Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH MASAIL

FIQHIYAH TRANSFUSI

DARAH

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqhiyyah

Dosen Pengampu : Nastangin, M.H.I.

Disusun Oleh :

Nofiriya Priyanti 33010200066

Diah Ayu Sulistyaningrum 33010200068

Ade Fita Nurani 33010200115

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SALATIGA

2022
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “ TRANSFUSI DARAH ” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Masail Fiqhiyyah. Selain itu, makalah
ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang hukum transfusi darah bagi para
pembaca maupun penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Nastangin, M.H.I. selaku dosen


pengampu mata kuliah Masail Fiqhiyyah.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah

Salatiga, 1 Desember 2022

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu dan teknologi, khususnya dalam kedokteran, lahir dan berkembang
didorong oleh kebutuhan manusia agar dapat mempertahankan eksistensi dan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dikembangkanya ilmu dan teknologi oleh
manusia sebagai alat agar manusia dapat menjalankan misinya diatas bumi.
Manusia sekurang-kurangnya mengembang 4 (empat) misi, yaitu: pengabdian,
kekhalifahan, kerisalahan dan ikhsanisasi.
Fungsi pengabdian, disamping berdimensi transdental juga harus
tercermin pada dimensi horizontal, yaitu pengabdian kepada sesama manusia
dalam bentuk amal saleh. Fungsi kekhalifahan yaitu sebagai wakil Allah
mengelola dan mengatur dunia agar tercapai kehidupan yang harmonis dan
sejahtera. Fungsi kerisalahan yaitu menyampaikan Islam sebagai ajaran dan
pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Secara sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan donor darah untuk
kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual
kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini perlu ditentukan status hukumnya
atas dasar kajian ilmiah.
Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam hukum Islam, karena
tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-masa pembentukan hukum
Islam. Al-Qur’an dan Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak
menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut sebagai masalah
ijtihadi, karena untuk mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode
istinbath atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum agama Islam.
Sebenarnya, transfusi (pemindahan) darah telah dilakukan oleh para ahli
bidang kedokteran sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18. pada
masa itu pengetahuan tentang sirkulasi darah yang dirintis oleh William harvey
masih belum memuaskan. Dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi
darah mengalami kegagalan dan banyak mendatangkan kecelakaan bagi
manusia.

4
Namun para ahli tidak henti-hentinya melakukan percobaan sampai pada suatu
saat Dr. Karl Landsteiner pada tahun 1900 telah menemukan golongan-golongan
darah dan transfusi darah tidak merupakan pekerjaan yang berbahaya, tetapi
sebaliknya menolong jiwa manusia dari ancaman kematian disebabkan
kehilangan darah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian transfusi darah?
2. Bagaimana syarat donor dan transfusi darah menurut Islam?
3. Bagaimana hukum transfusi darah?
4. Bagaimana hubungan antara pendonor dan resipien?
5. Bagaimana hukum menjual darah serta hukum menerima imbalan materi
setelah donor?
6. Bagaimana pandangan Islam terhadap donor dan transfusi darah?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian transfusi darah.
2. Untuk mengetahui syarat donor dan transfusi darah menurut Islam.
3. Untuk mengetahui hukum transfusi darah.
4. Untuk mengetahui hubungan antara pendonor dan resipien.
5. Untuk mengetahui hukum menjual darah serta hukum menerima imbalan
materi setelah donor.
6. Untuk mengetahui pandangan Islam terhadap donor dan transfuse darah.

5
BAB II

PEMBAHASA

A. Pengertian Transfusi Darah


Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris “Blood Transfution”
yang artinya memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang
yang akan ditolong. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang
karena kehabisan darah. Menurut Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluuf
merumuskan definisinya sebagai berikut1 :

‫لَى ا م ِر يْ ص‬ ْ ‫ْقل ال ِ ِعال ه َو ِتفَا ِم ْ سا نَ ْق من‬


‫ْل‬ ‫ْا َد ن ن ِله ال ي‬ ‫ ن‬B‫ْاإل ع‬ ‫م ج ِ ل ْل‬
‫ص‬ ‫د‬
‫ح‬ ‫إ‬
‫ل‬
‫ال ْ َنقا ِذ ح َيا ِته‬
Yang artinya “Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia, dengan
cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang sehat kepada orang yang
membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya.
Darah yang dibutuhkan untuk keperluan transfusi adakalanya secara
langsung dari donor dan adakalanya melalui Palang Merah Indonesia (PMI) atau
Bank Darah. Darah yang disimpan pada Bank darah sewaktu-waktu dapat
digunakan untuk kepentingan orang yang memerlukan atas saran dan
pertimbangan dokter ahli, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan
antara golongan darah donor dan golongan darah penerimanya.
Oleh karena itu, darah donor dan penerimanya harus dites kecocokannya
sebelum dilakukan transfusi. Adapun jenis-jenis darah yang dimiliki manusia
yaitu golongan AB, A, B, dan O.
Golongan-golongan yang dipandang sebagai donor darah adalah sebagai
berikut :
1. Golongan AB dapat memberi darah pada AB
2. Golongan A dapat memberi darah pada A dan AB

6
3. Golongan B dapat memberi darah pada B dan AB

1
Ibn Rusyd Bidayatul, 2002. Mujtahid (Terj. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun), Pustaka Amani:
Jakarta, h. 134.

7
4. Golongan O dapat memberi darah kesemua golongan darah

Adapun golongan darah dilihat dari segi resipien atau penerima adalah sebagai
berikut:

1. Golongan AB dapat menerima dari semua golongan


2. Golongan A dapat menerima golongan A dan O
3. Golongan B dapat menerima golongan B dan O
4. Golongan O hanya dapat menerima golongan darah O

Meskipun demikian, sebaiknya transfusi dilakukan dengan golongan darah


yang sama, dan hanya dalam keadaan terpaksa dapat diberikan darah dari
golongan yang lain.

B. Syarat Donor dan Transfusi darah Menurut Islam


Syarat Donor dan Transfusi Darah adalah sebagai berikut:2
a. Tidak menyebabkan kerusakan (kematian pada diri donor).
b. Memberikan manfaat (mencegah kerusakan/kematian) pada akseptor.
c. Donor atau Tranfusi tidak boleh dilakukan bila menyebabkan kematian pada
diri donor (darah diambil terlalu banyak), meskipun memberikan manfaat
kepada resipien.
d. Donor darah dapat mencegah bahaya yang sudah pasti (mencegah
kerusakan/kematian resipien).
e. Bahaya yang timbul akibat donor atau transfusi dapat di perkirakan.
f. Perbedaan kerugian yang terjadi dan manfaat yang diperoleh jelas (manfaat
lebih besar dari kerugian).
g. Donor darah memberikan manfaat yang sangat besar dan termasuk
mendonorkan anggota badan yang dapat pulih kembali.
h. Pendonor tidak akan mendapat kerugian/kerusakan yang berarti, bahkan
mendapat manfaat.
i. Tranfusi darah tidak sama dengan “memakan darah”

2
Pardi Syamsudin, 1997. Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. II, PT. Pustaka Firdaus: Jakarta.
h. 98.

7
j. Kerusakan / kerugian akibat tranfusi dapat diperkirakan dan dicegah dengan
adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

C. Hukum Transfusi Darah


Menurut hukum Islam pada dasarnya, darah yang dikeluarkan dari tubuh
manusia termasuk najis mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram
untuk dimakan dan dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-
Maidah ayat 3:
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah,..”
Ayat diatas pada dasarnya melarang memakan maupun mempergunakan
darah, baik secara langsung ataupun tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan darah,
maka mempergunakan darah dibolehkan dengan jalan transfusi. Bahkan
melaksanakan transfusi darah dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang artinya sebagai
berikut:
“... Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka
seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. ”
Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat Islam, yaitu bahwa
sesungguhnya syariat Islam itu baik dan dasarnya ialah hikmah dan
kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan darah dalam
transfusi darah adalah untuk menjaga keselamatan jiwa seseorang yang
merupakan hajat manusia dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain
yang dapat dipergunakan untuk menyelamatkan jiwanya. Maka, dalam hal ini
najis seperti darah pun boleh dipergunakan untuk mempertahankan kehidupan.
Misalnya seseorang yang menderita kekurangan darah karena kecelakaan, maka

8
dalam hal ini diperbolehkan menerima darah dari orang lain.3 Hal tersebut
sangat dibutuhkan (dihajatkan) untuk menolong seseorang yang keadaannya
darurat, sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi:

.ً‫ ْو صة‬BBَ‫ضر عا َ ت أ‬ ‫ ْن ِزل ِزَلَة‬B‫اَ ْلحا َت‬


‫خا‬ ‫ْورة مة ن‬ ُ
‫جة ال م ْن‬
‫كا‬
“Perkara hajat (kebutuhan) menempati posisi darurat (dalam menetapkan
hukum Islam), baik yang bersifat umum maupun yang khusus.”

.‫مع ا جة‬ ‫ضر وا كرا ه‬ ‫ال حر مع‬


‫ْلحا‬ ‫ْورة ل ة‬ ‫ام ال‬

“Tidak ada yang haram bila berhadapan dengan keadaan darurat, dan tidak
ada yang makruh bila berhadapan dengan hajat (kebutuhan).”
Maksud yang terkandung dalam kedua Qaidah tersebut menunjukkan
bahwa Islam membolehkan hal-hal yang makruh dan yang haram bila
berhadapan dengan hajat dan darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk
menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat dan keadaan darurat.
Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat dipakai sebagai
alasan untuk mempergunakannya kepada yang lain, kecuali apabila ada dalil
yang menunjukkan kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian,
karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk ditransfer kepada pasien
yang membutuhkannya saja, sesuai dengan kaidah Fiqhiyah :

.‫ها‬
‫ضر قَ ْد ِر ز‬ ‫ ِب لل‬Bُ‫ما أ‬
‫ت ِر‬ ‫ْورة‬ ‫ْي ح‬
“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat dibolehkan hanya sekedar
menghilangkan kedharuratan itu.”
Memang dalam Islam membolehkan memakan darah binatang bila betul-
betul dalam keadaan darurat, sebagaimana keterangan dalam ayat al-Qur’an
yang berbunyi sebagai berikut:
9
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi

3
Ali Hasan Muhammad, 1996. Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah “Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam”,
cet I, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, h. 12.

1
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.4
Ayat diatas menunjukkan bahwa bangkai, darah, daging babi dan
binatang yang ketika disembelih disebut nama selain nama Allah, adalah haram
dimakan. Akan tetapi apabila dalam keadaan terpaksa dan tidak melampaui
batas, maka boleh dimakan dan tidak berdosa bagi yang memakannya.
Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki
kesukaran dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Maka penyimpangan
terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa
dapat dibenarkan, asal tidak melampaui batas. Keadaan keterpaksaan dalam
darurat tersebut bersifat sementara, tidak permanen. Ini hanya berlaku selama
dalam keadaan darurat.
D. Hubungan Antara Donor dan Resipien (Penerima)
Adapun Hubungan antara donor dan resepien setelah terjadi transfusi
darah, tidak membawa akibat hukum ada hubungan kemahraman (haram kawin),
umpamanya dipandang sebagai saudara sepersusuan. Sebab, faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kemahramannya, sudah ditentukan dan ditetapkan oleh
Agama Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan

4
Al-Qur’anul Karim.
1
yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa’ (4): 23).”5
Dari ayat tersebut diatas dapat disimpulkan yang disebut Mahram karena
adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau
saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya
hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah
disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan,
misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya
atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Dengan demikian jelas, bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara donor darah dengan resipien (penerima). Karena
itu jika si donor dan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka
tidak ada larangan dalam Agama Islam, bahkan berdasarkan mafhum
mukhalafah surat an-Nisa’ tadi tidak ada larangan sama sekali.
E. Hukum Menjual Darah serta Hukum Menerima Imbalan Materi Setelah
Donor
Jual-beli termasuk salah satu sistem ekonomi Islam. Dalam Islam,
ekonomi lebih berorientasi kepada nilai-nilai logika, etika dan persaudaraan,
yang kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi kepada Allah.
Dengan demikian nilai-nilai tersebut dapat difungsionalkan pada tingkah laku
ekonomi manusia khususnya dan peradaban umat manusia umumnya.
Dikemukakan hadits Jabir yang diriwayatkan dalam kedua kitab sahih,
Bukhari dan Muslim. Jabir berkata sebagai berikut yang artinya:
“Rasulullah S.A.W. bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan memperjualbelikan khamr, bangkai, babi, dan berhala. (Lalu
Rasul ditanya para sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang memanfaatkan
minyak bangkai; mereka pergunakan untuk memperbaiki kapal dan mereka
gunakan untuk menyalakan lampu? Rasul menjawab, semoga Allah melaknat

5
Al-Que’anul Karim.

1
orang Yahudi, diharamkan Minyak (lemak) bangkai bagi mereka, mereka
memperjualbelikannya dan memakan (hasil) harganya.”
Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan menjual najis; termasuk
didalamnya menjual darah, karena darah juga termasuk najis sebagaimana yang
dijelaskan oleh Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 3. Menurut hukum asalnya
menjual barang najis adalah Haram. Namun yang disepakati oleh para Ulama
hanyalah khamr atau arak dan daging babi. Sedangkan memperjualbelikan
barang najis yang bermanfaat bagi manusia, seperti memperjualbelikan kotoran
hewan untuk keperluan pupuk.
Menurut Mazhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli
barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi
(qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali
manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi
darah.
Namun Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda najis termasuk
darah. Ayat Al-Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah termasuk benda
yang diharamkan. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:

‫وما لغَ ْي ِر ال لَّه ه‬ ‫ح ِ رمت ْ ا ْل م والدم و حم ِزي‬


‫أُهل‬ ‫ل ا ْل ِر خ‬ ‫ة‬Bَ‫ي كم ْيت‬
‫ْن‬ ‫ع‬
َ‫ل‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).6
Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual belikan. Berdasarkan
Hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan
sesuatu, maka mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka jual beli darah adalah
sesuatu yang tidak pantas dan tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka
darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan jual beli darah nampaknya
sangat bertentangan dengan tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan
jiwa manusia dari kebinasaan.
1
6
Al-Qur’anul Karim.

1
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada
donor atau penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan
transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti
makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya
bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini seperti
memberikan sertifikat setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai kartu
diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana
orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan
mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga
masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-
menolong dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun
orang lain sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis.
F. Pandangan Agama Islam
Masalah donor darah adalah masalah yang baru, dalam arti kata tidak
ditemukan hukumnya pada masa pembentukan hukum islam, ataupun dalam Al-
Qur’an maupun dalam Hadits, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Seiring
dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang pada akhirnya menimbulkan hal-hal yang baru, maka masalah seperti
diatas bermunculan dimana-mana dan semuanya menuntut ada ketentuan
hukumnya. Untuk itu para ulama yang berkompeten berusaha merumuskanya
dengan berpegang kepada prinsip-prinsip umum dari al-Qur’an dan Hadits.
Karena hal yang semacam ini merupakan masalah ijtihadiah, maka merupakan
hal yang biasa, jika didalamnya terdapat perbedaan pendapat yang tidak sama
antara yang satu dengan yang lainya dan tentu pada akhirnya akan melahirkan
kesimpulan yang berbeda pula.
Agama islam tidak melarang seorang muslimin atau muslimah
menyumbangkan darahnya dengan tujuan kemanusiaan dan bukan komersial.
Darah itu dapat disambungkan secara langsung kepada yang memerlukannya,
seperti untuk keluarga sendiri, atau diserahkan kepada Palang Merah Indonesia
atau bank darah untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk
menolong kepada orang yang memerlukan, ataukah seagama atau tidak.
Demikian
1
juga sebaliknya didonorpun tidak mempersoalkan tentang penggunaan darah
tersebut. Apabila hal ini dipersoalkan, maka akan mengalami kesukaran bagi
pengelola (Palang Merah), karena penggunaan darah itu harus memperhatikan
juga golongan darah yang menerimanya.
Sebagai dasar hukum yang membolehkan donor darah ini dapat dilihat
dalam kaidah hukum islam berikut:
“bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada dalil
yang mengharamkanya”.
Berdasarkan kaidah tersebut diatas, maka hukum donor darah itu
dibolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik al-Qur’an maupun
Hadits. Namun demikian tidak berarti, kebolehan itu dapat dilakukan tanpa
syarat, bebas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada
awalnya diperbolehkan, tetapi karena hal-hal yang dapat membahayakan
resipien, maka pada akhinya menjadi terlarang. Umpamanya saja, donor dalam
keadaan berpenyakit menular seperti AIDS dan penyakit penyakit lainya (yang
dapat menular via darah), maka tranfusi darah menjadi terlarang. oleh sebab itu,
sebelum para donor memberikan darahnya, harus diperiksa lebih dahulu (bagi
yang diduga ada penyakitnya).
Menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit
dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama
sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan
menjadi objek komersial sebagaiman dilarang Syariat Islam dan bertentangan
dengan perikemanusiaan, sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi
dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat
bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa
menamam kebaikan maka ia berhak mendapat pahala dan ganjaran kebaikannya.
Imam Abu Hanifah dan Zahiri membolehkan menjual-belikan benda
najis yang ada manfaatnya, seperti kotoran hewan seperti serbuk. Secara
analogis mazhab ini membolehkan jual beli darah karena besar manfaatnya bagi
manusia untuk keperluan transfusi darah untuk keperluan operasi dan
sebagainya. Namun

1
Imam Syafi’i mengharamkan jual beli benda najis termasuk darah. 7 Ayat Al-
Qur’an menyatakan secara tegas bahwa darah termasuk benda yang diharamkan.
Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah ayat 3).
Benda yang diharamkan tidak boleh untuk dijual belikan. Berdasarkan
Hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan
sesuatu, maka mengharamkan juga harganya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Memperhatikan dua silang pendapat diatas, maka jual beli darah adalah
sesuatu yang tidak pantas dan tidak etis. Sebab jika hal ini diperbolehkan, maka
darah dijadikan ajang bisnis oleh manusia. Berkaitan jual beli darah nampaknya
sangat bertentangan dengan tujuan luhur dari donor darah, yaitu menyelamatkan
jiwa manusia dari kebinasaan.
Seharusnya PMI itu tidak boleh memperjual-belikan darah karena PMI
itu mendapatkan darahnya dari orang yng ikhlas dan tidak membutuhkan berupa
materi. Karena kalau darah itu diperjual-belikan berarti dia telah menyulitkan
orang yang membutuhkan darah. Terutama dia menyulitkan orang yang tidak
mampu untuk membayar sebuah darah karena darah itu mahal. Selain itu, PMI
juga harus memberikan darah bagi orang yang membutuhkan dengan gratis atau
percuma.
Kalau ditinjau dari segi hukum, maka diantara para ulama ada yang
memperbolehkan jual beli darah, sebagaimana halnya jual beli barang najis yang
ada manfaatnya, seperti kotoran hewan. Dengan demikian secara analogis
(Qiyas), diperbolehkan memperjualbelikan darah manusia dan memang besar
manfaatnya untuk menolong jiwa manusia. Pendapat ini dianut oleh mazhab
Hanafi dan Zhahiri.8
Kalau dipikir dalam-dalam, maka Palang Merah Indonesia yang
memperjualkanbelikan darah kepada rumah sakit itu kurang manusiawi, kalau
tidak dikatakan tidak manusiawi, sebab penggunaan darah itu untuk menolong

7
Masjfuk Juhdi, 1987. Masail Fiqhiyyah, CV. Haji Masagung: Jakarta, h.102.
8
Sayyid Sabiq, 1981. Fiqh Al-Sunnah, Jil. II, Dar Al-Fikr: Libanon. h.178.

1
nyawa Si penderita (secara lahiriyah). Dalam keadaan yang semacam ini,
seharusnya yang bicara nurani, bukan materi yang selalu menonjol. Berbeda
halnya kalau uang dipungut untuk sekedar biaya administrasi, karena darah itu
memerlukan perawatan (pemeliharaan) yang baik sebelum dipergunakan.

1
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam masalah transfusi darah sebagai penemuan ilmu dan teknologi
kedokteran, hukum Islam bukanlah hambatan. Hukum Islam cukup fleksibel,
transfusi darah dibolehkan untuk menyelamatkan hidup seseorang yang
kehabisan darah. bahkan melaksanakan transfusi dalam keadaan demikian
dianjurkan demi menjaga keselamatan jiwa.
Jika pelaksanaan transfusi darah didasarkan atas pengabdian kepada
Allah, maka ia menjadi ibadat bagi pelaksananya. Kebolehan transfusi darah
disini didasarkan kepada hajat dalam keadaan darurat, karena tidak ada jalan lain
untuk menyelamatkan jiwa orang itu, kecuali dengan jalan transfusi.
Demikian pula hukumnya menjual darah untuk kepentingan pelaksanaan
transfusi, Islam membolehkannya, asal penjualan itu terjangkau oleh orang yang
membutuhkannya. Hal ini berguna untuk biaya memulihkan kekuatan dan
kesehatan setelah darahnya didonorkan. Akan tetapi apabila penjualannya
melampui batas kemampuan orang yang membutuhkan darah atau untuk tujuan
komersial, jelas hukumnya haram, karena bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan dan memberi kemudharatan kepada orang lain.
B. Saran
Demikianlah makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat
dibutuhkan untuk kesempurnaan makalah ini maupun makalah-makalah
selanjutnya.

1
Daftar Pustaka

Hasan, M. A. (1996). Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah "Pada Masalah Kontemporer


Hukum Islam", cet. I. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Juhdi, M. (1987). Masail Fiqhiyyah. Jakarta: CV. Haji Masagung.

Maududi, A. A. (1967). Toward Understanding Ilam. Lahore: Islamic Publication.

Rusyd, I. (2002). Bidayatul Mujtahid (Ter. Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun).
Jakarta: Pustaka Amani.

Sabiq, S. (1981). Fiqh Al-Sunnah, Jil. III. Libanon: Dar Al-Fikr.

Syamsudin, P. (1997). Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet. II. Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus.

Yusuf, M. (2017). Masail Fiqhiyah (Memahami Permasalahan Kontemporer). Jakarta:


Gunadarma Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai