Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAHASISWA

DISKUSI KELOMPOK BLOK


14
MODUL PROFESIONALISME, BIOETIK, HUMANIORA, DAN LEGAL

Hari/Tanggal : Senin, 07 November 2020


Waktu : 09.00 – 12.00 WIB
Modul : PBHL
Pokok Bahasan : Dasar Hukum Kesehatan
Sub Pokok Bahasan: Hospital by laws
Penanggung Jawab : Ali Taufan.,dr.,MH.Kes , Dr. Sutrisno., dr., SH., MARS., MH.Kes

Sasaran belajar:
Setelah mengikuti diskusi kelompok ini mahasiswa mampu:
1. Memahami hospital by laws
2. Memahami clinical governance
3. Mengetahui doktrin Strict liability dan Vicarious liability
4. Menganalisis pelanggaran Etik dan Hukum pada rumah sakit serta pihak yang terkait pada
kasus
5. Menganalisis Kelelaian dengan Metode 4 D

PETUNJUK PELAKSANAAN
I. Tujuan Diskusi :
II. Pendahuluan
1. Fasilitator membuka diskusi
2. Memperkenalkan diri, memilih ketua dan sekretaris, ketua memimpin doa
3. Menjelasan tentang tujuan diskusi
4. Pengaturan pelaksanaan diskusi
III. Pelaksanaan dan alokasi waktu
1. Diskusi pleno pada kelompok besar di pimpin oleh ketua kelompok .
2. feedback fasilitator 10 menit
IV. Feedback tutor:
1. mengevaluasi jalannya fasilitator (alokasi waktu, teknik berdiskusi, penguasaan materi)
dengan menggunakan daftar tilik
2. menutup tutorial dengan doa dan ucapan terima kasih
SKENARIO

Kronologi Kasus

1. Pasien bernama RA usia 11 tahun dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah RSUD
19 Oktober 2018, pukul 14.00 WIB. RA mengalami cedera tertusuk kayu dari paha kiri.
Korban menjalani operasi yang dipimpin oleh dokter bedah dr. S, kemudian RA dipindahkan
ke Ruang Perawatan Anak. Setelah operasi, beberapa perawat yang berjaga, termasuk
Perawat ER dan DS diminta oleh dokter ruangan yang bertugas untuk memberikan obat
kepada pasien RA termasuk satu pasien lain yang sedang berada di ruang rawat tersebut.
2. Perawat ER memerintahkan perawat DS untuk Meresepkan obat ke dalam Kartu Obat
Pasien (KOP) dimana obat yang diresepkan berlogo "K" dengan lingkaran merah yang
menandakan obat keras.
3. Perawat DS kemudian meminta orangtua korban untuk mengambil obat di depo, petugas
farmasi di depo obat sempat menanyakan bagaimana kondisi korban, akan tetapi ayah dari
korban tidak dapat menjelaskan tentang kondisi pasien sehingga petugas memberikan obat
setelah melihat data dari korban dan mengira bahwa korban masih berada di ruang operasi.
4. Petugas farmasi di depo obat langsung memberikan obat tersebut tanpa mengetahui secara
pasti kondisi psien dan hanya mengira-ngira kalau pasien masih berada di ruang operasi.
Petugas depo juga tidak memastikan resep obat tersebut berasal dari siapa.
5. Perawat DS menyuntikan obat tersebut pada pasien, 4 kali dalam waktu singkat. Pada pukul
00.05, lalu laju pernapasan pasien menurun dan nadi melemah, seorang perawat memberitahu
mereka berdua bahwa mereka telah salah menyuntikkan obat hingga akhirnya pasien tersebut
meninggal dunia. Setelah dilakukan penyelidikan dan pengumpulan barang bukti berupa tiga
alat suntik dan satu botol obat Atracurium Besylate 10 miligram yang sudah tidak berisi.
Setelah melalui persidangan kedua perawat divonis 2 tahun penjara.
6. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Pusat berusaha mengajukan banding
mengingat kedua perawat adalah petugas medis honorer yang seharusnya tidak berwenang
untuk memberi perintah dan melakukan tindakan penyuntikkan serta hanya bersifat
membantu. yang seharusnya bertanggung jawab dalam prosedur terhadap korban malam itu
adalah petugas medis setingkat dokter, kepala ruang anak, atau pihak manajemen rumah
sakit. manajemen rumah sakit diminta untuk bertanggung jawab secara hukum atas kerugian
akibat kelalaian dalam melakukan pengawasan terhadap pelayanan medis yang diberikan
kepada pasien yang diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit.
Tugas :
1. Jelaskan :
a. Prinsip etik dan aspek hukum apa yang dilanggar oleh perawat tersebut ?
b. Lakukan analisis kelalaian perawat dengan metode 4D !
2. Jelaskan Prinsip etik dan aspek hukum apa yg dilanggar oleh dokter ruangan ?
3. Aspek hukum apa yang dilanggar oleh petugas farmasi ?
4. Bagaimana bentuk tanggung jawab komite medik Rumah Sakit tersebut ?
5. Jelaskan tugas dan wewenang Komite Medik.
6. Jelaskan doktrin Strict liability dan Vicarious liability (Respondeat Superior).
7. Bagaimana bentuk tanggung jawab Rumah Sakit terhadap kasus tersebut ?
dapatkah rumah sakit tersebut dituntut ?

