Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Hukum Transfusi Darah dan Transplantasi ( Cangkok Tubuh )

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqiyah

Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul Syafa‟at, M.A

Disusun oleh kelompok 11 :

Bangga Muhammad Boy Yunior 204102010001

Fatih Nurul Amin 204102010012

Ahmad Bahtiar Azizi 204102010017

UNIVERSITAS ISLAM NEGERIKIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

FAKULTAS SYARIAH PRODI HUKUM KELUARGA

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puja dan puji syukur kami aturkan atas kehadiran ALLAH SWT yang
dimana atas karunianya kami mampu menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga
tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa semua umat dari
zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah.

Makalah dengan judul “Hukum Transfusi Darah dan Transplantasi ( Cangkok Tubuh
)disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqhiyyah. Ucapan terima kasih ini ditujukan
kepada Bapak dosen Dr. H. Abdul Syafa‟at, M.A Selaku pembimbing kami dalam menyelesaikan
tugas ini. Dan kepada rekan kelompok 12 yang telah bekerja sama dalam menyelesaikan makalah
ini. Ucapan terimakasih tak henti-hentinya penulis ucapkan, dan mohon maaf bila dalam makalah
ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan, kritik dan saran akan penulis terima demi hasil
yang baik, terimakasih.

Jember, 24 November 2023

Penulis

2
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 2


Daftar Isi ...................................................................................................................................................... 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .................................................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................. 5
C. Tujuan ............................................................................................................................................... 5
BAB II .......................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 6
A. Pengertian Transfusi Darah ............................................................................................................... 6
B. Transfusi Darah Perspektif Hukum Islam ....................................................................................... 6
C. Pengertian Trnasplantasi ( Cangkok Tubuh ).................................................................................. 10
D. Prespektif Hukum Islam mengenai Transplantasi............................................................................ 11
BAB III....................................................................................................................................................... 13
PENUTUP.................................................................................................................................................. 13
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................................................... 13
Daftar Pustaka .......................................................................................................................................... 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling baik strukturnya, paling mulia
melebihi makhluk lainnya. Aktualisasi dari potensi-potensi yang dimiliki manusia itu merupakan
fungsi kodrati yang disebut fungsi ihsanisasi, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran. Salah satu di antaranya adalah transfusi darah.
Darah memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan manusia. Bahkan keberadaan
darah dalam tubuh manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Dalam berbagai
kasus menunjukkan bahwa terkadang manusia kehilangan darah dalam volume besar sehingga
dapat mengakibatkan nyawanya terenggut. Dalam kasus kecelakaan misalnya, pasien tentu banyak
mengeluarkan darah dari tubuhnya sehingga stamina tubuhnya menjadi menurun. Atau dalam
proses penyembuhan pasien melalui operasi, keberadaan darah sangat vital.

Maha Suci Allah SWT yang telah menciptakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Kodrat itu mengharuskan seseorang manusia itu menolong manusia lain, terutama terkait
dengan nyawa. Hal itu dilakukan sesuai kemampuan dan tidak merugikan pihak manapun. T
ranfusi darah merupakan salah satu wujud kepedulian kita kepada sesama manusia. Sejak 14 Juni
2004 berdasarkan kesepakatan WHO melalui Federasi Internasional Palang Merah, Bulan
Sabit Merah, Perhimpunan Internasional Transfusi Darah dan Palang Merah Indonesia sebagai
komponen Gerakan Palang Merah Sedunia, dicanangkan sebagai Hari Donor Darah Sedunia
yang merupakan penghargaan bagi parapendonor darah

4
B. Rumusan Masalah
 Apakah pengertian dari Transfusi Darah ?
 Bagaimana Prespektif Hukum Islam mengenai Transfusi Darah ?
 Apa pengertian dari Transplantasi ( Cangkok Tubuh ) ?
 Bagaimana Perspektif Hukum Islam mengenai Transplantasi ?

C. Tujuan
 Untuk mengetahui pengertian dari Transfusi Darah
 Untuk mengetahui prespektif ulama atau hukum Islam mengenai Transfusi Darah
 Untuk mengetahui pengertian dari Transplantasi
 Untuk mengetahui prespektif ulama atau hukum Islam mengenai Transplantasi

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Transfusi Darah


Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris “Blood Transfution” yang artinya memasukkan
darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong. Hal ini dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa seseorang karena kehabisan darah. atau pemindahan darah dari donor kepada resipien.
Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang (resipien) yang kehabisan darah karena kecelakaan
atau lainnya. Hal senada dikemukakan oleh Husnain Muhammad Makhluf, bahwa transfusi darah dalam
kesehatan, adalah mengambil manfaat dari darah manusia dengan cara memindahkannya dari yang sehat
kepada yang sakit demi menyelamatkan hidupnya.1
Menurut Ahmad Sofian, bahwa transfusi darah, ialah memasukkan daerah orang lain ke dalam
pembuluh darah orang akan ditolong. Jadi, transfusi darah, adalah suatu cara pengobatan yang telah ada,
dan dalam kaitan ini darah hanya membantu saja sebagai salah satu pelengkap dari metode pengobatan
yang dilakukan kepada pasien. Transfusi darah itu sendiri merupakan tindakan yang mengandung resiko,
termasuk bagi si resipien (sakit).2
Dalam transfusi darah terdapat dua pihak, yaitu donor dan resipien. Donor darah adalah orang yang
menyumbangkan darah kepada orang lain dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa orang yang
membutuhkan. Sedangkan resipien adalah orang yang membutuhkan darah dari orang lain untuk
keselamatan jiwanya
Bertolak dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa dalam transfusi darah, donor (penyumbang)
darah dibatasi pada orang yang telah berumur dewasa sampai dengan 60 tahun, serta memenuhi syarat
medis atau kesehatan. Jelasnya, dalam kegiatan transfusi darah harus memenuhi beberapa persyaratan
medis, yaitu: (1) donor harus sehat fisik dan rohani sehingga donor tidak dirugikan (mengalami bahaya);
(2) dilakukan saat yang amat membutuhkan;
(3) Donor tidak mengidap penyakit menular dan golongan darah donor cocok dengan
golongan darah resipien agar tidak membahayakan jiwa resipien; dan
(4) donor melakukan transfusi darah secara sukarela.3
Golongan darah ada empat macam, yaitu golongan darah A,B, AB, dan O. Golongan-golongan ini
dipandang dari donor adalah:
o Golongan darah A dapat mendonorkan darah kepada orang
bergolong darah A
o Golongan darah B dapat mendonorkan darah kepada orang
bergolongan darah B
o Golongan darah AB dapat mendonorkan darah kepada orang
bergolongan darah AB
o Golongan darah O dapat mendonorkan darah kepada orang
bergolongan darah O. Dengan demikian, transfusi darah dapat
dilakukan antara donor yang memiliki golongan darah yang sama
dengan resipien.

1
Ahmad Sofian, Ilmu Urai Tubuh Manusia (Jakarta: Teragung, 1962), h. 103
2
Ibid., h. 113.n,
3
Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Cet. X; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 50. Lihat pula Abdul Azis
6
Di samping kesesuaian golongan darah antara donor dengan resipien, kondisi fisik donor juga harus
sehat. Karena itu, orang yang darahnya kurang, atau sedang mengalami flu, baru dicabut giginya tidak
diperbolehkan menjadi donor. Jelasnya, bahwa untuk kemaslahatan, baik donor (penyumbang darah)
maupun resipien (penerima darah), transfusi darah harus dilakukan setelah memenuhi persyaratan medis
(setelah melalui pemeriksaan kesehatan) sehingga dipastikan donor bebas dari penyakit menular, seperti
AIDS, serta kondisi kesehatan donor memungkinkan sehingga transfusi darah yang dilakukannya tidak
membahayakan keselamatan jiwanya sendiri.4 Dengan demikian, suatu usaha menyelamatkan nyawa orang
lain sedapat mungkin tidak membahayakan keselamatan jiwa penolong, sehingga memberikan
kemaslahatan bagi kedua belah pihak (penolong/donor, dan yang ditolong/resipien).

B. Transfusi Darah Perspektif Hukum Islam


Manusia selalu mengalami kondisi sehat dan sakit dalam kehidupannya, yang datang silih
berganti. Rasa sakit yang dialami manusia pada umumnya disebabkan oleh penyakit tertentu.
Penyakit yang dialami seseorang pada dasarnya bisa disembuhkan dengan pengobatan, baik
pengobatan secara medis maupun pengobatan secara non medis (tradisional). Dalam pengobatan
secara medis ternyata ada kondisi tertentu dari pasien yang membutuhkan bantuan penyelamatan
melalui transfusi darah, misalnya resipien banyak mengeluarkan darah yang disebabkan
pendarahan saat persalinan, keguguran/aborsi, luka berat, menjalani operasi, dan sebagainya.
Walaupun transfusi darah hanya merupakan alat bantu dalam proses pengobatan atau
penyembuhan secara medis, namun transfusi darah memiliki peranan yang sangat signifikan dalam
upaya memelihara keselamatan jiwa pasien. Pasien yang banyak mengeluarkan darah dapat
mengalami kematian jika tidak ditolong secepatnya melalui transfusi darah.
Berdasarkan uraian di atas, transfusi darah merupakan upaya untuk menyelematkan nyawa
(pemeliharaan jiwa) resipien yang berada dalam kondisi emergency (darurat). Menurut syariat
Islam, pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs) merupakan salah satu bagian dari maqasid al-syari‟ah
(peringkat kedua setelah pemeliharaan agama atau hifz al- din). 5Karena itu transfusi darah pada
dasarnya dibolehkan oleh Islam. Jelasnya, bahwa Islam membolehkan seorang muslim
menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, baik disumbangkan secara langsung kepada
orang yang membutuhkan transfusi darah (resipien), maupun melalui Palang Merah Indonesia atau
Bank Darah. Hal ini didasarkan kepada QS. Al- Maidah: 32 „… Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya…‟6
Ayat di atas menunjukkan, keharusan adanya kesatuan umat dan kewajiban mereka
masingmasing terhadap yang lain, yakni harus menjaga keselamatan hidup dan kehidupan bersama
dan menjauhi hal-hal yang membahayakan orang lain. Hal itu dapat dirasakan karena kebutuhan
setiap manusia tidak dapat dipenuhinya sendiri, sehingga mereka sangat membutuhkan tolong-
menolong terutama berkaitan dengan kepentingan sosial.7
Ulama fiqh juga mendasarkan pendapatnya kepada tindakan Nabi saw, yang berbekam (HR.
Bukhari dari Anas bin Malik). Karena berbekam menurut ulama fiqh, adalah mengeluarkan atau
menghisap darah dari bagian-bagian anggota tubuh, misalnya dari kuduk, untuk membersihkan

