Anda di halaman 1dari 13

TRANSFUSI

DARAH DAN
EUTHANASIA
Mata Kuliah : Masail Fiqh al
Haditshah
Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul
Wahab Syakrani,M.M

Kelompok 1 Tema 5:
Laila Anisa Fitri (21.04.07196)
Mega (21.04.07208)
Muthi’ah Hanifah (21.04.07214)
Nur Ela Cahyati (21.04.07237)
A. Pengertian Transfusi Darah dan Euthanasia
1. Pengertian Transfusi Darah
Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris “Blood Transfution” yang
artinya memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan
ditolong. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang karena kehabisan
darah.
Menurut Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluuf transfusi darah adala
memanfaatkan darah manusia, dengan cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang
sehat kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya.
Dr. Ahmad Sofian mengartikan tranfusi darah dengan istilah “pindah-tuang
darah” sebagaimana rumusan definisinya yang berbunyi: ”pengertian pindah-tuang
darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan
ditolong.
Transfusi dilakukan dengan golongan darah yang sama dan hanya dalam
keadaan terpaksa dapat diberikan darah dari golongan yang lain. Dengan demikian
donor darah adalah berarti seseorang yang menyumbangkan darah kepada orang lain
dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa orang yang membutuhkan darah tersebut.
2. Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani,
“eu” (baik) dan “thanatos” (kematian) adalah
tindakan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup
seseorang agar terbebas dari kesengsaraan sakit
yang diderita karena diyakini tidak ada lagi
harapan untuk sembuh. Dalam Ensiklopedia
Nasional Indonesia, euthanasia merupakan
tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan
seseorang agar terbebas dari kesengsaraan yang
diderita, euthanasia ini biasanya dilakukan
terhadap penderita penyakit yang sebenarnya
sudah tidak mempunyai harapan sembuh, namun
seringkali penderita itu masih bertahan hidup.
Sementara dalam Bahasa Arab euthanasia disebut dengan
Qatl ar-Rahmah atau Taisir al-Maut, ialah tindakan memudahkan
kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik
dengan cara positif maupun negatif.

Menurut kamus kesehatan euthanasia adalah:


a. Mencabut nyawa untuk menghilangkan penderita.
b. Mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara
kematian yang tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan.

Euthanasia juga didefenisikan sebagai "a good death" atau


mati dengan tenang. Yang mana hal ini dapat terjadi atas permintaan
pasien atau keluarganya karena penderitaan yang sangat hebat dan
tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada
pasien yang sedang sakit tanpa memberikan pertolongan.
Di dalam kode etik kedokteran Indonesia, euthanasia mengandung tiga
arti, yaitu:

a. Berpindahnya ke alam baka yang tenang dan


aman tanpa penderitaan. Dari beberapa pengertian
di atas, dapat disimpulkan
bahwa, euthanasia adalah
b. Saat hidup akan berakhir (sakaratul maut), suatu usaha dan bantuan
penderitaan si sakit diringankan dengan yang dilakukan untuk
memberikan obat penenang.
mempercepat kematian
seseorang, dengan tujuan
meringankan atau
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang membebaskan si sakit dari
yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien penderitaannya.
sendiri dan keluarganya.
B. Hukum Transfusi Darah dan Hukum Menjual Darah Untuk Kepentingan Transfusi.
1. Hukum transfusi darah
Pada dasarnya menurut hukum Islam, darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia
termasuk najis mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram untuk dimakan dan
dimanfaatkan, dalil penjelasan tersebut tercantum baik di Al- Qur’an maupun Hadist. Adapun
QS. Al-Maidah (5) ayat 3 menyebutkan :

‫ُحِّر َم ْت َع َلْي ُك ُم اْلَم ْي َت ُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْل ِخْن ِز ْي ِر َو َم ٓا ُاِهَّل ِلَغ ْي ِر ِهّٰللا ِبٖه‬

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah…”.

Adapun hadis nabi yang berkaitan dengan darah, yakni: “Dari Ibn Umar r.a bahwa
Rasulullah SAW bersabda: dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua darah, dua
macam bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah itu adalah hati
dan limpa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dasar dari ayat tersebut melarang memakan dan mempergunakan darah, baik
secara langsung ataupun tidak langsung. Akan tetapi, bila darah itu satu-satunya jalan demi
menyelamatkan jiwa seseorang yang kehilangan banyak darah, maka mempergunakan darah
dibolehkan dengan jalan transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah dianjurkan untuk
kesehatan jiwa manusia.
Hukum asal pada pengobatan hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang
diperbolehkan menurut syariat. Apabila tidak ada jalan alternatif lain untuk menambahkan
daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan darah orang lain, dan ini menjadi satu-
satunya usaha.
Pembolehan transfusi darah, harus dibatasi menurut ketentuan-ketentuan berikut:

