Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH ASKEP GADAR GAGAL NAFAS

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah “ASUHAN KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT” dengan Gangguan Kebutuhan Oksigenasi “GAGAL NAFAS”
dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini mungkin ada sedikit
hambatan. Namun, berkat bantuan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari dosen
pembimbing. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu proses pembelajaran dan
dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Tim penulis juga tidak lupa mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak, atas bantuan, dukungan dan doanya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini
dan dapat menambah ilmu pengetahuan. Makalah ini mungkin kurang sempurna untuk itu
kami mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Terimakasih.

Tuban, 04 April 2017

Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................ 1
Daftar Isi ............................................................................ 2
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 3
1.3 Tujuan .................................................................. 4
BAB II
Pembahasan
2.1 Definisi Gagal Nafas .................................................... 5
2.2 Etiologi Gagal Nafas ................................................................ 5
2.3 Manifestasi Klinis Gagal Nafas ................. .................................. 6
2.4 Pemeriksaan Penunjang Gagal Nafas................................................ 6
2.5 Penatalaksanaan Gagal Nafas ................................................... 7
2.6 Patofisiologi Gagal Nafas ............................................................... 13
BAB III
Konsep Asuhan Keperawatan Gawat darurat pada klien dengan gangguan kebutuhan
oksigenasi “Gagal Nafas” .................................................................. 15
BAB IV
Laporan Kasus Keperawatan Gawat darurat pada klien dengan gangguan kebutuhan
oksigenasi “Gagal Nafas” ............................................................ 20
BAB V
Penutup
5.1 Kesimpulan .................................................................................. 29
5.2 Saran .................................................................................. 29
Daftar Pustaka .................................................................................. 30

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia menurut Hierarki Maslow. Kekurangan
oksigen dalam hitungan menit saja dapat mengancam jiwa seseorang, oleh karena itu masalah
kesehatan yang berpengaruh terhadap system pernapasan (respiratori) menuntut asuhan
keperawatan yang serius.
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran
oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001). Indikator gagal nafas adalah frekuensi
pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari
20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan”
menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-
20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana
terjadi obstruksi jalan nafas atas.
Agar dapat memberikan asuhan keperawatan sebaik-baiknya, perlu mengetahui gejala-
gejala dini penyebab serta permasalahannya. Kita ketahui bahwa peran perawat yang paling
utama adalah melakukan promosi dan pencegahan terjadinya gangguan pada system
pernapasan, sehingga dalam hal ini masyarakat perlu diberikan pendidikan kesehatan yang
efektif guna meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
1.2 Latar Belakang
1. Apa definisi dari Gagal Nafas ?
2. Bagaimana Etiologi dari Gagal Nafas ?
3. Apa saja manifestasi klinis dari Gagal Nafas ?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang pada kasus Gagal Nafas ?
5. Bagaimana Penatalaksanaan dari Gagal Nafas ?
6. Bagaimana Patofisiologi dari Gagal Nafas ?
7. Bagaimana Proses Keperawatan pada kasus Gagal Nafas ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Gagal Nafas
2. Untuk mengetahui Etiologi dari Gagal Nafas
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Gagal Nafas
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada kasus Gagal Nafas
5. Untuk mengetahui Penatalaksanaan dari Gagal Nafas
6. Untuk mengetahui Patofisiologi dari Gagal Nafas
7. Untuk mengetahui Proses Keperawatan pada kasus Gagal Nafas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Gagal Nafas
Gagal nafas adalah terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50
mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45mmHg
(Hiperkapnia).
(Smeltzer & Barr,2002)
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksemia,
hiperkapnea (peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri), dan asidosis.
(Arif Muttaqin, 2008)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-
sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia).
(Brunner & Sudarth, 2001).
2.2 Etiologi Gagal Nafas
1. Penyebab sentral
- Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
- Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
- Kelainan diparu : edema paru, atelektasis, ARDS.
- Kelainan tulang iga/thoraks : fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks
- Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
2. Penyebab perifer
- Trauma kepala : contusio cerebri
- Radang otak : encephalitis
- Gangguan vaskuler : perdarahan otak, infark otak
- Obat-obatan : narkotika, anestesi
Kadar oksigen (Pao2 < 8 kPa) atau CO2 (Paco2 > 6,7 kPa) arterial yang abnormal digunakan
untuk menentukan adanya gagal nafas. Maka gagal nafas dibagi menjadi :
1. Hipoksemia (tipe 1) : kegagalan transfer oksigen dalam paru.
2. Hipoksemia (tipe 2) : kegagalan ventilasi untuk mengeluarkan CO2
(Hudak and Gallo, 2010)
2.3 Manifestasi Klinis Gagal Nafas
Tanda
1. Gagal nafas total
- Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar / dirasakan.
- Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada
perkembangan dada pada inspirasi.
- Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan
2. Gagal nafas parsial
- Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing, dan whizing.
- Ada retraksi dada
Gejala
1. Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
2. Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (Po2 menurun)
(Price & Wilson,2006)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan analisa gas darah arteri (AGD)
2. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, sitologi, urinalisis, bronkogram, bronkoskopi.
3. Pemeriksaan rontgen dada
Untuk melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui
4. Pemeriksaan sputum, fungsi paru, angiografi, pemindahan ventilasi – perfusi
5. Hemodinamik
Tipe 1 : peningkatan PCWP

