Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

GADAR KARDIOPULMONAL

“Manajemen Kegawatan Gagal Nafas Acut Respiratory Failure”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

DOSEN PEMBIMBING :

Dr.D.P.Era, Sp.KMB

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHAP

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2022


MAKALAH

GADAR KARDIOPULMONAL

“Manajemen Kegawatan Gagal Nafas Acut Respiratory Failure”

DISUSUN OLEH:

Annisa Syaputri (P07220219080)


Elysa Shabrina Nurviany (P07220219088)
Esa Rahmah Bonitasari (P07220219089)
Liga Etalia (P07220219100)
Lis Diana (P07220219101)
Miranda Alzena Sabella (P07220219102)
Nur Sajida (P07220219106)
Yuli Tri Hendrianto (P07220219121)

PROGRAM STUDI :

Profesi Ners – Tahap Sarjana Terapan Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR


PROGRAM STUDI PROFESI NERS TAHAP

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Gaawat Darurat
Kardiopulmonal mengenai “Manajemen Kegawatan Gagal Nafas Akut Respiratory
Failure” tepat pada waktunya.

Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan, begitu juga halnya
dengan kami. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, baik dari segi penulisan maupun isi. Kamipun menerima dengan lapang dada
kritikan maupun saran yang sifatnya membangun dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki diri.

Demikian makalah ini saya buat, mohon maaf bila ada salah penulisan ataupun hal
yang menyinggung dalam penulisan makalah ini. Semoga segala upaya kami dalam
membuat makalah ini bisa bermanfaat.

Terimakasih.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb

Samarinda, 26 Juli 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................1

A. Latar Belakang ....................................................................................................................1


B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
C. Tujuan ..................................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................3

A. Mengolah dan Menganalisis Data.........................................................................................3


B. Tujuan Analisis Data ............................................................................................................3
C. Tahapan Analisis Data...........................................................................................................5
D. Uji Hipotesis ....................................................................................................................5
E. Menentukan uji statistic........................................................................................................7
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................9

A. Kesimpulan ...........................................................................................................................9
B. Saran ...................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Terdapat 6 sistem
kegawatan salah satunya adalah gagal nafas yang menempati urutan pertama. Hal ini
dapat dimengerti karena apabila terjadi gagal nafas waktu yang tersedia terbatas
sehingga memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam bertindak. Untuk itu harus
dapat mengenal tanda-tanda dan gejala gagal nafas dan menanganinya dengan cepat
walaupun tanpa menggunakan alat yang canggih.
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah
gagal nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan fungsional paru
yang normal sebelum awitan penyakit muncul. Sedangkan gagal nafas kronis adalah
gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronis seperti bronkitis
kronis,emfisema. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap.
Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada,
otot pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata.
Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas, disfungsi dari
jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transport oksigen hemoglobin dan disfungsi
kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal nafas. Gagal nafas penyebab
terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas
atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernafasan terletak di bawah batang
otak(pons dan medulla).
Gagal nafas merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas
darah(AGD), gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran gas
yang nyata dalam bentuk kegagalan oksigenasi( hipoksemia) atau kegagalan dalam
pengeluaran CO2 (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua
fungsi tersebut
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis ingin membahas mengenai:
1. Apa saja patofisiologi gagal napas akut?
2. Apa saja manifestasi klinis gagal napas akut?
3. Apa saja diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada gagal napas akut?
4. Bagaimana tindakan keperawatan pada gagal napas akut?
III. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari makalah ini, yaitu:
1. Memahami patofisiologi gagal napas akut
2. Memahami manifestasi klinis gagal napas akut
3. Mengetahui diagnose keperawatan gagal napas akut
4. Memahami tindakan keperawatan pada gagal napas akut
BAB II

PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR GAGAL NAPAS


A. Definisi Gagal Napas
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup
masuk dari paru-paru kedalam darah. Kegagalan pernapasam juga bisa terjadi jika
paru-paru tidak dapat membuang karbon dioksida dari darah. Keadaan ini
disebebkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang tidak adekuat
sehingga tidak dapat mempertahankan pH,pO2, dan pCO2, darah arteri dalam
batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai hiperkapnia
(Arifputera, 2014).
Gagal napas akut adalah ketidakpmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. Kriteria kadar gas darah arteri
untuk gagal respirasi tidak mutlak bisa ditentukan dengan mengetahui PO2
kurang dari 60 mmHg dan PCO2 diatas 50 mmHg. Gagal napas akut terjadi
dalam berbagai gangguan baik pulmoner maupun nonpulmoner.
Gagal napas akut didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mengancam
kehidupan akibat tidak adekuatnya pengambilan O2 dan pengeluaran CO2(Ida
Bagus N.R, 1999).
Gagal napas akut didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (atau tegangan PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang atau
dengan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar
dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaaan laut saat menghirup udara
ruangan (Lorraine M. W, 2006).
Gagal napas akut adalah ketidakmampuan system pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh normal (Zulkifli Amin dan Johanes Purwanto, 2002).
Gagal napas akut adalah kegagalan pernapasan/napas terhenti yang
ditunjukkan pada pasien dimana struktur dan fungsi paru-paru pada awalnya biasa
saja dalam keadaan normal sebelum timbulnya penyakit.(L. Man Somantri, 2008)
Gagal napas akut adalah gagal napas yang timbul pada pasien yang parunya
normal secara structural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
(Brunner & Suddarth, 2001)

B. Etiologi Gagal Napas Akut


Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit adalah
sebagai berikut:
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dan Asma
Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran napas ,
fibrolis, destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar yang kontak
langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun, membuat
terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).
2. Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu reaksi
inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area permukaan
alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun
membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).
3. TB Pulmonal
Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan terjadi
peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membran alveolokapiler,
sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu (Raina et al. ,2013).
4. Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat ventilasi dan
perfusi tidak adekuat (American Association for Respiratory Care, American
Lung Association, 2009).
5. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika tekanan
intrapleural melebihi tekanan atmosfi. Pada respirasi normal, ruang pleuara
memiliki tekanan negatif. Saat dinding dada mengembang ke luar,
ketegangan permukaan antara pleura parietl dan viseral menyebabkan paru-
paru megembang keluar. Penumpukan tekanan didalam ruang pleura pada
akhirny menyebabkan hipoksemia dan gagal napas akibat kompresi paru-
paru (BJMBest Practice, 2017).
6. Efusi pleura
7. Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea yang dikarenakakan penurunan
compliance dinding dada sehingga pertukaran udara tidak adekuat (Stevan
A.Shan, 2012).