4
Lihat La Jamaa, Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Grha Guru, 2009), h. 153.
5
Maqasid al-syari‟ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan tersebut berorientasi
kepada kemaslahatan manusia. Lihat Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 232. L
6
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an, 2002), h. 164.
7
Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid 2 (Cet. III; Jakarta: Departemen Agama, 2009), h. 388.
7
darah dan agar mendapatkan darah lagi. Tujuan berbekam, adalah untuk menurunkan tekanan
darah sekaligus menghilangkan rasa sakit kepala. Dalam pemikiran ulama hadis, berbekam adalah
salah satu cara mengeluarkan darah yang digunakan untuk pengobatan sebagian penyakit yang ada
dalam tubuh manusia. Darah yang dikeluarkan itu tidak dimanfaatkan lagi. Dalam hal ini ulama
fiqh menganalogi (mengqiyas)kan tindakan Nabi saw dengan mendonorkan darah. Jika Nabi saw
berbekam untuk menghilangkan penyakit dan darah yang dihisap keluar itu dibuang saja, maka
menyumbangkan darah tentu saja dibolehkan, karena tujuannya tidak sekedar menghilangkan
penyakit, bahkan untuk menyelamatkan jiwa orang lain (resipien). Menyelamatkna nyawa orang
lain merupakan salah satu bentuk pemeliharaan terhadap al-daruriyat al-khamsah (lima kebutuhan
pokok) yang dituntut oleh syariat Islam, khususnya pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs).8
Berkaitan dengan transfusi darah ini, Hasbi Ash Shiddieqy menemukan ada tiga pendapat,
yaitu (1) tidak membenarkan dan tidak membolehkan transfusi (pemindahan) darah jika darah yang
dipindahkan itu secara mutlak; (2) membenarkan dan membolehkan karena darurat; dan (3)
membolehkan meskipun masih ada yang mengimbanginya. Dalam menghadapi persoalan ini,
Hasbi meninjaunya dari syariat dan kedokteran. Berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan
mempertimbangkan keterangan al-Qur‟an dan hadis serta pendapat para imam mazhab, Hasbi Ash
Shiddieqy berkesimpulan, bahwa transfusi darah itu dilakukan oleh para dokter modern yang asli,
sesuai dengan aturan-aturan dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ilmu kedokteran modern, boleh
atau halal, tidak haram.9
Menurut Hasbi Ash Shiddieqy hendaknya para ulama dalam menetapkan hukum
memperhatikan dasar asasi dari syariat. Sebab,syariat Islam disendikan atas sendi-sendi yang
kokoh dan didasarkan kepada dasar-dasar yang kuat. Sendi-sendi Islam yang terpenting ada tiga,
yaitu :
 memelihara kemaslahatan manusia;
 memudahkan segala persoalan manusia;dan
 berlaku adil antara manusia.
Di mana terdapat kemaslahatan, di situlah terdapat hukum. Kemaslahatan yang diperhatikan
syariat Islam, ialah maslahat majmu‟ (umum) bukan maslahat syakhsyiyah (maslahat
perseorangan) yang menentangi maslahat majmu.‟ Itulah sebabnya terdapat di antara dasar-dasar
Islam taqdimul maslahatil „ammah „alal maslahatil khashshah „inda ta‟arudil maslahataini
(mendahulukan maslahat umum atas maslahat khusus ketika berlawanan dua maslahat itu).25 Itu
berarti, eksistensi transfusi darah tidak hanya ditelaah dari kemaslahatan individu resipien namun
lebih difokuskan untuk kemaslahatan manusia dan kemanusiaan secara umum.
Karena syariat Islam disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, maka dengan
sendirinya syariat Islam menolak segala yang memberikan mudarat bagi manusia. Itulah sebabnya
menurut Hasbi ash Shiddieqy, syariat Islam mengharamkan khaba‟is (segala yang buruk) dan
mencegah jara‟im (segala perbuatan jahat). Jugamemerintahkan manusiamenjauhkan diri dari
segala yang diharamkan. Jelasnya, bahwa sesuatu yang memberikan kemudaratan apabila pada
sesuatu ketika memberi manfaat dan bahwa manfaatnya itu lebih kuat dari kemudaratannya,
berobahlah hukum, lalu menjadi boleh, padahal tadinya diharamkan. Atas dasar inilah syariat Islam
menghalalkan berbagai rupa yang bila dikehendaki darurat. Atas dasar ini pula terletaknya kaidah:
ađ-ďaruratu tubîhul mahȥurat,segala hal-hal yang memaksakan, membolehkan segala yang
diharamkan.

8
Lihat ibid.
9
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Ilmu dalam Sulaiman Al-Kumayi, Inilah Islam Telaah Terhadap Pemikiran Hasbi Ash-
Shiddieqy dalam Bidang Tafsir, Feminisme, Teologi, Neo-Sufisme dan Gagasan Menuju Fiqh Indonesia (Cet. I; Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra, dan Yayasan Hasbi Ash-Shiddieqy, 2006), h. 289.
8
C. Pengertian Transplantasi
Istilah pencangkokan organ tubuh dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan
“transplantasi organ”.10 Transplantasi organ tubuh dalam pembahasan fiqih modern disebut dengan
naql a‟da‟ al-Insan. 11Transplantasi berasal dari bahasa Inggris transplantation, bentuk noun dari
kata kerja to transplant, yang berarti “to take up and plant to another” (mengambil dan
menempelkan pada tempat yang lain).
Menurut Taylor, Hornby dkk, sebagaimana di kutip oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz
Anshary, pengertian transplantasi adalah “to move from one place to another” (memindahkan dari
satu tempat ke tempat yang lain), dalam ilmu kedokteran bermakna memindahkan satu jaringan
tubuh seseorang kepada seseorang yang lainnya atau dari seseorang ke dalam jaringan tubuh yang
lainnya, 12
Ada tiga jenis transplantasi:
 Auto-transplantasi, yaitu transplantasi yang memberi dan menerima dalam organ tubuh
seseorang dengan organ tubuh seseorang yang lainnya;
 Homo-transplantasi, yaitu transplantasi pada satu jenis (spesies) yang sama;
 Hetero-transplantasi, yaitu transplantasi yang menerima dan donornya berbeda jenis; seperti
transplantasi satu organ tubuh manusia dengan organ tubuh binatang.13
Pengertian transplantasi sebelumnya merupakan perumusan ide tempel-menempel dalam
dunia flora, kemudian mengalami perkembangan denotasi setelah dilakukan eksperimen-
eksperimen, baik pada tahap pra ilmiah maupun pada tahap ilmiah di bidang kedokteran, sehingga
terkait pula dalam dunia fauna dan manusia. Definisi lain menyebutkan pengertian transplantasi
sebagai “suatu pemindahan organ tubuh yang hidup (sel, jaringan, dan organ) dari satu tempat ke
tempat lain dalam susunan yang berbeda”. Dari berbagai definisi tersebut dapat dikemukakan
bahwa transplantasi merupakan suatu upaya medis untuk memindahkan jaringan, sel atau organ
tubuh yang ditempelkan atau okulasi yang dilakukan secara medis dari donor kepada resipien. 14

D. Transplantasi Perspektif Hukum Islam


 Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Hidup
Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin (1198 H/1784 M1252 H/1836 M),
dua tokoh fiqih mazhab Hanȃfiyyah, menyatakan bahwa organ tubuh manusia yang masih
hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan lainnya, karena kaidah fiqih
menyatakan: “suatu kemudaratan tidak bisa dihilangkan dengan kemudaratan lainnya.”
Pernyataan senada juga muncul dari Ibnu Qudamah, tokoh fiqih mazhab Hanbali, dan
Imam an-Nawawi, tokoh fiqih Mazhab Syȃfi„iyah.
Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semaunya
sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuh dirinya sendiri
(bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya
menimbulkan muḍarat bagi dirinya. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang
mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati, kornea
mata, jantung, dan ginjal. Dikarenakan dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ
tersebut, dan tidak dibolehkan menghilangkan ḍarȃr orang lain dengan menimbulkan ḍarȃr
pada dirinya.

10
Muliadi Kurdi, Muji Mulia, Problematika Fiqih Modern, Cet. 1, (Banda Aceh: Yayasan PeNa, 2005), h. 58
11
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 6, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 1831
12
Muliadi Kurdi, Muji Mulia, Problematika fiqih..., h. 58
13
Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum..., h. 70
14
Sabiston, Buku Ajar Bedah Bagian I, terj. Petrus Andrianto, Timan, Cet. 1, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 1992), h. 297
9
Syariat Islam menuntut pada umatnya agar seluruh bentuk penyakit harus
disembuhkan, karena membiarkan penyakit bersarang di tubuh, bisa membawa kepada
akibat fatal, yaitu kematian. Perbuatan menjerumuskan diri kepada kematian, dikecam oleh
Allah Swt melalui firman-Nya dalam surat (QS. 4: 29) yang artinya: “... Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Di
samping itu, memelihara diri dari segala yang merusak, menurut kesepakatan para ahli
fiqih, termasuk persoalan ḍarȗri (pokok).
M. Ali Hasan, dalam bukunya Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah
Kontemporer Hukum Islam, menyebutkan bahwa selama seseorang masih hidup, tidak
dibolehkan organ tubuhnya diambil, karena hal tersebut berarti mempercepat kematiannya,
dan berarti mendahului kehendak Allah SWT, walaupun menurut pertimbangan dokter,
orang tersebut akan segera meninggal. Mengambil organ tubuhnya, boleh dikatakan sama
dengan menyuntik orang itu supaya cepat meninggal.
 Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan masih hidup, meskipun
dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram walaupun menurut dokter bahwa si donor itu
akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiaannya dan mendahului
kehendak Allah. Hal tersebut dapat dikatakan seperti euthanasia yaitu mempercepat
kematian. Tidak etis melakukan transplantasi dengan mengambil organ tubuh dalam keadaan
sekarat.
Orang yang sehat, seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang
koma tersebut, walaupun menurut dokter, kesembuhan terhadap orang yang sedang koma,
sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi, sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali
walaupun sebagian kecil. Oleh sebab itu, di dalam kedokteran medis, menurut hukum Islam,
tidak dibolehkan mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma dengan adanya
hadits Nabi SAW, Hadits Nabi SAW: “Tidak dibolehkan membuat muḍarat pada dirinya
sendiri dan tidak boleh pula membuat muḍarat pada orang lain”. Berdasarkan hadits
tersebut, mengambil organ tubuh dari orang dalam keadaan sekarat/koma, hukumnya haram
dikarenakan menimbulkan muḍarat kepada donor tersebut yang berakibat dapat
mempercepat kematiannya, yang disebut dengan euthanasia.

 Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Telah Meninggal Dunia
Mengambil organ tubuh donor (kornea mata, jantung dan ginjal) yang sudah
meninggal secara yuridis dan medis, menurut pandangan hukum Islam, hukumnya mubah,
yaitu dibolehkan, dengan syarat bahwa resipien (penerima sumbangan organ tubuh), bila
dalam keadaan ḍarȗratnya, apabila organ tubuhnya tidak disumbangkan kepada orang lain
yang membutuhkannya, dapat mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi
tersebut, sedangkan ia sudah berobat secara optimal, tetapi tidak berhasil.
Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyah: “ḍarȗrat akan membolehkan yang diharamkan.”
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyah: ”Bahaya itu harus dihilangkan”. Dengan catatan bahwa
pencangkokan juga cocok dengan organ resipien dan tidak menimbulkan komplikasi
penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Di samping itu, harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk
menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Pernyataan tersebut sesuai dengan fatwa MUI pada tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam
kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung terhadap
orang yang telah meninggal dunia demi untuk kepentingan orang yang masih hidup,
1
0
dibolehkan menurut hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat
wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris. Dikeluarkan fatwa MUI tersebut
setelah mendengar penjelasan langsung dari Tarmizi Hakim kepala UPF bedah jantung RS.
Jantung “Harapan Kita”, yang menyatakan tentang teknis pengambilan katup jantung serta
hal-hal lain yang terkait dengan fatwa MUI tersebut, yang dilaksanakan di ruang sidang
MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi fatwa itu sendiri mengadakan diskusi dan
pembahasan lebih lanjut mengenai masalah tersebut yang diadakan beberapa kali dan
terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.

1
1
12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Transfusi darah dibutuhkan untuk menolong seseorang dalam keadaan darurat,
sebagaiman keterangan Qaidah fiqhiyah yang berbunyi: “Perkara hajat (kebutuhan)
menempati posisi darurat (dalam menetapkan hukum islam), baik bersifat umum
maupun khusus”. Dan dalam kaidah Fiqhiyah selanjutnya yang berbunyi : Tidak ada
yang haram bila berhadapan dengan yang hajat(kebutuhan). Kebutuhan hanya untuk
ditransfer kepada pasien saja. Hal ini sesuai dengan maksud Qaidah Fiqhiyah yang
berbunyi :”Sesuatu yang dibolehkan karena keadaan darurat, (hanya diberlakukan)
untuk mengatasi kesulitan tertentu”.
Jumhur ulama fiqih yang terdiri dari sebagian ulama Mazhab Hanȃfiyyah, sebagian
ulama Mazhab Mȃlikiyyah, ulama Mazhab Syȃfi„iyah, sebagian ulama Syȃfi„iyah,
ulama Mazhab Hanbali dan ulama Mazhab Zaidiah, berpendirian bahwa memanfaatkan
organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan ḍarȗrat.
Disyaratkan harus ada izin ahli waris yang bisa menjadi pertimbangan dan
kebolehannya dengan adanya wasiat dari orang yang telah meninggal. Menurut Jumhur
ulama, dibolehkan transplantasi, dengan alasan konkritnya bahwa segala hak mayat
ketika masih hidup menjadi hak bagi pemiliknya untuk mewariskan organ tubuh
sebelum dia meninggal.

B. Saran
Penulis sangat menyadari akan kekurangan-kekurangan yang ada pada makalah
ini. Baik dari segi ilmunya maupun dari segi penulisannya. Itu semua disebabkan
kurangnya referensi yang digunakan dan kurangnya pengalaman penulis. Untuk itu,

13
apabila ada kritik maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan, agar di penulisan berikutnya penulis dapat memperbaikinya.

14
Daftar Pustaka

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Mutiara Ilmu. Dalam Sulaiman Al-Kumayi. Inilah Islam Telaah Terhadap
Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Bidang Tafsir, Feminisme, Teologi, Neo-Sufisme dan Gagasan
Menuju Fiqh Indonesia, Cet. I; Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, dan Yayasan Hasbi Ash-Shiddieqy,
2006.
Muliadi Kurdi, Muji Mulia, Problematika Fiqih Modern, Cet. 1, (Banda Aceh: Yayasan PeNa,

2005),

Abdul Azis Dahlan, (2003) Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 6, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve

15

Anda mungkin juga menyukai