Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai
pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi
sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan
berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar
Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama
karena hasil bumi yang di jual di sana menarik bagi para pedagang dan menjadi
daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting Sumatera
dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri
( Aceh ), Barus dan Palembang di Sumatera, Sunda Kelapa dan Gresik di
Jawa. Mereka yang datang ke Indonesia bertujuan berdagang sekaligus menyebarkan
agama yang mereka anut yaitu Islam. Ruslan Abdulgani berkomentar bahwa Islam
datang ke Indonesia tidak dalam keadaan vakum kultural/peradaban, karena di situ
sudah ada kerajaan besar baik kerajaan Hindu maupun kerajaan Budha. 1 Oleh karena
itu, wajarlah jika terjadi akulturasi dalam bidang budaya dan sinkretisme dalam
bidang akidah.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur
Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada
juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah
ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut.
Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Proses Masuknya Islam di Indonesia Serta Sosio Kultural Masyarakat
2. Bagaimana Pendidikan Islam masa permulaan di Indonesia
3. Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam pada kerajaan di sumatera

1 Roeslan abdulgani, sejarah perkembangan islam di indonesia ( jakarta: pustaka antar kota, 1983),
hlm. 20
1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Masuknya Islam di Indonesia Serta Sosio Kultural Masyarakat
1. Penyebaran Islam di Indonesia
Berbagai teori perihal masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai
saat ini.Fokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar
pada tiga temautama, yakni tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan
waktu kedatangannya. Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh
Indonesia, di kalangan parasejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur
Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat,
India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat India melalui peran para
pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam
dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para
pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di
Indonesia

melalui

peran

para

pedagang

asal

Persia

yang

dalam

perjalanannyas inggah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13


M,Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke17 M,

jangkauan

terjauh

penyebaran

Islam

sudah

mencapai

Semenanjung Onindi Kabupaten Fakfak, Papua Barat.


Jikalau Ahli Sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia
mulai abad 13 adalah tidak benar, Hamka berpendapat bahwa pada tahun 625 M
sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa
Arab yang telah bermukimdi pantai Barat Sumatra (Barus).
Pada saat nanti wilayah Barus ini akan masuk kewilayah kerajaan
Sriwijaya. Pada tahun 674 M, semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bi
Affan, memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke
tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan
duta Islam ini adalah raja Jay Sima putra ratu Sima dari Kalingga masuk
Islam. Pada tahun 718 M, Raja Srivijaya Sri Indravarman setelah kerusuhan
Kanton juga masuk Islam pada masa kholifah Umar binAbdul Aziz (Dinasti
Umayyah).
Masuknya Islam ke Indonesia menurut ahli sejarawan mempunyai tiga
teori dan di dukung dengan bukti tentang munculnya metode tersebut. Berikut

bukti tiga metode itu tersebut sebagai bukti bahwa islam sudah masuk ke
Indonesia.
1. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad
13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini
adalah: Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Hubungan dagang Indonesia dengan India
telah lama melalui jalur Indonesia Cambay Timur Tengah Eropa. Adanya
batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat. Batu nisan makam Malik Ibrahim di Gresik, Jawa
Timur, bertahun 1419 M; batu nisan tersebut diduga diimpor dari Cambay,
Gujarat, India.
2. Teori Makkah
Teori Makkah, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia
berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M,
pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah
seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua
MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul
Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa
mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafii.
Menurutnya, mazhab Syafii berkembang sekaligus dianut oleh
penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah
fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina
pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan
inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara saat itu.
3. Teori Persia
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya
masyarakat Islam Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein
cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran.
Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro. Dasar
Teori Persia Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad
13 M, dan pembawanya berasal dari Persia (Iran).
3

b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran
yaitu Al Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk
tanda-tanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. P.A. Hussein
Jayadiningrat. salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan
P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran
dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan
bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke 7 dan
mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam
penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
2. Akulturasi, Asimilasi dan Kebudayaan di Indonesia
a. Kebudayaan
Pada umumnya, kebanyakan orang, mengartikan kebudayaan dengan
kesenian atau hasil karya manusia. Seperti seni tari, seni suara, seni lukis, dan
seni drama. Bahkan karya manusia sperti candi borobudur, masjid demak,
istana raja dan relief candi. Demikian juga tingkah laku manusia yang
dilakukan dalam lingkup yang luas juga dikatakan kebudayaan. Jadi
kebudayaan dalam pengertian umum,seperti ini, lebih bersifat material.2
Untuk memperjelas pengertian kebudayaan tersebut mari kita lihat
definisi-definisi berikut:
1.

Menurut koentjaraningrat ( 1981 ), kebudayaan merupakan keseluruhan


kegiatan yang meliputi tindakan,perbuatan, tingkah laku manusia, dan

2.

hasil karyanya yang didapat dari belajar


Menurut selo soemardjan ( 1979 ) kebudayaan merupakan semua hasil

3.

karya, rasa dan cipta masyarakat.


Menurut E.B. Taylor, kebudayaan merupakan sesuatu yang kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum adat istiadat,
kesenian, dan kemampuan-kemampuan lain serta yang didapat oleh

manusia sebagai anggota masyarakat.


b. Akulturasi

2 Islam dan budaya lokal,pokja akademik uin sunan kalijaga,yogyakarta:2005,hlm.7-8


4

Arti kata akulturasi menurut kamus psikologi adalah proses mengenai


adat, kepercayaan, ideologi dan tatanan dengan peralihan tingkah laku dari
satu kebudayaan menuju budya yang lain, seperti dua kelompok sosial yang
bebas bertemu dan bergabung.3 Dalam kamus bahasa, akulturasi bearti, 1.
Proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan
saling mempengaruhi,4 2. Proses menuju pengaruh kebudayaan 2. Proses
menuju pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat, sebagai
penyerap secara selektif, sedikit, atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan
sebagian berusaha menolak pengaruh itu, 3. Proses atau hasil pertemuan
kebudayaan/bahasa di antara anggota-anggota dua masyarakat bahasa, ditandai
oleh bilingualisasi. Akulturasi menurut kamus Antropologi ( Aryono,1985 )
adalah pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan
yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling
berhubungan atau saling bertemu.5 Istilah akulturasi, atau acculturation atau
culture contact, istilah sebutan para Antropolog Inggris, memiliki berbagai arti
di antara Para Antropolog. Tetapi semua pendapat, konsep itu mengenai proses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing lambat laun diterima
dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabakan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.6 Dalam konsep akulturasi ini Islam di
posisikan sebagai kebudayaan asing dam masyarakat lokal sebagai penerima
kebudayaan asing tersebut. Misalnya masyarakat jawa yang memiliki tradisi
slametan yang cukup kuat, ketika islam datang maka tradisi tersebut masih
tetap jalan dengan mengambil unsur-unsur islam terutama dalam doa-doa
3 A. Budiardjo, Kamus Psikologi ,(Semarang: Dahara Press), hlm. 11
4 Peter salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,( Jakarta: Modern English
Press)1990, hlm.36
5 Pokja akademik,Islam Dan Budaya Lokal, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta,2005,
hlm.1
6 Karim, Dr. M. Abdul, Double M.A, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher),2007,hlm. 128
5

yang dibaca. Wadah slametanya masih ada teapi isinya mengambil ajaran
islam.
Dalam mengkaji proses akulturasi ini, perlu diperhatikan beberapa hal
yang terkait dengan proses tersebut. Menurut koentjaraningrat (1981) ada lima
hal :
1.
2.
3.

Keadaan masyarakat penerima, sebelum proses akulturasi mulai berjalan.


Individu-individu ysng membawa unsur kebudayaan asing itu.
Saluran-saluran yang dipakai oleh unsur kebudayaan asing untuk masuk

4.

ke dalam kebudayaan penerima


Bagian-bagian masyarakat penerima terkena pengaruh unsur kebudayaan

asing tadi.
5.
Reaksi dari individu yang terkena kebudayaan asing.
c. Asimilasi
Asimilasi (assimilation) merupakan proses sosial yang timbul bila ada
golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbedabeda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga
budaya-budaya golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang
khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi
unsur-unsur kebudayaan campuran.
Asimilasi

merupakan

perpaduan

dua

atau

lebih

dari

kebudayaan,kemudian menjadi suatu kebudayaan baru tanpa adanya unsurunsur paksaan (Aryono,1985). Asimilasi merupakan proses sosial yang
timbul bila ada kelompok-kelompok masyarakat yang berlatarbelakang
kebudayaan berbeda. Saling bergaul secara itensif dalam waktu yang lama.
Sehingga,

masing-masing

kebudayaan

tadi

berubah

bentuknya

dan

membentuk kebudayaan baru. Dari berbagai proses asimilasi yang diteliti oleh
para ahli, terbukti bahwa dengan pergaulan yang intensif dalam waktu yang
lama belum tentu bisa terjadi proses asimilasi. Asimilasi terjadi bila masingmasing kelompok memiliki sikap toleransi dan simpati kepada yang lainnya.
Biasanya, masyarakat yang tersangkut dalam proses asimilasi, terdiri
dari golongan mayoritas dan minoritas. Dalam hal ini, golongan minoritaslah
yang mengubah kebudayaan, untuk menyesuaikan dengan kebudayaan
mayoritas, sehingga lambat laun masuk kedalam kebudayaan mayoritas.
Adapun yang menghambat proses asimilasi ini adalah:
1.
2.

Kurang pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi.


Sifat takut kepada kekuatan kebudayaan lain.
6

3.

Perasaan superioritas dari individu-individu terhadap kebudayaan lain.

B. Pendidikan Islam Masa Permulaan di Indonesia


Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik
dalam Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan
mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat Islam selalu
mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk
kepentingan masa depan umat Islam.7
Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam
melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran
diberikan dengan sistem halaqahyang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam
masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan
mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga
keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke
dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer
lembaga

keagamaan

Hindu-Budha

menjadi pesantren;

di

Minangkabau

mengambil Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga


pendidikan

Islam;

demikian

halnya

di

Aceh

dengan

mentransfer

lembaga meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.


Menurut Manfred, Pesantren berasal dari masa sebelum Islam serta
mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Bahwa pendidikan agama
yang melembaga berabad-abad berkembang secara pararel.8 Pesantren berarti tempat
tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti
guru mengaji. Menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa Tamil sattiri yang
diartikan sebagai orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan
keagamaan secara umum. Meskipun terdapat perbedaan dari keduanya, namun
keduanya perpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil.
Santri dalam arti guru mengaji, jika dilihat dari penomena santri. Santri adalah
orang yang memperdalam agama kemudian mengajarkannya kepada umat Islam,
mereka inilah yang dikenal sebagai guru mangaji. Santri dalam arti orang yang
7 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 143
8 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, diterjemah oleh Butche B. Soendjojo (Jakarta:
P3M, 1983), h. 17
7

tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan, bisa diterima karena
rumusannya mengandung cirri-ciri yang berlaku bagi santri. Ketika memperdalam
ilmu agama, para santri tinggal di rumah miskin, ada benarnya. Kehidupan santri
dikenal sangat sederhana. Sampai Tahun 60-an, pesantren dikenal dengan nama
pondok, karena terbuat dari bambu.
Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam,
diantaranya Wali Songo. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam mendirikan
masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta, Sunan Ampel telah
mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu ataungaos pemuda
Islam. Sunan Giri telah ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan lembaga pendidikan
Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan Islam pesantren
didirikan, agama Islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa lembagalembaga ini merupakan ujung tombak penyebaran Islam di Jawa.
Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara.
Wali Songo melalui dakwahnya berhasil mengkombinasi metoda aspek spiritual dan
mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara mendirikan pesantren,
tempat dakwah dan proses belajar mengajar.
Wali songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan
mengakomodasi tradisi masyarakat serta institusi pendidikan dan keagamaan
sebelumnya, padepokan. Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan perubahan
sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan mengubah bahan dan
materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan mengenai tata nilai
dan kepercayaan masyarakat, perubahan sosial, tata nilai, dan kepercayaan. Hal ini
menciptakan alkulturisasi budaya termasuk pedoman hidup masyarakat, pemenuhan
kebutuhan hidup, dan operasionalisasi kebudayaan melalui pranata-pranata sosial
yang ada di masyarakat, yaitu pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai
budaya (adanya simbol-simbol dan tanda-tanda).
Di Sumatera Barat, pendidikan Islam tradisional di sebut Surau. Di
Minangkabau, Surau telah ada sebelum datangnya Islam, adalah merupakan tempat
yang dibangun untuk tempat ibadah orang Hindu-Budha. Raja Aditiwarman telah
mendirikan kompleks Surau disekitar bukit Gombak, Surau digunakan sebagai tempat
berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar ilmu agama sebagai alat yang ideal untuk
memecahkan masalah-masalah sosial.