C. Patofisiologi Gagal Napas Akut


Gagal napas akut merupakan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi paru
yang menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi karbon dioksida dan
gangguan pembuangan karbon dioksida yang menyebabkan hiperkapnia ( Lamba,
2016 ).
Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setalah gagal napas akut biasanya paru-paru kembali
ke asalnya. Pada gagal napas kronik struktur paru alami kerusakan yang
irreversibel. Indikator gagal napas frekuensi pernapasan dan kapasitas vital,
frekuensi perenapasan normal ialah 16-20 x/menit. Bila lebih dari 20 x/menit
tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “ kerja pernapasan “
menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan .Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi
( normal 10-20 ml/kg ). Gagal napas penyebab terpenting adalah ventilasi yang
tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan napas atas. Pusat pernapasan yang
mengendalikan pernpasan terletak dibawah batang otak ( pons dan medulla ).
Sesuai dengan patofisiologisnya gagal napas akut dapat dibedakan kedalam
2 bentuk yaitu : hiperkapnia atau kegagalan ventilasi dan hipoksemia atau
kegagalan oksigenasi. Gagal napas pada umumnya disebabkan oleh kegagalan
ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2. Disertai dengan penurunan pH yang
abnormal, penurunan PaO2, dengan nilai perbedaan tekanan O2 di alveoli-arteri
( A-a) DO2 meningkat atau normal.
Kegagalan napas akut dibedakan menjadi 2 yaitu kegagalan pernapasan tipe
I dan kegagalan penapsan tipe II .
1. Kegagalan pernapasan tipe I
Kegagalan pernapasan tipe I dapat diakibatkan oleh fraksi oksigen
terinspirasi yang rendah biasanya terjadi kegagalan oksigenasi atau
hipoksemia arteri ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri rendah.
Hipoventilasi alveolar dapat menyebabkan hipoksia pada pasien dengan
paru-paru normal hanya pada kondisi hipoventilasi berat. Akan tetapi untuk
setiap kenaikan unit PaCO2 , PaO2 akan turun dengan jumlah konstan.
Selain akibat hipoventilasi, gangguan difusi juga dapat menyebabkan gagal
napas tipe I. Pertukaran gas yang efisien tergantung [ada interface antara
alveoli dan aliran darah. Penyakit yang mempengaruhi interface ini
menyebabkan gangguan difusi. Semakin besar kelarutan gas, semakin sedikit
yang mengalami defisit difusi.
Hubungan ventilasi dengan perfusi paru yang baik menghasilkan
pertukaran O2 optimal antara alveoli dan darah. Hipoksemia dapat terjadi
bila terjadi ketidakseimbangan ventilasi alveolar dan perusi paru ( V / Q
mismatch ). V / Q mismatch adalah penyebab hipoksia yang paling umum
pada pasien yang sakit kritis, dan mungkin disebabkan oleh ateletasis, emboli
paru, intubasi endobronkial, posisi pasien, bronkospasm, tersumbatnya aluran
udara, pneumonia, ARDS. Jika terdapat atelektasis, tekanan ekspirasi akhir
yang positi ( PEEP ) akan meningkatkan PaO2.
2. Kegagalan pernapasan tipe II
Kegagalan pernapsan tipe II dapat disebabkan oleh kelainan pada
penggerak pernapasan sentral. Berkurangnya pergerakan napas dari sentral
akan mengurangi ventilasi per menit. Hal ini merupakan akibat dari efek obat
penenang dan dapat diperparah oleh interaksi obat yang sinergis,
metabolisme obat yang berubah ( gagal hati / ginjal ), overdosis obat yang
disengaja. Faktor-faktor yang menekan pusat pernapasan juga cenderung
menekan fungsi serebral secara keseluruhan, yang menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran, ketidakmampuan untuk melindungi saluran pernapasan
dan risiko penyumbatan pernapasan dan aspirasi paru.
Kelainan dinding dada (misalnya Kyphoscoliosis) menganggu
mekanisme ventilasi yang menyebablan pasien mengalami resiko gagal
napas. Pasien dengan tulang rusuk retak atau patah akan mengalami
hipoventilasi jika tidak diberi analgesi yang memadai. Ini bersamaan dengan
berkurangnya kemampuan batuk kerena rasa sakit, akan menyebabkan
retensi dahak atau sekret dan menjadi faktor predisposisi pada pneumonia.
Hal ini diperburuk jika dnding dada tidak stabil karena segmen flail atau
kontusi paru yang mendasarinya. Pneumotoraks, hemotoraks dan efusi pleura
dengan ukuran yang cukup dapat menyebabkan kegagalan ventilasi dan
oksigenasi.
Penyakit parenkim paru-paru dan penyakit saluran napas obstruktif
kronis ( PPOK) menyebabkan gagal napas tipe I. Hal ini dapat berlanjut
menjadi kegagalan pernapasan tipe II saat pasien memburuk, menyebabkan
kegagalan pernapasan campuran. Meningkatnya dead space akan megurangi
ventilasi alveolar per menit yang efektif. Penyakit yang terkait dengan
peningkatan dead space (misalnya emfisema, pulmonary embolus) dapat
menyebabkan hiperkapnia, namun biasanya terjadi peningkatan kompensasi
pada ventilasi permenit.
Demam, peningkatan kerja pernapasan ( mis, kerena penyesuaian paru-
paru yang buruk atau hambatan saluran udara yang tinggi ), atau asupan
karbohidrat yang berlebihan akan meningkatkan PaCO2 selama ventilasi
tertentu dan dapat memperburuk kegagalan pernapasan hypercapnic.

D. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis campuran hipoksemia arteri dan hipoksemia jaringan:
a. Dispneu ( takpineu, hipeventilasi )
b. Perubahan status mental , cemas, bingung, kejang
c. Asidosis laktat diakibatkan kerena penumpukan laktat yang terlalu
banyak dalam tubuh akibat terlalu banyak mengonsumsi alkohol
d. Pernapasan cepat dan dangkal
e. Sianosis distal dan sentral ( mukosa, bibir )
f. Peningkatan simpatis, takikardia yang menandakan upaya jantung untuk
memberikan lebih banyak lagi oksigen kepada sel dan organ vital ,
diaforesis
g. Peningkatakn hipertensi paru mengacu pada tekanan darah tinggi
dipembuluh darah yang membawa darah keparu-aru. Tekanan darah
dibagian lain dari tubuh normal atau kadang-kadang bahkan rendah.
Kondisi ini mungkin disebabkan oleh hal-hal seperti kondisi paru-paru
( misalnya emfisema, bronkitis kronis )
h. Hipotensi, brakikardia, iskemik miokard, infark, anemia, hingga gagal
janutng dapat terjadi pada hipoksia berat (Arifputera 2014)
2. Manifestasi klinis hiperkapnia
a. Bila kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan PO2
alveolus dari arteri turun yang disebabkan oleh gangguan di dinding
dada, otot pernapasan, atau batang otak yang ditandai dengan penurunan
kesadaran , gelisah, dipsneu ( takipneu, bradipneu ), tremor, bicara
kacau, sakit kepala, dan papil edema.

II. ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG AKUT


A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa
2. Keluhan Utama
Klien sering mengeluh nyeri dada tiba-tiba disertai sesak napas
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien merasa lemah, nyeri dada, nyeri kepala, lesu, gelisah, bingung
4. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Apakah ada riwayat gagal napas akut sebelumnya, pneumonia, efusi pleura,
riwayat merokok
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada diantara keluarga klien yang mengalami penyakit yang sama
dengan penyakit yang dialami klien
6. Data Dasar Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : - Keletihan, kelelahan, malaise
- Dispnea
- Ketidakmampuan untuk tidur
Tanda : - Gelisah, insomnia
- Penurunan toleransi terhadap aktivitas
b. Sirkulasi
Tanda : - Takikardia
- Peningkatan TD
- Peningkatan frekuensi jantung
- Pucat dapat menunjukkan anemia
c. Integritas Ego
Gejala : - perubahan pola hidup
- peningkatan factor resiko
Tanda : - Ketakutan, gelisah
- Ansietas
d. Makanan/cairan
Gejala : - Kehilangan nafsu makan,
- mual/muntah
Tanda : - Berkeringat
e. Neurosensori
Gejala : - Kehilangan kesadaran sementara
- Sakit kepala daerah frontal
Tanda : - Perubahan mental (bingung, somnolen)
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : - Sakit kepala/nyeri dada
Tanda : - Berhati-hati pada daerah yang sakit
- perilaku distraksi
- mengkerutkan wajah
g. Pernapasan
Gejala : - Kesulitan bernapas
Tanda : - peningkatan frekuensi/takipnea
- peningkatan kerja napas
- penggunaan otot aksesori pernapasan
h. Keamanan
Gejala : - adanya trauma dada
Tanda : - berkeringat, gemetar
i. Pembelajaran/penyuluhan
Gejala : - penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan
- kesulitan menghentikan rokok
Rencana Pemulangan : - Kebutuhan dalam perawatan diri
- Oksigen diperlukan bila ada kondisi pencetus
j. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2< 80 mmHg
Sedang : PaO2< 60 mmHg
Berat : PaCO2< 40 mmHg
2. Pemeriksaaan gas-gas darah arteri
Hiperkapnia
PO2 menurun (< 60 mmHg), PCO2 meningkat (> 50 mmHg), pH <
7,35
3. Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dan kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui
4. EKG
Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan
5. Pemeriksaan Radiologi
Infiltrate kedua paru

k. Prioritas Keperawatan
 Mempertahankan/meningkatkan respirasi
 Mencegah komplikasi
 Memberikan informasi tentang proses/prognosis dalam pengobatan
yang diberikan.
 Mendukung control aktif klien terhadap kondisi kesehatannya.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Bersihan jalan napas tidak efektif B.d benda asing dalam jalan napas
2. Gangguan pertukaran gas B.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
3. Pola napas tidak efektif B.d penurunan ekspansi paru dan depresi pusat
pernapasan
4. Nyeri akut B.d sakit kepala dan produksi asam laktat
5. Perfusi perifer tidak efektif B.d menurunnya suplai O2 dalam darah
6. Ansietas B.d ancaman kematian/ketergantungan pada dukungan ventilator
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Rencana keperawatan


Keperawatan/ Tujuan dan Kriteria Intervensi
Masalah Kolaborasi Hasil
Bersihan Jalan Napas Bersihan Jalan Napas Pemantauan respirasi (I.01014):
Tidak Efektif (D.0001) (L.01001) Setelah dilakukan 1. Observasi
tindakan keperawatan 3 x 24 - Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
jam diharapkan Bersihan Jalan - Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
Nafas Membaik dengan hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik
kriteria hasil - Monitor kemampuan batuk efektif
1. Dyspnea menurun - Monitor adanya produksi sputum
2. Gelisah menurun - Monitor adanya sumbatan jalan napas
3. Frekuensi nafas membaik - Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
4. Pola Nafas Membaik - Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
- Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Gangguan Pertukaran Pertukaran Gas (L.01003) Terapi Oksigen (I.01026)


Gas (D.0003) Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
keperawatan 3 x 24 jam - Monitor kecepatan aliran oksigen
diharapkan Pertukaran Gas - Monitor posisi alat terapi oksigen
Meningkat dengan kriteria - Monitor aliran oksigen secara periodic dan pastikan fraksi yang
hasil : diberikan cukup
1. Dispnea menurun - Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. oksimetri, analisa gas darah ),
2. Bunyi nafas tambahan jika perlu
menurun - Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
3. PCO2 membaik - Monitor tanda-tanda hipoventilasi
4. PO2 membaik - Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelectasis
5. Takikardi - Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
6. PH arteri membaik - Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
2. Terapeutik
- Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trachea, jika perlu
- Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Berikan oksigen tambahan, jika perlu
- Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
- Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengat tingkat mobilisasi
pasien
3. Edukasi
- Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah
4. Kolaborasi
- Kolaborasi penentuan dosis oksigen
- Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur
Pola Nafas tidak efektif Pola napas (L.01004): Menejemen Jalan Napas (I. 01011)
(D.0005) Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
- keperawatan selama 3x24 jam - Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
pasien menunjukkan - Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
keefektifan pola nafas, ronkhi kering)
dibuktikan dengan kriteria - Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
hasil: 2. Terapeutik
1. Dispnea menurun - Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
2. Penggunaan otot bantu thrust jika curiga trauma cervical)
napas menurun - Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Pemajangan fase ekspresi - Berikan minum hangat
4. Frekuensi napas membaik - Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Kedalaman napas - Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
membaik - Lakukan hiperoksigenasi sebelum
- Penghisapan endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
- Berikan oksigen, jika perlu

Nyeri akut (D.0077) Tingkat nyeri (L.08066) : Manajemen nyeri (I. 08238) :
Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
keperawatan selama 3x24 jam - lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Pasien tingkat nyeri menurun - Identifikasi skala nyeri
dengan kriteria hasil: - Identifikasi respon nyeri non verbal
1. Keluhan nyeri menurun - Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
2. Ekspresi meringis - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
menurun - Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
3. Sikap protektif menurun - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
4. Tampak gelisah menurun - Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
5. Kesulitan tidur menurun - Monitor efek samping penggunaan analgetik
2. Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
- Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Perfusi jaringan tidak Perfusi perifer (L.02011): Perawatan sirkulasi (I.02079)


efektif (D.0009) Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
keperawatan selama 3x24 jam - Periksa sirkulasi perifer(mis:nadi perifer,edema,pengisian kapiler,
perfusi perifer pasien warna,suhu)
meningkat dengan kriteria 2. Terapeutik
hasil: - Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
1. Warna kulit pucat - Lakukan hidrasi
menurun 3. Edukasi
2. Edema perifer menurun - Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah, antikoagulan,
3. Kelemahan otot menurun dan penurun kolestrol, jika perlu
4. Pengisisan membaik - Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan.

Ansietas (D.0080) Tingkat ansietas (L.09093) Terapi reduksi (I.09314)


setelah dilakukan tindakan 1. Observasi
keperawatan diharapkan - Identifikasi saat tingkatansietas berubah
tingkat ansietas menurun 2. Terapeutik
dengan Kriterian hasil : - Pahami situasi yang membuat ansietas
1. Pasien mengatakan telah - Dengarkan dengan penuh perhatian
memahami penyakitnya - Gunakan pendekatan yang teang dan meyakinkan
2. Pasien tampak tenang 3. Edukasi
3. Pasien dapat beristirahat - Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan,
dengan nyaman dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap menemani pasien, jika
perlu
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
4. Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat anti ansietas, jika perlu
D. Implementasi
Sesuai dengan intervensi
E. Evaluasi
1. Bersihan jalan napas teratasi
2. Gangguan pertukaran gas teratasi
3. Pola napas tidak efektif teratasi
4. Nyeri akut teratasi
5. Perfusi perifer tidak efektif teratasi
6. Anxietas teratasi

III. AIRWAY MANAGEMENT


A. Pengertian Airway Management
Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran
pernapasan dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi jaringan (American Society of
Anesthesiologists, 2013).
Menurut Bingham (2008), airway management adalah prosedur medis yang
dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas
terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan
membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh
lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh sendiri, seperti
darah dan cairan lambung yang teraspirasi.
B. Teknik Pengelolaan Jalan Nafas/Manajemen Airway
Manajemen airway/jalan napas merupakan salah satu ketrampilan khusus
yang harus dimiliki oleh dokter atau petugas kesehatan yang bekerja di Unit
Gawat Darurat. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian, mempertahankan
dan melindungi jalan napas dengan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang
efektif.
1. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Mengeluarkan benda asing dari jalan
nafas
- Teknik Mengeluarkan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Sadar
a. Manuver Heimlich/Abdominal Thrust (hentakan pada perut), langkah–
langkah sebagai berikut:
1) Langkah 1
- Memastikan pasien/korban tersedak, tanyakan” apakah anda
tersedak ?”
- Jika pasien/korban mengiyakan dengan bersuara dan masih
dapat bernafas serta dapat batuk, mintalah pasien/korban batuk
sekeras mungkin agar benda asing dapat keluar dari jalan napas
- Bila jalan napas pasien/korban tersumbat, dia tidak dapat
berbicara, bernapas, maupun batuk dan wajah pasien/korban
kebiruan (sumbatan total). Penolong harus segera melakukan
langkah berikutnya.
2) Langkah 2
- Bila pasien/korban berdiri penolong berdiri di belakang
pasien/korban, bila pasien/korban duduk penolong berlutut dan
berada di belakang pasien/korban.
- Letakkan satu kaki di antara kedua tungkai pasien/korban

Gambar 1. Abdominal Thrust


3) Langkah 3
- Lingkarkan lengan anda pada perut pasien/korban dan cari
pusar
- Letakkan 2 jari di atas pusar
- Kepalkan tangan yang lain
- Tempatkan sisi ibu jari kepalan tangan pada dinding abdomen
di atas dua jari tadi
- Minta pasien/korban membungkuk dan genggam kepalan
tangan anda dengan tangan yang lain
- Lakukan hentakan ke arah dalam dan atas (sebanyak 5 kali )
- Periksa bilamana benda asing keluar setiap 5 kali hentakan
- Ulangi abdominal thrust sampai benda asing keluar atau
pasien/korbantidak sadar
b. Chest Thrust (Hentakan Dada)
Langkahnya sama dengan Manuver Heimlich bedanya pada
peletakan sisi ibu jari kepalan tangan pada pertengahan tulang dada
pasien/korban dan hentakan dilakukan hanya ke arah dalam serta posisi
kepala pasien/korban menyandar di bahu penolong.

- Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Pasien Dewasa


Tidak Sadar
a. Langkah 1
Posisikan pasien/korban terlentang di alas yang datar dan keras.
b. Langkah 2
1) Buka jalan napas pasien/korban dengan head tilt-chin lift
2) Periksa mulut pasien/korban untuk melihat bilamana tampak
benda asing.
3) Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat
dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu
jari dan jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan
bawah. Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu
dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah
faring atau adanya henti nafas (apnea)

Gambar 2. Cross Finger


4) Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam
rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari
(finger sweep)
c. Langkah 3
- Evaluasi pernapasan pasien/korban dengan melihat, mendengar
dan merasakan
- Bila tidak ada napas, lakukan ventilasi
- Bila jalan napas tersumbat, reposisi kepala dan lakukan ventilasi
ulang
d. Langkah 4
Bila jalan napas tetap tersumbat, lakukan 30 kompresi dada (posisi
tangan untuk kompresi dada sama dengan RJP dewasa)
e. Langkah 5
Ulangi langkah 2-4 sampai ventilasi berhasil (ventilasi berhasil bila
terjadi pengembangan dinding dada)
f. Langkah 6
- Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi ketika jalan napas bebas
- Jika nadi tidak teraba, perlakukan sebagai henti jantung,
lanjutkan RJP 30:2
- Jika nadi teraba, periksa pernapasan
- Jika tidak ada napas, lakukan bantuan napas 10-12x/menit (satu
tiupan tiap 5-6 detik) dengan hitungan satu ribu, dua ribu, tiga
ribu, empat ribu, tiup. Ulangi sampai 12 kali.
- Jika nadi dan napas ada, letakkan pasien/korban pada posisi
recovery
- Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan tiap beberapa
menit
2. Pengelolaan Jalan Napas Secara Manual
Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas
yang terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam
kasus ini lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian
faring. Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau
selipkan papan kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah
akan menyumbat faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan
epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar.
Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan
lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung
menghadap keatas dan epiglotis terbuka, sniffing position, posisi hitup.
b. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong
kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah
melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas
terbuka.
Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat
untuk melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien
trauma/multipel trauma.

Gambar 3. Teknik Head Tilt-Chin Lift Gambar 4. Teknik Jaw Thrust

Gambar 5. Teknik Jaw Thrust


Gambar 6. Proteksi Servical Pain
3. Pengelolaan Jalan Napas Dengan Alat Sederhana
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang tidak
sadar atau dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang
kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust
merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway)
dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya
aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior. Pasien yang
sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada
saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intact.

Gambar 7. Oropharyngeal Airway dan Nasopharyngeal Airway


a. Oropharyngeal Airway (OPA)
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100
mm/Guedel no 5).
Alat bantu napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar
bila angkat kepala-dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas
terbuka. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah
sadar karena dapat menyebabkan batuk dan muntah. Jadi pada pasien
yang masih ada refleks batuk atau muntah tidak diindikasikan untuk
pemasangan OPA.

Gambar 8. Pemasangan OPA

Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien.


Jagalah agar kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk
menjaga patensi jalan napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam
mulut dan faring bila ada sekret, darah atau muntahan.

Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :

- Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
- Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
- Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma
jaringan lunak pada bibir dan lidah.
b. Nasopharyngeal Airway (NPA)
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara
lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari
oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak
boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan
adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan
fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal
airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal
airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan
anestesi ringan.

Gambar 9. Pemasangan Nasofaringeal Airway

4. Pengelolaan Jalan Napas Dengan Alat Lanjutan


a. Face Mask Desain dan Teknik
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen dari
sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat
(gambar 11). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka
pasien. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas
ekspirasi dan muntahan.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face
mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak
tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya
ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask.
Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan
dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas.
Gambar 10. Face Mask Dewasa Gambar 11. Teknik
memegang fase mask
dengan satu tangan

Gambar 12. Difficult airway dapat diatasi dengan teknik memegang


dengan dua tangan

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan


jaw thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan
seorang asisten untuk memompa bag (gambar 12).

b. Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan
kesulitan jalan nafas. LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain
face mask atau TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan
kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh
(misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah
(misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan
inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Walaupun LMA tidak
sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat
membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang
tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk
memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%).

Gambar 13. Pemasangan LMA

c. Intubasi dengan Endotrakeal Tube (ETT)


ETT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang
lentur, spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking
dipakai pada operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi
telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi kinking akibat tekanan yang
ekstrim (contoh pasien bangun dan menggigit pipa), lumen pipa akan
tetutup dan pipa TT harus diganti.

Gambar 14. Endotrakeal Tube


d. Combitube
Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2
pipa, masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya.
Meskipun pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai pilihan untuk
penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac
Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih
suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan
nafas yang sulit.