6. EKG
Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan, disritmia
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Suportif / Non suportif
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung di tujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas, yaitu:
1. Atasi Hipoksemia : terapi Oksigen
2. Atasi Hiperkarbia : perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan nafas
b. Bantuan ventilasi : face mask, ambu bag
3. Terapi lainnya.
Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi
akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hipercarbia drive melainkan
terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi
apnoe.
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah oksigen benar-benar
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang
diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat
terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien
dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika
tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus
diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan.
Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberika terus-menerus.

Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan
sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang
digunakan secara luas. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan
aliran 1-6 L/menit, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24%-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, resevoir nasal canul, dan transtracheal cathethers,
dan dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat
oksigen arus tinggi diantaranya ventury mask dan reservior nebulizer blenders. Alat ventury
mask menggunakan prinsip jet mixing (efek bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien dengan PPOK
dan gagal nafas tipe 2, bernafas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing
diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat
mengirimkan sampai 40L/menit oksigen melalui mask, yang umunya cukup total kebutuhan
respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien
yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.
Atasi Hiperkarbia : Perbaiki Ventilasi
Jalan nafas (Airway)
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat
pernafasan. Pada semua pasien gangguan pernafasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obstruksi jalan nafas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan nafas artifisial seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan nafas artifisial dibandingkan
jalan nafas alami.
Resiko jalan nafas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan
respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya
resistensi dan kerja pernafasan. Keuntungan jalan nafas artifisial adalah daapat melintasi
obstruksi jalan nafas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi
penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik.
Pada pasien gagal nafas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan
pernafasan, dan terapi pernafasan via jalan nafas alami cukup adekuat ataukah lebih baik
dengan jalan nafas artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah:
Secara fisiologis :
1. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
2. PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
3. Kapasitas vital <15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskuler
Secara klinis :
1. Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan nafas
2. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemoginamik
3. Obstruksi jalan nafas (pertimbangan trakeostomi)
4. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien.
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin
berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat.
Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan asilitas dan potensi manaat ventilasi
tekanan positi tanpa pipa trakea ventilasi tekanan positif dan infasif)
Ventilasi : Bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut
kehidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu gigi) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara kedalam paru.
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari
turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan
imbalan ventilasi perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba – tiba selalu berhubungan dengan
asidosis respiratorik. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak
berkaitan dengan asidosis karena kompensasi metabolik.dan koreksinya pada asidosis
respiratoris (pH <7,25) dan masalahnya tidak mengoreksi PaCO2. Pada pasien dimana
pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekaik non invasi dengan nasal atau face mask
merupakan alternatif yang efektif, namun setelah diketahui, pada keadaan pemulihan yang
lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi mode assist control atau synchronized
intermittent ventilation dengan setting rate sesuai dengan laju nafas spontan pasien untuk
meyakinkan kenyamanan pasien.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal naas atau keadaan klinis
yang mengarah ke gagal nafas (gawat nafas yang tidak segera ditangani). Kondisi yang
mengarah ke gagal nafas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter , hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneomonia berat yang tetap hipoksemia
walaupun sudah diberikan oksign dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana
PaCO2nya meningkat mendadak dan meknimbulkan asidosis. Sebanyak 75% pasien yang
dipasang ventilator lebih dari 48 jam maka emungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah
sakit (bukan saja lebas dari ventilator) jadi lebih kecil.
Terapi Supportif lainnya :
1. Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan
ini selain untuk mnegatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan
bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan telapak tangan
pada saat inspirrasi. Pasien melaukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan – tepukan
pada dada, punggung, dilakukan perkusi vibrasi dan drainage postural. Kadang – kadang
diperlukan juga obat – obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
2. Bronkodilator. (agonis beta-andergenik/simpatomimetik). Obat – obat ini lebih efektif
diberikan perentar atau peroral, karena untuk eferk bronkodilatasi yang sama, efek samping
secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang
efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-andergenik yang dua hingga empat kali
lebih banyak dari pada yang direkomendasikan.
Peningkatan dosis (kualitas lebih besar dari pada nebulasasi) dan peningkatan rekuensi
pemberian (hingga tiap jam/nebulasasi kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat
didasarkan pada potensi, eikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang
tersedia adalah albuterol, metaprotetenol, terbutalin. Eek samping meliputi tremor, takikardia,
palpitasi, aritmia dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantuk iskemik
dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya
dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta-andergenik.
3. Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik
tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik.obat – obat ini kurang berperan pada
asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan dengan
bronkitis kronis, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal
nafas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta andergenik.
Ipratropium bromida bersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk
nebulasi. Eek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin.
4. Teofilin. Teoilin kurang kuat sebagai bronodilator dibandingkan agonis beta andergenik.
Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP),
translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta andergenik, dan aktifitas anti
inlamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah
adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan kejang.
5. Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan nafas tidak
diketahui secara pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah
didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik
distribusinya pada gagal nafas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parentral.
Efek samping kortikosteroid parentral adalah hiperglikemia, hiperkalemia, retensi natrium
dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan
psikiatrik, gastritis dan perdarahan gantrointestinal. Pengguanaan kortikosteroid bersama –
sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang
memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.
6. Ekspektoran dan Nukleonik. Cairan peroral atau parentral dapat memperbaiki volume atau
karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Obat mukolitik dapat diberikan
langsung pada sekret jalan nafas, terutama pada pasien dengan ETT. Sedikit (3-5 ml) NaCl
0,9%, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum
penyedotan (suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak.
Penatalaksanaan Kausatif/spesifik
Sambil dilakukan reusitasi (terapi supportif) diupayakan mencari penyebab gagal
nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing –
masing penyakit akan berlainan. Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan
pasien gagal nafas di UGD sebelum selanjutnya nanti dirawat di ICU. Penanganan lebih
lanjut terutama masalah penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles
penanganan pasien gagal nafas di ICU pada tahap berikutnya.
Masalah yang lazim muncul (Nanda,2015)
1. Gangguan pertukaran gas b.d akumulasi protein dan cairan dalam interstisial/area alveolar,
hipoventilasi alveolar, ehilangan surfaktan.
2. Disfungsi respon penyapihan ventilator b.d ketidakmampuan beradaptasi dengan dukungan
ventilator, ketidaktepatan laju penrunan dukungan ventilator.
3. Resiko cidera
4. Resiko Infeksi
5. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai kebutuhan oksigen.
Discharge Planning
1. Jika terdapat penyakit pernafasan seja lama, diharapkan dapat mengetahui faktor penyebab
dan penanganannya sehingga menghindarkan terjadinya gagal nafas.
2. Jika melakukan pendakian gunung yang kadar oksigennya tipis diharuskan membawa tabung
oksigen dan biasakan untuk menjaga kebugaran tubuh.
3. Patuhi aturan untuk pemakaian obat untuk menghindari overdosis yang dapat mengakibatkan
hipoventilasi.
4. Hindari rokok dan pemakaian obat terlarang serta hindari minum yang beralkohol.
5. Konsultasikan indikasi penyebab dan penanganan darurat jika tidak ada tenaga medis.
6. Bagi tenaga medis harus diperhatikan penyakit yang dapat mengakibatkan gagal nafas dan
biasanya pasien dengan ventilator mekanik, dan lakukan pengkajian secara kontinyu status
pernafasan dan kebutuhan akan ventilator, lakukan pengukuran gas darah arteri secara sering
atau sesuai instruksi. Dokter, pantau terus saturasi oksigen arteri dalam oksimetri nadi,
rekomendasikan formula tinggi lipid daripada tinggi karbohidrat untuk membatasi prodiksi
karbondioksida. Pencegahan pemberian cairan intravena yang berlebihan dan sebaliknya,
asupan cairan kurang, pertahankan curah jantung yang adekuat dll.
(HarperE.A,1998:Fredricton,Nb,2002)

