Anda di halaman 1dari 27

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DAN TRANSFUSI DARAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Ibadah dan Kontemporer
Dosen: Fahmi Irfanuddin., Lc., M.S.I

Disusun Oleh:
Usamah A. Robbani 20180710138
Galih Ardianto 20210710092

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji dan syukur atas izin Allah yang selalu mencurahkan segala nikmat, rahmat, dan
berkahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan tepat waktu.
Tak lupa shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad yang
telah membawa umat islam dari zaman kegelapan hingga zaman yang cerah seperti saat ini,
semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pengerjaan tugas makalah ini. Meskipun begitu, penulis menyadari jika mungkin masih
terdapat kesalahan-kesalahan pada penulisan makalah ini, penulis ingin meminta maaf yang
sebesar-besarnya.

Terima kasih juga kepada para pembaca yang telah menyempatkan waktunya untuk
sekedar membaca mengenai makalah ini, semoga informasi yang terkandung di dalamnya bisa
memberikan manfaat bagi kita semua. Amin ya robbalalamin

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, 03 Juni 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 3
BAB II........................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 4
A. Definisi Transplantasi Organ Tubuh dan Transfusi Darah ............................................. 4
B. Tujuan Transplantasi Organ Tubuh dan Transfusi Darah............................................... 5
C. Jenis-jenis dan Hukum Transplantasi Organ Tubuh dan Transfusi Darah ..................... 8
BAB III .................................................................................................................................... 22
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 22
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama wahyu terakhir yang diturunkan Allah SWT untuk
umat manusia dan bersifat sempurna. Sebagai agama yang terakhir dan sempurna,
Islam membawa ajaran yang lengkap dengan mencakup segala aspek kehidupan.
Tidak ada satu pun aspek dari permasalahan hidup dan kehidupan umat manusia
yang lepas dari perhatian Islam. Salah satu aspek kehidupan yang sangat penting
adalah kesehatan. Islam telah menetapkan dasar-dasar konsepsional sebagai
pedoman bagi umatnya untuk meningkatkan, memelihara dan memulihkan
kesehatan.
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup lebih produktif secara sosial
dan ekonomis dalam menjalankan kehidupannya dalam masyarakat. Bahkan
terdapat sebuah slogan yang sangat terkenal, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat
jiwa yang kuat”. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan sebenarnya merupakan
kebutuhan utama serta yang terpenting bagi setiap umat manusia dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari. Kesehatan seseorang bersifat menyeluruh yaitu
kesehatan jasmani dan rohani, maka dari itu kesehatan sangatlah dibutuhkan.
Pada era kemajuan globalisasi saat ini perkembangan ilmu pengetahuan
semakin canggih dan pesat. Sehingga banyak perubahan-perubahan yang terjadi
dan memunculkan penemuan teknologi modern yang memiliki manfaat untuk
kehidupan dan kepentingan umat manusia khususnya kesehatan. Adapun dari
sekian banyak penemuan tersebut yang tidak kalah penting adalah perkembangan
pada bidang kedokteran. Penemuan menakjubkan yang ditemukan pada bidang ini
yakni mengenai praktik transplantasi organ tubuh manusia. Transplantasi organ
tubuh telah menjadi salah satu jalan keluar yang paling berarti dalam dunia
kedokteran modern, banyak nyawa manusia yang tertolong dengan cara
transplantasi organ ini. Tingkat kelangsungan hidup dari pasien penerima donor
pun saat ini sangat tinggi, sehingga permintaan untuk melakukan transplantasi
semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

1
Dalam melakukan praktik transplantasi organ tubuh pada manusia memerlukan
pertimbangan yang matang dan kehati-hatian. Sebab transplantasi organ beragam
jenisnya dan semakin berkembang, tidak hanya organ jantung saja. Namun pada
cangkok ginjal, hati, dan beberapa organ lainnya termasuk jaringan tubuh manusia
yakni jaringan otot maupun syaraf. Hal ini pun perlu diperhatikan dari sisi manfaat
dan mafsadah-nya.
Saat ini, baik transplantasi dengan donor hidup maupun donor jenazah telah
disetujui oleh semua agama yang diakui di Indonesia. Hal ini tercatat dalam
Kesepakatan Kemayoran yang merupakan salah satu hasil Simposium Nasional II
Yagina dan Pernefri tahun 1995. Namun, masih terdapat perdebatan yang luas baik
dari kalangan dokter, pasien, maupun dari pakar lain terkait hal ini.
Salah satu permasalahan baru dalam wacana hukum Islam tentang transfusi
darah. Karena secara faktual status hukum praktik transfusi darah dalam konteks
kajian fikih tidak terungkap secara eksplisit pada waktu penyusunan aturan hukum
Islam. Bahkan dalam Al-Quran maupun Al-Hadits sebagai sumber dasar hukum
Islam tidak menjelaskan hukum tersebut secara komprehensif. Sehingga
permasalahan ini disebut sebagai masalah ijtihadilah maka proses penyelesaiannya
pun menggunakan jalan ijtihad oleh para ulama. Al-Quran hanya mengisyaratkan
tentang status darah sebagai barang yang najis di mana pemanfaatannya dilarang
dipergunakan. Hal ini diungkap secara jelas dalam Al-Quran “Diharamkan bagimu
(mempergunakan) bangkai, darah, daging babi, dengan hewan yang disembelih
bukan atas nama Allah” (QS Al-Maidah 5:3)
Selain itu juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW dikatakan, “segala jenis
darah adalah najis, terhitung juga darahnya manusia (HR. Bukhari dan Muslim)”,
oleh karena itu, dalam aturan Islam dilarang digunakan secara langsung maupun
tidak langsung dalam hal apa pun, Tubuh adalah amanat dari Allah SWT dan
manusia tidak memiliki hak terhadap badannya untuk merusak, memotong, atau
menduplikasikannya untuk orang lain.
Kaitannya pada praktik transfusi darah tidak dapat dipungkiri bahwa risiko yang
akan muncul akibat dilakukannya donor darah yaitu menimbulkan bahaya
(mudarat) bagi diri pihak pendonor maupun pihak penerima donor (resipien).
Meskipun melakukan transfusi darah dapat menolong nyawa orang lain dari bahaya
kematian akibat suatu penyakit atau kecelakaan. Akan tetapi juga rentan terhadap
terjadinya bahaya berupa komplikasi serta konsekuensi dari aktivitas
2
menransfusikan darah seperti alergi, hemolytic dan meriang, cedera paru-paru akut
(TRALI/Transfusion Related Acute Lung Injury), Hemokromatosis, Graft Versus
Host Disease, bahkan infeksi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi transplantasi organ tubuh dan transfusi darah?
2. Apa tujuan dari transplantasi organ tubuh dan transfusi darah?
3. Apa jenis-jenis transplantasi organ tubuh dan transfusi darah dan hukumnya?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendefinisikan transplantasi organ tubuh dan transfusi darah.
2. Untuk menjelaskan tujuan dari transplantasi organ tubuh dan transfusi darah.
3. Untuk mendeskripsikan jenis-jenis dan hukum transplantasi organ tubuh dan
transfusi darah.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Transplantasi Organ Tubuh dan Transfusi Darah


Istilah transplantasi berasal dari bahasa Inggris transplantation, bentuk noun
dari kata kerja to transplant, yang artinya pencangkokan (jantung kulit). Dalam
bahasan Indonesia, transplantasi biasa diterjemahkan dengan istilah pencangkokan.
Sedangkan dalam kamus The Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
A.S Homby dan Gatenby E.V., mengartikan tranplantasi dengan “to move from one
place to another” (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain). Adapun dalam
istilah Ilmu Kedokteran, tranplantasi adalah memindahkan jaringan atau organ
yang berasal dari tubuh yang sama atau tubuh yang lain.
Hal ini dapat dilakukan baik sesama manusia maupun dari binatang. Menurut
Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiyah, pencangkokan (transplantasi)
ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang
apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan
hidupnya tidak ada lagi.11 Sementara menurut Soekidjo Notoatmodjo,
transplantasi adalah tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan
tubuh manusia kepada tubuh manusia lain atau tubuhnya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa transplantasi organ tubuh
ialah pemindahan organ atau jaringan tubuh manusia atau hewan yang masih
berfungsi untuk menggantikan organ yang tidak berfungsi dalam rangka
pengobatan dan upaya penyelamatan nyawa penerima donor. Adapun yang
dimaksud dengan organ adalah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi
berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu,
seperti jantung, hati, dan lain-lain. Sedangkan tujuan transplantasi (pencangkokan)
jaringan atau organ adalah sebagai usaha terakhir pengobatan bagi orang yang
bersangkutan, setelah berbagai usaha pengobatan lain yang dilakukan mengalami
kegagalan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, seperti
pencangkokan jantung, hati, ginjal dan lain sebagainya.
Pada pelaksanaan transplantasi organ tubuh terdapat tiga pihak yang terkait
dengannya: Pertama, donor yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya

4
yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya
menderita sakit atau terjadi kelainan. Kedua, resipien yaitu orang yang menerima
organ tubuh dari donor yang karena organ tubuhnya harus diganti. Ketiga, tim ahli
yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada
resipien.
Kata transfusi darah merupakan terjemahan dari “blood transfution” yaitu dari
bahasa Inggris. Kemudian seorang dokter dari Arab menerjemahkan dengan
“pemindahan darah yang disebabkan suatu kebutuhan medis”. Kemudian diartikan
dengan istilah “memindahkan lalu menuangkan darah” oleh Dr. Ahmad Sofyan.
Lalu kemudian dirumuskannya definisi transfusi darah dengan makna,
“memindahkan-menuangkan darah artinya memasukkan darahnya melalui
pembuluh darah kepada orang lain yang dibantunya”. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa transfusi darah merupakan cara pemindahan darah. Salah satu unsur darah
yang didonorkan oleh seseorang (pendonor) untuk orang lain (resipien), hal ini
dilakukan sebagai bentuk upaya menyelamatkan nyawa dan juga untuk
meningkatkan kesehatan.
Darah merupakan cairan tubuh yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yang
bersikulasi dalam jantung dan pembuluh darah. Darah membawa oksigen dan
nutrisi bagi seluruh sel dalam tubuh serta mengangkat produk-produk hasil
metabolisme sel. Darah berada di suatu pembuluh darah arteri maupun vena, dan
merupakan sebagian dari sistem organ tubuh manusia yang berperan penting bagi
kelangsungan hidup manusia. Volume darah total dalam tubuh manusia dewasa
adalah berkisar 3,6 liter (wanita) dan 4,5 liter (pria). Di dalam darah mengandung
sel-sel darah serta cairan yang di sebut plasma darah yang berisi berbagai zat nutrisi
maupun substansi lainnya. Sekitar 55% darah merupakan komponen cairan atau
plasma, sisanya yang 45% adalah komponen sel-sel darah. Komponen sel-sel darah
yang paling banyak adalah sel darah merah atau eritrosit yaitu sejumlah 41%. Rasio
volume sel-sel darah terhadap volume darah total disebut hematocrit (Hct). Lebih
dari 99% hematocrit dibentuk oleh eritrosit.

