MEDAN
2008
LEMBARAN PENGESAHAN
Sari pustaka yang berjudul
Pendahuluan ................................................................................................... 1
Defenisi .................................................................................................. 3
Deteksi Hipoksemia......................................................................................... 5
Defenisi............................................................................................................. 13
Patofisiologi..................................................................................................... 14
Keracunan oksigen.......................................................................................... 16
Kesimpulan .................................................................................................. 19
Dengan ditemukan suatu molekul oksigen oleh Joseph Piestley dan pada tahun 1775
Lavoiser memperlihatkan pertukaran gas pada paru-paru, inhalasi oksigen kemudian menjadi
salah satu terapi untuk berbagai penyakit. Lebih dari 70 tahun kemudian dengan ditemukannya
ventilasi mekanik, unit pelayanan intensif yang moderen dan pemberian oksigen jangka lama
dirumah, maka oksigen menjadi luas dipergunakan.1,3
Oksigen adalah salah satu bahan farmakologik yang banyak dipakai untuk pasien dengan
kelainan kardiopulmoner. Walaupun telah digunakan sejak lebih kurang 1 abad yang lalu, tetapi
masih banyak kontroversi tentang pemakaian oksigen ini dan belum banyak tenaga medis yang
mengerti tentang terapi oksigen.1
Oksigen memiliki batas terapeutik, dan pada manusia serta hewan percobaan yang
terpapar dengan FiO 2 > 60 % dapat menyebabkan cedera paru. Keracunan oksigen dapat terjadi
karena peningkatan oksigen radikal yang menyerang dan memodifikasi seluler makromolekul
termasuk protein dan asam nukleik.3,4
Tekanan atmosfir oksigen normal mencapai 21 % dari udara yang kita hirup, hal ini ideal
untuk kebutuhan tubuh kita. Nilai yang lebih tinggi dianggap sebagai suplemen oksigen dan
dapat menjadi racun pada dosis yang lebih tinggi.3
Sama seperti obat, oksigen juga mempunyai keuntungan, indikasi, dosis pemberian dan
komplikasi.1
Sari pustaka ini akan membahas mengenai defenisi, indikasi, perhitungan dosis, serta
toksisitas yang dapat terjadi pada terapi oksigen yang melebihi dosis terapeutik.
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai terapi oksigen dan toksisitas, berikut kita
akan membahas sedikit mengenai sistem pernafasan, proses yang sangat penting dalam tubuh
kita. Fungsi sistem pernafasan yang utama adalah untuk pertukaran gas dan mengatur
keseimbangan asam basa.
Pernafasan bermula dari pengaliran udara dari luar ke dalam paru-paru yang ditentukan
oleh perbedaan antara tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara atmosfir. Suatu
pengertian umum, yakni tekanan dinyatakan negatif, bila tekanan udara dalam rongga dada lebih
rendah dari tekanan udara atmosfir, dan positif apabila tekanan udara dalam rongga dada lebih
tinggi dari tekanan udara atmosfir. Oleh karena itu peranan kontraksi dan relaksasi dari otot-otot
pernafasan, terutama diafragma sangatlah penting dalam penentuan tekanan udara negatif
maupun positif, sehingga udara dapat mengalir dari lingkungan luar ke dalam paru-paru ataupun
sebaliknya.2
Ventilasi merupakan suatu proses pertukaran udara dari saluran pernafasan ke udara luar,
yang ditentukan oleh volume udara (kuantitas) dan jenis gas yang mengalami pertukaran
(kualitas). Secara kuantitas, jumlah udara yang masuk pada saat inspirasi sama dengan jumlah
udara yang keluar saat ekspirasi. Akan tetapi, secara kualitas terdapat perbedaan komposisi,
yakni udara yang masuk saat inspirasi lebih banyak mengandung O 2 dan udara yang dikeluarkan
saat ekspirasi lebih banyak mengandung CO 2 .2,3
Bila CO 2 yang dikeluarkan oleh paru lebih besar dari CO 2 yang dihasilkan jaringan,
maka akan terjadi penurunan kadar CO 2 dalam darah. Keadaan ini disebut dengan hiperventilasi
yang dapat menimbulkan alkalosis respiratorik.2,4
Bila CO 2 yang dikeluarkan oleh paru lebih kecil dari yang dihasilkan oleh jaringan, maka
akan terjadi peningkatan kadar CO 2 dalam darah dan keadaan ini disebut dengan hipoventilasi,
yang dapat menimbulkan asidosis respiratorik.
Bila terjadinya hambatan pada kapiler alveolus, yakni terhambatnya pertukaran gas
dalam alveolus.
Sementara itu, pada proses pengangkutan CO 2 dari jaringan tubuh ke dalam darah
kembali ditentukan oleh proses fisika dan kimia. Secara fisika berdasarkan perbedaan tekanan
parsial CO 2 dalam jaringan dan pembuluh darah kapiler. Di dalam jaringan, tekanan CO 2 < 45
mmHg, sedangkan di dalam darah kapiler < 40 mmHg, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang
mengakibatkan difusi CO 2 dari jaringan ke pembuluh darah kapiler. Secara kimiawi,
pengangkutan CO 2 dari jaringan ke dalam pembuluh darah kapiler tergantung pada reaksi Hb
dengan CO 2 2,3
Defenisi
Oksigen merupakan gas yang vital bagi kehidupan manusia,oleh karena bila tidak ada
konsumsi oksigen dalam beberapa menit, dapat menyebabkan kematian. Manusia yang
mempunyai paru-paru yang sehat hanya membutuhkan oksigen sebanyak yang tersedia di
atmosfir, tidak lebih dan tidak kurang. Oksigen (O 2 ) merupakan salah satu bahan pengobatan
yang banyak dipakai pada pasien-pasien dengan kelainan paru maupun jantung. Pada orang yang
sakit dengan kadar oksigen darah yang rendah memerlukan oksigen dalam jumlah lebih besar
dari normal yang kita sebut dengan suplemen oksigen ataupun terapi oksigen.1,4
Terapi oksigen telah digunakan secara luas, bahkan pada saat ini oksigen merupakan
salah satu obat yang paling sering digunakan di rumah sakit. Indikasi terapi oksigen yang paling
utama adalah pada pasien yang mengalami hipoksemia. Indikasi lainnya adalah trauma berat,
infark miokard akut, syok, sesak nafas, keracunan gas CO, pasca anestesi, dan keadaan-keadaan
akut yang diduga terjadi hipoksemia. Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO 2
> 60 mmHg atau SaO 2 > 90%.1
Adapun hipoksemia merupakan penurunan tekanan parsial oksigen (PaO 2 ) dalam darah
ataupun penurunan saturasi oksigen (SaO 2 ). Pada orang dewasa, anak dan bayi berusia lebih
dari 28 hari dikatakan hipoksemia bila PaO 2 < 60 mmHg atau SaO 2 < 90%, sementara pada
neonatus bila PaO 2 < 50 mmHg atau SaO 2 < 88%.1
Deteksi Hipoksemia1
• Gejala klinik.
Ada beberapa gejala klinis yang dapat kita temukan pada pasien-pasien yang
mengalami hipoksemia, diantaranya :
Sianosis : dapat terlihat bila SaO 2 < 85% namun tidak terlihat pada penderita
dengan anemia.
Kelelahan, disorientasi, letargi dan koma.
Takipnoe.
Takikardia ataupun bradikardia.
Aritmia.
Hipertensi atau hipotensi.
Polisitemia.
Clubbing finger.
• Pemeriksaan analisa gas darah.
Pemeriksaan ini merupakan “gold standard” untuk mendeteksi keadaan
hipoksemia. Dari AGDA dapat dilihat nilai PaO 2 dan SaO 2 . Saturasi oksigen adalah
jumlah oksigen yang dapat berikatan dengan hemoglobin.
Misalkan : Seorang lelaki, usia 60 tahun, dating ke RSHAM dengan keluhan utama sesak
nafas, dilakukan pemeriksaan analisa gas darah (AGDA), dengan hasil PaO 2 55 mmHg, PaCO 2
32 mmHg, maka konsentrasi O 2 dalam alveolus adalah dengan memakai rumus no 4,
sebelumnya kita mencari PAO 2 memakai rumus 1 :
PAO 2 = 713 x FiO 2 – (PaCO 2 astrup x 1,25)
55 = 87,2
131,12 PAO 2 yang baru
Maka, untuk menentukan berapa konsentrasi yang seharusnya pada pasien ini, kita dapat
memakai rumus 1 kembali :
PAO 2 = 713 x FiO 2 – (PaCO 2 astrup x 1,25)
207,88 = 713 x FiO 2 – (32 x 1,25)
207,88 = 713 x FiO 2 – 40
247,88 = 713 x FiO 2
FiO 2 = 247,88
713
= 0,34.
2 0,23 – 0,28
3 0,27 – 0,34
4 0,31- 0,38
10 0,65 – 1,00
8 – 10 0,35 – 0,40
8 – 12 0,50
Ada 2 klasifikasi alat untuk pemberian oksigen berdasarkan perbedaan FDO 2 dan FiO 2.
FDO 2 merupakan konsentrasi oksigen yang dimasukkan ke jalan nafas dan FiO 2
merupakan konsentrasi oksigen yang sebenarnya masuk ke dalam paru. Adapun kedua klasifikasi
tersebut adalah :
Patofisiologi
Keracunan oksigen yang terjadi pada paru disebabkan oleh radikal bebas yang terjadi
akibat terapi oksigen hiperbarik. Produksi radikal bebas yang terlalu banyak akan berinteraksi
dengan sel yang dapat menimbulkan perubahan biokimia, sel, morfologi, dan fisiologi.
Terdapat 5 fase dalam hal timbulnya keracunan oksigen pada jaringan paru, yakni :
1. Fase awal.
Fase awal dari keracunan oksigen terjadi dalam beberapa jam pertama dan
berlanjut selama berlangsungnya paparan. Pada fase ini terjadi penurunan sintesa protein,
perubahan trachea bronchial clearance serta perubahan fungsi sel endotel.3,6
2. Fase inflamasi.
Pada fase ini terjadi perubahan morfologi paru akibat kerusakan sel primer berupa
perubahan struktur sel endotel, timbulnya penumpukan cairan akibat menigkatnya
kebocoran mikrosirkular paru, terbentuknya membran hialin serta masuknya sel inflamasi
dengan melepas mediator-mediator. Gabungan dari hal tersebut di atas memberikan
gambaran yang menyerupai edema pulmonum nonkardiogenik terdiri dari kerusakan
alveolus yang luas, sering menimbulkan ARDS dan kerusakan paru yang lain.3,6
3. Fase destruksi.
Kerusakan sel terjadi segera setelah fase inflamasi. Timbulnya perubahan pada
epitel paru dan sel endotel terdiridari kerusakan membran, pembengkakan mitokondria
dan degenerasi nuklir. Segera setelah itu terjadi kematian sel dan terpaparnya basement
membrane.3,6
4. Fase proliferasi dan fibrosis.
Apabila paparan dari dosis toksik oksigen terakhir maka akan timbul stadium
subakut atau kronik yang disebut fase proliferasi. Respon proliferasi sel terjadi untuk
mengatasi fase destruksi dan memungkinkan meningkatnya angka harapan hidup. Namun
Toksisitas/keracunan terapi oksigen sulit dinilai dan tergantung beberapa faktor, yakni
toleransi pasien, dosis dan lamanya pemberian oksigen.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada terapi oksigen adalah :1
1. FiO 2 < 50 % jarang menimbulkan kerusakan paru akut walaupun diberikan untuk waktu
yang lama.
