Anda di halaman 1dari 31

MEKANISME SESAK NAPAS

REFERAT 1

SONYA NOVIANA
1610247747

PEMBIMBING
dr. AZIZMAN SAAD Sp.P (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan


bahwa tugas makalah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Universitas Riau. Jika dikemudian hari ternyata saya
melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan
menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Riau kepada saya.

Pekanbaru, Agustus 2017

Sonya Noviana
DAFTAR ISI

JUDUL.................................................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................. ii

KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR........................................................................................... vii

DAFTAR TABEL.............................................................................................. viii

PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

DEFENISI ............................................................................................................. 2

MEKANISME NEUROFISIOLOGI SESAK NAPAS...................................... 2

BENTUK SESAK NAPAS................................................................................. 15

KUALITAS SESAK NAPAS............................................................................. 15

SESAK NAPAS PADA PENYAKIT PARU..................................................... 17

PENILAIAN SESAK NAPAS............................................................................ 19

PENGUKURAN SESAK NAPAS...................................................................... 20

KESIMPULAN.................................................................................................... 24
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Neurofisiologi sesak napas.................................................................... 3

Gambar 2. Kemoreseptor sentral............................................................................. 4

Gambar 3. Kemoreseptor periper............................................................................ 5

Gambar 4. Mekanisme kemoreseptor..................................................................... 6

Gambar 5. Jaras aferen sesak napas........................................................................ 8

Gambar 6. Jaras aferen otot pernapasan................................................................ 11

Gambar 7. Neofisiologi sesak napas..................................................................... 13

Gambar 8. Skala analog visual.............................................................................. 20


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sumber aferen sensasi sesak napas.............. .............................. 14

Tabel 2. Skala kategori Borg modifikasi ...................................................... 21

Tabel 3. Skala sesak napas MRC............................................. .................... 22

Tabel 4. Skala sesak napas nMRC dari ATS................................................ 23

PENDAHULUAN

Manusia memiliki beberapa naluri dasar biologis. Bernapas, seperti halnya


merasa lapar, haus dan nyeri merupakan salah satu dari naluri dasar biologis yang
dimiliki oleh manusia. Bernapas memiliki unsur kesigapan terbesar dibandingkan
naluri dasar biologis lainnya karena beberapa menit konsumsi udara yang tidak
cukup dapat mengakibatkan respon yang tidak nyaman hebat yang akan memaksa
seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu atau beradaptasi secara fisik untuk
mendapatkan udara yang cukup.1 Frekuensi pernapasan yang normal adalah 12-20
kali permenit. Sesak napas dapat timbul pada keadaan fisiologis maupun patologis.2
Pada keadaan normal, seseorang yang sehat tidak memperhatikan pernapasan
mereka.2 Sebagai contoh, saat berolahraga frekuensi pernapasan seseorang akan
meningkat namun mereka tidak merasakan sesak napas sebagai gangguan sampai
mereka mencapai kapasitas ventilasi maksimalnya.2 Peningkatan frekuensi napas
pada olahraga lebih terasa sebagai bagian dari kegiatan fisik dan merupakan perasaan
yang menyenangkan.
Morbiditas yang berhubungan dengan sesak napas bervariasi dari rasa tidak
nyaman hingga penurunan fungsi paru. Jika dibandingkan dengan nyeri dada, pada
kondisi terminal atau kronik sesak napas dapat dirasakan terus menerus walaupun
sudah ditatalaksana dengan efektif.2 Sesak napas merupakan gejala yang sering
ditemui pada pasien dengan penyakit paru. Penelitian yang dilakukan oleh Azis
gumus dkk dari 462 pasien yang diidentifikasi dengan dyspnea sebagai etiologi 101
(22%) penyakit pernapasan dan 361 (78%) pada penyakit non pernapasan,dari
penyakit non pernapasan dyspnea diidentifikasi sebagai penyakit jantung 184 (51%)
penyakit kejiwaan 142 (39%) dan penyakit lainnya 35 (10%).3
Keluhan sesak napas bervariasi intensitas dan derajatnya tergantung dari
berbagai faktor yang mempengaruhi seperti beratnya penyakit, psikologi, sosial,
lingkungan dan fisiologi.4 Dyspnea merupakan suatu gejala yang menandakan suatu
kelainan pada tubuh. Dari segi anatomi,metabolik dan juga psikis dapat menjadi
penyebab dyspnea oleh karena itu perlu ditelusuri riwayat klinis pasien untuk
mendiagnosis dengan benar kelainan yang mendasari dari dyspnea tersebut. Oleh
karena itu referat ini akan membahas mengenai mekanisme sesak napas.

DEFINISI

Dyspnea atau sesak napas berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata
dys (sulit) dan pnea (pernapasan).1 Menurut kamus kedokteran Dorland, dyspnea
diartikan sebagai sulit bernapas.5 Sesak napas sering digunakan untuk
menggambarkan rasa sulit bernapas tetapi defenisi ini dapat berbeda dengan apa
yang dikeluhkan oleh pasien. Pasien sering menggambarkan sesak napas dengan
istilah lain seperti napas terasa berat,rasa tercekik,dada terasa berat dan sebagainya.
American thoracic Society (ATS) mendefenisikan dyspnea sebagai rasa sulit
bernapas yang subjektif dengan kualitas dan intensitas yang beragam.2

MEKANISME NEUROFISIOLOGI SESAK NAPAS


Sesak napas terjadi ketika aktivasi pusat napas yang berlebihan dalam usaha
untuk memenuhi kebutuhan tubuh meningkat. Aktivasi tersebut muncul akibat
stimulus yang berasal dari berbagai jalur dan struktur seperti reseptor dalam rongga
toraks melalui nervus vagus,saraf aferen somatik terutama di otot pernapasan dan
dinding dada, kemoreseptor di otak, aorta, badan karotis dan di sirkulasi, korteks
serebri dan serabut aferen dari nervus frenik .6 Intensitas sesak napas tergantung dari
kesesuaian sinyal yang ditangkap dan respon motorik yang dikeluarkan.7
Neurofisiologi sesak napas dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Neurofisiologi sesak napas


Dikutip dari (8)

Kemoreseptor
Kemoreseptor berperan pada sesak napas dengan dua cara. Pertama,
kemoreseptor merangsang sistem pernapasan sebagai respons terhadap hiperkapnia
dan hipoksia sehingga terjadi peningkatan motorik pernapasan yang dapat
dipersepsikan sebagai sesak napas. Kedua, kemoreseptor dapat menginduksi sesak
napas melalui rangsangan terhadap sistem limbik dan korteks serebri.9

Kemoreseptor sentral

Kemoreseptor ini akan mendeteksi perubahan PCO2 dan PO2 lalu


mengirimkan sinyal ke pusat napas di batang otak untuk mengatur pernapasan
sehingga keseimbangan asam basa terjaga.9,10 Sinyal perubahan PO2 utamanya
akan ditangkap oleh kemoreseptor perifer sedangkan kemoreseptor sentral akan
terstimulasi oleh perubahan PCO2 meskipun perubahan tersebut hanya sedikit.
Hiperkapnia dapat menyebabkan sesak napas secara langsung dengan mengubah pH
di kemoreseptor sentral dan secara tidak langsung dengan cara meningkatkan
umpan balik aferen pernapasan akibat peningkatan keluaran motorik pernapasan
sehingga terjadi perubahan aktivitas otot pernapasan.7,9,10 Mekanisme hiperkapnia
dapat mengirimkan sinyal ke pusat napas seperti tergambar pada gambar 2.

Gambar 2.Kemoreseptor sentral Dikutip dari (9)


Pasien dengan PPOK, penyakit neuromuskular atau penyakit lain yang
berhubungan dengan hiperkapnia kronik dapat mengalami sesak napas pada saat
istirahat tetapi pada keadaan lain seperti asma, sesak napas dapat terjadi pada kondisi
normokapnia atau hipokapnia.2 Hal ini didukung oleh data yang menyebutkan
bahwa pada orang normal yang mengalami paralisis dan pasien tetraplegia tidak
mengalami kesulitan bernapas padahal seharusnya pada kondisi-kondisi tersebut
terjadi peningkatan karbon dioksida yang besar. Dapat disimpulkan jika tidak
terdapatnya aktivitas otot pernapasan pada seseorang maka hiperkapnia tidak akan
menyebabkan sesak napas. Penelitian terakhir menyatakan hiperkapnia dapat
menyebabkan sesak napas dan tidak berhubungan dengan peningkatan refleks pada
aktivitas otot pernapasan. Pasien tetraplegia yang menggunakan ventilator
mengalami peningkatan sensasi napas tidak lega ketika karbondioksida akhir
pernapasan meningkat sebanyak 7-11 mmHg.7

Kemoreseptor perifer

Kemoreseptor perifer terdiri atas badan karotis dan badan aorta. Reseptor ini
peka terhadap peningkatan PCo2 dan penurunan PO2 dan ph darah. Kemoreseptor
perifer tidak terlalu sensitif terhadap reduksi PO2 arteri. Kemoreseptor perifer baru
berespon apabila PO2 arteri turun sampai 60 mmhg dengan mengirimkan impuls
aferen ke neuron medula dan meningkatkan ventilasi. Mekanisme ini tergambar pada
gambar 3.
Gambar 3 Kemoreseptor perifer Dikutip dari (9)

Pasien paru yang mengeluh sesak napas menunjukkan keluhan berkurang


setelah diberikan suplemen oksigen. Subjek normal yang bernapas dengan udara
campuran pada konsentrasi O2 rendah saat latihan mengalami sesak napas yang
lebih berat dibandingkan saat bernapas dengan udara yang mengandung O2
100%.7 Selain itu sesak napas yang muncul akibat latihan fisis juga dapat berkurang
dengan pemberian oksigen. Hal ini menunjukkan bahwa PO2 memiliki efek langsung
terhadap sesak napas. Hipoksia dapat menyebabkan sesak napas meskipun tidak
terdapat peningkatan aktivitas aferen pernapasan.9 Hipoksia bukan merupakan
rangsangan yang kuat untuk menyebabkan sesak napas dibandingkan hiperkapnia.7
Mekanisme kemoreseptor secara ringkas tergambar pada gambar 4.

Gambar 4. Mekanisme kemoreseptor Dikutip dari (9)


Mekanoreseptor

Mekanoreseptor merupakan reseptor yang berespon terhadap rangsangan


mekanis yang terdapat pada sepanjang saluran napas, parenkim paru, sekitar
pembuluh darah paru dan dinding dada. Rangsangan yang diterima akan diteruskan
ke pusat napas melalui nervus vagus dan sistem saraf simpatis yang kemudian
diteruskan ke pusat sensoris. Rangsangan tersebut kemudian dipersepsikan sebagai
sesak napas.7 Parenkim paru mempunyai berbagai reseptor yang mampu
menghantarkan informasi ke pusat napas. Saraf aferen dari paru mencapai pusat
napas melalui nervus vagus. Efek sesak napas yang terjadi tergantung dari reseptor
yang terstimulasi.
Reseptor iritasi di epitel saluran napas berespons terhadap berbagai jenis
stimulus mekanis dan kimia serta memediasi timbulnya bronkokonstriksi dan
meningkatkan intensitas sesak napas. Reseptor regang paru yang terdapat di saluran
napas akan menghantarkan informasi mengenai kaliber saluran napas dan volume
paru ke korteks somatosensoris melalui serabut saraf vagus tidak bermielin.8
Reseptor ini akan berespons terhadap pengembangan paru dan terlibat pada akhir
inspirasi serta mengurangi sesak napas.11 Serabut saraf C vagus yang dikenal sebagai
reseptor J, pada dinding alveolus dan pembuluh darah akan berespons terhadap
bendungan di jaringan interstisial.8 Informasi yang berasal dari reseptor-reseptor
tersebut kemudian disampaikan ke batang otak melalui nervus vagus seperti yang
digambarkan pada gambar 5.
Gambar 5. Jaras aferen sesak napas Dikutip dari (12)