Jawaban

6). Tanggung jawab pidana korporasi sangat erat kaitannya dengan doktrin strict liability, selain
doktrin vicarious liability yang telah dijelaskan sebelumnya,

strict liability menjelaskan bahwa seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana
tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability
diartikan sebagai liability without fault (pertanggung-jawaban pidana tanpa kesala-han) (Barda Nawawi
Arief, 1984: 68).

Pemahaman di atas dimasukan ke dalam ketentuan Pasal 51 Sr. yang kemu- dian memuat isi yang jauh
berbeda, yaitu (Jan Ramemelink, 2003: 102):

1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan ataupun oleh kor- porasi.

2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penentuan pidana da- pat dijalankan dan
sanksi pidana ataupun tindakan (maatregelen) yang disediakan dalam perundang-undangan
sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat
di- lakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah
untuk melakukan tindak pidana.

Apabila dikaitkan dengan doktrin Vicarious Liability sebagai doktrin tang- gung jawab korporasi dalam
hukum pidana, bahwa tanggung jawab dibebankan kepa-da seseorang atas perbuatan orang lain (the
legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Doktrin ini berlaku pada perbuatan
yang dilakukan orang lain dalam ruang ling-kup pekerjaan atau jabatan, yang tentunya memiliki
hubungan hukum dalam pekerjaan tersebut. Doktrin ini, walaupun setiap (naturlijke persoon atau recht
persoon) tidak melaku-kan sendiri tindak pidana dan tidak punya kesala-han pidana dapat dimintai
tanggung jawab pidana korporasi. Doktrin ini hanya ber-laku dalam perbuatan pidana yang
mensyaratkan adanya hubungan terapeutik anta-ra buruh dalam hal ini dokter dan direktur rumah sakit
(Romli Atasasmita, 1989: 93).
Dokrin vicarious liability sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas
perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful
acts of another). Doktrin ini didasarkan asas respondeat superior, di mana dalam hubungan antara
master dengan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per
alium facit per se. Menurut maxim ini tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia
sendiri yang melakukan perbuatan itu . Vicarious liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia
telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu (delegation
principle).

2. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan
oleh pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruh itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the
servant’s act is the master’s act in law).

