Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ANESTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2018


UNIVERSITAS MUHAMMADIAH MAKASSAR

PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS

Disusun Oleh:

Tiara Geminita, S.Ked

1055 0540 0117

Pembimbing:

DR. dr. Hisbullah, Sp.An, KIC, KAKV

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Anestesi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2018

LEMBAR PENGESAHAN

1
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Tiara Geminita, S.Ked

NIM : 1055 0540 0117

Judul Referat : Penatalaksanaan Gagal Nafas

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik

pada Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Makassar, Desember 2018

Pembimbing

DR. dr. Hisbullah, Sp.An, KIC, KAKV

KATA PENGANTAR

2
Bismillahirrahmanirahim

Segela puji bagi Allah SWT Sang Pemilik kehidupan yang Maha Pengasih
dan Penyayang atas segala limpahan Rahmat dan nikmatNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat ini dengan lancar. Sholawat serta salam untuk
Rasulullah Muhammad SAW, sang pembawa cinta yang membimbing manusia
menuju surga serta mengajarkan kepada manusia untuk saling mengasihi.

Alhamdulillah berkat hidayah dan rahmat-Nya, penulis dapat


menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Penatalaksanaan Gagal Nafas” dalam
rangka Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Dalam penyelesaian referat ini, peneliti mengucapkan banyak terima kasih


atas semua bantuan, doa, serta motivasi dari pihak yang ikut memberi andil dalam
penyelesaian tugas ini, terutama kepada dosen pembimbing DR. dr. Hisbullah,
M.Kes, Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan
arahan dan koreksi hingga laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis sadar bahwa penulisan ini sangat jauh dari kata sempurna, maka
dari itu penulis berharap kepada para pembaca untuk memberi kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan referat ini.

Demikian, semoga referat ini bisa bermanfaat untuk penulis dan para
pembaca, Insya Allah, Amin.

Makassar, Desember 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ………………………………………………………………i


Lembar Pengesahan ………………………………………………………… ii
Kata Pengantar ……………………………………..……………………… iii
Daftar Isi ………………………………………………………..…………… iv
BAB I : Pendahuluan ………………………………………………..……… . 1
BAB II : Tinjauan Pustaka …………………………………………………. 3
A. Definisi Gagal Nafas ……………….…………………………… . 3
B. Etiologi Gagal Nafas………………………………….................. . 3
C. Patofisiologi Gagal Nafas.……………………………………… .4
D. Diagnosis Klinis……..………………………………………… .9
E. Penatalaksanaan Gagal Nafas………………………………… . 11
F. Komplikasi Dan Prognosis Gagal Nafas………………….…… . 15
BAB III : Kesimpulan ………………………………………............................17

4
BAB 1

PENDAHULUAN

Pernapasan atau respirasi merupakan suatu pristiwa penghirupan udara

dari luar yang mengandung oksigen (O2) ke dalam tubuh serta menghembuskan

udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi

ke luar dari tubuh.1 Fungsi utama sistem respirasi adalah menjamin pertukaran O 2

dan CO2. Bila terjadi kegagalan pernapasan maka oksigen yang sampai ke jaringan

akan mengalami defisiensi, akibatnya sel akan terganggu proses metabolismenya.2

Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk

mempertahankan oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2.

Terdapat 6 sistem kegawatan salah satunya adalah gagal nafas yang menempati

urutan pertama. Insiden di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36%

meninggal selama perawatan. Morbiditas dan mortalitas meningkat seiring dengan

meningkatnya usia dan adanya komorbiditas.1

Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding

dada, otot pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medulla

oblongata. Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas,

disfungsi dari jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transport oksigen

hemoglobin dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal

nafas. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat

dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas.1

5
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik

dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut

adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan

fungsional paru yang normal sebelum awitan penyakit muncul. Sedangkan gagal

nafas kronis adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru

kronis seperti bronchitis kronis dan emfisema. Pasien mengalami toleransi

terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.

Kegagalan pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 ≤ 50

sampai 60 mmHg atau dengan kadar CO 2 ≥ 50 mmHg dalam keadaan istirahat

pada ketinggian permukaan laut. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan

gas-gas darah ini karena batas antara insufisiensi pernafasan kronik dan kegagalan

pernafasan tidak jelas dan tidak bisa berdasarkan observasi klinis saja. Sebaliknya,

harus diingat bahwa definisi berdasarkan gas-gas darah ini tidak bersifat absolut.

Makna dari angka-angka ini tergantung dari riwayat penyakit terdahulu. Orang

yang sebelumnya dalam keadaan sehat yang kemudian mengalami kelainan gas-

gas darah setelah mengalami kecelakaan hampir tenggelam dapat diperkirakan

akan jatuh ke dalam keadaan koma, sedangkan penderita PPOM dapat melakukan

kegiatan fisik dalam batas tertentu seperti dalam keadaaan gas darah yang sama.2

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Gagal Nafas

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk

mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida

(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau

perfusi.2

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap

karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi

oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga

menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan

peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia).2

B. Etiologi Gagal Nafas

Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya

dan komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan

pada paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme

pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata.4

Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh

kelainan yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang

alveolar, intersisiel, dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis

dan fisiologis antara udara di alveolus dan darah di kapiler paru dapat

7
menyebabkan gagal nafas tipe hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain :

Penumonia bakterial, pneumonia viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli

paru, asma, dan penyakit paru intersisial. 4

Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh

kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan

yaitu dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain

kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi,

atau kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti

kifoskloiosis.4

C. Patofisologi Gagal Nafas

Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun

ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas

bawah, sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar.

Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat nafas, neuromuskular,

pleura maupun saluran nafas atas.5

Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang

sangat penting di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat

4 dasar mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :

1. Hipoventilasi.

2. Right to left shunting of blood.

3. Gangguan difusi.

4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.

8
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner

menyebabkan hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi

seluruh mekanisme tersebut.5

Secara umum gagal nafas dibedakan menjadi gagal nafas tipe

hiperkapnia dan gagal nafas tipe hipoksemia.

1. Gagal Nafas tipe hipoksemia

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah

arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler,

vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan

rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam

hemoglobin.

Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia berarti

penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari

penurunan penyampaian O2 ke jaringan.Hipoksia dapat pula terjadi akibat

penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung,

anemia, syok septik atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat

meningkat atau normal.6

a. Patofisologi Gagal Nafas Hipoksemia

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan

utama, yaitu berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh

campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang

bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen

selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di

9
arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen

yang sama dengan darah vena sistemik. PO 2 darah vena sistemik

(PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang

bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan

dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar

(PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada

diantara PVO2 dan PAO2.6

b. Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hipoksemia

Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari

gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan.Hipoksemia

arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus

karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya

hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan

mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk

merespon.Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu

maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia.Mungkin

didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga

didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan

bibir.Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan

keadaan perfusi pasien.6

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen

ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia

10
menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai

pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah

selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan

dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan

kompleks dan berpikir abstrak.Hipoksia yang lebih berat dapat

menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti

somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.

Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat.Sehingga menyebabkan

terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti

hipertensi.Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan

bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia

miokard, infark, aritmia dan gagal jantung.

Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada

gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien

dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi

akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada

hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik

yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial

ringan.6

11
2. Gagal Nafas Tipe Hiperkapnia

a. Patofisiologi Gagal Nafas Hiperkapnia

Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk

mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan

ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau

hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang abnormal. Kegagalan

ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan

ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan

extrapulmoner dapat disebabkan karena penekanan dorongan

pernapasan sentral atau gangguan pada respon ventilasi.5

Gagal nafas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi

elveolar. Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan

pH kurang dari 7,35. Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut

ventilation” berkurang secara tidak wajar atau bila tidak dapat

meningkat dalam usaha memberikan kompensasi bagi peningkatan

produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada

pertukaran gas (dead space).6

b. Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hiperkapnia

Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.

Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,

mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal

yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2.Karena CO2 berdifusi

12
secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara

cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.6

Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama

sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai

kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang

rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental. Gejala

hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia.

Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan

hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau

menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal

napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea

dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.6

D. Diagnosis Klinis Gagal Nafas

Diagnosis gagal napas dimulai jika ada gejala klinik yang muncul.

Gejala klinis pada gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan yaitu

takipneu, penggunaan otot pernapasan tambahan, restriksi intrakostal,

suprasternal dan supraklavikular. Gejala peningkatan tonus simpatis seperti

takikardi, hipertensi dan berkeringat. Gejala hipoksia yaitu perubahan status

mental misalnya bingung atau koma, bradikardi dan hipotensi. Gejala

desaturasi hemoglobin yaitu sianosis.

Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat nafas ditandai dengan

perubahan pola pernafasan dari normal antara lain sebagai berikut :3

13
a. Penurunan frekuensi pernafasan (Bradipneu) atau meningkat (Takipneu).

b. Adanya retraksi dinding dada.

c. Sesak nafas / dyspneu.

d. Sianosis (kebiruan), diakibatkan rendahnya kadar oksigen dalam darah.

e. Penggunaan otot bantu pernafasan.

f. Gerakan dinding asimetris.

g. Pernafsan paradoksal.

h. Retraksi dinding dada.

i. Suara nafas menurun atau hilang atau didapatkan suara tambahan seperti

stridor, rhonki, atau wheezing.

Untuk membedakan penyebab dari gagal nafas dapat diketahui dari

gejala gagal nafas antara lain :

Hipoksemia Hiperkapnia

Ansietas
Takikardia Somnolen
Takipneu Letargi
Diaforesis Koma
Aritmia Sakit kepala
Perubahan Status Mental Edema papil
Bingung Asteriks
Sianosis Agitasi
Kejang Tremor
Asidosis Laktat Bicara kacau

Tabel 1. Manifestasi Klinis Hiperkapnia dan Hipoksemia.

Dalam mementukan kondisi gagal nafas, indikator penting yang perlu

diketahui antara lain Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan 16-

20x/mnt. Jika frekuensi pernafasan > 35 kali/ mnt maka akan menimbulkan

14
kelelahan otot pernafasan yang pada akhirnya mengantarkan pada gagal nafas,

sehingga membutuhkan bantuan ventilator. Indikator yang kedua adalah

Kapasitas Vital menggunakan spirometer, Jika hasilnya kurang dari 10-20

ml/kg maka hal tersebut merupakan tanda gagal nafas.7

Untuk menunjang diagnosis pada kasus gagal nafas dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang antara lain dengan pengukuran gas darah pada arteri,

pengukuran saturasi oksigen menggunakan pulse oxymeter, dan pengukuran

PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap

untuk mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia

jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis

underlying disease (penyakit yang mendasarinya).7

E. Penatalaksanaan Gagal Nafas

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,

penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care

area) di rumah sakit.Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),

dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas

tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah:

membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan,

serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal

nafas tersebut.7

Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari

etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien,

15
yaitu menangani sebab gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada

ventilasi yang memadai dan jalan nafas yang bebas:

a. Perbaiki jalan napas (Air Way)

Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan

hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan

napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula

didorong ke depan (triple airway maneuver) atau dengan menggunakan

manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi

jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan

spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema

laring atau spasme bronkus, dan lain-lain.Mungkin juga diperlukan alat

pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.7

b. Terapi oksigen

Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya

untuk menaikkan PaO2 sampai normal.Pada terapi oksigen, besarnya

oksigen yang diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat

pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi

efek samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien.

Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus

rendah dan sistem arus tinggi.8

Alat Kateter Nasal 1-6 L/menit


Oksigen Konsentrasi : 24-44%
Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit

16
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi : 60-80%
Alat AMBU BAG 10 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 100%
Arus Tinggi Bag Mask + Jackson 10 L/menit
Rees Konsentrasi : 100%

c. Ventilasi Bantu

Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas

dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung

(mouth to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat

dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator

bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing),

yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau sungkup muka

yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan

inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan

ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur.

d. Ventilasi Kendali

Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan

ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator.

Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau

pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat

mengikuti irama ventilator.7

e. Terapi farmakologi

- Bronkodilator.

17
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus.

Merupakan terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada

penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas seperti edema paru,

ARDS, atau pneumonia.

- Agonis B adrenergik / simpatomimetik

Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot

polos bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan

ini memiliki efek samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi,

aritmia, dan hipokalemia. Lebih efektif digunakan dalam bentuk

inhalasi sehinga dosis yang lebih besar dan efek kerjanya lebih lama.

- Antikolinergik

Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada

derajat tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan

pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi,

dibandingkan dengan bronkitis kronik dimana tonus parasimpatis lebih

berperan. Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan

dengan agonis beta adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah

Ipatropium Bromida, tersedia dalam bentuk MDI (metered dose-

inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi

seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine.

- Teofilin

Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP

siklik, translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor

18
beta-adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi

takikardia, mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia

jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.

- Kortikosteroid

f. Pengobatan Spesifik

Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga

pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.

Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:5

- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat

saluran napas.

- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.

- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik.

F. Komplikasi dan Prognosis Gagal Nafas

Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat

mengancam jiwa. Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ

vital terutama otak dan jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh

karena itu penanganan yang cepat dan tepat pada kegawatan nafas sangat

diperlukan. 5,9

Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab

gagal nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan

penanganan, serta komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal

napas sangat tergantung dari etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta

19
penanganan yang cepat dan adekuat. Jika penyakit tersebut diterapi dengan

benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas berkembang dengan perlahan

maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan lebih memperberat

keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan

memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.10

BAB III

KESIMPULAN

Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel

tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan

20
menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas

hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.

Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal

napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding

thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien

dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi arteri adekuat,

sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease,

yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewi S. M. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Gagal Nafas Akut. Diakses pada


tanggal 4 Desember 2018. 2017

2. Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W.
Sudoyo (ed.) .Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing. 2009.

21
3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman
Diagnosis dan Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad RSHS.
2005.

4. Guyton,A.C. , dan John E. Hall. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C. Guyton


dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.Jakarta :
EGC. 2008.

5. Guyton,A.C, dan John E. Hall. Insufiensi Pernapasan-Patofisiologi,


Diagnosis, Terapi Oksigen. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E. Hall (ed.)
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.Jakarta : EGC. 2008.

6. Neema PK. Respiratory failure. Indian Journal of Anasthesia. 2003;47(5):360-


6.

7. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2018). Respiratory Failure Treatment and
Management. Diakses pada tanggal 9 November 2018 dari
https://emedicine.medscape.com/article/167981-treatment.

8. Ulaynah, Ana. Terapi Oksigen. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) .Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. 2009.

9. Latief, A. Said. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan


Terapi Intesif, Jakarta: FK UI. 2002

10. Gwinnutt, C. 2011. Catatan Kuliah : Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC.

22

Anda mungkin juga menyukai