Anda di halaman 1dari 25

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN September 2020

Gagal Pernapasan

DISUSUN OLEH:
Muhammad Asykur Musri C014191019
Andra Pratama Putra C014192056
Muh. Azhar Fawwaz Akbar C014191017
Nurul Utami Firdayanti C014191020
Residen Pembimbing:
dr.Devi
Supervisor Pembimbing:
DR.dr.Harun Iskandar,Sp.P(k),Sp.PD-KP

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN PULMONOLOGI DAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

2020 

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Muhammad Asykur Musri C014191019


Andra Pratama Putra C014192056
Muh. Azhar Fawwaz Akbar C014191017
Nurul Utami Firdayanti C014191020
Judul Referat : “Gagal Pernapasan”

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen


Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2020

Residen Pembimbing

dr.Devi

Supervisor Pembimbing

DR.dr.Harun Iskandar,Sp.P(k),Sp.PD-KP

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................5

2.1Anatomi dan Fisiologi Pernafasan.....................................................5

2.2Definisi...............................................................................................10

2.3Etiologi...............................................................................................10

2.4Patofisiologi.......................................................................................11

2.5Pemeriksaan Penunjang......................................................................18

2.6Penatalaksanaan.................................................................................19

2.7Komplikasi dan Prognosis..................................................................23

BAB III KESIMPULAN..................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan
lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen
(O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi
merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga
bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan
bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh.

Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan


pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan
normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak
dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan oksigenasi darah.
Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau
tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg.

Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yang utama menurut
sebabnya, yaitu gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas
hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.
Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut
waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik.

Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan
penanganan yang cepat dan tepat

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PERNAFASAN


Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina,
bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis,
bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat
Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus inferior.
Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo dextra terdapat
fissura horizontal yang membagi lobus superior dan lobus media, sedangkan fissura
oblique membagi lobus media dengan lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura
oblique yang membagi lobus superior dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura)
terbagi menjadi 2 yaitu parietalis (luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan
tersebut terdapat rongga pleura (cavum pleura). Kantong berdinding sangat tipis pada
bronkioli terminalis. Tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara
darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal,
septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan elastis halus.(1,2)
Sel epitel alveolus terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar
besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% ,
menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %,
menempati 5 % alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar,
bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin,
memilki badan berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar.
Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi.
Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa
(fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn.
Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar(.1,2)
1. Fisiologi ventilasi paru

5
Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru. Pergerakan udara
ke dalam dan keluar paru disebabkan oleh:
a) Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru dan
pleura dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O, yang
merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan paru agar tetap
terbuka sampai nilai istirahatnya. Kemudian selama inspirasi normal,
pengembangan rangka dada akan menarik paru ke arah luar dengan kekuatan
yang lebih besar dan menyebabkan tekanan menjadi lebih negatif (sekitar -7,5
cm H2O).
b) Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika glotis
terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar paru, maka
tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya sama dengan
tekanan atmosfer (tekanan acuan 0 dalam jalan nafas) yaitu tekanan 0 cm
H2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli harus sedikit di bawah tekanan
atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O) dapat menarik sekitar 0,5 liter
udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama ekspirasi, terjadi tekanan yang
berlawanan.
c) Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan pada
permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru yang
cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang disebut tekanan
daya lenting paru.(3)
2. Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan
Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
a) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat volunter
terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron motorik otot
pernafasan melalui jaras kortikospinal.
b) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan
otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari

6
sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di antara bagian lateral dan
ventral jaras kortikospinal.(4)

3. Pengaturan aktivitas pernafasan


Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri maupun penurunan
PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron pernafasan di medulla oblongata,
sedangkan perubahan ke arah yang berlawanan mengakibatkan efek inhibisi ringan.
Pengaruh perubahan kimia darah terhadap pernafasan berlangsung melalui
kemoreseptor pernafasan di glomus karotikum dan aortikum serta sekumpulan sel di
medulla oblongata maupun di lokasi lain yang peka terhadap perubahan kimiawi
dalam darah. Reseptor tersebut membangkitkan impuls yang merangsang pusat
pernafasan. Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan kimiawi, berbagai
aferen lain menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang memengaruhi pernafasan
pada keadaan tertentu. Untuk berbagai rangsang yang memengaruhi pusat pernafasan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini (4)
4. Pengendalian kimiawi pernafasan
Mekanisme pengaturan kimiawi akan menyesuaikan ventilasi sedemikian rupa
sehingga PCO2 alveoli pada keadaan normal dipertahankan tetap. Dampak kelebihan
H+ di dalam darah akan dilawan, dan PO2 akan ditingkatkan apabila terjadi
penurunan mencapai tingkat yang membayakan. Volume pernafasan semenit
berbanding lurus dengan laju metabolisme, tetapi penghubung antara metabolisme
dan ventilasi adalah CO2, bukan O2. Reseptor di glomus karotikum dan aortikum
terangsang oleh peningkatan PCO2 ataupun konsentrasi H+ darah arteri atau oleh
penurunan PO2. Setelah denervasi kemoreseptor karotikum, respons terhadap
penurunan PO2 akan hilang, efek utama hipoksia setelah denervasi glomus karotikum
adalah penekanan langsung pada pusat pernafasan. Respon terhadap perubahan
konsentrasi H+ darah arteri pada pH 7,3-7,5 juga dihilangkan, meskipun perubahan
yang lebih besar masih dapat menimbulkan efek. Sebaliknya, respons terhadap

7
perubahan PCO2 darah arteri hanya sedikit dipengaruhi,; dengan penurunan tidak
lebih dari 30-35%.(4)
a) Kemoreseptor dalam batang otak
Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya hiperventilasi pada
peningkatan PCO2 darah arteri setelah glomus karotikum dan aortikum
didenervasi terletak di medulla oblongata dan disebut kemoreseptor medulla
oblongata. Reseptor ini terpisah dari neuron respirasi baik dorsal maupun
ventral, dan terletak pada permukaan ventral medulla oblongata.(4)
Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam LCS, dan juga
cairan interstisiel otak. CO2 dengan mudah dapat menembus membran,
termasuk sawar darah otak, sedangkan H+ dan HCO3- lebih lambat
menembusnya. CO2 yang memasuki otak dan LCS segera dihidrasi. H2CO3
berdisosiasi, sehingga konsentrasi H+ lokal meningkat. Konsentrasi H+ pada
cairan interstitiel otak setara dengan PCO2 darah arteri.(4)
b) Respons pernafasan terhadap kekurangan oksigen
Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan meningkatkan volume
pernafasan semenit. Selama PO2 masih diatas 60 mmHg, perangsangan pada
pernafasan hanya ringan saja,dan perangsangan ventilasi yang kuat hanya
terjadi bila PO2 turun lebih rendah. Nsmun setiap penurunan PO2 arteri
dibawah 100 mmHg menghasilkan peningkatan lepas muatan dari
kemoreseptor karotikum dan aortikum. Pada individu normal, peningkatan
pelepasan impuls tersebut tidak menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2
turun lebih rendah dari 60 mmHg karena Hb adalah asam yang lebih lemah
bila dibandingkan dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri berkurang dan
hemoglobin kurang tersaturasi dengan O2, terjadi sedikit penurunan
konsentrasi H+ dalam darah arteri. Penurunan konsentrasi H+ cenderung
menghambat pernafasan. Di samping itu, setiap peningkatan ventilasi yang
terjadi, akan menurunkan PCO2 alveoli, dan hal inipun cenderung
menghambat pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek perangsangan

8
hipoksia pada pernafasan tidaklah nyata sebelum rangsang hipoksia cukup
kuat untuk melawan efek inhibisi yang disebabkan penurunan konsentrasi H+
dan PCO2 darah arteri.(4)
c) Pengaruh H+ pada respons CO2
Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan tampaknya bersifat
aditif dan saling berkaitan dengan kompleks, serta berceda halnya dari CO2
dan O2. Sekitar 40% respons ventilasi terhadap CO2 dihilangkan apabila
peningkatan H+ darah arteri yang dihasilkan oleh CO2 dicegah. 60% sisa
respons kemungkinan terjadi oleh pengaruh CO2 pada konsentrasi H+ cairan
spinal atau cairan interstitial otak.(4)
5. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu bergantung pada:
jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas dalam paru yang
adekuat, aliran darah menuju jaringan dan kapasitas darah untuk mengangkut
oksigen. Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi jalinan vaskular di dalam
jaringan serta curah jantung. Jumlah oksigen di dalam darah ditentukan oleh jumlah
oksigen yang larut, jumlah hemoglobin dalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen.(4)
Hemoglobin adalah protein yang dibentuk dari empat sub unit, masing-masing
mengandung gugus heme yang melekat pada sebuah rantai polipeptida. Heme adalah
kompleks yang dibentuk dari suatu porfirin dan satu atom besi fero. Masing-masing
dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi
tetap berada dalam bentuk fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu
reaksi oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Reaksi ini berlangsung cepat, membutuhkan
waktu kurang dari 0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi) Hb4O8 juga berlangsung
sangat cepat.(4)

9
Hb4 + O2 ↔ Hb4O2
Hb4O2 + O2 ↔ Hb4O4
Hb4O4 + O2 ↔ Hb4O6
Hb4O6 + O2 ↔ Hb4O8

2.2 DEFINISI GAGAL NAFAS

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh yang
sesuai dengan kebutuhan tubuh normal Pada gagal nafas, terjadi kegegalan sistem
pulmoner untuk memenuhi kebutuhan eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. (5)
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2
arterial (PaCO2) > 45 mmHg , kecuali apabila peningkatan PCO2 disebabkan oleh
kompensasi dari alkalosis metabolik. Secara umum gagal nafas dibedakan
menjadi gagal nafas tipe hiperkapnia dan gagal nafas tipe hipoksemia. (3)
Pasien dengan gagal nafas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial
(PaCO2) yang abnormal tinggi. (PaCO2 > 45 mmHg). Sedangkan pada gagal nafas
hipoksemia didapatkan PO2 arterial (PaO2) yang rendah (PaO2 < 60 mmHg)
dengan PaCO2 yang normal atau rendah. (3)

2.3 ETIOLOGI GAGAL NAFAS


Menurut Purwato (2009) penyebab gagal napas dapat digolongkan
sesuai kelainan primernya dan komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat
diakibatkan kelainan pada paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau
mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata.
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar,
intersisiel, dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis
antara udara di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal

10
nafas tipe hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial,
pneumonia viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit
paru intersisial.
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu
dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau
kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti
kifoskloiosis. (5)

2.4 PATOFISOLOGI GAGAL NAFAS


Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun
ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas
bawah, sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar.
Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat nafas, neuromuskular,
pleura maupun saluran nafas atas. (3)

Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat


penting di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar
mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan
hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh
mekanisme tersebut. (6)

11
1. Gagal Nafas tipe hipoksemia

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah


arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena
dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya
kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia berarti
penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan
penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan
penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik
atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.
(5)
a. Patofisologi Gagal Nafas Hipoksemia.

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan


utama, yaitu berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh
campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang
bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen
selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di
arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen
yang sama dengan darah vena sistemik. PO 2 darah vena sistemik (PVO2)
menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi
rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di
rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2)
menentukan batas atas PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2
dan PAO2.

 Penurunan PO2Alveolar

12
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O,
dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap
peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2.
Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang
menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R

FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan


barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan,
menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan
ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai
perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2
meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan
terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada
ketinggian, atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap
campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini
juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya
karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal
pada hipoksemia karena hipoventilasi.

 Pencampuran Vena (Venous Admixture)


Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang
mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar.
Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia

13
karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara
ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20
mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi
tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya
pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-
left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,
bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah
percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi
karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital
dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru
yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi
pirau kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat
dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2
jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO 2 > 0,6 untuk
mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat
O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka
dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.

 Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion


mismatching = V/Q mismatching)
Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi
ketidaksesuaian ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan
disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang
mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri.
Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang

14
dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area
tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi
berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.
Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi
relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal.
Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek
ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus
seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah
distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian
V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana
variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan
ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti
tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan
adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang
dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan.

 Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)


Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang.
Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal,
terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi
kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus.
Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu
cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk
mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi
akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga
difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler melambat atau jika
waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan
dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai
penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary

15
alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan
mengandung protein dan lipid.(5)
b. Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hipoksemia

Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari


gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia
arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus
karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi.
Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi
hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada
pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon
ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di
ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar
membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi
hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke


jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan
pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam
laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan
merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan
gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak.
Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental
yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak
hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga
menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik,
diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan
bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia
miokard, infark, aritmia dan gagal jantung.

16
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada
gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien
dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi akan
mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang
lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan
tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.(5)

2. Gagal Nafas Tipe Hiperkapnia


a. Patofisiologi Gagal Nafas Hiperkapnia

Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk


mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi
yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea)
disertai dengan penurunan pH yang abnormal. Kegagalan ventilasi
biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmoner.
Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat
disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan sentral atau
gangguan pada respon ventilasi.(5)

Gagal nafas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi


elveolar. Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan pH
kurang dari 7,35. Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut ventilation”
berkurang secara tidak wajar atau bila tidak dapat meningkat dalam
usaha memberikan kompensasi bagi peningkatan produksi CO2 atau
pembentukan rongga tidak berfungsi pada pertukaran gas (dead space)
(5)

b. Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hiperkapnia


Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf
pusat. Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,

