْن تَ ْع ِدلُوا بَيْنَ الن‬
ً ُ ‫غف‬
‫ورا َر ِحي ًما‬ َ َّ ‫ص ِل ُحوا َوتَتَّقُوا فَإِ َّن‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ ْ ُ‫ت‬
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. QS. An-Nisa’ (4): 129.
Jika persyaratan keadilan dalam hal membagi perasaan dianggap mutlak, maka izin bagi
suami untuk berpoligami akan dicabut, bahkan dalam situasi darurat. Karena kompleksitas dalam
membagi perasaan secara adil, pandangan Yusuf Al-Qaradawi mengindikasikan bahwa hal ini
dianggap sebagai jenis keadilan yang bisa dimaklumi atau dimaafkan dan mendapatkan toleransi,
tetapi tidak dalam konteks nafkah lahir.11
3. Dasar Hukum Perceraian
Setiap hukum memiliki dasar yang menjadi pijakan atau landasannya. Demikian pula
dengan hukum talak/perceraian, yang memiliki dasar hukum yang berasal dari teks atau ayat
yang terdapat dalam Al-Quran dan juga dari ajaran Hadits.
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung menjelaskan tentang perceraian
adalah sebagai berikut:
1. Al-Baqarah Ayat: 229

ۗ ‫ان‬
ٍ ‫س‬َ ‫ساكٌ ِب َم ْع ُروفٍ أ َ ْو تَس ِْري ٌح ِبإِ ْح‬
َ ‫ان ۖ فَإِ ْم‬ َّ
ِ َ‫الط ََل ُق َم َّرت‬
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”,... (QS.Al-Baqarah 229)12
2. Al-Ahzab Ayat : 49

11
Yusuf Al- Qardhawi dalam Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer,( Jakarta: Kencana, 2016) Hal. 65.
12
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung:Diponogoro,2008), Hal. 36
َ ‫طلَّ ْقت ُ ُموه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن تَ َمسُّوه َُّن فَ َما لَ ُك ْم‬
ٍ‫علَ ْي ِه َّن ِم ْن ِعدَّة‬ ِ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نَ َك ْحت ُ ُم ْال ُمؤْ ِمنَا‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
‫يَل‬ً ‫س َرا ًحا َج ِم‬ َ ‫س ِر ُحوه َُّن‬ َ ‫تَ ْعتَدُّونَ َها ۖ فَ َم ِتعُوه َُّن َو‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali
sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka Mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara yang sebaik-baiknya”. (QS. Al-Ahzab : 49)13

3. At-Talaq Ayat : 1.

َۗ‫صوا ْال ِعدَّة‬


ُ ‫ط ِلقُوه َُّن ِل ِعدَّ ِت ِه َّن َوأَ ْح‬
َ َ‫سا َء ف‬ ِ ‫طلَّ ْقت ُ ُم‬
َ ‫الن‬ ُّ ‫َيا أَ ُّي َها النَّ ِب‬
َ ‫ي ِإذَا‬
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (ya ng wajar)” (QS. Ath Talak : 1)14.
C. Pendapat Para Ulama Mengenai Monogami, Poligami, dan Perceraian
1. Monogami

Islam sebenarnya penganut asas monogami dalam pernikahan. Dalam sebuah Riwayat
dari imam Muslim, SyaidahAisyah R.A. berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menikah
lagi dengan Wanita lain untuk memadu atau berpoligami selama Khadijah masih hidup, kecuali
setelah Khadijah wafat yang dimana hal ini berlangsung selama 25 tahun masa pernikahan
mereka hingga akhirnya Khadijah wafat barulah Rasulullah berpoligami. 15
Imam Az-Zamaskhyari adalah seorang ulama klasik yang cukup tegas untuk
menyarankan perkawinan monogami. Dalam kitab tafsir Al-kasyaf beliau mengatakan “jika
kalian takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim, kemudian kalian menjauh, maka
lebih baik kalian hendaknya takut jika berlaku tidak adil kepada isteriisteri yang kalian miliki.
Ketika seseorang telah menjauhkan dirinya dari sebuah dosa kemudian telah bertaubat dari dosa
tersebut, sedangkan dia masih berbuat dosa yang serupa sesungguhnya ia belum menjauhi dosa
itu, dan dianggap belum bertaubat. Apabila seseorang sudah diharuskan untuk menjauhi suatu