Strict liability menurut Russel Heaton dalam bukunya Criminal Law

Textbook diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada
diri pelaku terhadap satu atau lebih

62
dari actus reus. Jadi dalam hal ini, strict liability ini merupakan

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Romli Atmasasmita menyatakan bahwa
hukum pidana Inggris selain menganut asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a harmful act
without a blame worthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip pertanggungjawab
mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana.
Prinsip

pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes

Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban

korporasi adalah vicarious liability. Pada dasarnya, doktrin vicarious liability didasarkan pada prinsip
“employment principle”. Yang dimaksud dengan prinsip employment principle dalam hal ini bahwa
majikan (employer) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para

buruhnya atau karyawannya. Jadi dalam hal ini terlihat prinsip “the

servant’s act is the master act in law” atau yang dikenal juga dengan

prinsip the agency principle yang berbunyi “the company is liable for the
73

wrongful acts of all its employees”.


dimuka bahwa dalam pembahasan mengenai doktrin vicarious liability ini mencakup pula pembahasan
mengenai Doctrine of Delegation atau

Oleh sebab itu, perlu dikemukakan

The Delegation Principle.

7). Peluang untuk menuntut ganti rugi sekarang ini telah ada dasar ketentuannya. Berdasarkan Pasal 46
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang menentukan bahwa rumah sakit bertanggung jawab
secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga kesehatan di rumah
sakit. Ketentuan pasal ini menjadi dasar yuridis bagi seseorang untuk meminta tanggung jawab pihak
rumah sakit jika terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan kerugian.

UU 44/2009 TTG RS  PS 32

SETIAP PASIEN MEMPUNYAI HAK . . . . . . . . . . .

MENGGUGAT DAN/ATAU MENUNTUT RS APABILA RS DIDUGA MEMBERIKAN YAN YG


TDK SESUAI DNG STANDAR BAIK SECARA PERDATA ATAUPUN PIDANA; DA

MENGELUHKAN YAN RS YG TDK SESUAI DNG STANDAR YAN MELALUI MEDIA CETAK
& ELEKTRONIK SESUAI DNG KETENTUAN PERATURAN PER-UU-AN.

* Pelanggaran atas sanksi admisnistratif berupa:

* a. teguran;
* b. teguran tertulis; atau

* c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.

5).

TUGAS POKOK
 Komite medik mempunyai tugas :

1. Menyusun standar pelayanan medis.


2. Memberikan pertimbangan kepada Kepala Rumah Sakit dalam pembinaan, pengawasan dan
penilaian mutu pelayanan medik. Monitoring dan evaluasi penggunaan obat di rumah sakit.
 3. Memberikan pertimbangan kepada Kepala Rumah Sakit tentang penerimaan tenaga medik untuk
bekerja di rumah sakit.
4. Bertanggung jawab tentang palaksanaan etika profesi
 
Peran dan fungsi Komite Medik di rumah sakit adalah menegakkan etik dan mutu profesi medik
dengan tugasnya adalah meningkatkan profesionalisme staf medis yang bekerja di rumah sakit dengan
cara:
1. melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di rumah
sakit;
2. memelihara mutu profesi staf medis;dan
3. menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya komite medik berwenang:
a. memberikan rekomendasi rincian kewenangan klinis (delineation of
clinical privilege);
2. memberikan rekomendasi surat penugasan klinis (clinical appointment);
3. memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical privilege)
tertentu; dan
4. memberikan rekomendasi perubahan/modifikasi rincian kewenangan klinis (delineation of
clinical privilege);
5. memberikan rekomendasi tindak lanjut audit medis;
6. memberikan rekomendasi pendidikan kedokteran berkelanjutan;
7. memberikan rekomendasi pendampingan (proctoring); dan
8. memberikan rekomendasi pemberian tindakan disiplin;

Sebagaimana diatur dalam Medical Staff Bylaws bahwa direktur/pemilik, pim-pinan rumah sakit
beserta dokter dan dokter gigi merupakan tritunggal yang ber-sama-sama secara fungsional memimpin
rumah sakit dan bertanggungjawab bersa-ma terkait pelayanan medis kepada masyarakat. Seperti yang
telah dijelaskan secara ringkas, terkait dengan Hospital Bylaws dan Medical Staff Bylaws, maka hukum
pidana sebagai hukum publik, bisa meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak hanya
terbatas pada dokter ataupun dokter gigi, namun juga pada rumah sakit seba-gai korporasi yang
bertanggungjawab atas segala tindakan kedokteran yang salah, yang dilakukan oleh dokter ataupun
dokter gigi kepada pasien.
Nomor 1.

Aspek hukum

1). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG


KEPERAWATAN

Bab VI HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 37 E
e. memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan
Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarg

Pasal 38

Dalam Praktik Keperawatan, Klien berhak:

a).mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan Keperawatan yang akan
dilakukan;

4D
A. Duty (kewajiban)

Pasal 37
Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban:

a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan
Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundang- undangan;

b. memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan,
standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

c. merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih
tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;

d. mendokumentasikan Asuhan Keperawalan sesuai dengan standar;


e. memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai
tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya
f. sesuai dengan batas kewenangannya;
g. melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan
kompetensi Perawat; dan
h. melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.

B. Dereliction of Duty penyimpangan dari kewajiban

Jika perawat dalam melakukan tidakan medis menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya di lakukan menurut standar profesinya.

Kelalaian (medical negligence)

 Salah satu bentuk perbuatan malpraktek medis


 Tetapi tidak semua bentuk kelalaian medis dapat dikategorikan sebagai kejahatan
 Apabila kelalaian tersebut sudah mencapai suatu tingkatan tertentu yang tidak
memperdulikan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian itu berubah menjadi serius dan
bersifat criminal
 Jika kelalaian itu sampai merugikan atau mencelakakan orang lain, maka secara
hukum dapat di kategorikan sebagai kelalaian berat (culpa lata, gross negligence)

C. Damage kerugian
pasien meninggal dunia
D. Direct causation penyebab langsung

Kondisi pasien pasien ini adalah hasil dari risiko yang tak dapat dihindari, misalnya: risiko yang tak
dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Risiko ini sangat mungkin terjadi dalam dunia Kesehatan
karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang bervariasi. Praktik keperawatan
berasaskan:
a, perikemanusiaan;
b. nilai ilmiah;
c. etika dan profesionalitas;
d. manfaat;
e. keadilan;
f. pelindungan; dan
g. kesehatan dan keselamatan Klien.
Bukan merupakan kesalahan, sepanjang perawat sudah memenuhi kewajibanya dalam perlakuan medik
sesuai standar dan etika profesi

Pidana bila :
 Sengaja (secara sadar),
 Melawan hukum, telah membahayakan kesehatan dan jiwa, seperti menyebabkan
luka-luka atau kematian)
 Perbuatan bertentangan dengan hukum, standar dan etika profesi, standar prosedur
 Tidak termasuk karakteristik khusus (risiko tindakan medis, reaksi alergi, kecelakaan,
Non Negligent clinical error of judgement
 Beberpa contoh : aborsi illegal, euthanasia, kelalaian menyebabkan kematian, dl.
 Tidak memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat
darurat. Bila mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian dan dibuktkan
apakah keterlambatan penanganan sebagai penyebab lansungnya.
 SOP yang tidak sesuai

Prinsip etik keperwatan

Etika Keperawatan : 8 Prinsip Etika yang Harus Diketahui oleh Seorang Perawat. Sebelum berbicara
masalah etika, tentunya kita harus tahu dulu mengenai etika itu sendiri. Secara spesifik dalam hal ini
adalah etika keperawatan. Etika, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu "Ethikos"
yang mana artinya adalah: "Suatu perkara yang timbul dari suatu kebiasaan". Perkara tersebut
mencakup analisis dan penerapan konsep dari berbagai hal penilaian seperti: Benar, Salah, Baik,
Buruk, Tanggung jawab dan Tanggung gugat. Ketika etika tersebut dikaitan dengan Keperawatan,
dimana dalam hal ini Keperawatan merupakan sebuah Profesi, maka muncul yang namanya Efika
Profesi atau Professional Ethics. Secara umum, etika profesi ini adalah suatu sikap etis yang harus
dimiliki oleh seorang profesional sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban tugas
keprofesiannya dengan menerapkan norma-norma etis umum pada bidang sesuai profesionalitasnya
dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga, berdasarkan definisi diatas maka yang dimaksud dengan
etika keperawatan adalah suatu sikap etis yang harus dimiliki oleh seorang perawat sebagai bagian
integral dari sikap hidup dalam mengemban tugasnya sebagai seorang perawat dengan menerapkan
norma-norma etis keperawatan dalam kehidupan profesi dan kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya,
etika keperawatan ini juga dijadikan sebuah landasan dalam memberikan pelayanan keperawatan
kepada masyarakat sehingga baik pemberi dan penerima pelayanan dilindungi dan dijauhkandari hal
hal yang tidak diinginkan

8 Prinsip Etika Dalam Keperawatan tersebut adalah;

1. Autonomy (Kemandirian) Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir secara logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa mampu memutuskan
sesuatu dan orang lain harus menghargainya. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri, dan perawat haruslah bisa menghormati dan menghargai
kemandirian ini. Salah satu contoh yang tidak memperhatikan otonomi adalah memberitahukan klien
bahwa keadaanya baik, padahal terdapat gangguan atau penyimpangan
2. Beneficence (Berbuat Baik) Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan hal yang baik sesuai
dengan ilmu dan kiat keperawatan dalam melakukan pelayanan keperawatan. Contoh perawat
menasehati klien dengan penyakit jantung tentang program latihan untuk memperbaiki kesehatan
secara umum, tetapi perawat menasehati untuk tidak dilakukan karena alasan resiko serangan jantung.
Hal ini merupakan penerapan.prinsip beneficence. Walaupun memperbaiki kesehatan secara umum
adalah suatu kebaikan, namun menjaga resiko serangan jantung adalah prioritas kebaikan yang
haruslah dilakukan.
3. Justice (Keadilan) Nilai ini direfleksikan ketika perawat bekerja sesuai ilmu dan kiat keperawatan
dengan memperhatikan keadilan sesuai standar praktik dan hukum yang berlaku. Contoh ketika
perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk serta ada juga klien rawat yang
memerlukan bantuan perawat maka perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor dalam faktor
tersebut kemudian bertindak sesuai dengan asas keadilan.
4. Non-Maleficence (Tidak Merugikan) Prinsip ini berarti seorang perawat dalam melakukan
pelayanannya sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera
fisik dan psikologis pada klien. Contoh ketika ada klien yang menyatakan kepada dokter secara
tertulis menolak pemberian transfusi darah dan ketika itu penyakit perdarahan (melena) membuat
keadaan klien semakin memburuk dan dokter harus menginstrusikan pemberian transfusi darah.
Akhirnya transfusi darah ridak diberikan karena prinsip beneficence walaupun pada situasi ini juga
terjadi penyalahgunaan prinsip non-maleficence.
5. Veracity (Kejujuran) Prinsip ini tidak hanya dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh
seluruh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk
meyakinkan agar klien mengerti. Informasi yang diberikan harus akurat, komprehensif, dan objektif.
Kebenaran merupakan dasar membina hubungan saling percaya. Klien memiliki otonomi sehingga
mereka berhak mendapatkan informasi yang ia ingin tahu. Contoh Ny. A masuk rumah sakit dengan
berbagai macam fraktur karena kecelakaan mobil, suaminya juga ada dalam kecelakaan tersebut dan
meninggal dunia. Ny. A selalu bertanya-tanya tentang keadaan suaminya. Dokter ahli bedah berpesan
kepada perawat untuk belum memberitahukan kematian suaminya kepada klien. Perawat dalam hal ini
dihadapkan oleh konflik kejujuran.
6. Fidelity (Menepati Janji) Tanggung jawab beşar seorang perawat adalah meningkatkan kesehatan,
mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu
perawat harus memiliki komitmen menepati janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain.
7. Confidentiality (Kerahasiaan) Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan,
upaya peningkatan kesehatan klien dan atau atas permintaan pengadilan. Diskusi tentang klien diluar
area pelayanan harus dihindari.
8. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas adalah standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam berbagai kondisi tanpa terkecuali. Contoh perawat bertanggung jawab
pada diri sendiri, profesi, klien, sesame teman sejawat, karyawan, dan masyarakat. Jika perawat salah
memberi dosis obat kepada klien perawat dapat digugat oleh klien yang menerima obat, dokter yang
memberi tugas delegatif, dan masyarakat yang menuntut kemampuan professional.

Selain itu, permasalahan etika yang terjadi juga bisa dikarenakan 2 hal berikut, yaitu malpraktek dan
Kelalaian atau Neglience. 1. Malpraktek Balck's law dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai
"kesalahan profesional atau kurangnya keterampilan yang tidak masuk akal", Bila dilihat dari definisi
diatas maka malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno, 2005). Malpraktek dapat dilakukan
oleh profesi apa saja, tidak hanya dokter atau perawat. Profesional perbankan dan akutansi adalah
beberapa profesi yang dapat melakukan malpraktek. 2. Neglience (Kelalaian) Kelalaian tidak sama
dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek
tidak selalu ada unsur kelalaian. Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat
melanggar standar sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005). Sedangkan
menurut amir dan hanafiah (1998) yang dimaksud dengan kelalaian adalah sikap kurang hati-hati,
yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau
sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam
situasi tersebut. Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan) atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-hati) (Tonia, 1994).
Dapat disimpulkan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan pada
tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau melakukan tindakan dibavh standar yang telah
ditentukan. Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.

3). Aspek hukum apa yang dilanggar oleh petugas farmasi ?


JAWAB : -Aspek hukum yang dilanggar oleh petugas farmasi yaitu a. Menurut pasal 5 Peraturan
Perundang-Undangan Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mengatur mengenai
pekerjaan yang dilakukan kefarmasian yakni Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi :
1.Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi; 2.Pekerjaan Kefarmasian dalam Produk
Sediaan Farmasi; 3.Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
4.Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi. (Hal yang harus diperhatikan oleh
petugas farmasi di depo tersebut dala pemberian obat : a. Cek kembali data dari korban, bagaimana
kondisi korban jika ragu sebaiknya segera menghubungi/berkonsultasi dengan dokter yang
bersangkutan b. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor
izin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter serta
nama,alamat,umur,jenis kelamin, dan berat badan pasien. Pemberian resep dokter di atur didalam
Pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
menyatakan bahwa : "Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh
Apoteker". c. Petugas farmasi tidak memperhatikan obat yan tertulis dalam resep itu termasuk obat
keras. Sebaiknya melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/1986 Tahun 1986 tentang Tanda Khusus
Obat Keras Daftar G ("Kepmenkes 2396/1986"). Dalam peraturan ini dapat dilihat bahwa obat keras
hanya dapat diberikan dengan resep dokter, yaitu dalam Pasal 2 Kepmenkes 2396/1986: (1)Pada etiket
dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus dicantumkan secara jelas tanda khusus
untuk obat keras. (2)Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan
mencantumkan kalimat "Harus dengan resep dokter" yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977, (3)Tanda khusus dapat tidak dicantumkan
pada blister, strip, aluminium/selofan, vial, ampul, tube atau bentuk wadah lain, apabila wadah
tersebut dikemas dalam bungkus luar

Anda mungkin juga menyukai