B. Tujuan Transplantasi Organ Tubuh dan Transfusi Darah

5
Berikut adalah tujuan, manfaat, serta hal-hal penting yang harus di perhatikan
terkait transplantasi organ tubuh dan transfusi darah, yaitu:
1. Tujuan transplantasi organ tubuh
Transplantasi dalam istilah kedokteran diartikan sebagai usaha
memindahkan sebagian dari tubuh dari suatu tempat ke tempat lain. Berikut
adalah tujuan dari transplantasi organ tubuh:
a) Transplantasi (pencangkokan) jaringan atau organ adalah sebagai usaha
terakhir pengobatan bagi orang yang bersangkutan, setelah berbagai usaha
pengobatan lain yang dilakukan mengalami kegagalan.
b) Kesembuhan dari suatu penyakit, contohnya kebutaan, rusaknya organ tubuh
seperti jantung, ginjal, dan lainnya.
c) Pemulihan kembali suatu organ, jaringan, atau sel yang telah rusak atau
mengalami kelainan, tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis,
seperti kornea mata, bibir sumbing, dan lainnya.
2. Istilah-istilah terkait transplantasi
a) Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat
untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau
terjadi kelainan
b) Resipen, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena
organ tubuhnya harus diganti
c) Organ tubuh, yaitu kumpulan jaringan yang memiliki fungsi berbeda-beda
uang membentuk suatu kesatuan sehingga memiliki kekuatan fungsi tertentu
d) Tim Ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak
donor kepada resipien.
3. Tujuan dari transfusi darah
a) Menggantikan darah dalam tubuh seseorang yang hilang akibat operasi,
cedera, penyakit, gangguan pendarahan, dan alasan medis lainnya.
b) Meningkatkan kadar Hb (Hemoglobin) pada keadaan anemia
c) Mengganti darah yang hilang karena pendarahan, seperti pendarahan pasca
melahirkan, pasca operasi, dan kecelakaan lalu lintas.
d) Mencegah dan mengatasi pendarahan karena kekurangan/kelainan
komponen darah, misalnya pada penderita thalasemia.

6
4. Beberapa contoh kondisi yang membutuhkan transfusi darah
a) Mengalami pendarahan yang hebat, hal tersebut terjadi dikarenakan untuk
kepentingan operasi, persalinan atau kecelakaan yang fatal.
b) Mengidap penyakit yang memengaruhi cara kerja sel darah merah,
contohnya penyakit sel sabit atau talasemia.
c) Mengidap jenis kanker tertentu, atau menerima pengobatan kanker yang bisa
memengaruhi sel darah. Hal itu termasuk leukimia, kemoterapi atau
transplantasi sel punca.
5. Manfaat kesehatan bagi pendonor darah
a) Dapat mendeteksi penyakit serius
Pada pelaksanaannya sebelum melakukan pendonoran darah, pendonor
wajib memeriksakan kondisi darah yang sekaligus mampu mendeteksi
adanya penyakit serius seperti HIV, sifilis, hepatitis B, hepatitis C, hingga
malaria. Untuk itu, dengan melakukan pemeriksaan darah rutin maka
berbagai penyakit tersebut dapat dideteksi sedini mungkin.
b) Menurunkan risiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah
Melakukan donor darah secara teratur diketahui dapat menurunkan
kekentalan darah yang menjadi salah satu faktor penyebab dari penyakit
jantung.
c) Membantu menurunkan berat badan
Alasan donor darah dapat menurunkan berat badan ialah karena rata-rata
orang dewasa dapat membakat 650 kalori saat mendonorkan 450ml darahnya
6. Peraturan-peraturan terkait transplantasi organ tubuh dan transfusi darah
a) Transfusi darah itu benar-benar untuk kebutuhan
Transfusi darah merupakan prosedur untuk menyalurkan darah kepada
orang yang membutuhkannya, seperti orang yang mengalami pendarahan
hebat atau menderita kurang darah (anemia). Oleh karena itu tidak
diperbolehkan mentransfusikan darah untuk alasan dan atau kebutuhan yang
tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan
agama.
b) Memenuhi seluruh persyaratan sebagai pendonor/resipen
Donor darah ternyata tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Terdapat
beberapa syarat donor darah yang perlu dipenuhi seperti: pertama, berat
badan pendonor setidaknya tidak kurang dari 45 kg, kedua telah berusia 17
7
sampai 60 tahun, ketiga, memiliki fisik yang kuat dan sedang dalam kondisi
sehat atau tidak sedang mengalami gangguan kesehatan tertentu.
c) Tidak menjadikan sebagai bisnis jual beli organ tubuh dan darah
Perdagangan organ tubuh merupakan hal yang di larang. Hal ini
berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 64 ayat (3)
tentang kesehatan menyebutkan “Organ dan/atau jaringan tubuh diarang
diperjualbelikan dengan dalih apa pun.” Sanksi pidana atas tindakan jual beli
organ tubuh di atur dalam Pasal 192 UU Kesehatan yang berbunyi “Setiap
orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh
dengan dalih apa pun sebagai mana dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Mengenai darah, perlu diklarifikasi bahwa sama halnya dengan organ
tubuh, darah tidak boleh diperjualbelikan. Pada dasar pelayanan darah
merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia
sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan
komersial (Pasal 86 ayat (1) UU Kesehatan). Darah tersebut diperoleh dari
pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor
dengan mengutamakan kesehatan pendonor (Pasal 86 ayat (2) UU
Kesehatan). Dipertegas lagi dalam Pasal 90 ayat (3) UU Kesehatan diatur
bahwa darah tidak boleh diperjualbelikan dengan dalih apa pun. Setiap orang
yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apa pun dapat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) hal tersebut terdapat
dalam Pasal 195 UU Kesehatan.

C. Jenis-jenis dan Hukum Transplantasi Organ Tubuh dan Transfusi Darah


1. Jenis-jenis dan Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Transplantasi merupakan suatu upaya medis untuk memindahkan
jaringan, sel atau organ tubuh yang ditempelkan atau okulasi yang dilakukan
secara medis dari donor kepada resipien, ada tiga jenis transplantasi, yaitu:
a) Auto-transplantasi, yaitu transplantasi yang memberi dan menerima dalam
organ tubuh seseorang dengan organ tubuh seseorang yang lainnya;

8
b) Homo-transplantasi, yaitu transplantasi pada satu jenis (spesies) yang
sama;
c) Hetero-transplantasi, yaitu transplantasi yang menerima dan donornya
berbeda jenis; seperti transplantasi satu organ tubuh manusia dengan organ
tubuh binatang.
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Hidup
Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin (1198 H/1784 M1252
H/1836 M), dua tokoh fiqih mazhab Hanȃfiyyah, menyatakan bahwa organ
tubuh manusia yang masih hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan
lainnya, karena kaidah fiqih menyatakan: “suatu kemudaratan tidak bisa
dihilangkan dengan kemudaratan lainnya.” Pernyataan senada juga muncul dari
Ibnu Qudamah, tokoh fiqih mazhab Hanbali, dan Imam an-Nawawi, tokoh fiqih
Mazhab Syȃfi‘iyah. Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan
tubuhnya dengan semaunya sendiri pada waktu dia hidup dengan
melenyapkannya dan membunuh dirinya sendiri (bunuh diri), maka dia juga
tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan
muḍarat bagi dirinya. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang
mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya
hati, kornea mata, jantung, dan ginjal. Dikarenakan dia tidak mungkin dapat
hidup tanpa adanya organ tersebut, dan tidak dibolehkan menghilangkan ḍarȃr
orang lain dengan menimbulkan ḍarȃr pada dirinya.
Maka kaidah syar’iyah yang berbunyi: “‫“ يزال الضرر‬ḍarȃr (bahaya,
kemudaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan”, dibatasi oleh
kaidah lain yang berbunyi: “‫“ ابلضرر يزال ال الضرر‬ḍarȃr itu tidak boleh
dihilangkan dengan menimbulkan ḍarȃr pula. Oleh karena itu, tidak boleh
mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Para
ulama Syȃfi‘iyah menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh
menghilangkan ḍarȃr orang lain dengan menimbulkan ḍarȃr pada dirinya sendiri
yang lebih besar, dikarenakan dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ
bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan
titipan dari Allah, tetapi manusia diberikan wewenang untuk memanfaatkan dan
mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah-
sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an, misalnya dalam firman Allah (QS.
9
24: 33) Artinya: “...Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah
yang dikaruniakan-Nya kepadamu...” (QS. 24: 33). Sebagaimana manusia boleh
mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang
membutuhkannya, maka dibolehkan juga seseorang mendermakan sebagian
tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya perbedaannya adalah
bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh
hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya.
Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk
menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaaan yang sangat
sengsara.
Syariat Islam menuntut pada umatnya agar seluruh bentuk penyakit
harus disembuhkan, karena membiarkan penyakit bersarang di tubuh, bisa
membawa kepada akibat fatal, yaitu kematian. Perbuatan menjerumuskan diri
kepada kematian, dikecam oleh Allah Swt melalui firman-Nya dalam surat (QS.
4: 29) yang artinya: “... Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Di samping itu, memelihara diri dari
segala yang merusak, menurut kesepakatan para ahli fiqih, termasuk persoalan
ḍarȗri (pokok).18 M. Ali Hasan, dalam bukunya Masail Fiqhiyah al-Haditsah
pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, menyebutkan bahwa
selama seseorang masih hidup, tidak dibolehkan organ tubuhnya diambil,
karena hal tersebut berarti mempercepat kematiannya, dan berarti mendahului
kehendak Allah SWT, walaupun menurut pertimbangan dokter, orang tersebut
akan segera meninggal. Mengambil organ tubuhnya, boleh dikatakan sama
dengan menyuntik orang itu supaya cepat meninggal.
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih hidup,
maka hukumnya haram, dengan alasan konkritnya bahwa: Firman Allah dalam
surat (QS. 2: 195): “...janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam
kebinasaan...”. Ayat tersebut mengingatkan, agar tidak gegabah dan ceroboh
dalam melakukan sesuatu, tetapi harus memperhatikan akibatnya yang
kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, meskipun perbuatan itu
mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang
menyumbangkan sebuah mata dan sebuah ginjalnya kepada orang lain yang
memerlukannya, disebabkan ada hubungan keluarga atau karena teman, dan
lain-lain sebagainya. Kemungkinan lain, ada yang mau mengorbankan organ
10
tubuhnya dengan harapan ada imbalan dari orang yang memerlukannya,
disebabkan karena dihimpit oleh penderitaan hidup atau krisis ekonomi. Tetapi
dalam masalah yang disebutkan terakhir ini, seseorang tetap memberikan organ
tubuhnya kepada orang yang memerlukannya karena mengharapkan imbalan
atau dengan istilah menjualnya, maka hukumnya haram, karena tidak boleh
memperjualbelikan organ tubuh manusia, karena seluruh tubuh manusia itu
adalah milik Allah (milk ikhtishash). Manusia hanya berhak
mempergunakannya, tetapi tidak boleh menjualnya, walaupun organ tubuh
tersebut didapatkan dari orang yang sudah meninggal.
“Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada menarik
kemashlahatan.” Berkenaan dengan transplantasi, seseorang harus lebih
mengutamakan memelihara dirinya dari kebinasaan, dari pada menolong orang
lain dengan cara mengorbankan dirinya sendiri, akhirnya ia tidak dapat
melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam
melaksanakan ibadat. Berdasarkan ijtihȃd mazhab Syȃfi‘iyyah dan mazhab
Zaidiah, Syekh Jad al-Haqq berpendapat bahwa jika seseorang boleh
memanfaatkan bagian tubuhnya untuk ia makan dalam keadaan ḍarȗrat, maka
ia boleh juga menyumbangkan organ tubuhnya demi kelangsungan hidup orang
lain, dengan syarat bahwa pendonoran organ tubuh tersebut tidak
membahayakan dirinya sendiri. Jika membahayakan dirinya sendiri, maka
pendonoran termasuk ke dalam larangan Allah Swt dalam surat (QS. 2: 195).
Dari ayat tersebut, menurut Syekh Jad al-Haqq, bisa dipahami bahwa perbuatan
yang tidak membahayakan diri sendiri boleh dilakukan oleh manusia, termasuk
menyumbangkan sebagian organ tubuhnya. Oleh sebab itu, sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta spesialisasi tenaga dokter,
menurut ijtihȃd Syekh Jad al-Haqq, transplantasi organ tubuh manusia yang
masih hidup dibolehkan jika ia rela menyumbangkannya kepada orang yang
membutuhkannya.
3. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup,
meskipun dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram walaupun menurut
dokter bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat
mempercepat kematiaannya dan mendahului kehendak Allah. Hal tersebut
dapat dikatakan seperti euthanasia yaitu mempercepat kematian. Tidak etis
11
melakukan transplantasi dengan mengambil organ tubuh dalam keadaan
sekarat. Orang yang sehat, seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang
yang sedang koma tersebut, walaupun menurut dokter, kesembuhan terhadap
orang yang sedang koma, sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi, sebab ada
juga orang yang dapat sembuh kembali walaupun sebagian kecil. Oleh sebab
itu, di dalam kedokteran medis, menurut hukum Islam, tidak dibolehkan
mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma dengan adanya hadits Nabi
SAW, di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Hadits Nabi SAW: “Tidak dibolehkan membuat muḍarat pada dirinya sendiri
dan tidak boleh pula membuat muḍarat pada orang lain”. Berdasarkan hadits
tersebut, mengambil organ tubuh dari orang dalam keadaan sekarat/koma,
hukumnya haram dikarenakan menimbulkan muḍarat kepada donor tersebut
yang berakibat dapat mempercepat kematiannya, yang disebut dengan
euthanasia.
b) Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakit demi
mempertahankan hidupnya, karena hidup dan meninggal dunia berada di
tangan Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya
sendiri, mendahului kehendak Allah, juga tidak etis memperlakukan orang
yang sudah koma (sekarat), dengan cara mempercepat kematian orang lain,
selama masih ada nyawanya. Orang yang sehat, wajib berikhtiar untuk
menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut.
Berdasarkan kenyataan seperti hal demikian, ada juga satu orang, dua
orang yang sembuh kembali, walaupun secara medis sudah dinyatakan tidak ada
harapan untuk hidup lagi, meskipun hal tersebut dilakukan oleh dokter dengan
maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien. Kalangan ulama
mazhab berpendapat bahwa tidak dibolehkan melakukan transplantasi organ
tubuh manusia dalam keadaan koma atau hampir meninggal. Sekalipun harapan
hidup bagi orang tersebut sangatlah kecil, ia harus dihormati sebagai manusia
sempurna.
4. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Telah Meninggal
Dunia
Mengambil organ tubuh donor (kornea mata, jantung dan ginjal) yang
sudah meninggal secara yuridis dan medis, menurut pandangan hukum Islam,
hukumnya mubah, yaitu dibolehkan, dengan syarat bahwa resipien (penerima
12
sumbangan organ tubuh), bila dalam keadaan ḍarȗratnya, apabila organ
tubuhnya tidak disumbangkan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat
mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi tersebut, sedangkan ia
sudah berobat secara optimal, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah
fiqhiyah: “ḍarȗrat akan membolehkan yang diharamkan.” Juga berdasarkan
qaidah fiqhiyah: “Bahaya itu harus dihilangkan”. Dengan catatan bahwa
pencangkokan juga cocok dengan organ resipien dan tidak menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya.
Di samping itu, harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk
menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli
warisnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan fatwa MUI pada tanggal 29 Juni
1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan katup jantung terhadap orang yang telah meninggal dunia demi
untuk kepentingan orang yang masih hidup, dibolehkan menurut hukum Islam
dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih
hidup) dan izin keluarga/ahli waris. Dikeluarkan fatwa MUI tersebut setelah
mendengar penjelasan langsung dari Tarmizi Hakim kepala UPF bedah jantung
RS. Jantung “Harapan Kita”, yang menyatakan tentang teknis pengambilan
katup jantung serta hal-hal lain yang terkait dengan fatwa MUI tersebut, yang
dilaksanakan di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi fatwa itu
sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan lebih lanjut mengenai masalah
tersebut yang diadakan beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.
Syekh Jad al-Haqq, dalam bukunya Qadaya Mu’asirah: al-Fiqh al-Islami
Murunatuh wa Tatawwuruh, mengenai permasalahan kontemporer: fiqih Islam,
fleksibilitas dan perkembangannya, menguraikan pendapatnya secara lebih luas
dan terperinci. Apabila organ tubuh yang akan di transplantasi berasal dari organ
tubuh orang yang telah meninggal dunia, menurut pendapat Jad al-Haqq, harus
dibedakan lebih awal antara mayat yang diketahui ahli warisnya dan mayat yang
tidak diketahui ahli warisnya. Jika ahli warisnya ada, maka pihak yang
berwenang harus meminta izin terlebih dahulu kepada ahli warisnya untuk
mentransplantasi organ tubuh mayat tersebut. Jika diizinkan, maka hukumnya
dibolehkan; jika tidak diizinkan, maka pihak berwenang tidak dibolehkan
melakukan transplantasi organ tubuh mayat tersebut.
13
Kebolehan transplantasi ini terkait dengan izin ahli waris mayat.
Menurut Syekh Jad al-Haqq, karena mayat dengan segala peninggalannya
menjadi milik ahli waris. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan milik ahli
warisnya, terlebih dahulu harus ada izin ahli warisnya. Apabila mayatnya tidak
dikenal dan ahli warisnya pun tidak diketahui, maka pihak yang berwenang
dibolehkan langsung untuk melakukan transplantasi organ tubuh mayat
tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.
Yusuf al-Qardawi, dalam bukunya Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid 2,
menyatakan hal yang sama dengan pendapat Abuddin Nata, Syekh Jad alHaqq,
dengan menyebutkan bahwa apabila seseorang muslim dibolehkan
mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, dalam hal ini mungkin saja
mendatangkan kemudaratan, meskipun kemungkinannya sangatlah kecil-maka
tidakan ia mewasiatkannya sebelum meninggal dunia nanti. Sebab yang
demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa
menimbulkan muḍarat (kemudaratan/kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya,
karena organ tubuh dari orang yang telah meninggal dunia, akan lepas
berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia
berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri
dan mencari keridhaan Allah, hal demikian dibolehkan, maka ia akan
mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya.
Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara’ yang mengharamkannya,
sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang
sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak
dijumpai. Mengambil sebagian dari tubuh mayat tidaklah bertentangan dengan
ketetapan syara’ yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud
dengan menghormati tubuh ialah dengan menjaga dan tidak merusaknya,
sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) tersebut
dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan
penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya. Terkait pendapat
jumhur ulama fiqih, tentang hukum pengobatan dengan organ tubuh dari orang
yang telah meninggal dunia menyatakan bahwa, dalam keadaan normal (bukan
ḍarȗrat) tidak dibolehkan memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai obat,
baik orang yang masih hidup maupun setelah wafat.

14
Dengan kata lain, apabila ada obat lain selain organ tubuh manusia,
maka penggunaan organ tubuh manusia (hidup atau telah meninggal dunia)
tidak dibolehkan. Kecuali dalam keadaan ḍarȗrat, jumhur ulama fiqih sepakat
menyatakan boleh memakan daging mayat yang telah meninggal dunia, itupun
diperlukan hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya, karena tidak ada
lagi yang bisa dimakan.
5. Hukum Transfusi Darah
Transfusi darah merupakan salah satu bentuk upaya penyembuhan
manusia ketika diserang penyakit karena manusia tidak boleh berputus asa pada
penyakit yang menimpanya. Menyumbangkan darah kepada orang lain yang
amat membutuhkannya menurut kesepakatan para ahli fikih termasuk dalam
kerangka tujuan syariat Islam, yaitu menghindarkan salah satu bentuk
kemudaratan yang akan menimpa diri seseorang. Sebagai sesuatu hal yang tidak
dikenal dalam kajian klasik Islam pembahasan tentang transfusi darah dapat
ditemukan landasan ushul fiqhnya dari zaman klasik. pada umumnya
pembicaraan tentang transfusi darah mencapai kesimpulan dibolehkan
dilaksanakannya namun berbeda pendapat pada kasus-kasus yang muncul. Di
antara landasan hukumnya adalah:
a) Al-Qur’an
‫غي َْر بَاغٍ َو ََل‬ ُ ‫ض‬
َ ‫ط َّر‬ ِ َّ ‫ير َو َما أ ُ ِه َّل ِب ِه ِلغَي ِْر‬
ْ ‫َّللا ۖ فَ َم ِن ا‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوالد ََّم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز‬
َ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم‬
ٌ ُ ‫غف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ َ َ‫َّللا‬ َ ‫عا ٍد فَ ََل ِإثْ َم‬
َّ ‫علَ ْي ِه ۚ ِإ َّن‬ َ
Artinya: “Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama)
selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S Al-Baqarah 173).

َ‫ْي َو ََل ْالقَ ََل ِئ َد َو ََل ِآمين‬


َ ‫ام َو ََل ْال َهد‬ َ ‫ش ْه َر ْال َح َر‬
َّ ‫َّللا َو ََل ال‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت ُ ِحلُّوا‬
ِ َّ ‫ش َعا ِئ َر‬
َ ‫طادُوا ۚ َو ََل َيجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬
ُ‫شنَآن‬ ْ ‫ام َي ْبتَغُونَ فَض اَْل ِم ْن َر ِب ِه ْم َو ِرض َْواناا ۚ َو ِإذَا َحلَ ْلت ُ ْم فَا‬
َ ‫ص‬ َ ‫ْال َبيْتَ ْال َح َر‬
‫علَى ْال ِب ِر َوالت َّ ْق َو ٰى ۖ َو ََل تَ َع َاونُوا‬ َ ‫ع ِن ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام أَ ْن تَ ْعتَدُوا ۘ َوتَ َع‬
َ ‫اونُوا‬ َ ‫قَ ْو ٍم أَ ْن‬
َ ‫صدُّو ُك ْم‬
ِ ‫شدِيدُ ْال ِعقَا‬
‫ب‬ َّ ‫َّللاَ ۖ إِ َّن‬
َ َ‫َّللا‬ ِ ‫اْلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
َّ ‫ان ۚ َواتَّقُوا‬ ِ ْ ‫علَى‬
َ

15
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-
syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.” (Q.S Al-Maidah 2)
b) Al-Hadit
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar An-Namari telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari Usamah bin
Syarik ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan para sahabatnya, dan seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung.
Aku kemudian mengucapkan salam dan duduk, lalu ada seorang Arab badui
datang dari arah ini dan ini, mereka lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah
boleh kami berobat?” Beliau menjawab: “Berobatlah, sesungguhnya Allah
'azza wajalla tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga
obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu pikun.” (H.R Abu Dawud)
c) Pandangan Ulam
Berdasarkan kaidah hukum Fiqh Islam yang berbunyi: Artinya: Bahwasanya
pada prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya kecuali kalau ada dali yang
mengaramkan.94 Artinya: Kemudharatan harus dihilangkan.
d) Perundang-Undan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1990 Pasal 66 ayat 2 “Jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara penyelenggaraan
pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya dikelola secara terpadu untuk
tujuan meningkatkan derajat kesehatan, wajib dilaksanakan oleh setiap
penyelenggara”.

16
6. Transfusi Darah Menurut Ushul Fiqh
Dalam kajian ushul fiqh, transfusi darah masih diperbincangkan apakah
termasuk bab ibadah, bab muammalah atau jinayah. Apakah darah merupakan
“barang” sehingga boleh dimiliki atau “bukan barang” sehingga tidak boleh
dimiliki, apakah kegunaan transfusi darah hanya boleh untuk kepentingan sosial
atau boleh juga untuk dibisniskan. Menurut ushul fiqh pada dasarnya, darah
yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis mutawasithah. Maka dalam
kajian ibadah darah tersebut hukumnya haram untuk dimakan dan
dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 3 yaitu”
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah.”. Ayat tersebut di atas pada dasarnya
melarang memakan maupun mempergunakan darah, baik secara langsung
ataupun tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan darah, maka mempergunakan
darah dibolehkan dengan jalan transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah
dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Maidah ayat 32 yang berbunyi sebagai berikut: “... Dan Barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya....” Yang demikian itu sesuai pula
dengan tujuan syariat Islam, yaitu bahwa sesungguhnya syariat Islam itu baik
dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan
darah dalam transfusi darah adalah untuk menjaga keselamatan jiwa seseorang
yang merupakan hajat manusia dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan
lain yang dapat dipergunakan untuk menyelamatkan jiwanya.
Maka, dalam hal ini najis seperti darah pun boleh dipergunakan untuk
mempertahankan kehidupan. Misalnya seseorang yang menderita kekurangan
darah karena kecelakaan, maka dalam hal ini diperbolehkan menerima darah
dari orang lain. Hal tersebut sangat dibutuhkan (dihajatkan) untuk menolong
seseorang yang keadaannya darurat. Islam membolehkan hal-hal yang makruh
dan yang haram bila berhadapan dengan hajat dan darurat. Dengan demikian
transfusi darah untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat
dan keadaan darurat. Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat
dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada yang lain, kecuali
17
apabila ada dalil yang menunjukkan kebolehannya. Hukum Islam melarang hal
yang demikian, karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk ditransfer
kepada pasien yang membutuhkannya saja.
Pada kajian ibadah, persyaratan dibolehkannya tranfusi darah itu
berkaitan dengan masalah medis yang juga menyentuh ranah ajaran Islam.
Apabila terdapat padanya maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan yang
dapat membahayakan dirinya, maka donor darah tidak terlarang. Bahkan
padanya terdapat pahala dan ibadah dalam keutamaannya, sebagaimana yang
termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. (QS 99:78), “Barangsiapa
yang beramal dengan sebiji debu kebaikan maka dia akan melihatnya, dan
barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kejelekan maka dia akan
melihatnya”.
Di samping itu, mengingat bahwa semua perbuatan manusia itu ada
tujuannya. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana dikemukakan
oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah
untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akherat. Abu Ishaq al-
Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Dengan demikian tujuan transfusi darah tersebut diharapkan mencapai
tujuan-tujuan seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu untuk kemaslahatan
kehidupan manusia dan tidak untuk dibisniskan.
7. Hukum Transfusi Darah kepada Non Muslim dan Sebaliknya
Mentransfusikan darah dengan non-muslim dibolehkan. Hukum fikih
terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir
diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi
Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata: “Pada setiap yang memiliki
nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan)”.
Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanita pada masa bani Israel masuk
surga karena memberi minum seekor anjing.
Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir,
terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua, mahramnya
18
dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan
af'al bukan dengan zat. Di dalam mendefenisikan hukum ulama
mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan Allah yang berkaitan
dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru). Penerima
sumbangan darah tidak disyari’atkan harus sama dengan donor darahnya
mengenai agama atau kepercayaan, suku bangsa dan sebagainya. Karena
menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang
sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat
menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah:

َ َّ‫َو َم ْن أَحْ َياهَا فَ َكأَنَّ َما أَحْ َيا الن‬


‫اس َج ِمي اعا‬
Artinya: “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya” (Q.S.
Al-Maidah: 32),
ُ ‫ار ُك ْم أَ ْن تَبَ ُّرو ُه ْم َوت ُ ْق ِس‬
‫طوا‬ ِ ‫ع ِن الَّذِينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد‬
ِ َ‫ِين َولَ ْم ي ُْخ ِر ُجو ُك ْم ِم ْن ِدي‬ َّ ‫ََل يَ ْن َها ُك ُم‬
َ ُ‫َّللا‬
َ‫ِطين‬ِ ‫َّللاَ ي ُِحبُّ ْال ُم ْقس‬
َّ ‫ِإلَ ْي ِه ْم ۚ ِإ َّن‬
Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8).
8. Hukum Menjualbelikan Darah Donor
Dalam kajian muammalah, masalah transfusi darah dalam hal ini adalah
jual beli. Jual beli termasuk salah satu sistem ekonomi Islam. Dalam Islam,
ekonomi lebih berorientasi kepada nilai-nilai logika, etika, dan persaudaraan,
yang kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi kepada Allah.
Lalu bagaimanakah hukum menjual darah untuk kepentingan transfusi? Dalam
hadits Jabir yang diriwayatkan dalam kedua kitab shahih, Bukhari dan Muslim.
Jabir berkata yang artinya sebagai berikut:
“Rasulullah saw. bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan memperjualbelikan khamar, bangkai, babi dan berhala. (lalu
Rasulullah ditanya para sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang
memanfaatkan minyak bangkai; mereka pergunakan untuk memperbaiki kapal
dan mereka gunakan untuk menyalakan lampu? Rasul menjawab, semoga Allah

19
melaknat orang Yahudi, diharamkan minyak (lemak) bangkai bagi mereka,
mereka memperjualbelikannya dan memakan (hasil) harganya.”
Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan menjual najis, termasuk
didalamnya menjual darah, karena darah juga termasuk najis sebagaimana yang
dijelaskan oleh surah Al-Maidah ayat 3. Menurut hukum asalnya menjual
barang najis adalah haram. Namun yang disepakati oleh para ulama hanyalah
khamar atau arak dan daging babi. Sedangkan memperjualbelikan barang najis
yang bermanfaat bagi manusia, seperti memperjualbelikan kotoran hewan untuk
keperluan pupuk, dibolehkan dalam Islam (menurut madzhab Hanafi).
Banyak ulama terdahulu yang berfatwa melarang pengobatan dengan
darah, dengan alasan, darah itu najis sehingga haram dimasukkan ke dalam
tubuh, ditambah lagi adanya hadis yang mengatakan bahwa Allah tidaklah
meletakkan kesembuhan umat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam
hal yang haram. Akan tetapi, dengan menimbang bahwa manfaat donor darah
adalah suatu yang terbukti, terlebih lagi bahwa dokter yang menangani pasien
yang membutuhkan tambahan darah tidaklah bersentuhan langsung dengan
darah, sehingga para ulama generasi belakangan menganjurkan donor darah.
Mereka membolehkan dengan alasan “darurat”, atau dengan alasan bahwa
pengobatan dengan donor darah adalah cara pengobatan yang bermanfaat
dengan sesuatu yang belum jelas keharamannya.” Walhasil, jika kesembuhan
seseorang dari penyakit yang mengancam jiwanya itu sangat tergantung dengan
adanya tambahan darah maka donor darah termasuk dalam (QS. Al-Maidah:
32).
Menjual darah untuk kepentingan transfusi diperbolehkan asalkan
penjualan itu terjangkau oleh yang menerima bantuan darah. Karena yang
menjual darah atau donor memerlukan tambahan gizi untuk kembali
memulihkan kondisi tubuhnya sendiri setelah darahnya didonorkan, tentunya
untuk memperoleh gizi tambahan tersebut memerlukan biaya.
Demikian juga apabila darah itu dijual kepada suatu Bank Darah atau
Yayasan tertentu yang bergerak dalam pengumpulan darah dari para donor, ia
dapat meminta bayaran dari yang menerima darah, agar Bank Darah atau
yayasan tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan lancar. Dana tersebut
dapat dipergunakan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dalam tugas
oprasional Bank Darah dan Yayasan, termasuk gaji dokter, perawat, biaya
20
peralatan medis dan perlengkapan lainnya. Akan tetapi bila penjualan darah itu
melampaui batas kemampuan pasien untuk tujuan komersial, jelas haram
hukumnya.
Masalah transfusi darah mengingat semua jenis darah termasuk darah
manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir,
kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan
untuk keperluan pupuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam
membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran
hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah
manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia,
yang memerlukan transfusi darah. Namun pendapat yang paling kuat adalah
bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang
yang dibolehkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang
Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan
dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata,
guna menyelamatkan jiwa sesama manusia.

21
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Transplantasi organ tubuh ialah pemindahan organ atau jaringan tubuh manusia
atau hewan yang masih berfungsi untuk menggantikan organ yang tidak berfungsi
dalam rangka pengobatan dan upaya penyelamatan nyawa penerima donor. Adapun
yang dimaksud dengan organ adalah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi
berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti
jantung, hati, dan lain-lain. Sedangkan tujuan transplantasi (pencangkokan)
jaringan atau organ adalah sebagai usaha terakhir pengobatan bagi orang yang
bersangkutan, setelah berbagai usaha pengobatan lain yang dilakukan mengalami
kegagalan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, seperti
pencangkokan jantung, hati, ginjal dan lain sebagainya.
Kata transfusi darah merupakan terjemahan dari “blood transfution” yaitu dari
bahasa Inggris. Kemudian seorang dokter dari Arab menerjemahkan dengan
“pemindahan darah yang disebabkan suatu kebutuhan medis”. Kemudian diartikan
dengan istilah “memindahkan lalu menuangkan darah” oleh Dr. Ahmad Sofyan.
Lalu kemudian dirumuskannya definisi transfusi darah dengan makna,
“memindahkan-menuangkan darah artinya memasukkan darahnya melalui
pembuluh darah kepada orang lain yang dibantunya”. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa transfusi darah merupakan cara pemindahan darah. Salah satu unsur darah
yang didonorkan oleh seseorang (pendonor) untuk orang lain (resipien), hal ini
dilakukan sebagai bentuk upaya menyelamatkan nyawa dan juga untuk
meningkatkan Kesehatan.
Dengan demikian tujuan transplasntasi organ tubuh dan transfusi darah tersebut
diharapkan mencapai tujuan-tujuan seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu untuk
kemaslahatan kehidupan manusia dan tidak untuk dibisniskan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, A. B. Asybah Wa al-Nazhair. Haramain: Indonesia.


Abdul, A. D. (2003). Ensiklopedi Hukum Islam Cet. 6. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Abuddin, N. (2003). Masail al-Fiqhiyah Edisi 1, Cetak 2. Jakarta : Kencana.
Abuddin, N. (2014). Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Al-Suyuti. Al-Syabah.
Aristantic, D. W. (2014). Perjanjian Antara Pendonor Dan Pasien Yang Membutuhkan 'Ginjal'
Untuk Transplantasi (Analisis Pasal 64 Undang-Undang Republik Indonesia No 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1 No.
1 (Juli 2014), 1-2.
Chuzaimah, T. Y. (2002). Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus .
Ermansyah, D. (2009). KHUP Khusus Cetak 1. Jakarta: Sinar Grafika.
Faizal, M. Z. (2016). Implementasi Medikolegal Transplantasi Organ Dari Donor Jenazah
Untuk Peningkatan Kesehatan Masyarakat. Jurnal UNTAG Semarang 9 No. 2, 186.
Fathurrahman, D. (1995). Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos
Publishing House.
Hendi, S. (2014). Fiqh muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta dalam rapat pada
tanggal 22 Rabi'ul Akhir 1421 H, BERTEPATAN DENGAN TANGGAL 24 jULI 2000
m.
Kurdi Muliadi, M. M. Problematika Fikih. 58.
Masjfuk, Z. (1997). Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: PT. Toko
Gunung Agung.
Muhammad, H. Transplantasi Organ Tubuh Manusia Dengan Organ Babi Menurut Hukum
Islam. Watampone: STAIN Watampone.
Novi, K. F. (2018). Mengenali Sel-sel Darah dan Kelainan Darah. Malang: UB Press.
Reni, U. (2020, September 09). SehatQ. Diambil kembali dari KEMENKES RI:
https://www.sehatq.com/artikel/cenderung-jarang-terjadi-simak-komplikasi-dan-efek-
samping-transfusi-darah-ini
Saifullah. (2018). Transplantasi Organ Tubuh (Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif Dan
Etika Kedokteran). Al-Mursalah No. 1, 2.
Soekidjo, N. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

23
Sudarto. (2020). Masallul Fiqhiyah al-Haditsah. Yogyakarta: Qiara Media.
Yusuf, a.-Q. (1995). Fatwa-Fatwa Kontemporer terj. As'ad Yasin Jilid 2. Jakarta: Gema
Insani Press.
Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1990 Pasal 66 ayat 2

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 64 ayat (3)

Undang-Undang Kesehatan Pasal 86 ayat (1-3)

Undang-Undang Kesehatan Pasal 195

24

Anda mungkin juga menyukai