Gagal Pernapasan
DISUSUN OLEH:
Muhammad Asykur Musri C014191019
Andra Pratama Putra C014192056
Muh. Azhar Fawwaz Akbar C014191017
Nurul Utami Firdayanti C014191020
Residen Pembimbing:
dr.Devi
Supervisor Pembimbing:
DR.dr.Harun Iskandar,Sp.P(k),Sp.PD-KP
2020
1
HALAMAN PENGESAHAN
Residen Pembimbing
dr.Devi
Supervisor Pembimbing
DR.dr.Harun Iskandar,Sp.P(k),Sp.PD-KP
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................4
2.2Definisi...............................................................................................10
2.3Etiologi...............................................................................................10
2.4Patofisiologi.......................................................................................11
2.5Pemeriksaan Penunjang......................................................................18
2.6Penatalaksanaan.................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................25
3
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan
lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen
(O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi
merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga
bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan
bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh.
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yang utama menurut
sebabnya, yaitu gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas
hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.
Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut
waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik.
Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan
penanganan yang cepat dan tepat
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru. Pergerakan udara
ke dalam dan keluar paru disebabkan oleh:
a) Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru dan
pleura dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O, yang
merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan paru agar tetap
terbuka sampai nilai istirahatnya. Kemudian selama inspirasi normal,
pengembangan rangka dada akan menarik paru ke arah luar dengan kekuatan
yang lebih besar dan menyebabkan tekanan menjadi lebih negatif (sekitar -7,5
cm H2O).
b) Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika glotis
terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar paru, maka
tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya sama dengan
tekanan atmosfer (tekanan acuan 0 dalam jalan nafas) yaitu tekanan 0 cm
H2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli harus sedikit di bawah tekanan
atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O) dapat menarik sekitar 0,5 liter
udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama ekspirasi, terjadi tekanan yang
berlawanan.
c) Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan pada
permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru yang
cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang disebut tekanan
daya lenting paru.(3)
2. Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan
Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
a) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat volunter
terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron motorik otot
pernafasan melalui jaras kortikospinal.
b) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan
otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari
6
sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di antara bagian lateral dan
ventral jaras kortikospinal.(4)
7
perubahan PCO2 darah arteri hanya sedikit dipengaruhi,; dengan penurunan tidak
lebih dari 30-35%.(4)
a) Kemoreseptor dalam batang otak
Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya hiperventilasi pada
peningkatan PCO2 darah arteri setelah glomus karotikum dan aortikum
didenervasi terletak di medulla oblongata dan disebut kemoreseptor medulla
oblongata. Reseptor ini terpisah dari neuron respirasi baik dorsal maupun
ventral, dan terletak pada permukaan ventral medulla oblongata.(4)
Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam LCS, dan juga
cairan interstisiel otak. CO2 dengan mudah dapat menembus membran,
termasuk sawar darah otak, sedangkan H+ dan HCO3- lebih lambat
menembusnya. CO2 yang memasuki otak dan LCS segera dihidrasi. H2CO3
berdisosiasi, sehingga konsentrasi H+ lokal meningkat. Konsentrasi H+ pada
cairan interstitiel otak setara dengan PCO2 darah arteri.(4)
b) Respons pernafasan terhadap kekurangan oksigen
Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan meningkatkan volume
pernafasan semenit. Selama PO2 masih diatas 60 mmHg, perangsangan pada
pernafasan hanya ringan saja,dan perangsangan ventilasi yang kuat hanya
terjadi bila PO2 turun lebih rendah. Nsmun setiap penurunan PO2 arteri
dibawah 100 mmHg menghasilkan peningkatan lepas muatan dari
kemoreseptor karotikum dan aortikum. Pada individu normal, peningkatan
pelepasan impuls tersebut tidak menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2
turun lebih rendah dari 60 mmHg karena Hb adalah asam yang lebih lemah
bila dibandingkan dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri berkurang dan
hemoglobin kurang tersaturasi dengan O2, terjadi sedikit penurunan
konsentrasi H+ dalam darah arteri. Penurunan konsentrasi H+ cenderung
menghambat pernafasan. Di samping itu, setiap peningkatan ventilasi yang
terjadi, akan menurunkan PCO2 alveoli, dan hal inipun cenderung
menghambat pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek perangsangan
8
hipoksia pada pernafasan tidaklah nyata sebelum rangsang hipoksia cukup
kuat untuk melawan efek inhibisi yang disebabkan penurunan konsentrasi H+
dan PCO2 darah arteri.(4)
c) Pengaruh H+ pada respons CO2
Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan tampaknya bersifat
aditif dan saling berkaitan dengan kompleks, serta berceda halnya dari CO2
dan O2. Sekitar 40% respons ventilasi terhadap CO2 dihilangkan apabila
peningkatan H+ darah arteri yang dihasilkan oleh CO2 dicegah. 60% sisa
respons kemungkinan terjadi oleh pengaruh CO2 pada konsentrasi H+ cairan
spinal atau cairan interstitial otak.(4)
5. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu bergantung pada:
jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas dalam paru yang
adekuat, aliran darah menuju jaringan dan kapasitas darah untuk mengangkut
oksigen. Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi jalinan vaskular di dalam
jaringan serta curah jantung. Jumlah oksigen di dalam darah ditentukan oleh jumlah
oksigen yang larut, jumlah hemoglobin dalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen.(4)
Hemoglobin adalah protein yang dibentuk dari empat sub unit, masing-masing
mengandung gugus heme yang melekat pada sebuah rantai polipeptida. Heme adalah
kompleks yang dibentuk dari suatu porfirin dan satu atom besi fero. Masing-masing
dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi
tetap berada dalam bentuk fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu
reaksi oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Reaksi ini berlangsung cepat, membutuhkan
waktu kurang dari 0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi) Hb4O8 juga berlangsung
sangat cepat.(4)
9
Hb4 + O2 ↔ Hb4O2
Hb4O2 + O2 ↔ Hb4O4
Hb4O4 + O2 ↔ Hb4O6
Hb4O6 + O2 ↔ Hb4O8
10
nafas tipe hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial,
pneumonia viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit
paru intersisial.
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu
dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau
kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti
kifoskloiosis. (5)
11
1. Gagal Nafas tipe hipoksemia
Penurunan PO2Alveolar
12
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O,
dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap
peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2.
Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang
menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
13
karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara
ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20
mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi
tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya
pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-
left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,
bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah
percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi
karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital
dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru
yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi
pirau kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat
dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2
jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO 2 > 0,6 untuk
mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat
O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka
dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.
14
dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area
tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi
berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.
Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi
relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal.
Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek
ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus
seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah
distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian
V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana
variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan
ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti
tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan
adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang
dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan.
15
alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan
mengandung protein dan lipid.(5)
b. Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hipoksemia
16
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada
gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien
dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi akan
mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang
lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan
tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.(5)
17
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang
terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara
bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat
dan hebat karena hiperkapnia akut. (5)
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama
sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai
kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah
lebih berkorelasi dengan perubahan status mental . Gejala hiperkapnia
dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia
menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia
mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun,
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi,
dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat
berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea. (5)
18
atau FEV1 > 83% prediksi. Ada obstruksi bila FEV 1 < 70% dan FEV1/FVC
lebih rendah dari nilai normal. Jika FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau
lebih besar dari nilai normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.(8)
4) Elektrokardiogram (EKG) : Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada
EKG yang ditandai dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II,
III dan aVF, serta jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia
dan aritmia jantung sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
(8)
5) Pemeriksaan Sputum : Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan
kekentalan. Jika perlu lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman
penyebab. Jika dijumpai ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked),
kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB
paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah jambu dan berbuih (pink
frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang
mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan
tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.(8)
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas
tersebut.(3)
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari
etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien,
19
yaitu menangani sebab gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada
ventilasi yang memadai dan jalan nafas yang bebas. (3)
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan
hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan
napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan
mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver) atau dengan
menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil untuk
mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada
obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan
lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa
orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.(9)
b. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen
yang diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat
pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan,
potensi efek samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien.
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi. (9)
Alat Kateter Nasal 1-6 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 24-44%
Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi : 60-80%
20
Alat AMBU BAG 10 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 100%
Arus Tinggi Bag Mask + Jackson 10 L/menit
Rees Konsentrasi : 100%
21
penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas seperti edema
paru, ARDS, atau pneumonia. (7)
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot
polos bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi.
golongan ini memiliki efek samping antara lain tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Lebih efektif digunakan dalam
bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar dan efek kerjanya
lebih lama. (7)
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada
derajat tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan
pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan
inflamasi, dibandingkan dengan bronkitis kronik dimana tonus
parasimpatis lebih berperan.
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan
agonis beta adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah
Ipatropium Bromida, tersedia dalam bentuk MDI (metered dose-
inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi
seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine. (7)
- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP
siklik, translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi
reseptor beta-adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping
meliputi takikardia, mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara
lain aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan
kejang. (7)
- Kortikosteroid (7)
f. Pengobatan Spesifik
22
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak
menghambat saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat mengancam jiwa.
Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ vital terutama otak dan
jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh karena itu penanganan yang cepat
dan tepat pada kegawatan nafas sangat diperlukan.
Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal
nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta
komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari
etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika
penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas
berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan
lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan
memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.(7)
23
BAB III
KESIMPULAN
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area)
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.(3)
Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal
nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta
komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari
etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat. Jika
penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal napas
berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini akan
lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi paru akan
memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. Buku Ajar Histologi Ed. 5. Jakarta : EGC;
1996.
2. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran ed. 6. Jakarta: EGC;
2006.
3. Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C.
Guyton dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta : EGC. Pp
4. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 20. Jakarta: EGC; 2002.
5. Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. 2009. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru
W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing. pp. 219-226.
6. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman
Diagnosis dan Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad RSHS.
7. Gwinnutt, C. 2011. Catatan Kuliah : Anestesi Klinis Edisi 3. Jakarta : EGC.
25