1). Transfusi darah itu hanya boleh dilakukan jika ada kebutuhan tertentu yang
mendesak untuk itu
2). Transfusi darah juga boleh dilakukan ketika tidak terdapat kondisi yang
membahayakan nyawa si pasien, tetapi dalam pandangan dokter yang
berkompeten, pasien tidak mungkin disembuhkan tanpa transfusi darah.
3). Jika ada kemungkinan, ada baiknya untuk memilih tidak melakukan transfusi
darah.
4). Transfusi darah tidak diperbolehkan jika tujuannya hanya untuk peningkatan
kesehatan atau kecantikan. Artinya, ketika tidak ada kekhawatiran bahwa penyakit
pasien akan berkepanjangan, maka tujuan transfusi pastilah hanya untuk
menguatkan tubuh atau menambahkan keindahannya saja.
2. Hukum menjual darah untuk kepentingan transfusi
Jual beli yang tidak diperbolehkan adalah jual beli yang zatnya haram dan
najis. Yang termasuk benda najis menurut Mazhab Syafi’i adalah seperti darah yang
memancar dan semua jenis darah terkecuali darah yang terdapat pada ikan dan segala
sesuatu yang berasal dari perut binatang, darah, nanah, muntahan, kotoran dan
kencing.
Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan
hadis Nabi riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir r.a kecuali barang najis yang ada
manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan maka secara analogis (qiyas), mazhab
ini membolehkan jual beli darah manusia, karena besar sekali manfaatnya bagi manusia
guna menolong jiwa sesama manusia yang memerlukan transfusi darah karena operasi
dan kecelakaan.
Demikian pula apabila darah itu dijual kepada suatu Bank darah atau yayasan
tertentu yang bergerak dalam pengumpulan darah dari para donor, ia dapat meminta
bayaran dari yang menerima darah, agar bank darah atau yayasan tersebut dapat
menjalankan tugasnya dengan lancar. Akan tetapi bila penjualan darah itu melampaui
batas kemampuan pasien dan untuk tujuan komersial, jelas haram hukumya, atas dasar
prinsip kemanusiaan dan kaedah hukum yang mengatakan bahwa kemudharatan itu
harus dihilangkan, kemudharatan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang
lain, dan tidak boleh memberi kemudharatan kepada dirinya sendiri dan tidak boleh pula
membuat kemudharatan kepada orang lain.
C. Ketentuan Hukum Islam Terhadap Euthanasia
Para tokoh Islam Indonesia dalam masalah euthanasia ini, sangat
menentang dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang
menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mendukungnya salah satunya
adalah Ketua Komisi Fatwa MUI KH. Ibrahim Hosen. Beliau mengatakan bahwa
euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi
kalau tidak bisa disembuhkan. Pendapat Ibrahim Hosen ini di sandarkan kepada
suatu kaidah ushul fiqh: “Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain”, melakukan yang teringan
dari dua mudharat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih karena ia merupakan
pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita mengalami penderitaan. Kedua,
jika menular membahayakan sekali. Sedangkan menurut KH. Hasan Basri
pelaksanaan euthanasia bertentangan, baik dari sudut pandang agama, undang-
undang, maupun kode etik kedokteran. lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa
persoalan hidup mati sepenuhnya hak Allah. Manusia tidak bisa mengambil hak
Allah itu. K.H. Syukron Makmun berpendapat juga bahwa kematian itu adalah
urusan Allah, manusia tidak mengetahui kapan kematian itu menimpa dirinya. Soal
sakit, menderita dan tidak kunjung sembuh adalah qudratullah. Kewajiban kita
hanya berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan
Kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa “Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain,
melakukan yang teringan dari dua mudarat.” ataukah kaidah ushul yang
menyatakan “darurat membolehkan yang haram.” Dari beberapa pendapat ulama
di atas dan pembahasan batasan-batasan darurat yang telah dijelaskan pada bab
terdahulu, tidak ada ditemukan pendapat yang membenarkan euthanasia ini.
Jadi para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya, apabila
tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup
manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda
kehidupan, Islam mengharamkannya. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para
ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama
sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan tindakan
euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka percaya
bahwa yang berhak menentukan kematian hanyalah Allah. Tugas manusia hanya
berikhtiar
Di Indonesia Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan
Mentri Kesehatan Nomor 434/Men. Kes./SK/X/1983 disebutkan
pada Pasal 10 bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.
Dalam Pasal 344 KUHP ditentukan bahwa barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai