Anda di halaman 1dari 24

SARI PUSTAKA I

TERAPI OKSIGEN DAN TOKSISITAS

Dr. Syamsul Bihar

Pembimbing : Dr. Noni N. Soeroso, SpP

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS. HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2008

Universitas Sumatera Utara


Lembaran pengesahan

LEMBARAN PENGESAHAN
Sari pustaka yang berjudul

TERAPI OKSIGEN DAN TOKSISITAS


Dibacakan oleh dr. Syamsul Bihar
Telah dilakukan koreksi dan perbaikan sesuai dengan hasil koreksi dari
pembimbing

Diketahui Medan, 05 Januari 2009


SPS Departemen Pulmonologi dan Pembimbing
Ilmu Kedokteran Respirasi

Dr. Pantas Hasibuan, Sp. P dr. Noni N. Soeroso, Sp. P


NIP : 140 160 382 NIP : 132 306 864

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Pendahuluan ................................................................................................... 1

Mekanisme pernapasan ................................................................................. 2

Defenisi .................................................................................................. 3

Indikasi terapi oksigen................................................................................... 4

Deteksi Hipoksemia......................................................................................... 5

Metode pemberian oksigen............................................................................ 6

Evaluasi dan monitoring Terapi Oksigen...................................................... 13

Toksisitas Terapi Oksigen.............................................................................. 13

Defenisi............................................................................................................. 13

Patofisiologi..................................................................................................... 14

Keracunan oksigen.......................................................................................... 16

Pencegahan dan Pengobatan Keracunan Oksigen...................................... 17

Kesimpulan .................................................................................................. 19

Daftar Pustaka ................................................................................................ 20

Universitas Sumatera Utara


Pendahuluan

Dengan ditemukan suatu molekul oksigen oleh Joseph Piestley dan pada tahun 1775
Lavoiser memperlihatkan pertukaran gas pada paru-paru, inhalasi oksigen kemudian menjadi
salah satu terapi untuk berbagai penyakit. Lebih dari 70 tahun kemudian dengan ditemukannya
ventilasi mekanik, unit pelayanan intensif yang moderen dan pemberian oksigen jangka lama
dirumah, maka oksigen menjadi luas dipergunakan.1,3

Oksigen adalah salah satu bahan farmakologik yang banyak dipakai untuk pasien dengan
kelainan kardiopulmoner. Walaupun telah digunakan sejak lebih kurang 1 abad yang lalu, tetapi
masih banyak kontroversi tentang pemakaian oksigen ini dan belum banyak tenaga medis yang
mengerti tentang terapi oksigen.1

Oksigen memiliki batas terapeutik, dan pada manusia serta hewan percobaan yang
terpapar dengan FiO 2 > 60 % dapat menyebabkan cedera paru. Keracunan oksigen dapat terjadi
karena peningkatan oksigen radikal yang menyerang dan memodifikasi seluler makromolekul
termasuk protein dan asam nukleik.3,4

Tekanan atmosfir oksigen normal mencapai 21 % dari udara yang kita hirup, hal ini ideal
untuk kebutuhan tubuh kita. Nilai yang lebih tinggi dianggap sebagai suplemen oksigen dan
dapat menjadi racun pada dosis yang lebih tinggi.3

Sama seperti obat, oksigen juga mempunyai keuntungan, indikasi, dosis pemberian dan
komplikasi.1

Bebarapa kata kunci pada terapi oksigen adalah :

• Siapa yang memerlukan terapi oksigen ?

• Bagaimana cara pemberian oksigen ?

• Bagaimana cara memonitor pemberian oksigen ?

Sari pustaka ini akan membahas mengenai defenisi, indikasi, perhitungan dosis, serta
toksisitas yang dapat terjadi pada terapi oksigen yang melebihi dosis terapeutik.

Universitas Sumatera Utara


Mekanisme pernafasan

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai terapi oksigen dan toksisitas, berikut kita
akan membahas sedikit mengenai sistem pernafasan, proses yang sangat penting dalam tubuh
kita. Fungsi sistem pernafasan yang utama adalah untuk pertukaran gas dan mengatur
keseimbangan asam basa.

Pernafasan bermula dari pengaliran udara dari luar ke dalam paru-paru yang ditentukan
oleh perbedaan antara tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara atmosfir. Suatu
pengertian umum, yakni tekanan dinyatakan negatif, bila tekanan udara dalam rongga dada lebih
rendah dari tekanan udara atmosfir, dan positif apabila tekanan udara dalam rongga dada lebih
tinggi dari tekanan udara atmosfir. Oleh karena itu peranan kontraksi dan relaksasi dari otot-otot
pernafasan, terutama diafragma sangatlah penting dalam penentuan tekanan udara negatif
maupun positif, sehingga udara dapat mengalir dari lingkungan luar ke dalam paru-paru ataupun
sebaliknya.2

Ventilasi merupakan suatu proses pertukaran udara dari saluran pernafasan ke udara luar,
yang ditentukan oleh volume udara (kuantitas) dan jenis gas yang mengalami pertukaran
(kualitas). Secara kuantitas, jumlah udara yang masuk pada saat inspirasi sama dengan jumlah
udara yang keluar saat ekspirasi. Akan tetapi, secara kualitas terdapat perbedaan komposisi,
yakni udara yang masuk saat inspirasi lebih banyak mengandung O 2 dan udara yang dikeluarkan
saat ekspirasi lebih banyak mengandung CO 2 .2,3

Bila CO 2 yang dikeluarkan oleh paru lebih besar dari CO 2 yang dihasilkan jaringan,
maka akan terjadi penurunan kadar CO 2 dalam darah. Keadaan ini disebut dengan hiperventilasi
yang dapat menimbulkan alkalosis respiratorik.2,4

Bila CO 2 yang dikeluarkan oleh paru lebih kecil dari yang dihasilkan oleh jaringan, maka
akan terjadi peningkatan kadar CO 2 dalam darah dan keadaan ini disebut dengan hipoventilasi,
yang dapat menimbulkan asidosis respiratorik.

Bila terjadinya hambatan pada kapiler alveolus, yakni terhambatnya pertukaran gas
dalam alveolus.

Universitas Sumatera Utara


Difusi merupakan proses pengangkutan dan pemakaian oksigen dari alveolus melalui
peredaran darah ke jaringan tubuh, serta pengangkutan dan pengeluaran CO 2 dari jaringan
melalui peredaran darah ke alveolus.2

Pengangkutan O 2 dari alveolus ke dalam peredaran darah didasarkan atas perbedaan


parsial O 2 antara alveolus dan pembuluh darah kapiler. Oksigen diangkut oleh hemoglobin (Hb),
yag ditandai dengan kurva disosiasi O 2 , yang menggambarkan hubungan antara tekanan parsial
O 2 dengan presentasi Hb, yang dipegaruhi konsentrasi CO 2 , temperatur, elektrolit,
pH.Pengangkutan O 2 dalam darah ini berikutnya akan dibawa ke jaringan tubuh.2

Sementara itu, pada proses pengangkutan CO 2 dari jaringan tubuh ke dalam darah
kembali ditentukan oleh proses fisika dan kimia. Secara fisika berdasarkan perbedaan tekanan
parsial CO 2 dalam jaringan dan pembuluh darah kapiler. Di dalam jaringan, tekanan CO 2 < 45
mmHg, sedangkan di dalam darah kapiler < 40 mmHg, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang
mengakibatkan difusi CO 2 dari jaringan ke pembuluh darah kapiler. Secara kimiawi,
pengangkutan CO 2 dari jaringan ke dalam pembuluh darah kapiler tergantung pada reaksi Hb
dengan CO 2 2,3

Defenisi

Oksigen merupakan gas yang vital bagi kehidupan manusia,oleh karena bila tidak ada
konsumsi oksigen dalam beberapa menit, dapat menyebabkan kematian. Manusia yang
mempunyai paru-paru yang sehat hanya membutuhkan oksigen sebanyak yang tersedia di
atmosfir, tidak lebih dan tidak kurang. Oksigen (O 2 ) merupakan salah satu bahan pengobatan
yang banyak dipakai pada pasien-pasien dengan kelainan paru maupun jantung. Pada orang yang
sakit dengan kadar oksigen darah yang rendah memerlukan oksigen dalam jumlah lebih besar
dari normal yang kita sebut dengan suplemen oksigen ataupun terapi oksigen.1,4

Universitas Sumatera Utara


Indikasi terapi oksigen

Terapi oksigen telah digunakan secara luas, bahkan pada saat ini oksigen merupakan
salah satu obat yang paling sering digunakan di rumah sakit. Indikasi terapi oksigen yang paling
utama adalah pada pasien yang mengalami hipoksemia. Indikasi lainnya adalah trauma berat,
infark miokard akut, syok, sesak nafas, keracunan gas CO, pasca anestesi, dan keadaan-keadaan
akut yang diduga terjadi hipoksemia. Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO 2
> 60 mmHg atau SaO 2 > 90%.1

Adapun hipoksemia merupakan penurunan tekanan parsial oksigen (PaO 2 ) dalam darah
ataupun penurunan saturasi oksigen (SaO 2 ). Pada orang dewasa, anak dan bayi berusia lebih
dari 28 hari dikatakan hipoksemia bila PaO 2 < 60 mmHg atau SaO 2 < 90%, sementara pada
neonatus bila PaO 2 < 50 mmHg atau SaO 2 < 88%.1

Mekanisme terjadinya hipoksemia :1,2

1. Gangguan ventilasi-perfusi (V/Q mismatch).


Gangguan ventilasi-perfusi ini merupakan penyebab tersering terjadinya
hipoksemia. Dapat terjadi pada penyakit paru obstruktif (PPOK, asma, emfisema,
bronchitis kronik), retensi sputum, penyakit kardiovaskuler (infark miokard, gagal
jantung kongestif).
Hipoksemia karena gangguan ini biasanya memberikan respon yang baik dengan
pemberian oksigen dosis kecil.
2. Hipoventilasi alveolar.
Ditandai dengan peningkatan tekanan CO 2 arteri (PaCO 2 > 45 mmHg). Dapat
terjadi pada overdosis obat, PPOK eksaserbasi akut. Dengan pemberian oksigen dapat
mengatasi hipoksemia tetapi tidak memperbaiki ventilasi.
3. Shunt.
Ketika pembuluh kapiler paru melewati alveolus yang tidak berventilasi, maka
darah dalam kapiler tetap dalam keadaan deoksigenasi. Darah ini akan bercampur dengan
darah yang teroksigenasi, sehingga menimbulkan hipoksemia. Penurunan PaO 2
tergantung besarnya shunt. Dapat dijumpai pada pneumonia, ARDS, edema paru dan
emboli paru. Hipoksemia yang disebabkan shunt tidak mudah diatasi. Dengan pemberian

Universitas Sumatera Utara


oksigen, yang memerlukan dosis tinggi serta terapi intervensi untuk mengatasi alveolus
yang kolaps (PEEP,CPAP), mengatasi atelektasis (IPPB) atau memperbaiki “cardiac
performance” pada edema paru kardiogenik (pemberian diuretik, inotropik).
4. Gangguan difusi.
Terjadi penebalan pada daerah antara alveolus dan kapiler. Dijumpai pada edema
interstisial, fibrosis interstisial, sarkoidosis, asbestosis, penyakit kolagen vaskular.
Hipoksemia karena gangguan difusi dapat diatasi dengan pemberian oksigen.
5. Penurunan tekanan oksigen inspirasi.
Dapat terjadi pada orang yang berada ditempat ketinggian, gangguan fungsi
hemoglobin (anemia, perdarahan).

Deteksi Hipoksemia1
• Gejala klinik.
Ada beberapa gejala klinis yang dapat kita temukan pada pasien-pasien yang
mengalami hipoksemia, diantaranya :
 Sianosis : dapat terlihat bila SaO 2 < 85% namun tidak terlihat pada penderita
dengan anemia.
 Kelelahan, disorientasi, letargi dan koma.
 Takipnoe.
 Takikardia ataupun bradikardia.
 Aritmia.
 Hipertensi atau hipotensi.
 Polisitemia.
 Clubbing finger.
• Pemeriksaan analisa gas darah.
Pemeriksaan ini merupakan “gold standard” untuk mendeteksi keadaan
hipoksemia. Dari AGDA dapat dilihat nilai PaO 2 dan SaO 2 . Saturasi oksigen adalah
jumlah oksigen yang dapat berikatan dengan hemoglobin.

Universitas Sumatera Utara


• Pulse oxymetry.
Pulse oxymetry dapat dipakai untuk melihat saturasi oksigen, walaupun
mempunyai keterbatasan. Keakuratan pulse oxymetry cukup baik bila SaO 2 > 80%, tetapi
bila SaO 2 < 80% akurasi berkurang.
• Transcutaneous partial pressure of oxygen.
Transcutaneous partial pressure of oxygen sering digunakan di PICU. Pada orang
dewasa Transcutaneous partial pressure of oxygen lebih sering digunakan dalam monitor
hasil bedah vaskular dibandingkan untuk melihat tekanan oksigen.

Metode pemberian oksigen


Oksigen harus diberikan dengan cara yang sederhana dan fraksi inspirasi oksigen (FiO 2 )
yang serendah mungkin yang dapat mempertahankan PaO 2 > 60 mmHg dan SaO 2 > 90%.
Peningkatan PaO 2 hanya memberikan dampak kecil pada penigkatan oksigenasi, tetapi akan
meningkatkan resiko keracunan oksigen.1
Ada beberapa rumus yang dapat kita pergunakan untuk menentukan kebutuhan
konsentrasi O 2 , yaitu :
1. PAO 2 = (PB - PH 2 O) x FiO 2 – (PaCO 2 astrup x 1,25)
= (760-47) x FiO 2 – (PaCO 2 astrup x 1,25)
= 713 x FiO 2 – (PaCO 2 astrup x 1,25)
2. AaDO 2 = PAO 2 – PaO 2 Astrup
3. FiO 2 = AaDO 2 + 100 (150) x 100 %
760
4. PaO 2 astrup = PaO 2 yang diinginkan
PAO 2 (1) PAO 2 yang baru

Misalkan : Seorang lelaki, usia 60 tahun, dating ke RSHAM dengan keluhan utama sesak
nafas, dilakukan pemeriksaan analisa gas darah (AGDA), dengan hasil PaO 2 55 mmHg, PaCO 2
32 mmHg, maka konsentrasi O 2 dalam alveolus adalah dengan memakai rumus no 4,
sebelumnya kita mencari PAO 2 memakai rumus 1 :
PAO 2 = 713 x FiO 2 – (PaCO 2 astrup x 1,25)

Universitas Sumatera Utara


= 713 x 0,24 – ( 32 x 1,25)
= 171,12 – 40
= 131,12
PaO 2 yang diinginkan pada usia 60 tahun dapat kita gunakan rumus :
PaO 2 = 109 – 0,43 (usia) + 4
= 109 – 0,43 (60) + 4
= 109 – 25,8 + 4
= 87,2
Setelah itu kita masukkan hasil yang kita dapat ke rumus no 4 :
PaO 2 astrup = PaO 2 yang diinginkan
PAO 2 (1) PAO 2 yang baru

55 = 87,2
131,12 PAO 2 yang baru

PAO 2 yang baru = 131,12 x 87,2


55
= 207,88

Maka, untuk menentukan berapa konsentrasi yang seharusnya pada pasien ini, kita dapat
memakai rumus 1 kembali :
PAO 2 = 713 x FiO 2 – (PaCO 2 astrup x 1,25)
207,88 = 713 x FiO 2 – (32 x 1,25)
207,88 = 713 x FiO 2 – 40
247,88 = 713 x FiO 2
FiO 2 = 247,88
713
= 0,34.

Universitas Sumatera Utara


Maka kita dapat memberikan terapi oksigen sesuai dengan tabel 1dibawah ini
Alat yang digunakan O 2 (LTR/MENIT) FiO 2

Kanula Hidung 1-2 0,21 – 0,24

2 0,23 – 0,28

3 0,27 – 0,34

4 0,31- 0,38

5–6 0,32 – 0,44

Masker simple 5–6 0,30 – 0,45

7–8 0,40 – 0,60

Masker Rebreathing 7 0,35- 0,75

10 0,65 – 1,00

Masker Non Rebreathing 4 – 10 0,40 – 1,00

Venturi 4–6 0,24 – 0,28

8 – 10 0,35 – 0,40

8 – 12 0,50

Tabel 1. Konsentrasi oksigen berdasarkan alat yang digunakan1

Ada 2 klasifikasi alat untuk pemberian oksigen berdasarkan perbedaan FDO 2 dan FiO 2.
FDO 2 merupakan konsentrasi oksigen yang dimasukkan ke jalan nafas dan FiO 2
merupakan konsentrasi oksigen yang sebenarnya masuk ke dalam paru. Adapun kedua klasifikasi
tersebut adalah :

Universitas Sumatera Utara


1. Variable performance devices (low-flow devices).1
Gas yang masuk lebih sedikit dibandingkan yang dihirup pasien. FiO 2 lebih kecil
dibandingkan dengan FDO 2 dan bervariasi tergantung dari gas yang keluar dari alat dan
pola pernafasan pasien. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
o Kanula hidung. (gambar 1)
Kanula hidung merupakan suatu pipa plastik lunak dengan ujung buntu
yang dikaitkan ke telinga dan dibawah leher. Bentuk ini dapat dipakai untuk
dewasa, anak, dan bayi. Kanula dihubungkan dengan pipa kecil dan
disambungkan ke humidifier. Kecepatan aliran oksigen bervariasi antara 2-6
l/menit. FiO 2 0,28-0,4 dengan kanula hidung biasanya tidak perlu pelembab
apabila kecepatan aliran oksigen dibawah 2 l/menit, akan tetapi apabila
kecepatan diatas 2 l/menit diperlukan pelembab. Hal ini untuk mencegah
terjadinya iritasi karena cepatnya aliran oksigen tersebut.

Gambar 1. Kanula hidung 10

Universitas Sumatera Utara


o Masker, yang terdiri dari:
Masker digunakan apabila level oksigen yang diberikan lebih tinggi
dibandingkan kanula hidung, dimana masker hidung adalah perangkat dari
plastik ringan, pemakaiannya menutupi hidung dan mulut.

 Masker simpel. (gambar 2)


Masker digunakan pada wajah dengan mengikatkan pita kepala plastik,
beberapa tipe menyediakan alat pengikat dari logam yang lunak sesuai
dengan bentuk hidung. Pemakaian masker harus dijamin kuat tetapitidak
menyebabkan tekanan yang menyakitkan pada wajah terutama bila menekan
tulang pipi.
Kecepatan aliran oksigen bervariasi antara 5-10 l/menit dan FiO 2 0,3-
0,6

Gambar 2. Masker simpel 11

 Masker reservoir, terbagi atas :


• Masker rebreathing. (gambar 3)
• Masker nonrebreathing. (gambar 4)

Universitas Sumatera Utara


Perbedaan antara kedua jenis masker reservoir diatas adalah pada
pemakaian katup., pada masker nonrebreathing dihubungkan dengan
katup/klep diantara reservoir dan masker.
Dengan adanya katup/klep pada waktu ekspirasi udara dapat keluar
melalui lubang samping antara katup dan reservoir, sehingga saat inspirasi
hanya oksigen yang dihisap dari reservoir. Masker digunakan pada wajah
dengan mempertahankan posisi wajah, batang logam menjadi kunci pada
hidung, tali elastik menahan masker pada wajah. Kecepatan aliran oksigen
10-12 l/menit dan FiO 2 0,35-0,10.

Gambar 3. Masker rebreathing13 Gambar 4. Masker nonrebreathing12

2. Fixed performance devices (high-flow devices).1


Gas yang masuk stabil dan sesuai dengan yang di hirup pasien (FiO 2 sama dengan
FDO 2 ). Yang termasuk dalam kelompok ini :
o Masker venturi.(gambar 5)
Konsentrasi oksigen terbentuk dalam masker dengan udara didalamnya,
dengan cara ini oksigen diberikan dengan angka pasti. Alat yang digunakan
nonaerosol dengan persen tetap (24,28,31,36,40,50 %). Komplikasi yang
timbul adalah ketidaknyamanan kulit rusak dan retensi CO 2 .

Universitas Sumatera Utara


Gambar 5. Masker venturi 14

o CPAP (continous positive airway pressure). (gambar 6)


Sistem CPAP dengan regulator digunakan melalui sebuah flow meter
menuju masker dan diakhiri dengan sebuah alat yang dapat mengukur tekanan
antara 2,5-20 cm H 2 O, dimana masker dipasang pada wajah dengan
menggunakan pengikat kepala.

Gambar 6. CPAP (continous positive airway pressure). 15

Universitas Sumatera Utara


Evaluasi dan Monitoring Terapi Oksigen.
Pemberian terapi oksigen pada pasien-pasien, harus selalu dievaluasi dan dilakukan
monitoring dengan cermat, hal ini untuk menghindari efek samping dan efek toksik yang dapat
timbul pada terapi oksigen.
Adapun evaluasi dan monitoring yang dapat kita lakukan antara lain :1,2
• Melalui pemeriksaan fisik.
Pada pasien hipoksemia, terapi oksigen akan mencega terjadinya hipoksia sel dan
jaringan, memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan, meningkatkan perfusi organ vital.
Hal ini ditandai dengan denyut jantung dan tekanan darah yang stabil, tidak ditemukan
adanya aritmia, sianosis dan takipnoe. Gangguan neurologis, seperti kelelahan,
disorientasi juga menghilang.
• Melalui pemeriksaan AGDA dan pulse oxymetry.
Pemeriksaan AGDA pada umumnya dilakukan 15-20 menit setelah pemberian
oksigen atau segera dilakukan bila terjadi perubahan klinis pasien. Evaluasi berikutnya
adalah :
- 12 jam setelah pemberian FiO 2 < 40 %.
- 8 jam setelah pemberian FiO 2 > 40 %.
- 72 jam pada infark miokard akut.
- 2 jam pada pasien PPOK.
- 1 jam pada neonatus.

Toksisitas Terapi Oksigen


Defenisi
Toksisitas oksigen didefenisikan sebagai gangguan pada tubuh yang disebabkan oleh
bernafas atau inspirasi dengan oksigen yang mempunyai tekanan parsial yang tinggi. Hal ini
ditandai dengan kelainan penglihatan, pendengaran, kelelahan saat bernafas, keram otot, gelisah,
kejang, dan lainnya.7,8
Istilah keracunan oksigen pertama kali diperkenalkan oleh Lavoiser pada tahun 1789,
ketika ia menemukan efek yang merusak bila diberikan terapi oksigen yang berlebihan. Pada
tahun 1878, Paul Bert menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara


kejang. Hal ini kemudian dikenal dengan “Paul Bert Effect” atau oxygen induced seizure.
Lorraine Smith pada tahun 1899 melaporkan efek patologi dari peningkatan oksigen terhadap
sistem pernafasan yang dikenal sebagai “Lorraine Smith Effect” berupa sindroma klinis dari
penurunan kapasitas vital, nyeri dada, dan atelektasis.8

Patofisiologi
Keracunan oksigen yang terjadi pada paru disebabkan oleh radikal bebas yang terjadi
akibat terapi oksigen hiperbarik. Produksi radikal bebas yang terlalu banyak akan berinteraksi
dengan sel yang dapat menimbulkan perubahan biokimia, sel, morfologi, dan fisiologi.
Terdapat 5 fase dalam hal timbulnya keracunan oksigen pada jaringan paru, yakni :
1. Fase awal.
Fase awal dari keracunan oksigen terjadi dalam beberapa jam pertama dan
berlanjut selama berlangsungnya paparan. Pada fase ini terjadi penurunan sintesa protein,
perubahan trachea bronchial clearance serta perubahan fungsi sel endotel.3,6
2. Fase inflamasi.
Pada fase ini terjadi perubahan morfologi paru akibat kerusakan sel primer berupa
perubahan struktur sel endotel, timbulnya penumpukan cairan akibat menigkatnya
kebocoran mikrosirkular paru, terbentuknya membran hialin serta masuknya sel inflamasi
dengan melepas mediator-mediator. Gabungan dari hal tersebut di atas memberikan
gambaran yang menyerupai edema pulmonum nonkardiogenik terdiri dari kerusakan
alveolus yang luas, sering menimbulkan ARDS dan kerusakan paru yang lain.3,6
3. Fase destruksi.
Kerusakan sel terjadi segera setelah fase inflamasi. Timbulnya perubahan pada
epitel paru dan sel endotel terdiridari kerusakan membran, pembengkakan mitokondria
dan degenerasi nuklir. Segera setelah itu terjadi kematian sel dan terpaparnya basement
membrane.3,6
4. Fase proliferasi dan fibrosis.
Apabila paparan dari dosis toksik oksigen terakhir maka akan timbul stadium
subakut atau kronik yang disebut fase proliferasi. Respon proliferasi sel terjadi untuk
mengatasi fase destruksi dan memungkinkan meningkatnya angka harapan hidup. Namun

Universitas Sumatera Utara


demikian tergantung dari luasnya dan lamanya cedera maka bisa timbul gejala sisa berupa
fibrosis dari jaringan interstitial.3,6

Toksisitas/keracunan terapi oksigen sulit dinilai dan tergantung beberapa faktor, yakni
toleransi pasien, dosis dan lamanya pemberian oksigen.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada terapi oksigen adalah :1
1. FiO 2 < 50 % jarang menimbulkan kerusakan paru akut walaupun diberikan untuk waktu
yang lama.
2. Toksisitas oksigen pada paru tidak pernah terjadi pada pemberian oksigen 100 % dalam
waktu 24 jam atau kurang. Tidak ada kontraindikasi pemberian oksigen 100 % dalam
keadaan darurat, walaupun demikian harus diingat bahwa mungkin saja terjadi
“absorption atelectasis”
3. “absorption atelectasis” lebih mudah terjadi pada pasien yang sudah mempunyai
kelainan di paru.

Penegakan diagnosis keracunan oksigen biasanya sulit oleh karena secara gambaran
klinis, fisiologis, histologi dan radiologi sulit dibedakan dengan penyakit paru yang
mendasarinya. Tidak ada uji yang spesifik untuk keracunan oksigen ini. Diagnosis keracunan
oksigen umumnya dapat ditegakkan berdasarkan atas perburukan pernafasan yang progresif
setelah pemakaian oksigen dengan konsentrasi tinggi.3,4,5,6
Manifestasi awal dari keracunan oksigen berupa penurunan pembersihan mukosiliari
trakea. Timbulnya nyeri dada substernal, takipnoe, ataupun batuk pada pasien yang mendapat
terapi oksigen konsentrasi tinggi merupakan pertanda kemungkinan telah terjadi keracunan
oksigen. Pada pemeriksaan fisik dapat kita dengar adanya ronki basah yang menyerupai
terjadinya edema paru. Gejala lain yang dapat timbul seperti kekejangan otot, muntah, sakit
kepala, berubahnya visus dan pendengaran, timbul kecemasan, kebingungan sebagai
perangsangan terhadap sistem persyarafan.3,5

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan fungsi paru dapat kita jumpai adanya penurunan dalam kapasitas vital,
compliance paru maupun kapasitas difusi CO akibat melebarnya alveolar-arterial oxygen
gradient.3
Secara gambaran radiologis, keracunan oksigen memberikan gambaran bertambahnya
corakan interstitial, yang tidak spesifik. Gambaran ini juga selalu dijumpai pada keadaan
kerusakan alveolar yang luas.4,5

Keracunan oksigen
Keracunan oksigen terhadap sistem respirasi dibagi menjadi :1
o Trakeobronkitis.
Gejala klinis berupa batuk, nyeri tenggorokan, rasa terbakar di daerah substernal
terjadi pada orang sehat yang mendapat oksigen 75-100 % selama 24 jam. Pemeriksaan
bronkoskopi pada orang normal yang diberikan oksigen 100 % selama 6 jam
memperlihatkan inflamasi di daerah trakeobronkial, semua kelainan bersifat reversibel.
o Absorption atelectasis.
Dalam keadaan normal nitrogen mempertahankan alveolus agar tidak kolaps.
Pemberian oksigen dosis tinggi akan mengeluarkan nitrogen dari alveolus. Pada daerah
yang ventilasinya kurang baik oksigen akan cepat keluar dari alveolus sehingga alveolus
kolaps. Gejala klinis berupa penurunan secara progresif PaO 2 , demam dan terlihat
infiltrate pada foto toraks.
o Kerusakan jaringan paru akut.
Proses patologi dari kerusakan jaringan paru akut dibagi dalam 2 fase, yaitu :
o Fase eksudatif, yang ditandai dengan kerusakan sel, edema, dan pembentukan
membran hialin.
o Fase proliferatif, yang ditandai dengan hiperplasia sel dinding alveolus dan
fibrosis septal. Gejala klinis berupa demam, hipoksemia yang progresif dan
infiltrat di paru. Kelainan akan menghilang bila konsentrasi oksigen diturunkan.
o Kerusakan jaringan paru kronik.
Kelainan bersifat irreversibel dan terdiri dari displasia bronkopulmoner dan
kerusakan jaringan kronik. Displasia bronkopulmoner terjadi pada neonatus dengan

Universitas Sumatera Utara


“respiratory distress syndrome” yang mendapat terapi oksigen dosis tinggi. Gejala klinis
yang terjadi erupa gangguan pertumbuhan, kesulitan pernafasan dan perawatan berulang
di rumah sakit.1
Kelainan patologik yang dijumpai pada kerusakan jaringan kronik berupa
proliferasi kapiler, fibrosis interstitial, hiperplasia epitel dan perdarahan.
Selain efek samping diatas, terapi oksigen juga dapat mengakibatkan :1
o Hiperkarbia pada pasien PPOK. Dalam keadaan normal, ventilasi dipacu oleh respons
medulla terhadap CO 2 . Pada keadaan retensi CO 2 kronik, ventilasi dipacu oleh keadaan
hipoksik. Jika terjadi peningkatan PaO 2 > 65 mmHg maka akan terjadi hipoventilasi dan
peningkatan PaCO 2 . Pasien yang mempunyai resiko untuk terjadinya hipoventilasi adalah
pasien PPOK, pasien korpulmonal,”sleep apnea syndrome”.
o Retinopati pada bayi prematur.
o Risiko terjadinya kebakaran.
o Pada pasien yang memakai kanula hidung dapat terjadi iritasi mukosa hidung, nasal
kongesti, epistaksis, alergi, terhadap bahan kanula, iritasi kulit.
o Hemolisis
o Pada CNS, dapat terjadi “twitching”,”confusion”, kejang.

Pencegahan dan Pengobatan Keracunan Oksigen


Sebagaimana obat lainnya, oksigen diberikan berdasarkan dosis yang sesuai untuk
mendapatkan efek terapeutik yang baik dan menghindari keracunan oksigen. Oleh karena sangat
sulit untuk menegakkan diagnosis ke arah keracunan oksigen. Manifestasi klinis keracunan
oksigen tidak begitu spesifik sehingga pencegahan merupakan langkah manajemen yang utama.
Pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi oksigen, harus dilakukan observasi baik secara
gejala klinis, pemeriksaan analisa gas darah serta pulse oxymetry.3,4
Keracunan oksigen dapat dicegah dengan mengurangi konsumsi oksigen, antara lain
dengan menurunkan demam menggunakan obat-obatan antipiretik, mengatasi kegelisahan
dengan obat anti ansietas. Pemberian diet yang memadai juga merupakan hal penting dalam
mencegah terjadinya keracunan oksigen. Malnutrisi protein akan menyebabkan gangguan
pembentukan glutathione. Kekurangan vitamin dan mineral juga dapat mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara


terganggunya mekanisme pertahanan oleh anti oksidan. Pemberian zat-zat yang dapat
mengakumulasi oksigen juga sebaiknya dihindari selama pemberian terapi oksigen dengan
konsentrasi tinggi, seperti disulfiran, nitrofurantoin, bleomisin, mitomisin, dan
4
cyclophosphamide.
Pemberian anti oksidan seperti superoksida, katalase, vitamin A,E,C dan N-acetylcystein
dapat meningkatkan toleransi terhadap oksigen.4

Universitas Sumatera Utara


Kesimpulan
1. Oksigen adalah salah satu bahan farmakologik yang banyak dipakai untuk pasien dengan
kelainan kardiopulmoner, yang memiliki batas terapetik dimana bila diberikan melebihi
batas akan memberikan efek yang meracuni.
2. Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO 2 > 60 mmHg atau SaO 2 >
90%.
3. Hipoksemia dapat terjadi karena gangguan ventilasi perfusi, hipoventilasi alveolar, shunt,
gangguan difusi, penurunan tekanan oksigen inspirasi.
4. Deteksi hipoksemia dapat dilihat dari gejala klinis, pemeriksaan AGDA, Pulse oxymetry,
Transcutaneous partial pressure of oxygen.
5. Pemberian oksigen haruslah dengan perhitungan dosis yang tepat, dengan menggunakan
low-flow devices dan high-flow devices.
6. Efek keracunan pada paru yang utama adalah timbulnya radikal bebas serta kejadian dari
atelektasis obstuktif.
7. Belum adanya suatu pemeriksaan yang khusus untuk mendiagnosis keracunan oksigen.
8. Managemen yang utama adalah menhindari keracunan oksigen selama pemberain
oksigen.

Universitas Sumatera Utara


Daftar pustaka
1. Rasmin Menaldi. Terapi Oksigen : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

Jakarta.2006. 1-34

2. Rab T. Prinsip Gawat Paru. Ed II. EGC: Jakarta, 1996.

3. Beers MF. Oxygen Therapy and Pulmonary Oxygen Toxicity in : Fishman AP,

Elias A, Fishman JA, Grippi MA et al. Fishman’s Pulmonary Diseases and

Disorders. 3th ed. Mc Graw-Hill, Philadelphia. 1998 : 2628-41.

4. Ward JJ. Medical Gas Therapy in : Burton GG, Hodgin JE, Ward JJ. Respiratory

Care; A Guideline to Clinical Practice. 4th ed. Lippincott, California. 2001 : 335 –

401.

5. Jackson RM. Oxygen Therapy and Toxicity in : Ayres SM, Grevik A, Holbrook

PR, Shomaker WC; Textbook of Critical Care, 3rd ed. W.B.Saunders,

Philadelphia, 1995: 784 – 88.

6. Auger WR. Pulmonary Oxygen Toxicity In : Bordow RA, Moser KM. Manua of

Clinical Problems in Pulmonary Medicine With Annotated Key Reference. Little,

Brown and Company, Boston 1991, 282 – 7.

7. Mendiguren I. Oxygen Toxicity In : Fishman AP. Pulmonary Diseases and

Disorders Companion Hand Book. Mc. Graw-Hill, New York 1994, 431 – 6.

8. Neumeister M, Hyperbaric Oxygen Therapy, emedicine 2005, available from :

http://www.emedicine.com/plastic /topic526.html. Accessed on November

15th2008

Universitas Sumatera Utara


9. Dictionary Oxygen Toxicity. Available from : http://www.biology-

online.org/dictionary/oxygentoxicity.htm. Accessed on November 15th2008.

10. Nasal canule. Available from : http://www.kcfirstaid.com/images/


421100_nasal_cannula.jpg. Accessed on January 04th 2009.

11. Simple mask . Available from : http://www.hkfsd.gov.


hk/home/images/equipment/ambulance/images/photo/Simple%20Mask.jpg
Accessed on January 04th 2009.

12. Non rebreathing mask . Available from : http://www.airmedltd.com/products


/non_breathing/0065_163w.jpg. Accessed on November 15th 2008

13. Rebreathing mask . Available from : http://www.airmedltd.com/products /re


breathing/00361_56w.jpg. Accessed on November 15th 2008.

14. Masker venturi . Available from : http://www.kjhya.


/home/images/equipment/ambulance/images/photo/venturi mask 09.jpg. Acces
sed on November 14th 2008

15. CPAP . Available from : http://www.rmsplindia.com/full-images/682747.jpg.


Accessed on January 04th 2009.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai