Anda di halaman 1dari 7

Pasien kritis di ICU memang memerlukan alat resusitasi, jika tidak menggunakan alat resusitasi maka

paisen tersebut akan meninggal. Sebagaimana pengalaman kami, ketika sebuah keluarga memutuskan
setelah berembuk, agar si pasien tidak dilanjutkan lagi menggunakan alat resusitasi karena mereka
sudah tidak punya dana lagi untuk membiayai pasien yang memang sudah sakit lama dan prognosisnya
juga buruk yaitu memakai alat resusitasi hanya sekedar mempertahankan hidup beberapa hari saja
(biaya sehari di ICU bisa sekitar 5-15 juta). maka ketika alat resusitasi dicabut, dalam beberapa menit
pasien sudah tidak bernyawa lagi.

Maka bagaimana hukum Islam mengenai hal ini?

Maka hal ini perlu dirinci:

1.jika pasien masih ada kesempatan hidup dibantu dengan alat resusitasi

Maka alat resusitasi harus tetap dibiarkan, tidak boleh dicabut terlebih keluarga memiliki dana yang
cukup untuk membiayai.

2.jika pasien sudah tidak ada kesempatan hidup

Yaitu alat resusitasi hanya sekedar memperpanjang hdup beberapa hari /minggu saja. Prognosis pasien
jelek kedepannya misalnya karena penyakit yang sudah kornis dan berbahaya (contohnya kanker stadium
lanjut yang sudah menyebar ke paru-paru dan otak). Ditambah lagi keadaan keluarga yang tidak mampu
membiayai, mereka harus menjual bebagai harta, bahkan harus berhutang untuk membiayai.

Berdasarkan pertimbangan mashalahat dan mafsadat serta memilih mafsadah yang paling ringan, maka
alat resusitasi boleh dicabut. Sebagaimana dalam kaidah fiqh.

‫ارتكاب أخف الضررين‬

“memilih diantara dua mafsadah yang paling ringan”


3. jika pasien sudah mati batang otak maka boleh dicabut

Yang dimaksud mati batang otak adalah orang tersebut sudah mati secara medis akan tetapi organ yang
lain masih sedikit beraktifitas, misalnya jantung masih sedikit berdenyut.

Berikut ketetapan Majma’ Fiqh Al-Islami mengenai hal ini:

1) ‫ إذا توقف قلبه وتنفسه توقفا ا تاما ا وحكم الطأباء بأن هذا التوقف ل رجعة فيه‬.

2) ‫ وأخذ دماغه في‬،‫إذا تعطلت جميع وظائف دماغه تعطلا نهائيا ا وحكم الطأباء الختصاصيون الخبراء بأن هذا التعطل ل رجعة فيه‬
‫التحلل‬.

‫وفي هذه الحالة يسوغ رفع أجهزة النعاش المركبة على الشخص وإن كان بعض العضاء كالقلب مثلا ل يزال يعمل آليا ا بفعل الجهزة‬
‫المركبة‬

1.jika denyut jantung dan nafas telah berhenti secara total dan tim dokter telah memastikan bahwa hal
ini tidak bisa kembali

2.jika semua aktifitas otak telah berhenti total kemudian (mati bantang otak) dan tim dokter (spesialis)
telah memastikan bahwa hal ini tidak bisa kembali dan otak mulai mengalami kerusakan.

Maka pada (dua) keadaan ini, boleh mencabut alat resusitasi yang terpasang pada orang tersebut
walaupun sebagian anggota badan seperti jantung misalnya masih berdenyut dengan bantuan alat
resusitasi. (Fatawa lit thabibil Muslim)
@Pogung Lor-Jogja, 12 Jumadis Tsani 1434 H

penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Pelepasan alat medis dalam islam


Ulama menetapkan diperbolehkan melepas seluruh instrumen yang dipasang pada seseorang
meskipun sebagian organnya, seperti jantung masih berdenyut karena kerja instrumen tersebut.
Argumen kebolehan melepas alat-alat pengaktif organ dan pernapasan dari pasien, karena tidak
berguna lagi. Bahkan, sebagian ulama mewajibkannya menghentikan penggunaan alat-alat itu,
karena menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah islam dengan alasan tindakan itu
berarti menunda pengurusan jenazah dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda
pembagian warisan, menunda ‘iddah bagi isterinya (jika dengan seorang suami) dn hukum-
hukum lain yang terkait dengan kematian. Juga berarti menyia-nyiakan harta dan
membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak ada guna nya. Juga, memberi mudarat kepada orang
lain dengan menghalangi mereka memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang yang
telah mati otak dan sarafnya itu. Dalam ketentuan hukum islam, memberi mudarat kepada diri
sendiri dan kepada orang lain dilarang. Sesuai dengan hadits nabi :

Artinya:
Dari Ubadah bin al-shamit, bahwa Rasulullah SAW mewajibkan agar tidak memberi mudarat
kepada diri sendiri dan kepada orang lain. (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik).

Melepas alat bantu pengobatan


Ulama membolehkan pasien yang telah lama menggunakan peralatan untuk membantu
keberlangsungan hidupnya, seperti infus, oksigen, respirator, fentilator, dan berbagai alat bantu
lainnya yang tidak membawa kemajuan sama sekali, bahkan jika para dokter yang merawatnya
menetapkan kesembuhannya tidak lagi dapat diharapkan, meneruskan penggunaan peralatan
tersebut sudah tidak ada manfaatnya, dan yang menjadikannya tampak hidup semata-mata
tergantung pada peralatan tersebut, jika dilepas tidak lama lagi akan meninggal, maka
keluarganya diperbolehkan melepas peralatan tersebut dari si sakit dan membiarkannya menurut
kadar kemampuannya sendiri tanpa campur tangan orang lain. Tindakan ini tidak termasuk
euthanasia, jika tidak di niati agar cepat mati, sebab tidak ada tindakan membunuhnya, yang
dilakukannya hanya menghentikan pengobatan melalui peralatan buatan, dalam perspektif islam
beralih menggunakan metode pengobatan yang lain, termasuk doa, sabar, tawakkal, dan lain-lain.
Tindakan menghentikan penggunaan peralatan itu dari si sakit yang keadaannya sudah demikian
tidak lebih kecuali hanya sekedar meninggalkan hal yang mubah. Bahkan, sebagian ulama ada
yang mewajibkannya.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pada Muktamar Omman disebutkan ‘seseorang telah
dinyatakan meninggal dunia menurut hukum islam dan berlaku segala hukum yang berlaku bagi
kematian di kala itu, bilamana telah nyata adanya dua tanda, yaitu:
Apabila jantungnya telah berhenti dan tidak bernafas lagi secara sempurna dan para dokter ahli
telah memastikan bahwa berhentinya pernafasan itu tidak dapat kembali lagi (irreversible).
Apabila seluruh organ otak telah tidak berfungsi lagi secara total (mati batang otak) dan para
dokter ahli telah memastikan tidak dapat kembali lagi (irreversible), sementara otaknya mulai
mengurai.
Dalam keadaan dimikian patut mengangkat (melepaskan) atau mencabut respirator dari pasien,
meskipun sebagian organnya, seperti jantung masih dapat bekerja dengan bantuan alat tersebut.
Dalam kondisi seperti di atas, otak tidak berfungsi lagi tetapi nafas masih ada, para ulama
berbeda pendapat tentang hukum mencabut alat bantu pernafasan yang dipasang. Dalam hal ini
ada dua pendapat, yaitu sebagai berikut:
Tidak boleh, yaitu pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz yang berpendapat tidak boleh melepeas
alat bantu yang dipasang pada pasien meski dokter telah menyatakan organ otak telah mati.
Tindakan itu masih dianggap sebagai salah satu bentuk tidak menjaga kehidupan insani. Dalil
yang digunakan mengacu pada keharusan menjaga jiwa, Islam menekankan menjaga lima
dlaruriyyah, seperti disebutkan ayat:

Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu” (Q.S. An-Nisa(4) : 29)

Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar” (Q.S. Al-An’am(6) : 151)
Sebagian ulama memblehkannya, pada saat pasien bernafas menggunakan alat bantu tersebut
bukan dalam arti bernafas menurut arti sebenarnya, nafas tersebut dianggap sebagai nafas buatan.
Dalam kondisi demikian dianggap pasien tersebut sebagai mayat yang bernafas dengan alat
bernafas buatan.
Sebuah keniscayaan bahwa seorang hamba terkadang diberikan penyakit sebagai bentuk cobaan yang
diberikan kepada hambanya. Hal ini tidak lain untuk menguji seorang hamba agar menjadi insan yang
lebih bertaqwa di sisi Allah. Kehidupan dan kematian juga diciptakan oleh Allah untuk menguji hamba-
hambanya> Allah berfirman :

‫ت قواولقحقياةق لذيقوبلكقوككوم أقيَيككوم أقوحقسكن قعقمال‬


‫ق اولقموو ق‬
‫) ۚ اللذذيِ قخلق ق‬

“Dialah Zat yang menciptakan kehidupan dan kematian, untuk memberikan ujian pada kalian, yang mana
di antara kalian yang amalnya paling baik”. (Qs. Al-Mulk:2)

Maka, perlu diingat bahwa kehidupan, kematian dan kesehatan dan masa sakit itu juga kategori bentuk-
bentuk ujian agar Allah mengangkat derajat hambanya. Oleh sebab itu, orang Arab ketika mendapat
berita ada saudaranya yang ditimpa musibah sakit, mereka mengungkapkan kata, “Kafarat Insya Allah!”.

Ini mempunyai arti semoga Allah menghapuskan dosa-dosanya karena sakit itu. Hal ini senada dengan
hadis laporan Ibnu Abbas, bahwa Rasul saw ketika mengunjungi orang sakit selalu berdoa :

‫س ق‬
‫طأكهورر إون قشاقء اك‬ ‫ل بقأو ق‬

“Tidak apa apa, Suci Insya Allah”. (Hr. Bukhari:3616)

Artinya bersih dan suci dari segala dosa-dosa maksiat selama ini.

Ketika sakit, seorang hamba juga diwajibkan berobat. Hal ini sebagaimana hadis laporan Abu Darda,
sesungguhnya Rasul bersabda:
‫ ول تتداووا بالحرام‬، ‫ فتداووا‬، ‫ وجعل لكل داء دواء‬، ‫إن ا أنزل الداء والدواء‬

“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Dan Allah menjadikan setiap penyakit ada
obatnya, maka berobatlah kalian semua, dan jangan berobat dengan yang haram”. (Hr. Abu Daud:3874)

Maka ketika ditimpa musibah dengan sebuah penyakit, kewajiban seorang hamba adalah berobat. Ini
sesuai dengan anjuran di dalam Agama. Nah, berobat sudah dilakukan dan diusahakan dengan penuh
sungguh-sungguh, dan menurut hasil dari pemeriksaan dokter sudah tidak ada harapan sembuh, maka
hal seperti ini sudah di luar kemampuan manusia. Sebab kewajiban seorang hamba adalah usaha, hasil
kita serahkan kepada Allah.

Kasus orang yang bertahan hidup dengan bantuan oksigen, ini sudah bukan hidup normal lagi. Artinya
normalnya kehidupan manusia hidup seorang manusia ya tanpa oksigen. Maka hukumnya ada tiga;
Pertama, tidak boleh dicabut selang oksigen pembantu pernafasan jika sang pasien masih diharapkan
kesembuhannya. Artinya dengan memberikan bantuan oksigen beberapa saat akan memulihkan kondisi
kesehatannya untuk pulih seperti semula. Maka kondisi ini haram dicabut slangnya.

Kedua, boleh dicabut selang bantuan oksigen tersebut jika sang pasien tidak bisa diketahui kepastian
sembuhnya dengan bantuan oksigen itu, hal ini ditambah dengan kemampuan keluarga pasian yang pas-
pasan. Maka melihat kondisi yang tidak menentu ini, maka boleh meneruskan oksigen tersebut atau
mencabutnya. Hal ini berdasarkan pertimbangan maslahat yang baik dan mafsadat yang paling ringan.
Sebagaimana dalam kaidah fiqh.

‫ارتكاب أخف الضررين‬

“Memilih diantara dua mafsadah yang paling ringan”.


Ketiga, wajib dicabut selang bantuan oksigen tersebut jika sudah diyakini tidak ada harapan lagi. Artinya
kalau sang pasien sudah divonis oleh dokter tidak akan pulih lagi kesehatannya walaupun dengan
bantuan oksigen ini, maka boleh diambil oksigennya. Terutama pada kondisi ketika saraf-saraf otak sudah
berhenti dan tidak menunjukkan aktifitas kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai