Anda di halaman 1dari 51

KELOMPOK 7

DWI PERTIWI NINGSIH


HANI HANIFAH
HILDA UTAMI
HUMAERAH
HUSNA MAULIDIA SUGIRATNA
EUTHANASIA
Pendahuluan
• Euthanasia berasal dari bahasa yunani,eu yang berarti
indah,bagus,terhormat atau gracefully and with dignity dan
thanatos yang berarti mati. Secara etimologis,euthanasia berarti
mati dengan baik,tidak bisa diartikan sebagai pembunuhan atau
menghilangkan nyawa seseorang.
• Euthansia dalam bahasa arab disebut dengan qatl al-rahmah
atau taisir al-maut.
• Menurut philo(50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang
dan baik, sedangkan suetonis, penulis romawi , mengatakan
bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa derita.
• Terminologi euthanasia di pakai dalam arti penghindaran rasa
sakit dan peringanan pada umumnya bagiu yang sedang
menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
• Dikalangan ahli medis istilah euthanasia yaitu mengakhiri
dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian
yang tenang dan mudah
DALAM KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
ISTILAH- ISTILAH EUTHANASIA DI PERGUNAKAN
DALAM TIGA ARTI:
• 1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan
aman,tanpa pasienan,untuk orang yang beriman
dengan menyebut nama Allah dibibir.
• 2. Ketika hidup berakhir,pasienan si sakit diringankan
dengan memberikan obat penenang.
• 3. Mengakhiri pasien dan hidup seseorang yang sakit
dengan sengaja atas permitaan pasien sendiri dan
keluarganya.
PEMBAGIAN EUTHANASIA
• Euthanasia aktif yakni perbuatan yang dilakukan secara
medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan
tujuan untuk mengakhiri hidup pasien.
• Euthansia pasif merupakan perbuatan menghentikan atau
mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu
untuk mempertahankan hidup manusia.
• Auto-euthanasia yaitu jika seseorang pasien menolak
secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari
penolakan tersebut ia menbuat cocodicil(sebuah
pernyataan tertulis).
TERMINOLOGI ISLAM TENTANG HIDUP
DAN MATI
Euthansia baerkaitan erat dengan definisi dan batasan
hidup, mati serta tentang hukum berobat dalam islam. Hidup dan
mati sebagai ”sesuatu yang jika tidak hidup maka ia mati,
demikian pula sebaliknya”. Menurut dalil-dalil dalam islam hakikat
mati didefinisikan ”pisahnya ruh dan jasad”. Pernyataan merujuk
pada sejumlah dalil dalam Alquran diantaranya adalah:

“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara


kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari
Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah)
yang besar bagi semesta alam.”(Q.S. Al- anbiya’(21):91)
Dalam Akidah Islam, yang menentukannya adalah Allah
semata, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran :

“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan


tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang
dikehendaki Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah
datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya). ’’
(Q.S.Yunus(10):49).
Pihak yang berhak mematikan dan menhidupkan manusia
hanyalah Allah. Manusia tidak di beri hak atau wewenang memberi
hidup dan mematikannya,sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

“Dia-lah yang menhidupkan dan mematikan dan hanya kepada-nya-


lah kamu dikembalikan” (Q.S. Yunus(10):56).
KEDUDUKAN NYAWA MANUSIA DALAM ISLAM
Islam sangat menghargai nyawa manusia. Banyak ayat
Alquran maupun hadits nabi yang mengharuskan untuk
menghormati dan memelihara nyawa manusia (hifzh al-nafs),
termasuk salah satu lima dharuriyyah. Oleh karena itu seseorang
tidak diperkenankan melenyapkannya tanpa ada alasan syar’i yang
kuat(hak).manusia di larang memperlakukan jiwa manusia dengan
tidak hormat,Allah memberikan ancaman keras bagi merka yang
meremehkannya. Tindakan menghilangkan nyawa hanya di berikan
kepada lembaga pengadilan sesuai dengan aturan pidana Islam.
Dalam alquran:

ِ ‫اص َحيَاة ٌ يَاأُو ِلي األ َ ْلبَا‬


َ ُ‫ب لَعَلَّ ُك ْم تَتَّق‬
‫ون‬ ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم فِي ْال ِق‬
“...dan dalam qishash itu ada(jaminan kelangsungan) hidup bagimu
,hai orang-orang yang berkal,supaya kamu bertakwa”(Q.S. al-
Baqarah(2):179).
TANDA- TANDAH KEMATIAN
MANUSIA
Kalangan ahli medis menetapkan bahwa matinya
seseorang di tandai dengan matinya batang otak.
Pada saat membahas bab jenazah, fukaha
menyebutkan tanda- tanda matinya seseorang di dasarkan
pantauan lahiriah,visual jasad orang,terdapat sejumlah indikasi
telah terjadi perpisahan jasad dan rohnya, yusuf al-qoradhawi
menjelaskan seseorang di anggap telah mati dan di berlakukan
hukum syarak yang berkenaan dengan kematian apabila telah
nyata adanya salah satu dari dua indikasi berikut ini:
1. Jika denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti
secara total ,dan para dokter telah menetapkan bahwa
keberhentian tersebut tidak akan pulih kembali
2. Jika seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali,dan
para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih
kembai,otaknya sudah tidak berfungsi.
LARANGAN EUTHANASIA
Euthanasia aktif tidak di benarkan oleh syarak. Sebab, berarti dokter
melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis.
Dengan demikan, dokter telah melakukan tindakan pembunuhan, baik
dengan penghentian pengobatan, pemberian racun yang keras, dengan
penyengat listrik, atau dengan menggunakan senjata tajam.semua
tindakan tersebut di kategorikan dalam pembunuhan yang di haramkan,
termasuk dosa besar.
Ulama sepakat mengharamkan euthanasia baik pasif maupun aktif,
karena termasuk tindakan mempercepat kematian. Banyak nash agama
mengharamkan tindakan pembunuhan,diantaranya:
a. Bahwa urusan hidup dan mati hanya di tangan Allah Swt. Seperti
disebutkan dalam ayat alquran:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun” Q.s. al-Mulk (67):2
b. Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain
kecuali hak, firman Allah:
‫ش‬
َ ‫اح‬ ِ ‫ق ۖ ن َْح ُن ن َْر ُزقُ ُك ْم َو ِإيَّا ُه ْم ۖ َو ََل ت َ ْق َربُوا ْالفَ َو‬ ٍ ‫َو ََل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْو ََلدَ ُك ْم ِم ْن ِإ ْم ََل‬
‫ق ۚ َٰذَ ِل ُك ْم‬
ِ ‫َّللاُ ِإ ََّل ِب ْال َح‬
َّ ‫س الَّ ِتي َح َّر َم‬ َ ‫ط َن ۖ َو ََل ت َ ْقتُلُوا النَّ ْف‬ َ َ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما ب‬ َ ‫َما‬
َ ُ‫صا ُك ْم ِب ِه لَعَلَّ ُك ْم ت َ ْع ِقل‬
‫ون‬ َّ ‫َو‬
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar’’(Q.s. Al-An’am(6):151).
c. Nabi Saw memerintahkan berobat dan melarang putus asa
EUTHANASIA PASIF

Euthanasia pasif atau memudahkan proses kematian


dengan cara pasif dengan cara penghentian pengobatan
atau tidak memberikan pengobatan yang didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan atau obatan-obatan
yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan
sunnatullah dan hukum kausalitas.
Ada perbedaan pandangan tentang hukum
euthanasia pasif dari perspektif etika kedokteran dengan
hukum islam.
Merujuk pada isi deklarasi lisabon 1981, euthanasia dari
sudut kemanusian dibenarkan dan merupakan hak bagi
pasien yang menderita sakit yang tidak di sembuhkan.
Namun dalam praktiknya , dokter tidak mudah melakukan
euthanasia , karena terikat dengan kode etik kedokteran
bahwa ia di tuntut membantu meringankan penderitaan
pasien,tapi disisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara mana pun.
Sedangkan menurut perspektif hukum islam, dilihat
keterkaitannya dengan hukum berobat.
HUKUM BEROBAT DALAM PERSPEKTIF
ISLAM DI BAGI MENJADI 2 KATEGORI
YAITU:
1. Hukum asal (dasar) dan hukum situsional menurut para
ulama berkisar antara sunnah dan mubah.
2. Berdasarkan situasi dan kondisinya serta illatnya, hukum
berobat dapat sunnah, wajib, mubah, makhruh atau haram.
Jika tidak ada harapan sembuh sesuai sunnatullah dan
hukum kausalitas, sesuai dengan diagnosis dokter ahli yang
dapat dipercaya, dan hanya menyusahkan berbagai pihak
yang terkait maka tidak seorangpun mengatakan sunnah
apalagi wajib.
Karena itu,apabila pasien di beri berbagai macam cara
pengobatan dengan cara minum obat,suntikan, dan sebagainya
atau menggunakan alat pernapan buatan dan lainnya sesuai teori
kedokteran modern dalam waktu yang relatif lama tetapi
penyakitnya tetap saja tidak berubah maka melanjutkan
pengobatan. Seperti itu tidak wajib dan tidak pula sunnah.
Tindakan menghentikan menggunakan alat pernapasan
buatan atau alat bantu lainya dari pasien yang menurut penilaian
dokter dia sudah dianggap mati menurut yusuf al-qaradhawi
berada di luar wilayah batasan memudahkan kematian dengan
cara aktif.tindakan tersebut di benarkan oleh syarak, dan
hukumnya tidak terlarang. Karena di lihat dari segi
fungsinya,peralatan bantu medis hanya sekedar untuk kehidupan
lahiriah,yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah
dan denyut nadi saja, padahal di lihat dari segi aktivitas pasien,
sudah seperti orang mati,tidak responsif,tidak dapat mengerti
sesuatu dan tidak dapat merasakan apa- apa, karena jaringan
otak dan syarafnya sebagai sumber semua itu sudah rusak
Penghentian pengobatan dengan cara melepas
alat bantu medis dinilai sebagai jaiz dan di benarkan
syarak, dokter di perbolehkan melakukannya untuk
meringankan beban si sakit dan keluarganya dan beralih
kepada pengobatan alternatif,seperti dengan cara
doa,sabar,tawakal,ridha dan sebagainya atau
mengobatinya dengan pengobatan non medis
sepanjang dalam pelaksaannya tidak berbenturan
dengan akidah islam.
Membiarkan pasien dalam kondisi demikian hanya
akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berati
menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang
lain yang membutuhkannya dan masih dapat
memperoleh manfaatb dari alat tersebut..di sisi lainhanya
menjadikan keluarga pasien dalam keadaan sedih dan
menderita, yang mungkin memakan waktu lama.
Yusuf al-qaradhawi menegaskan bahwa ulama
menetapkan diperbolehkan melepas seluruh instrumen
yang dipasang pada seseorang meskipun sebagian
organnya,seperti jantung masih berdenyut karena kerja
instrumen tersebut.bahkan sebagian ulama mewajibkan
menghentikan penggunaan alat-alat itu. Karena
menggunakannya bertentangan dengan syariah islam
dengan alasan tindakan itu berarti menunda
pengurusan jenasah dan penguburannya tanpa alasan
darurat, menunda pembagian warisan, menunda masa
iddah bagi istriny(jika dengan seorang suami dan hukum-
hukum lain yang terkait dengan kematian. Dalam hukum
islam, memberi mudarat kepada diri sendiri dan kepada
orang lain di larang,sesuai dengan hadist nabi:
Dari ‘Ubadah bin al-Shamit, bahwa Rasulullah saw
mewajibkan agar tidak memberi mudarat kepada diri
sendiri dan kepadanya orang lain” (HR.Ibnu Majah,
Ahmad, dan Malik)
EUTHANSIA DAN KAITANNYA DENGAN
JARIMAH MATI
Para ulama sepakat menetapkan suatu perbuatan di
golongkan sebagai jarimah apabila dilarang secar tegas
dalam syarak.dapatnya ditegakkan had terhadap pelaku
tindakan jarimah, jika terpenuhi unsur- unsurnya,yaitu sebagi
berikut:
1.Nash yang melarang perbuatan tersebut memberikan
ancaman hukuman, disebut sebagi unsur formal(rukun
syari).
2. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan
jarimah,baikperbuatan nyata maupun sikap tidak
berbuat,disebut unsur material(rukun maddih).
3. Pelakunya seorang mukallaf,orang yang dapat di mintai
pertanggungan jawab terhadap jarimah yang di
lakukannya, disebut unsur moral(rukun abadi).
Berdasarkan batasan diatas, dilihat dari segi nash
(unsur 1), islam dengan tegas melarang melakukan
pembunuhan,tetapi apakah euthanasia dapat di golongkan
didalamnya atau tidak, perlu di lihat kasus-perkasus. Dari aspek
tindakan (unsur 2) jelas ada, yang biasanya di lakukan dengan
maksud untuk mengurangi baban melaui suntikan
tertentu,sementara aspek pelaku (unsur 3) jelas ada, biasanya
dokter ,pasien dan keluarga pasien.
TERJADINYA EUTHANASIA AKTIF
BERDASARKAN ALASANNYA
1. Dari pihak pasien yang meminta kepada dokter karena
tidak tahanlagi menderita sakit,karena jenis penyakit
terlalugawat(accut)dan telah lamadialami,maka meminta
kepada dokter untuk melakukan euthanasia.
2. Dari pihak keluarga/wali yang merasa kasihan atas
pasienan,apalagi jika pasien tampaknya tidak tahan lagi
menanggung rasa sakit atas penyakitnya,baik karena
sudah terlau lama atau amat ganasnya jenis penyaki yang
di derita. Bisa juga euthanasia terjadi atas permintaan
keluarga karena tidak mampu lagi menanggung biaya
pengobatan,sementara harapan sembuh tidak ada lagi.
3. Pihak keluarga tertentu berkerjasama dengan dokter untuk
mempercepat kematian pasien,karena menginginkan
warisan dari pasien misalnya,atau alasan amoral lainnya.
PANDANGAN ULAMA INDONESIA TENTANG
EUTHANASIA
Menurut Bahstsul Masail NU menegaskan hukum
euthanasia dalam konteks menjelaskan hukum yang
berkaitan dengan pasien HIV/AIDS. Pada Munas NU di
NTB(1998) ’’Hukum euthanasia ialah haram’’. Dasarnya,
teks tunggal dalam kitab Mughni al-Muhtaj. Karena ada
unsur kesengajaan sehingga membuatnya mati atau
menghancurkan diri sendiri. Dalam fatwa tersebut,Bahtsul
Masail NU tidak menjelaskan tentang kategori
euthanasia pasif, aktif atau auto.
Fatwa tentang euthanasia pernah dikeluarkan
oleh MUI provinsi DKI Jakarta pada tahun 2001 yang
menetapkan bahwa menurut hukum islam, hukum
euthanasia adalah haram, karena hak untuk
menghidupkan dan mematikan manusia hanya berada
di tangan Allah SWT. Di tegaskan pula,bahwa
euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri yang
di haramkan.pelakunya,akan menjadi penghuni neraka.
KESIMPULAN
1. Dalam syariat islam dari perspektif akidah Islam bahwa pihak
yang berhak mengakhiri hidup sesorang hanyalah Allah SWT.
Orang yang mengakhiri hidupnya sendiri atau orang lain dengan
cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan syariat
islam, diharamkan dan pelakunya diancam dengan siksa yang
berat,baik di dunia maupun diakhirat.bentuk siksa di dunia,jika
persyaratannya terpenuhi dikenai sanksi hukum qishash, kaffarah,
atau diyat dan di akhirat diancam dengan azab neraka
jahanam.
2. Dalam perspektif hukum Islam,semua bentuk euthanasia
hukumnya haram,karena adanya unsur tujuan dan niat agar
mati. Euthanasia aktif dilihat dari segi kode etik kedokteran,KUHP,
apalagi hukum islam merupakan perbuatan
terlarang,merupakan tindakan bunuh diri atau membunuh
orang. euthanasia pasif dan auto-euthansia jika diniati mati,
termasuk perbuatan yang di haramkan meskipun tindak ada
tindakan aktif melakukan pembunuhan,tetapi ada tujuan agar
mati atau cepat mati dapat dianggap sebagai tindakan
pembunuhan dan ekspresi putus asa dari rahmat Allah.Dalam
syariat islam,kehidupan harus di jaga ,termasuk merealisikan
menjaga nyawa(hifzh al-Nafs),hukumnya wajib.
HIV/AIDS
PENDAHULUAN
Dampak dari stigma di masyarakat bahwa
HIV/AIDS adalah kutukan Tuhan sering barlanjut pada
perlakuan tidak adil pada penderiya. Sebab, banyak
penderita HIV/AIDS memang akibat dari perbuatan
buruknya, namun ada pula penderita hanya sebagai
korban, akibatketidaktelitian maupun tertular akibat
kesalahan orang lain. Padahal dalam etika Islami,
manusia harus dihormati secara proposional. Pasien
HIV/AIDS juga termasuk kelompok manusia yang harus di
hormati.
PENGERTIAN DAN
HAKIKAT HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu penyakit
yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan
tubuh manusia. Jika system kekebalan tubuh dirusak oleh virus
AIDS, maka serangan penyakit yang biasanya tidak
berbahaya akan menyebabkan sakit hingga meninggal.
Dalam pandangan Islam, hakikat penimpaan HIV/AIDS yang
banyak diderita orang, dapat merupakan sebuah musibah
atau ujian:
1. Sebagai siksaan, azab dan kutukan Allah atas manusia jika
penyakit tersebut menimpanya akibat dari perbuatan
dosa yang dikerjakannya.
2. Sebagai ujian Allah terhadap keimanan jika menimpa
pada orang-orang yang baik.
AIDS dianggap sebagai kutukan dan azab Allah jika diderita
oleh pelaku kemaksiatan melampaui batas, perzinaan,
homosexual, atau melanggar ketentuan Allah, tercakup
dalam firman Allah:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan


karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar).” (Q.s. al-Rūm (30):41)
Zina merupkan perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan
kehidupan, ditegaskan dalam firman Allah:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina


itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan
yang buruk.” (Q.s. al-Isrā´(17):32)
HIV/AIDS dapat dianggap sebagai cobaan jika diderita oleh
orang-orang beriman dan shaleh, seperti tertular melalui jarum
suntik, donor darah, menikah dengan orang yang menderia
HIV/AIDS. Mereka harus bersabar atas musibah itu , tercakup
dalam firman Allah:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan


sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-
buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (Q.s. al-Baqarah (2):155)
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA
AIDS
Kalangan ahli dan peneliti menyatakan bahwa HIV/AIDS
disebabkan oleh virus yang terdapat dalam darah,
sperma, dan cairan vagina. Adapun cara penularannya
melalui berbagai cara, diantaranya:
1. Hubungan sexual (homosexual atau heterosexual)
dengan seorang yang mengidap HIV/AIDS
2. Transfusi darah yang menggandung HIV
3. Alat suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato,
atau tindik) bekas dipakai orang
4. Pemidahan virus dari ibu hamil yang mengidap virus
HIV kepada janin yang dikandungnya
PENCEGAHAN HIV/AIDS
Ajaran islam sangat menekankan agar menghindari hal-hal
yang membahayakan, apalagi penyakit membahayakan
yang berpotensi untuk menular. Untuk menghindari serangan
HIV/AIDS pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Hubungan sexual hanya dengan suami-istri dan
menjauhkan diri dari hubungan sexual di luar nikah
2. Menghindari hubungan sexual homo sodomi atau onani
menggunakan alat-alat yang tidak steril
3. Menghindari hubungan sexual saat memiliki luka pada
alat kelamin
4. Menghindari narkoba, lebih-lebih menggunakan suntik-
suntikan
5. Melakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui apakah
seseorang memiliku virus HIV atau tidak
Inti pencegahan HIV/AIDS agar tidak terkena atau
tertularu HIV/AIDS adalah tidak mendekati zina, tidak
bergonta-ganti pasangan termasuk kawin cerai dan
berpoligami.
Dari sejumlah data ternyata sekitar 80%-90% penyebab
HIV /AIDS adalah karena perbuatan zina, maka upaya
pencegahan yang paling efektif adalah menjauhi zina.
PENGOBATAN HIV/AIDS
Hingga saat ini masih belum ditemukan obat untuk
menyembuhkan AIDS secara total, namun berobat
tetap dianjurkan sebagai bentuk ikthiar. Dalam ajaran
Islam, berusaha secara lahiriah dengan berobat kepada
yang memiliki kemampuan mengobati, juga disarankan
melakukan melakukan upaya batiniah dengan cara
mendekatkan diri dengan Allah sebagai sumber sejati
kesembuhan, karena Allah yang menurunkan penyakit
dan yang menyembuhkannya.
MENULARKAN HIV/AIDS
Menularkan HIV/AIDS, dengan sengaja kepada orang
sehat hukumnya adalah haram, termasuk perbuatan
zalim yang dimurkai Allah. Hal ini berdasarkan hadist
Rasullulah saw:

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan


diri sendiri ataupun orang lain” (Q.s. Ibnu Majah)
TUNTUTAN ISLAM BAGI
ODHA
Bagi seorang yang mengidap virus HIV/AIDS, ajaran Islam
memberikan tuntutan umum sebagaimana dianjurkan
pada mereka yang sedang menunggu saat-saat
kematian. Kepada orang yang berada di sekitarnya
dituntut untuk membimbing pasien agar tetap optimis,
bersabar, bersyukur, husnuzh zhan, bertawakkal,
bertobat, beramal, shalih, memperbanyak zikir dan
Istighfar, berwasiat, mentalqin, membimbing beribadah,
menjaga pakaian agar tetap bersih dan suci,
menjaganya agar tidak terganggu, dan sebagainya.
MEMBANGKITKAN RASA
OPTIMISME KEPADA PASIEN
Orang disekitar pasien hendaknya berisaha membangkit
rasa optimismenya untuk sembuh, jangan sampai
berputus asa dari rahmat Allah. Ada baiknya
menyebutkan kisah-kisah orang saleh dalam
mengahadapi cobaan sakit, karena jika bersabar, insya
Allah akan diberi kesehatan dan kekuatan.
BERSABAR DAN BERSYUKUR
Jika sakit, disikapi dengan sabar dan syukur, karena dibalik
sakit ada rahmat, sebagai mana yang disebutkan dalam
hadis Nabi, misalnya:
1. Sakit sebagai penebus dosa
2. Sakit sebagai balasan keburukan dari apa yang telah
dilakkan, sehingga dosanya dihapus dari catatan amalnya
3. Sakit akan mengangkat derajat dan menambah kebaikan
4. Tetapnya amal ibadah orang sakit bagi orang yang
istiqamah
5. Sakit merupakan bukti bahwa Allah menghendaki
kebaikan terhadap hamba-Nya
6. Sakit merupakan penyebab masuk surga dan selmat dari
neraka
BERTAWAKAL
Bertawakal dan berkeyakinan bahwa hakikat
kesembuhan datangnya dari Allah, dengan tidak
menafikan usaha-usaha syar’I untuk kesembuhannya,
seperti berobat.
Bertawakal adalah menyerahkan segala urusan,
berikhtiar dan berusaha, serta berserah diri kepada Allah
guna mandapat manfaat atau menolak mudarat.
SEGERA BERTOBAT DAN
BERAMAL SHALIH
Bagi pasien terminal, dianjurkan segera bertobat dengan
bentik tobat nasūhā yang berarti sungguh-sungguh menyesal
dalam hati, meminta ampunan dengan lisan,
meniggalkannya dengan perilaku dan berniat untuk tidak
mengulanginya dengan cara menyucikan diri dari kekhilafan,
kesalahan, dan dosa yang pernah dilakukannya.
Realisasi untuk tobat mesti dibuktikan dengan hal-hal berikut:
1. Mengingat dosa dan kesalahan masa lalu
2. Menyesal atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan
3. Berjanji dalam hati untuk tidak mengulanginya lagi
4. Minta maaf kepada orang yang pernah disalahinya dan
mohon ampun kepada Allah
5. Memperbanyak ibadah dan amal kebajikan
BERDOA DAN TAQARRUB
ILALLAH
Pasien disarankan banyak berdoa kepada Allah untuk
memperoleh rahmat dan segala sesuatu yang diridhai-
Nya, tercapai harapan yang diinginkannya, serta
mendapatkan perlindungan dari segala bala bencana.
Selain berdoa, Taqarub Ilallah juga disarankan yang
berarti mendekatkan diri kepada Allah, antara lain
dengan cara memperbanyak ibadah-ibadah sunnah,
shalat, zikir, membaca istigfār, tasbīh, tahmīd, membaca
Al-Qur’an, dan sebagainya.
MEMPERBANYAK ZIKIR DAN
ISTIGFĀR
Cara dan bentuk zikir meliputi tiga cara:
1. Zikir lisan dengan memperbanyak melafalkan
kalimat-kalimat tayyibah seperti istigfār, tasbīh,
tahmīd, tahlil, dan sebagainya.
2. Zikir dengan kalbu dengan cara senantiasa
memperbanyak takkafur (berpikir), muqârabah
(merenung), dan muhâsabah (introspeksi diri).
3. Zikir dengan perbuatan dengan cara menyelaraskan
ucapan dan tidakan pada hokum-hokum Allah SWT,
dan melakukan amal baik (hasan al-a’mal)
Istigfār yang diterima Allah SWT harus memenuhi syarat-
syarat dan etikanya, antara lain:
1. Niat yang benar dan ikhlas semata-mata ditujukan
kepada Allah SWT
2. Hati dan lidah berserentak ber-Istigfār
3. Berada dalam keadaan suci, sehingga ia berada
dalam kondisi yang paling sempurna, lahir dan batin
4. Ber-Istigfār dalam kondisi takut dan mengharap
5. Memilih waktu yang utama
6. Ber-Istigfār dalam shalat
TETAP HUSNUZH ZHAN DAN
BERUSAHA MENJADI HUSNUL
KHĀTIMAH
Pasien disarankan untuk tetap berbaik sangka (husnuzh zhan)
kepada Allah SWT, dalam arti pengharapannya kepada rahmat
Allah melebihi perasaan takutnya kepada azab. Diupayakan
pasien ODHA, bila ajal akan akan tiba tetap dalam keadaan
iman dan Islam, penghujung kehidupannya baik (Husnul
Khātimah).

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah


sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Q.s.
Ali ‘Imran (3):102)
TINDAKAN SAAT ODHA
MENGALAMI SAKARATUL MAUT
Apabila pasien ODHA telah memasuki fase Sakaratul maut,
pintu gerbang ihtidhar (detik-detik tanda kedatangannya
kematian), sebaiknya:
1. Mengajarinya dan menuntunya mengucapkan kalimat
tauhid, atau mentalkinnya dengan kalimat laa ilaaha
illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah).
2. Dianjurkan membasahi tenggorokannya dengan
meneteskan air atau meminuminya dan membasahi
kedua bibirnya dengan kapas, sehingga memudahkannya
untuk mengucapkan kalimat tauhid.
3. Membacakannya surat Yasin
4. Menghadapkan pasien ke arah kiblat
TES HIV/AIDS PRA-NIKAH
Sebelum seseorang melangsungkan akah nikah, satu
pihak atau kedua pihak calon suami-istri diperbolehkan
menuntut dilakukan tes, baik dating dari wali atau dari
calon pengantin itu sendiri. Melakukan tes kesehatan,
termasuk kepastian tertulari HIV/AIDS atau tidak, demi
kemaslahatan mereka, dengan cara praktiknya tidak
bertentangan dengan syariat Islam
PERKAWINAN PASIEN ODHA

1. Jika HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang tidak


dapat disembuhkan (maradl dāim), maka hukumnya
makruh
2. Jika HIV/AIDS dianggap sebagai penyakit yang tidak
dapat disembuhkan (maradl dāim) dan membayakan
orang lain (tayaqqum al-idlrār), maka hukumnya haram
3. Jika seorang laki-laki yang akan menikah yakin bahwa
perkawinannya akan menzalimi dan menimpakan
kemudharatan atas perempuan yang akan dinikahinya,
maka hokum pernikahannya adalah haram
4. Menurut MUI, perkawinan atas dua orang (laki-laki dan
wanita) yang sama-sama menderita HIV/AIDS hukumnya
boleh dan menurut Lajnah Bahsul Masail NU hukumnya
sah, tapi makruh
HUKUM ISLAM TERKAIT
DENGAN ODHA
1. Apabila seorang Ibu menderita HIV/AIDS hamil, maka ia tidak
boleh menggugurkan kandungannya.
2. Bagi wanita ODHA yang hamil karena berzina, tetapmperlu
dirawat dengan baik dan dihormati secara manusiawi.
3. Wanita hamil yang menderita HIV/AIDS akibat suntikan atau
penyalahgunaan obat-obat harus diperlakukan secara
manusiawi dan dibimbinh untuk bertobat.
4. Pada saat seorang ODHA mengalami kecelakaan tetap
wajib ditolong dan dengan tetap mewaspadai kemungkinan
adanya penularan dengan menegakkan alat pencegah.
5. Khitan bagi anak laki-laki dengan HIV/AIDS tetap wajib
dilakukan selama tidak membahayakan diriya
6. Jika pasien HIV/AIDS meninggal dunia, tetap wajib diurus
sebagaimana layaknya jenazah
BERSIKAP, BERGAUL, DAN
MERAWAT ODHA
Disebutkan oleh para ahli bahwa penularan HIV/AIDS
tidak melalui aktifitas hidup seperti bersentuhan kulit,
makan atau minum bersama, duduk berdampingan,
dan sebagainya karena itu tidak ada alasan
menjauhkan mereka dari bersosialisasi dan
bermasyarakat.
Dalam ajaran Islam manusia dituntut agar selalu
memperhatikan orang-orang yang sakit dengan
memberikan bantuan, sehingga mereka tidak terkucil
dan dikucilkan masyarakat.
KESIMPULAN
1. Perjangkitan virus HIV/AIDS dapat dianggap sebagai azab
atau ujian
2. Pasien HIV/AIDS harus tetap diperlakukan baik sesuai
tuntutan akhlak Islami dan hukum Islam
3. Pasien HIV/AIDS harus optimis, mengisi aktifitas dengan
kegiatan positif, bersabar, bersyukur, Husnuzh zhan,
bertawakal, bertobat, beramal shalih, memperbanyak zikir
dan istigfar, berwasiat, beristiqamah, rajin dan giat
beribadah, menjaga performa dirinya dan pakainnya teta
bersih dan suci, dan sebagainya.
4. Penderita HIV/AIDS tetap mempunyai kewajiban sebagai
Mukhallah.
5. Jenazah penderita HIV/AIDS harus tetap diurus
sebagaimana mestinya.
DAFTAR ISI
Zuhroni. 2016. Hukum Islam terhadap Berbagai Masalah
Kedokteran dan Kesehatan Kontemporer. Jakarta:
Bagian Agama Universitas Yarsi

Anda mungkin juga menyukai