13
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahannya…..Hal.424
14
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahannya…..Hal. 558
15
Hanif Al Fauzi Nur, Agus Hermanto, Abdul Qodir Zaelani, “Monogami dalam Tinjauan Mubadalah”, (El-Izdiwaj :
Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law) Vol. 3 No. 2 Hal. 97
bentuk dosa, hal itu dikarenakan terdapat keburukan didalamnya”. Az-Zamakhsyari melanjutkan
“pertahankanlah serta pililahh seorang isteri, dan jauhi poligami. Inilah inti dari pembahasan
dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yaitu adalah tentang rasa keadilan. 16
Selain itu, Maulana Umar Ahmad Ustmani, salah seorang intelektual Islam dari Pakistan
berpendapat Allah SWT hanya menciptakan seorang perempuan untuk seorang lelaki, dan juga
sebaliknya.17 Serta, Madzhab Hambali yang berpandangan monogami bisa dijadikan sebagai
syarat untuk perkawinan.
Dari beberapa pendapat para ulama serta merujuk pada Q.S An-Nisa ayat 3 maka dapat
disimpulkan bahwa ayat ini menitik beratkan pada sebuah keadilan terutama keadilan dalam
sebuah perkawinan. Oleh karena itu, poligami tidak diperbolehkan jika yang bersangkutan tidak
dapat menjamin dirinya akan dapat berlaku adil untuk perkawinan kedua dan seterusnya.
Sehingga dapat dilihat sebenarnya tujuan Al-Qur’an yang sebenarnya adalah monogami sebagai
bentuk perkawinan yang paling ideal dan lebih mudah diterapkannya keadilan dalam
perkawinan. 18
2. Poligami

Dalam islam poligami diperbolehkan namun disertakan dengan berbagai ketentuan dan
syarat yang tergolong berat. Sebelum datangnya islam poligami menjadi hal yang lumrah
dilakukan dalam lingkungan masyarat. Seorang laki-laki berhak menikahi sejumlah wanita
yang dikehendaki tanpa ikatan maupun syarat hingga islam datang dan membatasi empat
istri saja. Namun banyak yang berpendapat berbeda dengan berpegang pada poligami adalah
sunnah nabi Muhammad saw sampai pada bercermin pada masa nabi yang beristri lebih dari
empat yaitu Sembilan istri. Rasulullah memang menikahi Sembilan orang perempuan, alasan
dibalik beberapa pernikahan itu, meskipun berbeda dari satu kasus dengan kasus lainnya,
adalah berhubungan dengan perannya sebagai pemimpin umat Islam, dan tanggung jawabnya
untuk membimbing pengikutnya. 19

16
Hanif Al Fauzi Nur, Agus Hermanto, Abdul Qodir Zaelani, “Monogami dalam Tinjauan Mubadalah”, (El-Izdiwaj :
Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law) Vol. 3 No. 2 Hal. 98
17
ibid., Hal. 98
18
ibid., Hal. 100
19
Nadia, Saparuddin, “Menelaah Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami Persfektif Hadis”, (Comparativa :
Jurnal Perbandingan Mazhab dan Hukum), Vol. 2 No. 2 Hal. 135
Salah satu ulama kontemporer yang berpendapat mengenai berpoligami tidak lebih dari 4
orang istri yaitu Wahbah az Zuhaili. Pendapatnya ini berpegang pada Q.S An-Nisa ayat 3 sebagai
berikut :

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S An-Nisa ayat 3)

Yang dimaksudkan oleh Wahbah az Zuhaili dari ayat diatas ialah kalian para suami tidak
akan bisa berbuat adil dalam hal nafkah (entah itu nafkah lahir maupun batinnya) dalam
perkawinan kedua, ketiga dan keempat. Jika demikian pembatasan kepada empat orang istri
adalah suatu keadilan yang moderat serta melindungi para istri dari kezaliman. 20 Karena
poligami ini pada intinya banyak membawa resiko daripada manfaatnya. Pada fitrahnya manusia
mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah
timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligami. Dengan
demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan berumah tangga,
baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik
antara istri beserta anak-anaknya masing-masing. 21

Jika poligami yang sampai memiliki 4 orang istri ini disepakati oleh sebagian besar
ulama, maka poligami yang lebih dari pada itu menjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama
Hukum Islam, antara lain :