Nervus vagus terdiri dari serabut bermielin dan tidak bermielin. Serabut saraf
yang berperan terhadap timbulnya sesak napas adalah nervus vagus tidak bermielin
seperti serabut saraf C vagus berada di sepanjang saluran napas. Hal ini dibuktikan
dari sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa jika nervus ini diblok atau
dipotong maka sesak napas dapat berkurang. Serabut C vagus dapat terstimulasi oleh
rangsangan kimia tertentu tetapi rangsangan kimia tersebut tidak selalu
menyebabkan sesak napas. Penelitian Burki dkk menunjukkan bahwa pemberian
capsaicin intravena dapat menyebabkan munculnya rasa tidak nyaman dan terbakar
tetapi tidak ada subjek yang mengeluh sesak napas. Hal ini terjadi karena capsaicin
dapat menstimulasi reseptor transient receptor potential vanilloid type 1 (TRPV1)
yang diekspresikan pada serabut C. Sesak napas juga tidak muncul pada pemberian
fenildiguanida yang merupakan agonis reseptor 5-hidroksitriptamin subtipe 3 (5-
HT3).12
Penelitian Meek PM dkk yang menggunakan rangsangan berupa lobeline
menunjukkan bahwa lobeline dapat menstimulasi serabut C vagus paru dan
menyebabkan munculnya rasa seperti tercekik dan dada tertekan.2 Selain lobeline,
adenosin juga dapat menyebabkan sesak napas akibat stimulasi melalui serabut C
vagus paru. Adenosin merupakan terapi untuk supraventikular takikardi dan
sering menyebabkan sesak napas. Penelitian yang dilakukan oleh Burki dkk
menunjukkan bahwa adenosin yang diberikan secara intravena dapat
menyebabkan sesak napas tetapi tidak menyebabkan bronkokonstriksi.13,14 Sesak
napas yang terjadi akibat rangsangan langsung terhadap serabut C vagus paru dan
bukan akibat rangsangan kemoreseptor perifer maupun batang otak.
Nervus vagus berserabut mielin mempersarafi reseptor sensoris yaitu,
rapidly adapting receptors (RARs), slowly adapting receptors (SARs) dan serabut Aδ
polimodal yang terutama terletak di saluran napas besar (laring dan trakea). Reseptor
RARs dan SARs berperan dalam peregangan paru dan refleks batuk serta
memodulasi kaliber saluran napas dan pola pernapasan. Kedua reseptor
tersebut akan menangkap informasi mengenai perubahan volume paru dan
meneruskannya ke pusat napas. Pusat napas akan menilai apakah ventilasi yang
terjadi sesuai dengan volume paru yang ada. Sesak napas dapat muncul jika ventilasi
yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh pusat napas.12
Spindik otot dan organ tendon pada otot pernapasan bekerja sebagai
mekanoreseptor di dinding dada. Mekanoreseptor tersebut akan menangkap sinyal
tegangan dan kontraksi otot yang kemudian diproyeksikan ke korteks
somatosensoris.12 Mekanoreseptor paru dan dinding dada akan memberikan
umpan balik ke pusat napas mengenai status ventilasi, perubahan panjang otot
pernapasan serta kontraksi otot pernapasan kemudian batang otak kemudian akan
memproses umpan balik tersebut untuk mengatur ventilasi sesuai kebutuhan
seperti yang tergambar pada gambar 6.
Diafragma yang dipersarafi oleh nervus frenikus juga berperan penting
dalam pernapasan. Mekanoreseptor yang terdapat pada diafragma akan
menyampaikan informasi aferen melalui medula spinalis servikal setinggi C3 sampai
C5 lalu ke pusat napas.8 Berbagai penelitian dengan cara memblok atau
mentranseksi korda spinalis telah dilakukan untuk menilai peran dinding dada dan
diafragma dalam mekanisme sesak napas. Anestesi spinal setinggi T1 tidak
memberikan pengaruh pada kondisi rebreathing CO2, menahan napas dan
peningkatan beban kerja. Pasien dengan kelumpuhan empat anggota gerak
(tetraplegia) setinggi C1- C2 tetap mampu mendeteksi perubahan volume paru. Hal
ini menunjukkan bahwa sinyal aferen yang timbul disampaikan ke korteks sensoris
melalui nervus vagus. Sedangkan pada transeksi di C3, kemampuan untuk
mendeteksi hambatan pengembangan paru tetap ada seperti pada orang normal.
Penelitian- penelitian tersebut membuktikan bahwa medula spinalis tidak berperan
dalam mendeteksi perubahan volume paru ataupun sensasi yang muncul akibat
peningkatan PCO2, menahan napas dan peningkatan beban kerja.12

Gambar 6. Jaras aferen otot pernapasan Dikutip dari (12)


Pusat Napas

Peningkatan beban napas saat otot bekerja 10-20 % lebi berat dari pada kerja
otot pernapasan dapat memberikan respon terhadap pusat napas.12 Sesak napas
muncul jika terdapat gangguan antara pusat napas yang memerintahkan
neuromuskular untuk bekerja dengan respons pernapasan seperti ventilasi. Meskipun
aktivitas otot pernapasan tidak secara langsung menyebabkan sesak napas,
mekanoreseptor dinding dada, serabut C vagus dan kemoreseptor berperan dalam
proses munculnya sesak napas. Informasi yang dibawa oleh serabut C vagus
diteruskan ke nukleus traktus solitarius (NTS) di medula oblongata. Nukleus traktus
solitarius akan meneruskan informasi tersebut ke korteks insula viserosensoris
melalui jalur talamuskortikal.12
Berbagai stimulus diterima oleh berbagai korteks yang berbeda. Girus
frontal inferior kiri dipengaruhi oleh beban inspirasi sedangkan beban ekspirasi
mempengaruhi girus frontal lateral kanan. Hiperkapnia mengaktivasi girus frontal
tengah. Aktivasi neuron di otak dapat dideteksi dengan menilai perubahan aliran
darah serebri. Alat yang dapat digunakan adalah positron emission tomography
(PET) dan functional magnetic resonance imaging (fMRI). Benzett dkk
menggunakan PET untuk melihat lokasi spesifik di otak yang teraktivasi pada saat
sensasi napas tidak lega muncul. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat aktivasi
di korteks insula anterior kanan pada subjek normal yang mengalami
hiperkapnia ringan. Penurunan kadar PCO2 di arteri merupakan stimulus kuat
yang dapat meningkatkan aliran darah serebri. Penelitian menggunakan PET
lainnya menunjukkan pada subjek dengan peningkatan hambatan pengembangan
paru saat inspirasi akan tampak aktivasi insula anterior kanan dan serebelum.10,28
Sensasi sesak napas terutama ditangkap oleh reseptor perifer, yaitu
kemoreseptor perifer (badan aorta dan badan karotis) dan serabut C vagus. Selain itu,
mekanoreseptor dinding dada dan reseptor regang paru juga menambahkan
informasi aferen mengenai sesak napas. Informasi aferen tersebut diteruskan ke NTS
di medula oblongata lalu ke talamus kemudian menuju korteks insula dan sistem
limbik. Sesak napas diduga muncul jika informasi aferen yang disampaikan oleh
sensor perifer melebihi biasanya. Pusat napas kemudian memberikan umpan balik
seperti peningkatan volume paru, aliran udara pernapasan dan ventilasi. Umpan
balik tersebut ditangkap oleh reseptor yang diinervasi nervus vagus dan
mekanoreseptor dinding dada.29 Sesak napas muncul jika umpan balik yang
diberikan oleh pusat napas tidak menghasilkan respons yang diinginkan seperti
peningkatan aliran udara pernapasan atau ventilasi seperti pada kondisi paralisis otot
pernapasan atau gangguan mekanis paru.12,13 Neurofisiologi sesak napas secara
keseluruhan dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Neurofisiologi sesak napas Dikutip dari (17)


Sumber Informasi Aferen Sensoris

Berbagai penelitian membuktikan bahwa perbedaan persepsi tersebut


memiliki mekanisme sensoris yang berbeda pula. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, sesak napas muncul akibat aktivasi pusat napas oleh berbagai informasi
sensoris yang dikirimkan oleh sistem respirasi. Informasi sensoris dari sistem
respirasi akan mengaktivasi korteks serebri yang kemudian menghasilkan persepsi
sesak napas tetapi sesak napas yang dirasakan pasien dapat berbeda-beda. 15

Berbagai stimulus yang dapat menyebabkan munculnya sensai sesak napas beserta
bagian sistem pernapasan yang dirangsang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Sumber aferen sensasi sesak napas


Sumber sensasi Stimulus
Umpan balik medula respirasi Dorongan untuk bernapas spontan
( medula oblongata) (hiperkapnia,hipoksia,latihan fisis)
Umpan balik limbik motorik Dorongan untuk bernapas secara sadar
primer
Umpan balik limbik motorik Emosi
Badan carotis dan badan aorta Hiperkapnia,hipoksemia,asidosis
Kemoreseptor medula oblongata Hiperkapnia
Slowly adapting pulmonary stretch Inflasi Paru
receptors (SARs)
Rapidly adapting pulmonary Kolap saluran napas, iritasi
stretch receptors (RARs)
Serabut C paru (Reseptor J) Bendungan vaskular paru
Serabut C saluran napas Iritasi
Reseptor aliran saluran napas atas Pendinginan mukosa saluran napas
Spindik otot pada oto pompa Perubahan panjang otot pernapasan
pernapasan saat bernapas
Organ tendon pada oto pompa Aktivasi paksa otot pernapasan saat
pernapasan bernapas
Reseptor metabolis Aktivasi metabolik pompa pernapasan
Reseptor vaskuler (jantung dan Distensi vaskular
paru)
Reseptor trigeminal kulit Udara dingin wajah
Reseptor dinding dada dan kulit Ventilasi biasa

Dikutip dari (10)


.BENTUK SESAK NAPAS

Paroxymal nocturnal dyspnea menggambarkan keadaan saat pasien


terbangun dari tidurnya akibat sesak dan umumnya muncul pada malam hari.
Gejala ini merupakan salah satu gejala utama gagal jantung yang dapat dipicu
oleh stimulus yang memperberat kongesti paru yang telah ada. Stimulus tersebut
dapat berupa penambahan volume darah total pada malam hari karena reabsorbsi
edema dari bagian tubuh lain pada posisi berbaring. Tubuh dapat toleransi
terhadap penumpukan cairan di paru pada saat tidur tetapi jika sudah terjadi
edema paru dan bronkospasme maka dapat muncul sesak napas. Keluhan kadang
disertai dengan mengi sehingga paroxymal nocturnal dyspnea sering disebut
dengan istilah cardiac asthma.6,9 Ortopnea adalah sesak yang dirasakan saat
berbaring telentang namun tidak dirasakan saat duduk tegak atau setengah duduk.9
Ortopnea disebabkan penumpukan cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke
dada saat berbaring sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kalpiler
pulmonar.8 Gejala ini khas pada pasien gagal jantung kiri sedangkan platipnea
adalah sesak yang muncul pada posisi tegak dan berkurang pada posisi berbaring
telentang.9 Platipnea dapat terjadi pada malformasi arteriovena basal paru. Aliran
darah pada posisi tegak akan meningkat akibat gaya gravitasi bumi sehingga pirau
dari kanan ke kiri akan memburuk yang mengakibatkan sesak napas.9

KUALITAS SESAK NAPAS

Peningkatan Usaha Bernapas


Usaha bernapas muncul ketika korteks serebri teraktivasi bersamaan
dengan keluarnya perintah agar otot pernapasan berkontraksi.18 Pada orang
normal, usaha kerja otot muncul sesuai dengan beban kerja yang diterima. Beban
kerja yang berat membutuhkan kerja otot yang besar dan sebaliknya beban kerja
yang ringan membutuhkan sedikit kerja otot. Namun pada kondisi penyakit
tertentu seperti kelemahan otot atau kelelahan (fatigue), beban kerja ringan tetap
memerlukan usaha yang lebih. Usaha bernapas dapat meningkat jika pusat
motorik memerintahkan otot pernapasan agar bekerja lebih keras seperti pada saat
beban otot bertambah, otot melemah karena kelelahan, paralisis atau pada saat
terjadi peningkatan volume paru.7
Pada saat latihan fisis, tubuh akan beradaptasi menyesuaikan ventilasi
dengan kebutuhan metabolik. Seiring meningkatnya latihan fisis yang dilakukan
maka diperlukan peningkatan usaha bernapas. Proses yang terjadi adalah
mekanoreseptor di perifer akan memberikan sinyal aferen ke pusat napas yang
akan memberi perintah agar ventilasi yang terjadi sesuai dengan kebutuhan.
Selama respons ventilasi yang terjadi sesuai dengan perintah yang diberikan maka
sesak napas tidak akan dirasakan tetapi jika terdapat hambatan pengembangan
elastik maka dapat muncul sense of respiratory effort atau dorongan inspirasi atau
usaha bernapas. Hambatan eksternal ataupun beban elastik dapat berupa
kelemahan otot pernapasan akibat berbagai hal. Kelemahan otot tersebut
menyebabkan peningkatan perintah eferen dan dorongan inspirasi.15

Dada Terasa Berat

Saat bronkokonstriksi sensasi dada terasa berat dapat dirasakan.


Bronkokonstriksi yang disebabkan oleh provokasi metakolin lebih dominan
menimbulkan keluhan dada terasa berat. Peningkatan usaha bernapas lebih
berhubungan dengan peningkatan sinyal eferen pusat motorik yang dikeluarkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi sedangkan sensasi dada terasa berat muncul
akibat stimulasi reseptor di saluran napas.16

Air Hunger atau Napas Tidak Lega

Air hunger atau napas tidak lega digambarkan sebagai persepsi


seperti tidak mendapat udara yang cukup. Persepsi ini muncul jika usaha bernapas
meningkat karena latihan fisis, hiperkapnia atau hipoksia terutama jika kapasitas
untuk mencapai kebutuhan ventilasi terbatas misalnya pada gangguan restriksi.
Ketika kebutuhan ventilasi melebihi kapasitas yang ada maka akan terjadi
ketidakseimbangan sinyal eferen yang dikeluarkan oleh pusat motorik
dengan umpan balik aferen yang diberikan oleh mekanoreseptor perifer di paru,
saluran napas dan dinding dada.15
Napas tidak lega muncul akibat peningkatan usaha bernapas spontan yang
dapat diinduksi oleh hipoksia, hiperkapnia, asidosis atau latihan fisis yang
berlebih. Sinyal untuk bernapas spontan yang diterima oleh batang otak
akan diteruskan ke korteks serebri. Korteks serebri kemudian memberi jawaban
berupa perintah untuk meningkatkan ventilasi. Jika ventilasi yang terjadi
tidak sesuai dengan yang diperintahkan maka akan muncul persepsi napas tidak
lega.15 Mekanoreseptor di paru, saluran napas dan dinding dada memberikan
informasi aferen mengenai ventilasi yang dicapai dan mengurangi persepsi napas
tidak lega. Sensitisasi mekanoreseptor diduga dapat mengurangi sesak napas,
namun mekanisme pastinya masih belum jelas.1

SESAK NAPAS PADA PENYAKIT PARU

Sesak napas dapat terjadi pada penyakit paru obtruktif seperti asma dan
penyakit obtruktif paru kronik (PPOK) maupun penyakit paru restriktif.
Mekanisme sesak napas pada PPOK terjadi karena peningkatan kebutuhan
ventilasi akibat peningkatan ruang rugi fisiologis, hipoksemia, hiperkapnia dan
asidosis laktat.19 Hiperinflasi paru dan pengembangan rongga dada yang
berlebihan menyebabkan peningkatan kapasitas residu fungsional dan
memendeknya otot inspirasi. Berdasarkan teori ketidaksesuaian length-tension
otot, pemendekkan otot inspirasi pada PPOK dapat mengurangi kemampuan otot
untuk berkontraksi.2
Hambatan udara pada PPOK dapat menyebabkan hiperinflasi dinamik
saat latihan fisis sehingga terjadi peningkatan volume paru. Reseptor di
saluran napas sensitif terhadap kompresi dinamik saluran napas atau perubahan
tekanan transmural sepanjang dinding saluran napas. Rangsangan ini
menyebabkan keluaran motorik dari pusat napas meningkat sehingga terjadi
peningkatan usaha bernapas yang menyebabkan sesak napas.2,18,21 Stimulasi
kemoreseptor dalam menimbulkan sesak napas pada pasien PPOK masih belum
jelas. Beberapa pasien yang mengalami hipoksia pemberian suplemen oksigen
tidak mengurangi sesak napas. Sedangkan pada beberapa pasien yang
hiperkapnia kronik tidak mengeluh sesak napas saat berisitrahat.18
Sesak napas pada asma berhubungan dengan kerja otot-otot inspirasi. Otot
inspirasi pada pasien asma harus lebih tegang untuk melawan peningkatan
tahanan aliran udara akibat bronkokonstriksi. Asma yang disertai hiperinflasi akan
mengalami otot inspirasi memendek sehingga tidak mampu menghasilkan
tegangan otot yang optimal. Tegangan otot ini penting dalam kontraksi otot yang
diperlukan untuk ventilasi. Hiperinflasi juga dapat mengubah radius kurvatura
diafragma. Jika terdapat hiperinflasi, maka ambang beban yang harus dilawan otot
inspirasi bertambah. Hal ini mengakibatkan terjadi peningkatan sinyal yang
dikeluarkan dari pusat motorik pernapasan disertai meningkatnya sense of
respiratory effort yang berperan dalam timbulnya sensasi sesak napas.18 Suatu
studi menunjukkan perbaikan sesak napas pada pasien bronkokonstriksi yang
diberi inhalasi metakolin sedangkan pada pasien sesak napas yang berkaitan
dengan hambatan pengembangan paru eksternal tidak menunjukkan efek yang
sama.19 Hal ini menunjukkan bahwa reseptor vagus iritan berperan dalam proses
sesak napas saat bronkokonstriksi serta berhubungan dengan munculnya sensasi
sesak napas seperti dada terasa berat.2,20 Umumnya sensasi dada terasa berat
muncul pada awal serangan tetapi seiring memburuknya penyakit maka muncul
dorongan untuk bernapas dan sensasi napas tidak lega.10 Kelainan paru restriksi
disebabkan oleh berbagai penyakit yang mengakibatkan penurunan volume paru
dan kapasitas difusi. 22
PENILAIAN SESAK NAPAS

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis

Kualitas sesak napas, variabilitas gejala dan faktor yang dapat menambah
atau mengurangi gejala harus diperhatikan pada saat melakukan anamnesis. Dada
terasa berat dapat disebabkan oleh bronkokonstriksi sedangkan peningkatan
usaha bernapas muncul akibat gangguan pompa ventilasi. Sesak napas yang
hilang timbul mungkin disebabkan oleh kondisi yang reversibel seperti
bronkokonstriksi, gagal jantung, efusi pleura, emboli paru akut atau sindrom
hiperventilasi. Sedangkan sesak napas yang persisten atau progresif umumnya
karena kondisi yang kronik seperti PPOK, fibrosis interstisial atau disfungsi
diafragma dan dinding dada. Sensasi napas tidak lega umumnya disebabkan
oleh terstimulasinya pusat napas.1
Sesak napas nokturnal dapat disebabkan oleh asma, gagal jantung,
gastroesophageal reflux (GERD), obstructive sleep apnea (OSA) atau obstruksi
nasal.1 Sesak napas yang muncul pada posisi berbaring biasanya berhubungan
dengan gagal jantung kiri atau proses yang terjadi di abdomen misalnya asites
atau disfungsi diafragma. Sesak napas yang memberat pada posisi tegak
(platipnea) bisa terjadi pada kondisi seperti orthodoxia atau penurunan PO2 pada
posisi tegak yang umumnya terjadi pada sirosis, malformasi arteriovena atau pirau
interarteri. Obesitas dapat memperburuk sesak napas karena peningkatan
kebutuhan metabolik dan ventilasi serta gangguan pengembangan dinding dada.1
Pemeriksaan fisis yang perlu diperhatikan adalah pola pernapasan,
penggunaan otot bantu napas, pursed lips breathing, bentuk dada, posisi tubuh
seperti membungkuk ke depan, deformitas tulang dan otot dan kondisi emosi.
Jari tabuh dapat ditemukan pada pasien kanker atau bronkiektasis. Sianosis di
bibir dan kuku perlu diperhatikan. Jika terdapat edema simetris di tungkai perlu
dipikirkan gagal jantung kongestif, sedangkan edema asimetris dapat terjadi
pada penyakit tromboemboli.1
Pemeriksaan Khusus untuk Sesak Napas

Pemeriksaan faal paru dapat dilakukan untuk mengetahui beratnya sesak


napas. Pulse oxymetry digunakan untuk mendeteksi hipoksemia yang dapat terjadi
pada berbagai penyakit paru. Pulse oxymetry harus diperiksa pada setiap pasien
yang mempunyai kapasitas difusi yang rendah. 1

PENGUKURAN SESAK NAPAS

Berbagai intrumen seperti skala dan kuisioner dikembangkan


untuk mengukur beratnya sesak napas pada seseorang secara tidak langsung.
Secara umum terdapat dua jenis instrumen yang digunakan untuk menilai sesak
napas yaitu, diskriminatif untuk membedakan keluhan agak sesak dengan
sesak dan evaluatif untuk mengevaluasi bagaimana respons terapi terhadap sesak
napas.23
Skala analog visual atau visual analogue scale (VAS) dapat digunakan
untuk mengukur sesak napas pada latihan fisis. Skala ini terdiri dari sebuah garis
yang melintang horizontal atau vertikal, umumnya sepanjang 10 cm, dengan satu
sisi panah menunjukkan sensasi tidak sesak napas dan sisi panah lainnya
menunjukkan sangat sesak napas. Pengukuran dilakukan dengan meminta subjek
untuk menunjukkan satu titik yang menggambarkan derajat sesak napas yang
dirasakan. Kemudian diukur jarak dari titik “tidak sesak napas” sampai titik yang
dirasakan oleh subjek untuk mendapat angka derajat sesak napas yang dirasakan
subjek.1,6,24 Skala ini sangat mudah dilakukan seperti yang dapat dilihat pada
gambar 8.

Tidak Sesak Sesak Berat

Gambar 8. Skala analog visual


Dikutip dari (1)
Skala Borg yang dimodifikasi atau disebut juga dengan skala kategori-
rasio sering digunakan untuk menilai sesak napas pada uji latihan fisis.Skala ini
terdiri dari sebuah garis vertikal yang diberi angka 0 sampai 10. Masing-masing
angka diberi deskripsi sesuai beratnya sesak napas, kemudian subjek diminta
memilih angka sesuai dengan intensitas sesak napas yang dirasakan. Umumnya
subjek yang sehat dan pasien akan berhenti melakukan uji latihan fisis karena
sesak napas pada nilai skala Borg 5 sampai 8. 24

Tabel 2. Skala katageri Borg yang dimodifikasi

Peringkat Intensitas
0 Tidak sesak sama sekali
0,5 Sesak sangat ringan sekali
1 Sesak sangat ringan
2 Sesak ringan
3 Sesak sedang
4 Sesak agak berat
5 Sesak berat
6
7 Sesak sangat berat
8
9
10 Sesak sangat berat sekali hampir maksimal
Dikutip dari (1)

Skala lain yang sering digunakan adalah skala Medical Research Council
(MRC). Skala MRC sudah digunakan untuk menilai sesak napas sejak
tahun 1956. Skala ini mudah dilakukan dan dapat dihubungkan dengan skala lain
atau nilai status kesehatan seperti tampak pada tabel 3. Pengukuran sesak napas
dengan skala ini dapat diulang secara berkala sekaligus untuk menilai
respons terapi.1,24 American Thoracic Society mengeluarkan versi modifikasi
skala MRC, yaitu modified Medical Research Council (mMRC) yang saat
ini banyak digunakan untuk menilai derajat sesak napas pada berbagai
penyakit seperti PPOK. Skala mMRC terurai pada tabel 4. Sebuah penelitian
yang mencari hubungan derajat sesak napas pada pasien PPOK berdasakan
skala mMRC dengan derajat PPOK menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat
sesak napasnya maka semakin tinggi derajat PPOK serta semakin rendah
nilai VEP1.25 Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
pada tahun 2017 memasukkan skala mMRC sebagai acuan untuk menentukan
klasifikasi berat penyakit pasien PPOK.26

Tabel 3. Skala sesak napas MRC

Deskripsi Derajat
Saya sesak saat latihan fisis berat 1
Saya sesak saat berjalan bergegas atau mendaki bukit kecil 2
Saya berjalan lebih lambat dibanding orang seumur oleh karena 3
sesak atau harus berhenti untuk bernapas saat berjalan biasa
Saya berhenti untuk bernapas setelah sejalan 91,44 meter (100 4
yards) atau setelah berjalan beberapa menit pada ketinggian tetap
Saya sangat sesak untuk keluar rumah atau ketika melepas 5
pakaian
Dikutip dari (24)

Instrumen lain yang dapat digunakan adalah Oxygen Cost Diagram


(OCD).Oxygen Cost Diagram adalah skala analog visual dengan tiga belas jenis
aktivitas yang tersusun sepanjang garis 100 milimeter, mulai dari tidur sampai
mendaki bukit yang tinggi. Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien
menunjukkan titik ketika sesak napas dirasakan. Nilai OCD ditentukan dalam
milimeter. Semakin sedikit jarak tempuhnya, maka semakin berat sesak
yang dirasakan.24 Baseline dyspnea index (BDI) dan Transtitional dyspnea index
(TDI) terdiri dari dua komponen yaitu, gangguan fungsional dan besarnya
usaha bernapas. Baseline dyspnea index digunakan untuk membedakan beratnya
sesak napas pada satu waktu tertentu sedangkan TDI digunakan untuk
menilai perubahan sesak napas setelah dilakukan intervensi medis. Penilaian
diperoleh berdasarkan jawaban pasien terhadap tiga komponen yang
ditanyakan dalam sebuah wawancara.23,27 Perubahan nilai satu angka pada
hasil TDI memiliki perbedaan yang bermakna.30

Tabel 4. Sesak napas skala nMRC dari ATS


Derajat Keluhan Sesak Napas
Derajat 0 Saya tidak sesak kecuali saat latihan berat
Derajat 1 Saya sesak saat menaiki tangga atau saat mendaki bukit kecil
Derajat 2 Pada permukaan yang datar, saya berjalan lebih lambat
dibandingkan teman sebaya
Derajat 3 Saya harus berhenti untuk bernapas setelah berjalan kira-
kira100 yard (91,44 meter)
Derajat 4 Saya terlalu sesak untuk keluar rumah atau sesak saat
menggunakan atau melepas pakaian
Dikutip dari (1)

Dampak negatif sesak napas adalah kualitas hidup yang menurun karena
keterbatasan aktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu pengukuran kualitas hidup
pasien sesak napas yang meliputi fungsi fisiologis, emosi, sosial dan aktivitas
sehari-hari penting dilakukan.
KESIMPULAN

1. Sesak napas adalah persepsi subjektif yang menggambarkan rasa sulit


bernapas dengan kualitas dan intensitas yang beragam.
2. Sesak napas terjadi ketika kebutuhan bernapas meningkat dan aktivasi
pusat napas yang berlebihan dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan
tubuh dengan mekanisme neurofisiologi yang kompleks meliputi rangsang
aferen dari sistem respirasi dan respons eferen yang dikeluarkan oleh pusat
napas.
3. Kualitas sesak napas terdiri dari peningkatan usaha bernapas, dada terasa
berat, dan napas tidak lega.
4. Pengukuran sesak napas dilakukan dengan berbagai instrumen seperti skala
dan kuisioner.
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartzstein RM,Adams L.Dyspnea. In : Mason RJ, Broaddus VC, Martin