Menurut Sidi Gazalba, sebelum Islam datang di Minagkabau, Surau adalah


bagian dari kebudayaan masyarakat setempat yang juga disebut uma galanggalang, adalah bangunan pelengkap rumah gadang. Surau dibangun oleh Indu,
bagian dari suku, untuk tempat berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi pemudapemuda, kadang-kadang bagi mereka yang sudah kawin, dan orang-orang tua yang
sudah uzur.
Kedatangan Islam tidak merubah fungsi Surau sebagai tempat penginapan
anak-anak bujang, tetapi fungsinya diperluas seperti fungsi masjid, yaitu sebagai
tempat belajar membaca al-Quran dan dasar-dasar agama dan tempat ibadah. Namun,
dari segi fungsi Surau lebih lebih luas daripada fungsi Masjid. Masjid hanya
digunakan untuk shalat lima waktu, shalat jumat, shalat id. Sedangkan Surau juga
digunakan shalat lima waktu, sebagai tempat belajar agama, mengaji, bermediatsi dan
upacara-upacara, di samping sebagai tempat semacam asrama anak-anak bujang.
Lebih lanjut Surau digunakan sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki sisten
yang teratur, ini dapat dibuktikan dengan didirikannnya Surau sebagai lembaga
pendidikan Islam oleh Syekh Burhanuddin (1646-1691) setelah berguru kepada Syekh
Abdurrauf bin Ali.9 Dengan demikian Surau telah berubah fungsi sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran Islam.
Meunasah semula adalah salah satu tempat ibadah yang terdapat dalam setiap
kampung di Aceh. Selanjutnya mengalami perkembangan fungsi baik sebagai tempat
ibadah juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, tempat transaksi jual-beli,
dan tempat menginap para musafir, tempat membaca hikayat, dan tempat
mendamaikan jika ada warga kampung yang bertikai.10 Sedangkan dayah adalah
lembaga pendidikan yang terdapat hampir di tiap-tiap uleebalang, seperti halnya di
tiap-tiap kampung harus ada meunasah. Setiap dayah memiliki sebuah balai utama
sebagai tempat belajar dan salat berjamaah. Dilihat dari mata pelajaran yang
diajarkan, dayah mengkaji materi pelajaran yang lebih tinggi daripada di meunasah.
Lembaga-lembaga pendidikan semacam Pesantren, Surau, Meunasah dan
Dayah memiliki peran penting dalam mengajarkan nilai-nilai Islam, terjadi transfer
ilmu, transfer nilai dan transfer perbuatan (transfer of knowledge, transfer of value,
9 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992), h. 18
10 Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 120
9

transfer of skill) sehingga mampu mencetak intelektual muslim Nusantara yang patut
diperhitungkan dalam era peta pemikiran Islam.

10

C. Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Kerajaan Islam di


Sumatera
1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang
didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin
Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama
Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu
Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan
Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab
Syafii, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa
Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan
yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
1.

Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat adalah Fiqh

2.
3.
4.

mazhab Syafii.
Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis talim dan halaqoh.
Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama.
Biaya pendidikan bersumber dari negara.
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-

14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip


keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa di Samudra Pasai banyak
terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang
berpendidikan.
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan
pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari
negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir
adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari
jumat tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah
sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara
lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan
dengan cara diskusi disebut Majlis Talim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu
para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah
lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.

11

2. Zaman Kerajaan Perlak


Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang
pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak
terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri
Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai
Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot
Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu
bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab,
sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat
Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin,
pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang
memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif
bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan
Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid
yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitabkitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan
Imam Syafii. Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam
telah berjalan cukup baik.
3. Zaman Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan
Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur.
Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin
Ali Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan
pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh
seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan
dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jumat di sebuah
masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang
memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali
pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau
sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
1.

Sebagai tempat belajar Al-Quran.


12

2.

Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan
membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah
Islam.

Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:


1.
2.

Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.


Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Quran di bulan

3.
4.

puasa.
Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan

5.

puasa.
Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota

6.
7.

kampung.
Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera
dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah
kiblat sholat.
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah

tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam
Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah
biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah
itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena
itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu
mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal
di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondokpondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah
seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi,
sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi
perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam
bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
1.

Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat


berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan

2.

mengembangkan ilmu pengetahuan.


Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas
mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
13

3.

Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para


ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan
pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-

sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar
datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam
berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu
pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan
kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu
banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang
datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam
(Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam
kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi
penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para
ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad
Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli
dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu
usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh
adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang
terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya
Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat AlNuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si
burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin AsSamathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari
Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang
ditulis, Miratul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya. Ulama dan pujangga lain
yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia
menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam
dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi
mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh
adalah kitab Bustanul Salatin. Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai
14

tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul
Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars
(fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh,
serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh
menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode
berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.
4. Kerajaan Langkat
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan
Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan yang
dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada
guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan
juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana
untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya.
Ketika itu dinamika intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum
menjadi fokus perhatian para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan
masalah politik yang terjadi, yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan
dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat
tidak berkembang dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah
sultan Abdul Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang
dinamakan maktab (baca: madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan
agama bagi masyarakat Langkat.
Dengan berdirinya madrasah Al-masrullah tahun 1912, madrasah Aziziah
pada tahun 1914 dan madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi
salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah.
Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar pada kedua
maktab tersebut, maka banyak pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan luar
pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia,
Brunei dan lain sebagainya.
Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anak-anak
keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini
memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat belajar dan menuntut

15

ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di maktab ini antara lain
adalah Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik (mantan wakil presiden RI).
Dalam biografinya Adam Malik meyebutkan bahwa madrasah Almasrullah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan bagus dan modern
menurut ukuran zaman tersebut. Di mana masing-masing anak dari keluarga
berada (kaya) mendapat kamar-kamar tersendiri. Sistem pendidikan yang
dijalankan pada sekolah ini sama seperti sistem sekolah umum di Inggris, di mana
anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal
di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas-fasilitas
olah raga juga disediakan di sekolah tersebut seperti lapangan untuk bermain bola
dan kolam renang milik kesultanan Langkat.
Ketiga lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan Abdul Aziz yang
kemudian diberi nama dengan perguruan Jamaiyah Mahmudiyah. Pada tahun
1923 perguruan Jamaiyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar, 12
ruang asrama, disamping berbagai fasilitas lainnya seperti 2 buah Aula, sebuah
rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan
sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada perguruan Jamaiyah
Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya sebagian besar merupakan guru-guru
yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah, Medinah dan Mesir.
Mereka semua dikirim atas biaya Sultan setelah sebelumnya diseleksi terlebih
dahulu, hingga sekitar tahun 1930 siswa-siswa yang belajar di perguruan ini
sekitar 2000 orang yang berasal dari berbagai macam daerah.
Selanjutnya sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan
umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan Sekolah Melayu, yang
banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Mengenai gaji-gaji guru dan
biaya perawatan bangunan semuanya ditanggung oleh pihak kesultanan Langkat,
dalam hal ini dapat dikatakan bahwa segala biaya yang berkaitan dengan fasilitasfasilitas pendidikan di Langkat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan
kerajaan.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masuknya Islam ke Indonesia menurut ahli sejarawan mempunyai tiga teori
dan di dukung dengan bukti tentang munculnya metode tersebut. Berikut bukti tiga
metode itu tersebut sebagai bukti bahwa islam sudah masuk ke Indonesia. Yaitu :
Teori Gujarat, Teori Makkah, Teori Persia.
Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam
melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran
diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam
masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan
mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga
keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke
dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam pada Kerajaan Islam di
Sumatera Yaitu :
1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang
didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin
Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama
Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu
Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan
Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab
Syafii, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa
Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.
2. Zaman Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot
Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu
bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab,
sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat
Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin,
pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M.

17

3. Zaman Kerajaan Aceh Darussalam


Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali
pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau
sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
a. Sebagai tempat belajar Al-Quran.
b. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan
membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
4. Kerajaan Langkat
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan
Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan yang
dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada
guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan
juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana
untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya.

18

DAFTAR PUSTAKA

A. Budiardjo, Kamus Psikologi ,(Semarang: Dahara Press)


Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001)
Islam dan budaya lokal,pokja akademik uin sunan kalijaga,yogyakarta:2005
Karim, Dr. M. Abdul, Double M.A, Islam Nusantara,(Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher),2007
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, diterjemah oleh Butche B. Soendjojo
(Jakarta: P3M, 1983)
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992)
Peter salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,( Jakarta: Modern
English Press)1990
Pokja akademik,Islam Dan Budaya Lokal, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga:
Yogyakarta,2005,
Roeslan abdulgani, sejarah perkembangan islam di indonesia ( jakarta: pustaka antar kota,
1983)
Taufik Abdullah (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983)

19

Anda mungkin juga menyukai