2.6 Patofisiologi Gagal Nafas


BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA
KLIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN OKSIGENASI “GAGAL
NAFAS ”
3.1 Pengkajian
Anamnesis
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau peningkatan
frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran secara menyeluruh apakah klien
tampak takut, mengalami sianosis, dan apakah tampak mengalami kesukaran bernafas.
Perlu diperhatikan juga apakah klien berubah menjadi sensitif dan cepat marah (iritability),
tanpak binggung (confusion), atau mengantuk (somnolen). Yang tak kalah penting ialah
kemampuan orientasi klien terhadap tempat dan waktu. Hal ini perlu diperhatikan karena
gangguan funngsi paru akut dan berat sering direfeksikan dalam bentuk perubahan status
mental. Selain itu, gangguan keadaan sering pula dihubungkan dengan hipoksemia,
hiperkapnea, dan asidemia karena gas beracun. Selain itu kaji riwayat penyakit masa lalu,
riwayat penyakit keluarga, lingkungan serta habits/ kebiasaan.
Pemeriksaan Fisik
1. Airway

a. Peningkatan sekresi pernafasan.

b. Bunyi nafas krekles ronki dan mengi.

2. Breating

a. Distress pernafasan : pernafasan cupping hidung, takipneu/bradipneu retraksi.

b. Menggunakan otot aksesori pernafasan.

c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.

3. Circulation

a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardi.

b. Sakit kepala.

c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk.

d. Papiledema.

e. Penurunan haluan urine.


Keadaan umum

Kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara. Denyut nadi,

frekuensi nafas yang meingkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis.

1. B1 (Breathing)

Inspeksi

Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi pernafasan. Keadaan

normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit dengan amplitude yang cukup besar. Jika

seseorang bernafas lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya depresi pusat pernafasan.

Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi pernafasan > 20x/menit atau karena penyakit

sistemik seperti sepsis, perdarahan, syok, dan gangguan metabolic seperti diabetes militus.

Palpasi

Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil fremitus yang menjadi

penyebab utama gagal nafas.

Perkusi

Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat ditemukan daerah redup- sampai

daerah dengan daerah nafas melemah yang disebabkkan oleh peneballan pleura, efusi pleura

yang cukup banyak, dan hipersonor, bila ditemukan pneumothoraks atau emfisema paru.

Auskultasi

Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti wheezing dan ronki serta

untuk menentukan dengan tepat lokasi yang didapat dari kelainan yang ada.

2. B2 (Blood)

Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi keadaan hemodinamik

seperti nadi, tekanan darah dan CRT.


3. B3 (Brain)

Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat karena merupakan gejala

sekunder yang terjadi akibat gangguan pertukaran gas. Diperlukanan pemeriksaan GCS unruk

menentukan tiingkat kesadaran.

4. B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake cairan. Oleh

karena itu, perlu memonitor adanya oliguria, karena hal tersebut merupaka tanda awal dari

syok.

5. B5 (Boowel)

Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan-kesulitan

dalam memenuhi kebutuhanya. Pada klien sesak nafas potensial terjadi kekurangan

pemenuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipnea saat makan, laju metabolism, serta

kecemasan yang dialami klien.

6. B6 (Bone)

Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada ekstermitas, turgon kulit,

kelembaban, pengelupasan atau bersik pada dermis/ integument.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan gangguan aliran udara ke alveoli atau
kebagian utama paru
2) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
secret/mucus, keterbatasan gerakan dada, nyeri, kelemahan dan kelelahan.
3) Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, penurunan ekspansi paru,
pengesetan ventilator yang tidak tepat.
4) Pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat.
3.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1
Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan gangguan aliran udara ke alveoli atau
kebagian utama paru
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam pertukaran gas membaik.
Kriteria Hasil :
1. Frekuensi napas 18-20/menit
2. Frekuensi nadi 75-100/menit
3. Warna kulit normal, tidak ada dipnea, dan gas darah arteri (GDA) dalam batas normal.
4. Dapat mendemonstrasikan batuk efektif
5. Hasil analisa gas darah normal :
PH (7,35 – 7,45)
PO2 (80 – 100 mmHg)
PCO2 ( 35 – 45 mmHg)
Intervensi
1. Pantau status pernapasan tiap 4 jam, hasil GDA, intake, dan output. Untuk mengidentifikasi
indikasi ke arah kemajuan.
R/ untuk mengetahui perkembangan status kesehatan klien
2. Tempatkan klien pada posisi semifowler. Posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebih
baik.
R/ Posisi semifowler berfungsi untuk membuka jalan nafas sehingga dapat menurunkan sesak
yang dirasakan
3. Berikan terapi intravena sesuai anjuran. Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan
dapat mengkaji keadaan vaskuler untuk pemberian obat-obat darurat.
R/ Untuk membantu mengobati klien
4. Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 L/menit selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2.
Pemberian oksigen mengurangi beban otot-otot pernapasan.
R/ Oksigen diberikan untuk membantu mencukupi kadar oksigen dalam darah klien yang
tidak bisa diperoleh dari nafas biasa
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan yang telah tepat serta amati
bila ada tanda-tanda toksisitas. Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkus seperti
kondisi sebelumnya.
R/ Untuk membantu mengobati klien
3.4 Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana yang telah
ditentukan dengan prinsip :
DRABCD (dengger, respon, airway, breathing, circulation, disability)
Mempertahankan ventilasi yang adekuat.
Menjaga bersihan jalan nafas
Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka/ cemas.
3.5 Evaluasi
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan sehingga :
a. Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
b. Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan)
c. Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang & intervensi
dirubah).

BAB IV
LAPORAN KASUS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN
GANGGUAN KEBUTUHAN OKSIGENASI “ GAGAL NAFAS”
Kasus
Ny. W usia 45 tahun, dibawa ke IGD RSU Medika, dengan sesak nafas pasca
kecelakaan lalu lintas. Terdapat jejas pada regio dada kanan lateral bawah dan diarah kepada
bagian belakang, pasien mengalami penurunan kesadaran, nafas berat, sianosis, hasil pulse
oksimetri menurun 89%, tekanan darah 110/80 mmHg, dengan frekuensi RR 30 x/menit,
pendek dan dangkal, suhu tubuh 36,50 C nadi 110 x/menit dan lemah. Pasien direncanakan
dilakukan pemasangan ventilator.
4.1 Pengkajian
Nama pengkaji :
Tanggal masuk : 15 Maret 2017 jam : 07.00 WIB
Tanggal pengkajian : 15 Maret 2017 jam : 07.20 WIB

BIODATA PASIEN
Identitas
Nama : Ny. W
Jenis kelamin : perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : pedagang
Usia : 45 tahun
Status pernikahan : menikah
No. RM : 16785
Diagnosa medis : gagal nafas
Tanggal masuk RS : 15 Maret 2017
Alamat : Palang, Tuban

BIODATA PENANGGUNG JAWAB


Identitas
Nama : Tn. T
Jenis kelamin : laki-laki
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : nelayan
Hubungan dengan klien : suami
Alamat : Palang, Tuban
PENGKAJIAN PRIMER
1. Airways ( jalan nafas )
Sumbatan :
- Terdapat broncospasme
Suara nafas :
- Terdengar suara ronchi

2. Breathing ( pernafasan )
Sesak dengan :
- Menggunakan otot tambahan
- Frekuensi : 30 x/menit
Irama :
- Tidak teratur
Kedalaman :
- Dangkal
Reflek batuk :
- Tidak
Batuk :
- Non produktif
- Tidak ada sputum

3. Circulation ( sirkulasi )
Sirkulasi perifer :
- Nadi : 110 x/menit
- Irama : teratur
- Denyut : lemah
- TD : 110/80 mmHg
- Ekstremitas : dingin
- Warna kulit : sianosis
- Nyeri dada : ada
- Karakteristik nyeri dada : seperti ditusuk – tusuk
- Capillary refill : < 3 detik
- Edema : tidak
4. Disability
- Alert : pasien mengalami penurunan kesadaran
- Voice respon : pasien masih berespon terhadap suara
- Pain respon : pasien berespon terhadap nyeri
- Unrespon : pasien masih dapat berespon
- Reaksi pupil : membesar saat diberi rangsangan
5. Eksposure/Enviroment/Event
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh : Terdapat jejas pada regio dada kanan lateral bawah
dan diarah kepada bagian belakang
Pemeriksaan penunjang :-
Penyebab kejadian : Kecelakaan Lalu Lintas
PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Keluhan Utama : Pasien mengeluh sesak nafas
2. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi terhadap obat, makanan tertentu
3. Pasien tidak pernah melakukan pengobatan
4. Last meal ( makan terakhir ) : nasi kucing
5. Event of injury / penyebab injury : kecelakaan
6. Pengalaman pembedahan : pasien tidak mengalami riwayat pembedahan
7. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengalami penurunan kesadaran, nafas berat, sianosis, hasil pulse : oksimetri 89%,
TD 110/80 mmHg, dengan frekuensi RR 30 x/menit, pendek dan dangkal, suhu tubuh 36,5 0
C, nadi 110 x/menit dan lemah.
8. Riwayat kesehatan dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah mengalami kecelakaan sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik ( Head to Toe )
1. Kepala : bentuk simetris
- Rambut : panjang
Warna : hitam
Distribusi : rata
Tekstur : halus
Kulit : bersih dan lembab
- Mata :
Bola mata : bulat
Kelopak mata : tidak ada odema
Sclera : putih
Pupil : isokor
Reaksi pupil : membesar saat ada rangsangan cahaya
- Telinga : bentuk simetris, tidak ada serumen
- Hidung : simetris
- Mulut : mukosa bibir pucat, gigi baik, tidak ada stomatitis
2. Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
3. Dada
Inspeksi : Terdapat jejas pada regio dada kanan lateral bawah dan diarah kepada
bagian belakang
Palpasi : terdapat nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ronkhi
4. Abdomen
Inspeksi : Bentuk Simetris
Auskultasi : Bising usus 5 x/menit
Palpasi : Timpani
Perkusi : Tidak ada nyeri tekan
5. Ekstermitas/Muskuluskeletal
Ekstermitas : Atas (Pergerakan normal dan tidak ada lesi)
Bawah (Pergerakan normal dan tidak ada lesi)
6. Kulit/Intergumen
Turgor kulit : Turun
Mukosa kulit : Pucat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LAB Analisa Gas Darah (AGD)
Ph Normal : 7,35
PCO2 : 48,0
PO2 : 75
HCO2 : 25

4.2 Analisa Data


No Data fokus Problem Etiologi Diagnosa
keperawatan
1 Ds : pasien mengeluh sesak Gangguan perfusi Kurangnya Gangguan
nafas jaringan cerebral suplai O2 dalam perfusi jaringan
Do : jejas pada kepala jaringan otak cerebral
bagian belakang,sianosis, berdasarkan
nafas berat, RR 30x/menit , kurangnya suplai
pulse oksimetri menurun O2 dalam
89% , penurunan kesadaran jaringan otak
2 Do : pasien mengalami Gangguan Vebtilasi perfusi Gangguan
penurunan kesadaran dan pertukaran gas pertukaran gas
nafas berat berdasarkan
Do : sianosis ventilasi perfusi
Tekanan darah : 110/80
mmHg
RR : 30x/ menit pendek dan
dangkal
Nadi : 110x/menit dan
lemah
pH normal
PCO2 :48.0
PO2 : 75
HCO2 : 25

4.3 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan kurangnya suplai O2 dalam
jaringan otak
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi

4.4 Intervensi Keperawatan


N TGL / DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
O HARI
1 Rabu, Gangguan Setelah dilakukan 1. Bina hubungan Untuk
15 perfusi tindakan saling percaya mempermudah
Maret jaringan keperawatan selama antara pasien dan dalam mencari
2017 cerebral 2 x 24 jam klien keluarga informasi
Jam berhubungan mampu bernafas
09.00 dengan dengan normal 2. Monitor frekuensi
kurangnya dengan K.H : pernafasan pasien
suplai O2 1. Frekuesi pernafasan tiap 2 jam Untuk
dalam normal (16 – 20 x / mengetahui
jaringan otak menit) 3. Berikan posisi keadaan
2. Tidak terdengar semi fowler pernafasan
suara nafas pasien saat ini
tambahan
3. Tidak sesak Untuk
4. Ajarkan kepada
meningkatkan
pasien untuk
ekspansi paru
tekhnik nafas
dalam

5. Kolaborasi dengan
Untuk relaxsasi
tim medis
pasien
pemberian terapi
yang sesuai

Untuk
membantu
proses
penyembuhan
4.5 Implementasi Keperawatan

No. Hari, Diagnosa Implementasi Paraf


tanggal/jam
1. Rabu, 15 maret Gangguan - membina hubungan saling
2017. perfusi percaya dengan pasein dan
09.00 jaringan keluarga
cerebral pasien kooperatif
berhubungan
dengan - Memonitoring frekuensi
kurangnya pernafasan setiap 2 jam
suplai o2 Frekuensi pernafasan pasien
dalam jaringan 30X/menit
otak
- Memberikan posisi semi fowler
Pasien nyaman

- Mengajarkan pasien untuk


tehnik naafas dalam
Pasien kooperatif

- Melakukan kolaborasi dengan


tim medis, pemberian terapi
nebulizer
Pasien kooperatif

- Memonitoring frekuensi
2. Kamis, 16
pernafasan setiap 2 jam
maret 2017
Frekuensi pernasan 28X/menit
10.00
- Memberikan poisisi semi fowler
Pasien nyaman dan kooperatif
- Melakukan kolaborasi dengan
tim medis, pemberian terapi
nebulizer
Pasien kooperatif

4.6 Evaluasi Keperawatan


No Hari/Tanggal/Jam Diagnosa keperawatan Evaluasi paraf
1 Rabu, 15 Maret Gangguan perfusi S : pasien mengatakan
2017 pukul 14.00 jaringan cerebral b.d bahwa masih sesak dan Ⱦ
WIB kurangnya suplai O2 nyeri pada dada
dalam jaringan otak O : pasien lemah, pucat
TD : 110/80 mmHg
Suhu : 36,5°C
Nadi : 110x/menit
RR : 30x/menit
A : Masalah gangguan
perfusi jaringan cerebral
belum teratasi
P : intervensi nomer 1, 2, 3,
6 dilanjutkan
2 Kamis , 16 Maret S : pasien mengatakan
2017 pukul 14.00 masih sesak tetapi sudah
WIB tidak nyeri Ⱦ
O : Wajah pasien lebih
rilex dan nyaman
TD : 129/80 mmHg
Suhu : 36,50 C
Nadi : 96x/menit
RR : 28x/menit
A : masalah gangguan
perfusi jaringan cerebral
teratasi sebagian
P : intervensi dilanjutkan
dan menganjurkan pasien
untuk melakukan nafas
dalam mandiri ketika terasa
sesak.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gagal nafas merupakan suatu kegawatan yang memerlukan penanganan secara cepat,
tepat dan komprehensif dengan prioroitas ABC sebagai pedoman penanganan. Penyebab dari
gagal nafas juga harus dikelola secara tepat sehingga gagal nafas dapat dicegah.
Masalah keperawatan pada gagal nafas yang ditemukan pada anak A adalah gangguan
pertukaran gas, peningkatan suhu tubuh dan perubahan proses keluarga. Peningkatan suhu
tubuh pada anak A merupakan penyebab terjadinya kejang yang menyebabkan terjadinya
gagal nafas, berdasarkan hal tersebut tindakan keperawatan untuk menurunkan suhu tubuh
sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kejang berulang yang dapat menyebabkan
kejang.

5.2 Saran
Dalam melakukan penanganan gagal nafas, terutama dalam penanganan A
(mempertahankan jalan nafas) harus diperhatikan posisi tidur pasien, yaitu dalam posisi
sniffing position, dengan cara posisi terlentang dengan meletakkan ganjalan dibawah bahu.
Posisi yang tepat dapat dapat mencegah jatuhnya lidah kebelakang sehingga dapat menekan
dinding farink bagian belakang yang akan menutupi jalan nafas..

Dalam penanganan B (pemberian bantuan pernafasan) harus diperhatikan cara


memberikan VTP secara tepat, yaitu tekanan positif diberikan sesuai dengan irama
pernafasan penderita, yaitu saat terjadinya inspirasi.

Daftar Pustaka
Nanda, NIC NOC.2016.Asuhan Keperawatan Praktis.Jogjakarta:Mediaction
Barid,Barrarah dkk.2011.Diagnosis Keperawatan:Definisi dan klasifikasi.Jakarta:EGC
Moorhead, sue et al.2008.Nursing Outcomes clasification fifth edition.Luois:Mosby Inc

Anda mungkin juga menyukai