17
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang
terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara
bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat
dan hebat karena hiperkapnia akut. (5)
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama
sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai
kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah
lebih berkorelasi dengan perubahan status mental . Gejala hiperkapnia
dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia
menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia
mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun,
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi,
dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat
berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea. (5)

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Analisa Gas Darah Arteri : Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk
menentukan adanya asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta untuk
mengetahui apakah klien mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik,
atau keduanya pada klien yang sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu,
pemeriksaan ini juga sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta
evaluasi kemajuan terapi atau pengobatan yang diberikan terhadap klien.(8)

2) Radiologi : Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta


fluoroskopi akan banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi,
pneumothoraks, efusi pleura, hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor
paru.(8)
3)  Pengukuran Fugnsi Paru : Penggunaan spirometer dapat membuat kita
mengetahui ada tidaknya gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal

18
atau FEV1 > 83% prediksi. Ada obstruksi bila FEV 1 < 70% dan FEV1/FVC
lebih rendah dari nilai normal. Jika FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau
lebih besar dari nilai normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.(8)
4) Elektrokardiogram (EKG) : Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada
EKG yang ditandai dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II,
III dan aVF, serta jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia
dan aritmia jantung sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
(8)
5) Pemeriksaan Sputum : Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan
kekentalan. Jika perlu lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman
penyebab. Jika dijumpai ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked),
kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB
paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah jambu dan berbuih (pink
frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang
mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan
tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.(8)

2.6 PENATALAKSANAAN GAGAL NAFAS

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas
tersebut.(3)
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari
etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien,

19
yaitu menangani sebab gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada
ventilasi yang memadai dan jalan nafas yang bebas. (3)
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan
hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan
napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan
mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver) atau dengan
menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil untuk
mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada
obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan
lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa
orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.(9)

b. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen
yang diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat
pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan,
potensi efek samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien.
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi. (9)
Alat Kateter Nasal 1-6 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 24-44%
Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi : 60-80%

20
Alat AMBU BAG 10 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 100%
Arus Tinggi Bag Mask + Jackson 10 L/menit
Rees Konsentrasi : 100%

Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada


yaitu tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu
pemberian, dan wasapada terhadap efek samping. (9)
c. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas
dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung
(mouth to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat
dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator
bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing),
yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau sungkup muka
yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan
inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan
ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur.
(7)
d. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan
ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator.
Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau
pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat
mengikuti irama ventilator. (7)
e. Terapi farmakologi
- Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus.
Merupakan terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada

21
penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas seperti edema
paru, ARDS, atau pneumonia. (7)
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot
polos bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi.
golongan ini memiliki efek samping antara lain tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Lebih efektif digunakan dalam
bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar dan efek kerjanya
lebih lama. (7)
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada
derajat tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan
pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan
inflamasi, dibandingkan dengan bronkitis kronik dimana tonus
parasimpatis lebih berperan.
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan
agonis beta adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah
Ipatropium Bromida, tersedia dalam bentuk MDI (metered dose-
inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi
seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine. (7)
- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP
siklik, translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi
reseptor beta-adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping
meliputi takikardia, mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara
lain aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan
kejang. (7)
- Kortikosteroid (7)
f. Pengobatan Spesifik

22
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak
menghambat saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.

- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik(7)

2.7 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS GAGAL NAFAS

Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat mengancam jiwa.
Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ vital terutama otak dan
jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh karena itu penanganan yang cepat
dan tepat pada kegawatan nafas sangat diperlukan.

Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal
nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta
komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari
etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika
penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas
berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan
lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan
memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.(7)

23
BAB III

KESIMPULAN

Sistem respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan


lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen
(O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi
merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga
bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan
bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh.

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area)
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.(3)

Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal
nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta
komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari
etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika
penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas
berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan
lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan
memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. Buku Ajar Histologi Ed. 5. Jakarta : EGC;
1996.
2. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran ed. 6. Jakarta: EGC;
2006.
3. Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C.
Guyton dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta : EGC. Pp
4. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 20. Jakarta: EGC; 2002.
5. Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. 2009. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru
W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing. pp. 219-226.
6. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman
Diagnosis dan Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad RSHS.
7. Gwinnutt, C. 2011. Catatan Kuliah : Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC.

8. Latief, A. Said. 2011. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan


Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
9. Ulaynah, Ana. 2010. Terapi Oksigen. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 161-165

25

Anda mungkin juga menyukai