20
Wahbah az-Zuhaili, Al-FIqh asy Syafi’i al-Muyassar, (Jakarta: al Mahira 2008)
21
Nadia, Saparuddin, “Menelaah Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami Persfektif Hadis”, (Comparativa :
Jurnal Perbandingan Mazhab dan Hukum), Vol. 2 No. 2 Hal. 136
1) Ada suatu golongan Ulama Hukum Islam yang mengatakan bahwa boleh seorang laki-
laki muslim memiliki istri sampai dengan 9 orang dengan mengemukakan dua alasan
sebagai berikut : Pertama, Mengikuti sunnah Nabi yang dimana beliau memiliki 9 orang
istri. Kedua, Huruf () pada ayat ke 3 surah An-Nisa difahami dengan () (penjumlahan).
Maka rumusnya adalah 2+3+4=9. 22
2) Sebagian penganut mazhab Al-Zahiry mengatakan, bahwa boleh seorang laki-laki muslim
beristri sampai dengan 18 orang istri yang dimana disebutkan dalam tafsir yang
dikemukakan oleh Imam Al-Qurtubi yang berbunyi : “Dan pendapat sebagian penganut
Mazhab Al-Dhahiri yang mengatakan, (bahwa) boleh beristri sampai 18 orang; karena
berpegang (pada alasan) bahwa kata bilangan pada kalimat tersebut, mengandung
pengertian untuk penjumlahan. Maka (penganut mazhab itu) menjadikan (kata bilangan)
dua menjadi pengertian dua-dua; demikian juga (kata bilangan) tiga dan empat.”

Jadi pendapat tersebut diatas, dapat dirumuskan sebagai (2+2)+(3+3)+(4+4)=18 dan


dengan jelas pendapat ini membantah pendapat yang membatasi memiliki istri tidak lebih
dari 4 orang. 23

3. Perceraian

Pendapat para ulama mengenai perceraian atau talak ini berpegang pada Q.S Thalaq ayat
1 yang artinya : “ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka
dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

Imam al-Suyuti menyebutkan ayat ini turun berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas, yang
dimana suatu ketika Abdu Zaid (Abu Rukanah) menalak isterinya Ummu Rukanah. Ia kemudian

22
Prof. Dr. H. Mahjuddin, M.Pd.I, “MASAIL AL-FIQH : Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam (Edisi Revisi)”,
mkkm (Jakarta : Kalam Mulia, 2014) Hal. 68
23
Ibid Hal. 69
menikahi wanita lain dari Madinah. Ummu Rukanah Lantas mendatangi Rasulullah saw., dan
berkata, “alangkah malangnya saya. Hubungan suami saya dan saya hanyalah laksana sehelai
rambut ini (begitu rapuhnya)”. Tidak lama kemudian turunlah ayat tersebut. Dalam riwayat lain,
Imam al-Suyuṭi juga menyebutkan bahwa hadis tersebut turun berkenaan dengan salah satu
riwayat dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata, “suatu ketika Rasulullah saw., menalak
Hafsah. Ia kemudian kembali ke keluarganya”, Allah kemudian menurunkan ayat tersebut. 24

Riwayat tersebut secara tidak langsung mengandung informasi huku mengenai talak,
bahwasanya Rasulullah saw., pernah melakukan talak pada salah satu istrinya dan itu
diperbolehkan yang semakin diperkuat dengan turunnya Q.S Thalaq ayat 1. Adapun jika dalam
situasi yang mengharuskan dilakukannya talak, maka prosesnya harus dilakukan saat sang istri
mudah melakukan masa iddahnya sesuai dengan yang disebutkan dalam ayat tersebut.

Adapun Talak umunya dilakukan dalam ranah hukum ataupun non hukum yang ditandai
dengan sebuah ungkapan yang menandakan keinginan untuk mengakhiri sebuah perkawinan.
Namun dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Seperti contohnya
para imam mazhab yang hanya menyebutkan bahwa talak itu harus disertai niat. Menurut
pendapat Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali yang mengatakan bahwa memerlukan
niat atau petunjuk keadaan, sedangkan imam maliki berpendapat bahwa jatuh talak dengan
ungkapan, tidak perlu adanya niat. 25

Dari penjelasan di atas, bahwa perceraian itu halal dilakukan tetapi sangat dibenci oleh
Allah SWT. Sebagaimana tertuang dalam hadits sebagai berikut (Rasjid, 2012: 401–402):

24
Jamhuri, Zuhra, “Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu dan Jumlah
Penjatuhan Talak)”, (Media Syari’ah, 2018), Vol. 20 No. 1 Hal. 100
25
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, penerjemah Abdullah Zaki Alkaf, “Fiqh
Empat Mazhab”, (Bandung : Hasyimi, Cet 13, 2010), Hal. 368
Artinya : “Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda “sesuatu yang
halal yang amat dibenci Allah ialah talak”. (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah). 26

Dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah ini sudah dapat dipastikan
bahwa perceraian/talak merupakan hal yang paling dibenci oleh Allah namun tergolong halal
dalam pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan pernikahan merupakan sebuah pahala terpanjang
manusia semasa hidupnya dan perceraian merupakan salah satu problem yang dapat memutus
tali silaturahmi antar umat islam (antara suami istri, anak-anaknya, dan keluarganya).

26
Dahwadin, Enceng Iip Syaripudin, Eva Soviawati, Muhamad Dani Somantri, “Hakikat Perceraian
Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam Di Indonesia”, (Yudisia : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 2020),
Vol. 11 No. 1 Hal. 93
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Kesimpulan makalah ini menggambarkan bahwa pandangan mengenai monogami,


poligami, dan perceraian melibatkan keragaman dalam pengertian, dalil agama, dan pendapat
ulama. Monogami dianggap sebagai model pernikahan yang mengutamakan keadilan dan
kesetiaan pasangan, sementara poligami mendapat dukungan dari sebagian ulama berdasarkan
dalil-dalil yang membatasinya. Pendapat tentang perceraian juga bervariasi, dengan beberapa
ulama menegaskan pentingnya mempertahankan pernikahan dan yang lain memahami adanya
situasi yang membenarkan perceraian. Perbedaan pandangan ini mencerminkan kompleksitas
interpretasi agama, budaya, dan konteks sosial dalam merumuskan sudut pandang terhadap isu-
isu pernikahan dan perceraian.
DAFTAR PUSTAKA

Aprillia, Feny Dyah, and Vivien Indrawati Setya. “Komparasi Poligami Dan Monogami Dalam
Perspektif Hukum Islam.” Ijlil 1, no. 1 (February 7, 2021): 75–90.

Labib MZ, Rahasia Poligami Rasulullah SAW, (Jakarta: Darul Falah, 2005)

Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, (Jakarta: Pustaka Progresif,


1985),

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam Jilid 4, Pustaka Baru Van Hoeve, (Jakarta, 1996.

Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam,
1993), juz. 11;

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
(Yogyakarta: PT. Liberti, 2004);

Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di
Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan
Ditbinbapera, Jakarta No. 52 Th. XII 2001.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya

Mustofa Al Khin dalam Athiyatul Afifah dan Masrokhin, Tinjauan Madzhab Syafi’I Terhadap
UU Perkawinan Nomor 1/1994 Tentangsyarat adanya Izin Istri Dalam Poligami,
Indonesian Journal Of Islamic Law Vol. 4, No. 1, Desember 2021

Yusuf Al- Qardhawi dalam Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer,( Jakarta: Kencana, 2016)

Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer,( Jakarta: Kencana, 2016)

Hanif Al Fauzi Nur, Agus Hermanto, Abdul Qodir Zaelani, “Monogami dalam Tinjauan
Mubadalah”, (El-Izdiwaj : Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law) Vol. 3
No. 2

Nadia, Saparuddin, “Menelaah Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami Persfektif Hadis”,
(Comparativa : Jurnal Perbandingan Mazhab dan Hukum), Vol. 2 No. 2

Wahbah az-Zuhaili, Al-FIqh asy Syafi’i al-Muyassar, (Jakarta: al Mahira 2008)


Prof. Dr. H. Mahjuddin, M.Pd.I, “MASAIL AL-FIQH : Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum
Islam (Edisi Revisi)”, (Jakarta : Kalam Mulia, 2014)
Jamhuri, Zuhra, “Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu dan
Jumlah Penjatuhan Talak)”, (Media Syari’ah, 2018), Vol. 20 No.01

Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, penerjemah Abdullah Zaki


Alkaf, “Fiqh Empat Mazhab”, (Bandung : Hasyimi, Cet 13, 2010)
Dahwadin, Enceng Iip Syaripudin, Eva Soviawati, Muhamad Dani Somantri, “Hakikat
Perceraian Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam Di Indonesia”, (Yudisia : Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 2020)

Anda mungkin juga menyukai