TR,King TE, Schraufnagel DE, Murray JE et al, editors. Murray & Nadel’s
textbook of respiratory medicine. 5th ed. Philadelphia : WB Saunders ;
2010.p.613-24.
2. Meek PM, Schwartzstein RM, Adams L, Altose MD,Breslin EH, Kohlman VC, et
al.Dyspnea mechanism, assessment, and management : consensus statement. Am
J Respir Crit Care Med 1999;159 : 321-40.
3. Aziz G,Halit C,Servet K,Murtaza ED,Erkan C,Muga H,Gokhan K,et al. An
evaluation of chronic dyspnea in a chest disease clinic. J Pulm Respire Med
2014;(4):173.
4. West JB.Other Test. In: Pulmonary pathophysiology the essetials.7th ed.
Baltimore: The Williams and Wilkins company;2008.p.37-48.
5. Friel JP.Dorland’s illustrated medical dictionary.2nd ed.philadephia: WB
Saunders;1974.p.985.
6. Ingram RH, Braunwald E. Dyspnea and pulmonary edema. In : Kasper DL , Fauci
AS, Longo DL, Braunwald E,Hauser SL, Jameson JL editors. Harrison’s principle
of interna medicine.16 th ed.philadelphia : Mc Graw –Hill Companies,
Inc;2005.p.201-5.
7. Manning HL,Schwartzstein RM . Pathophysiology of dyspnea. New England J
Med 1995;333:1547-53.
8. Gifford AH, Mahler DA. Dyspnea. In: Spiro SG, Silvestri GA, Agusti A, editors.
Clinical respiratory medicine.4 th ed. Philadelphia: Saunders ; 2012.p.250-60.
9. Taichman DB, Fishman AP. Approach to the patient with respiratory
symptoms.In : Fishman AP ,Elias JA, Fishman JA,Grippi MA ,Senior RM, Pack
Al editors. Fishman’s pulmonary diseases and disorders.4 th ed. New York: The
Mc Graw Hill companies;2008.p.388-425.
10. Davenport PW, Vovk A. Cortical and subcortical central neural pathways in
respiratory sensations. Respir Physiol Neurobial 2009;167:72-86.
11. Sherwood L. Sistem pernapasan.Dalam: Fisiologi manusia dari sel ke sistem.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC;2001.h.410-58.
12. Burki NK,Lee LY. Mechanisms of dyspnea. Chest 2010;138(5):1196-201.
13. Burki NK, Dale WJ,Lee LY. Intravenous adenosine and dyspnea in humans J
Appl physiol 2008;98:180-5.
14. Burki NK,Sheatt M,Lee LY. Effects of airway anesthesia on dyspnea and
ventilatory response to intravenous injection of adenosine in healthy human
subjects. Pulm pharmacol therapy 2008;21:208-13.
15. Parshall MB, Schwartzstein RM, Adam L, Banzett RB, Manning HL, Bourbeau
J,et al. An official american thoracic society statement: update on the
mechanisms, assessment, and management of dyspnea. Am J Respir Crit Care
2012;185(4):435-52.
16. Buchanan GF, Richerson GB. Role of chemoreseptors in mediating dyspnea.
Respir physiol Neurobiol 2009;167:9-19.
17. Sheel AW ,Foster GE , Romer LM. Exercise and its impact on dyspnea. Curr
Opin Pharmacol 2011;11:195-203.
18. Manning HL, Mahler DA . Pathophysiology of dyspnea. Monaldi Arch Chest Dis
2001;56(4):325-30.
19. Moy ML,Weiss JW,Sparrow D,Israel E, Schwartzstein RM . quality of dyspnea in
bronchoconstriction differs from externeal resistive loads. Am J Respir Crit Care
Med 2000;162:451-5.
20. Leopoldt AV, Sommer T, Kegat S, Baumann HJ, Klose H , Dahme B et al. The
unpleasentness of perceived dyspnea is processed in the anterior insula and
amygdala. Am J Respir Crit Care Med 2008;177:1026-32.
21. Laveneziana P, Guenette JA, Webb KA, O’Donnell DE. New physiological
insight in to dyspnea and exercise intolerance in cronic obstructive pulmonary
disease patients. Expert Rev Respir Med 2012;6(6):651-62.
22. Gilman SA, Banzett RB. Physiologic change and clinical correlates of advanced
dyspnea. Curr Opin Support Palliat Care 2009;3(2):93-7.
23. Mahler DA. Measurement of dyspnea : Clinical ratings. In: Mahler DA,
O’Donnell DE editors. Dyspnea mechanism, measurement, and management. 2 nd
ed.Florida: Taylor & Francis Group:2005.p 147-66.
24. Ambrosino N,Scano. Dyspnea and its measurement. Breath 2004:1(2);101-7.
25. Anwar D,Chan Y, Basyar M. Hubungan derajat sesak napas penderita penyakit
paru obstruktif kronik menurut kuisioner modified medical research council scale
dengan derajat penyakit paru obtruktif kronik. J Respir Indo 2012:32 (4):200-7.
26. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for the
diagnosis, management, and prevention of cronic obstructive pulmonary
diseases.2017.
27. Jones PW. Breathlessness. In : Gibson GJ Geddes DM, Castabel U, Sterk PJ,
Corrin B editors. Respiratory medicine.3 rd ed.Saunders: 2003.p.285-90.
28. Evan KC, Banzett RB, Adams L , Mc Kay L, Frackowiak RSJ,Corfield DR.
BOLD fMRI identifies limbic, paralimbic, and cerebellar activation during air
hunger. J Neurophysiol 2002;88:1500-11.
29. O’Donnell DE, Ora J, Webb KA, Laveneziana P,Jensen D. Mechanism of
activity-related dyspnea in pulmonary diseases. Respir Physiol Neurobiol
2009;167:116-32.
30. Witek TJ, Mahler DA. Minimal important difference of the transition dyspnea
index in a multinational clinical trial.Eur Respir J 2003.p.285-90.

Anda mungkin juga menyukai