2. Toksisitas oksigen pada paru tidak pernah terjadi pada pemberian oksigen 100 % dalam
waktu 24 jam atau kurang. Tidak ada kontraindikasi pemberian oksigen 100 % dalam
keadaan darurat, walaupun demikian harus diingat bahwa mungkin saja terjadi
“absorption atelectasis”
3. “absorption atelectasis” lebih mudah terjadi pada pasien yang sudah mempunyai
kelainan di paru.
Penegakan diagnosis keracunan oksigen biasanya sulit oleh karena secara gambaran
klinis, fisiologis, histologi dan radiologi sulit dibedakan dengan penyakit paru yang
mendasarinya. Tidak ada uji yang spesifik untuk keracunan oksigen ini. Diagnosis keracunan
oksigen umumnya dapat ditegakkan berdasarkan atas perburukan pernafasan yang progresif
setelah pemakaian oksigen dengan konsentrasi tinggi.3,4,5,6
Manifestasi awal dari keracunan oksigen berupa penurunan pembersihan mukosiliari
trakea. Timbulnya nyeri dada substernal, takipnoe, ataupun batuk pada pasien yang mendapat
terapi oksigen konsentrasi tinggi merupakan pertanda kemungkinan telah terjadi keracunan
oksigen. Pada pemeriksaan fisik dapat kita dengar adanya ronki basah yang menyerupai
terjadinya edema paru. Gejala lain yang dapat timbul seperti kekejangan otot, muntah, sakit
kepala, berubahnya visus dan pendengaran, timbul kecemasan, kebingungan sebagai
perangsangan terhadap sistem persyarafan.3,5
Keracunan oksigen
Keracunan oksigen terhadap sistem respirasi dibagi menjadi :1
o Trakeobronkitis.
Gejala klinis berupa batuk, nyeri tenggorokan, rasa terbakar di daerah substernal
terjadi pada orang sehat yang mendapat oksigen 75-100 % selama 24 jam. Pemeriksaan
bronkoskopi pada orang normal yang diberikan oksigen 100 % selama 6 jam
memperlihatkan inflamasi di daerah trakeobronkial, semua kelainan bersifat reversibel.
o Absorption atelectasis.
Dalam keadaan normal nitrogen mempertahankan alveolus agar tidak kolaps.
Pemberian oksigen dosis tinggi akan mengeluarkan nitrogen dari alveolus. Pada daerah
yang ventilasinya kurang baik oksigen akan cepat keluar dari alveolus sehingga alveolus
kolaps. Gejala klinis berupa penurunan secara progresif PaO 2 , demam dan terlihat
infiltrate pada foto toraks.
o Kerusakan jaringan paru akut.
Proses patologi dari kerusakan jaringan paru akut dibagi dalam 2 fase, yaitu :
o Fase eksudatif, yang ditandai dengan kerusakan sel, edema, dan pembentukan
membran hialin.
o Fase proliferatif, yang ditandai dengan hiperplasia sel dinding alveolus dan
fibrosis septal. Gejala klinis berupa demam, hipoksemia yang progresif dan
infiltrat di paru. Kelainan akan menghilang bila konsentrasi oksigen diturunkan.
o Kerusakan jaringan paru kronik.
Kelainan bersifat irreversibel dan terdiri dari displasia bronkopulmoner dan
kerusakan jaringan kronik. Displasia bronkopulmoner terjadi pada neonatus dengan
Jakarta.2006. 1-34
3. Beers MF. Oxygen Therapy and Pulmonary Oxygen Toxicity in : Fishman AP,
4. Ward JJ. Medical Gas Therapy in : Burton GG, Hodgin JE, Ward JJ. Respiratory
Care; A Guideline to Clinical Practice. 4th ed. Lippincott, California. 2001 : 335 –
401.
5. Jackson RM. Oxygen Therapy and Toxicity in : Ayres SM, Grevik A, Holbrook
6. Auger WR. Pulmonary Oxygen Toxicity In : Bordow RA, Moser KM. Manua of
Disorders Companion Hand Book. Mc. Graw-Hill, New York 1994, 431 – 6.
15th2008