Gambar 15. Pemasangan Combitube

5. Pengelolaan Jalan Napas Dengan Penghisapan Benda Cair (Suctioning)


Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan
dengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin)
6. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi
Metode bedah untuk manajemen jalan napas mengandalkan membuat
sayatan bedah dibuat di bawah glotis untuk mencapai akses langsung ke
saluran pernapasan bagian bawah, melewati saluran pernapasan bagian atas.
Manajemen jalan napas bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam
kasus di mana Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau
kontraindikasi. Manajemen jalan napas bedah juga digunakan ketika
seseorang akan membutuhkan ventilator mekanik untuk jangka waktu lama.
Metode bedah untuk manajemen jalan napas termasuk cricothyrotomy
dan trakeostomi. Cricothyrotomy adalah sayatan dilakukan melalui kulit dan
membran krikotiroid untuk membangun jalan napas paten selama situasi
yang mengancam jiwa tertentu, seperti obstruksi jalan napas oleh benda
asing, angioedema, atau trauma wajah besar. Cricothyrotomy hampir selalu
dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan
intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi. Cricothyrotomy lebih
mudah dan lebih cepat untuk dilakukan daripada tracheostomy, tidak
memerlukan manipulasi tulang belakang leher dan berhubungan dengan
komplikasi yang lebih sedikit.
Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari kulit leher ke
trakea. Sebuah tracheostomy di mana seseorang akan perlu berada di
ventilator mekanik untuk jangka waktu lama. Keuntungan dari tracheostomy
termasuk risiko kurang dari infeksi dan kerusakan trakea seperti trakea
stenosis.
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Gagal napas akut didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan bila tekanan
parsial oksigen arteri (atau tegangan PaO2) 50 sampai 60 mmHg atau kurang atau
dengan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar
dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaaan laut saat menghirup udara
ruangan.
Gagal napas akut merupakan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi paru yang
menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi karbon dioksida dan gangguan
pembuangan karbon dioksida yang menyebabkan hiperkapnia.
Manifestasi klinis campuran hipoksemia arteri dan hipoksemia jaringan;
Dispneu ( takpineu, hipeventilasi ), Perubahan status mental , cemas, bingung, kejang,
Asidosis laktat diakibatkan kerena penumpukan laktat yang terlalu banyak dalam
tubuh akibat terlalu banyak mengonsumsi alkohol, Pernapasan cepat dan dangkal ,
Sianosis distal dan sentral ( mukosa, bibir ), Peningkatan simpatis, takikardia yang
menandakan upaya jantung untuk memberikan lebih banyak lagi oksigen kepada sel
dan organ vital , diaforesis, Peningkatakn hipertensi paru mengacu pada tekanan
darah tinggi dipembuluh darah yang membawa darah keparu-aru. Tekanan darah
dibagian lain dari tubuh normal atau kadang-kadang bahkan rendah. Kondisi ini
mungkin disebabkan oleh hal-hal seperti kondisi paru-paru ( misalnya emfisema,
bronkitis kronis ), Hipotensi, brakikardia, iskemik miokard, infark, anemia, hingga
gagal janutng dapat terjadi pada hipoksia berat (Arifputera 2014),
Manifestasi klinis hiperkapnia Bila kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam
alveolus menyebabkan PO2 alveolus dari arteri turun yang disebabkan oleh gangguan
di dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak yang ditandai dengan penurunan
kesadaran , gelisah, dipsneu ( takipneu, bradipneu ), tremor, bicara kacau, sakit
kepala, dan papil edema.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu; Bersihan jalan napas tidak
efektif B.d benda asing dalam jalan napas, Gangguan pertukaran gas B.d
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, Pola napas tidak efektif B.d penurunan ekspansi
paru dan depresi pusat pernapasan, Nyeri akut B.d sakit kepala dan produksi asam
laktat, Perfusi perifer tidak efektif B.d menurunnya suplai O2 dalam darah, Ansietas
B.d ancaman kematian/ketergantungan pada dukungan ventilator
II. SARAN
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga diharapkan kepada pembaca
untuk selalu mengembangkan materi yang telah dibuat penulis dan menambahkan
referensi terbaru agar menambah wawasan pembaca dan memperbanyak referensi
dalam penulisa makalah.
DAFTAR PUSTAKA

Bingham, Robert. 2008. Airway Management. Pediatr Clin North Am. North America

Dewi, Ayu. 2017. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gagal Napas Akut. FK Universitas
Udayana. Denpasar

Hendrianto, Yuli. 2022. Laporan Pendahuluan Gagal Jantung Kongestif. Poltekkes


Kemenkes Kaltim. Samarinda

Hendrianto, Yuli. 2022. Laporan Pendahuluan Syok Kardiogenik. Poltekkes Kemenkes


Kaltim. Samarinda

Sianturi, Melly. 2021. Manajemen Kegawatan Gagal Napas Akut Respiratory Failure.
Poltekkes Kemenkes Kaltim. Samarinda

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta: PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta: PPNI

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta: PPNI

Trisna, dkk. 2010. Makalah Sistem Respirasi Gagal Napas Akut. STIKes Tri Mandiri Sakti.
Bengkulu

Anda mungkin juga menyukai