KEPERAWATAN KRITIS
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KRITIS SISTEM
PERNAFASAN NONTRAUMATIK
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
MUHAMMAD SAYKHU RIDHO
HERA KRESTINA
OMARDANI
SITI MASROAH
CUCU SRI RAHAYU
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gagal Nafas......................................................................3
2.2 Etiologi Gagal Nafas......................................................................... 3
2.3 Patofisiologi Gagal Nafas...................................................................4
2.4 Manifestasi Klinis Gagal Nafas.........................................................4
2.5 Komplikasi...........................................................................................5
2.6 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................5
2.7 Penatalaksanaan.................................................................................6
2.8 Patoflow Gagal Nafas.........................................................................7
2.9 Askep Gagal Nafas..............................................................................7
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................iii
KATA PENGANTAR
Marilah kita ucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Asuhan Keperawatan Pasien Kritis Sistem Pernafasan Nontraumatik”.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai
belah pihak.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin.
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan Intensif adalah tindakan perawatan dan tindakan medis yang
secara aktif dilakukan untuk menunjang fungsi organ vital, memperbaiki dan
mencegah kegagalan lain. Kegagalan fungsi organ vital yang dapat
menimbulkan kematian dalam waktu singkat adalah fungsi pernapasan,
kardiovaskuler dan SSP. Fungsi pernapasan adalah memasukkan oksigen dan
udara luar ke dalam darah untuk memenuhi kebutuhan O2 dan mengeluarkan
CO2 sebagai hasil metabolism. Kedua proses ini terjadi melalui paru.
Setiap perubahan atau kelainan di paru baik disebabkan oleh penyakit atau
bukan akan mempengaruhi proses pertukaran O2 dan CO2. Apabila tidak
segera di atasi, kebutuhan O2 jaringan akan tidak terpenuhi sehingga dapat
menyebabkan kegagalan fungsi organ vital lain seperti kardiovaskuler, SSP,
ginjal, hepar dan lain-lain, selanjutnya menyebabkan kematian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yaitu sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan gagal nafas?
2. Bagaimana etiologi gagal nafas?
3. Bagaimana patofisiologi gagal nafas?
4. Apa saja manifestasi klinis dari gagal nafas?
5. Apa saja komplikasi dari gagal nafas?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk gagal nafas?
7. Bagaimana penatalaksanaan gagal nafas?
8. Bagaimana patoflow gagal nafas?
9. Bagaimana contoh askep gagal nafas?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan yaitu sebagai
berikut :
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan gagal nafas
2. Mengetahui etiologi gagal nafas
3. Mengetahui patofisiologi gagal nafas
4. Mengetahui manifestasi klinis dari gagal nafas
5. Mengetahui komplikasi dari gagal nafas
6. Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang untuk gagal nafas
7. Mengetahui penatalaksanaan gagal nafas
8. Mengetahui patoflow gagal nafas
9. Mengetahui contoh askep gagal nafas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gagal Nafas
Gagal Nafas merupakan kondisi ketidakmampuan sistem respirasi untuk
masuk oksigen yang cukup dan membuang karbondioksida yang disebabkan
oleh kelainan sistem pernapasan dan sistem lainnya, termasuk gangguan
sistem saraf. Keadaan ini menyebabkan terjadinya hipoksemia, hiperkapnia,
atau kombinasi keduanya. Berdasarkan tekanan parsial karbondioksida arteri
(PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe I (Akut) dan tipe II
(Kronik). Baik pada tipe I maupun tipe II, tekanan parsial oksigen arteri
(PaO2) yang rendah. Sebaliknya PaCO2 yang normal atau rendah pada tipe I
dan meningkat pada tipe II. Gagal nafas diawali oleh stadium kompensasi
berupa upaya peningkatan nafas. Selanjutnya terjadi dekompensasi yang
ditandai dengan menurunnya upaya nafas. Diagnosis gagal nafas akut
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang,
termasuk pulse oksimetri dan analisa gas darah. Tata laksana gagal nafas
terdiri dari tata laksana darurat dan tindakan lanjutan. Dilakukan stabilisasi
dan mencegah perburukan, dengan melanjutkan pemberian oksigen dan tata
laksana ventilasi, stabilisasi sirkulasi dan terapi penyakit primer.
2.2 Etiologi Gagal Nafas
Menurut Purwato (2009) penyebab gagal nafas dapat digolongkan sesuai
kelainan primernya dan komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat
diakibatkan kelainan pada paru, jantung, dinding dada, atau otot pernapasan.
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan
yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar, dan
sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis antara udara
di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal nafas tipe
hipoksemia. Sedangkan gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernapasan
yaitu dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan atau kondisi yang mempengaruhi bentuk atau
ukuran dinding dada seperti kifoskloiosis.
2.3 Patofisiologi Gagal Nafas
Mekanisme gagal nafas menggambarkan ketidakmampuan tubuh untuk
melakukan oksigenasi atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh
ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasuk oksigen yang cukup atau
membuang karbondioksida. Pada gagal nafas terjadi peningkatan tekanan
parsial karbondioksida arteri (PaCO2) lebih besar dari 50 mmHg. Tekanan
parsial oksigen arteri (PaCO2) tidak mempengaruhi metabolisme normal
kecuali bila sudah mencapai keadaan ekstrim (>90 mmHg). Diatas kadar
tersebut, hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan
henti nafas. Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih
berbahaya adalah gagal nafas baik akut maupun kronik. Hipoksemi akut
terutama disertai curah jantung yang rendah sering berhubungan dengan
hipoksia jaringan dan resiko henti jantung.
2.4 Manifestasi Klinis Gagal Nafas
Gagal nafas akut terjadi bila dengan peningkatan upaya nafas dan laju
nafas, tidak dapat mempertahankan oksigenasi adekuat atau bila oksigenasi
tetap buruk. Dasar patofisiologi gagal nafas menentukan gambaran klinisnya.
Pasien gagal nafas yang masih mempunyai kemampuan bernafas normal akan
tampak sesak dan gelisah. Sebaiknya, pasien yang telah menurun kemampuan
pusat pernafasannya akan tampak tenang atau bahkan mengantuk. Peningkatan
upaya dan laju nafas serta akan berkurang bila gagal nafas memburuk, bahkan
dapat terhenti nafas.
Gagal nafas diawali oleh stadium kompensasi. Pada kadar ini ditemukan
peningkatan upaya nafas yang ditandai dengan adanya distres pernafasan
( pemakaian otot pernafasan tambahan , retraksi, takipnea). Peningakatan
upaya nafas terjadi dalam usaha mempertahankan aliran udara walaupun paru
menurun.
2.5 Komplikasi
1. Hipoksia jaringan
2. Asidosis respiratorik kronis : kondisi medis dimana paru-paru tidak dapat
mengeluarkan semua karbondioksida yang dihasilkan dalam tubuh. Hal ini
mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa dan membuat cairan
tubuh lebih asam, terutama darah.
3. Henti napas
4. Henti jantung
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Analisa Gas Darah Arteri : Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk
menentukan adanya asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta
untuk mengetahui apakah klien mengalami asidosis metabolik, alkalosis
metabolik, atau keduanya pada klien yang sudah lama mengalami gagal
napas. Selain itu, pemeriksaan ini juga sangat penting untuk mengetahui
oksigenasi serta evaluasi kemajuan terapi atau pengobatan yang diberikan
terhadap klien.
2. Radiologi : Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta
fluoroskopi akan banyak data yang diperoleh seperti terjadinya
hiperinflasi, pneumothoraks, efusi pleura, hidropneumothoraks, sembab
paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru : Penggunaan spirometer dapat membuat kita
mengetahui ada tidaknya gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai
normal atau FEV1 > 83% prediksi. Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan
FEV1/FVC lebih rendah dari nilai normal. Jika FEV1 normal, tetapi
FEV1/FVC sama atau lebih besar dari nilai normal, keadaan ini
menunjukkan ada restriksi.
4. Elektrokardiogram (EKG) : Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada
EKG yang ditandai dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan
II, III dan aVF, serta jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan.
Iskemia dan aritmia jantung sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan
oksigenasi.
5. Pemeriksaan Sputum : Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan
kekentalan. Jika perlu lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman
pen yebab. Jika dijumpai ada garisgaris darah pada sputum (blood streaked
), kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia,
TB paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah jambu dan berbuih
( pink frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang
mengandung banyak sekali darah ( grossy bloody), lebih sering merupakan
tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.
2.7 Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
a. Bernapas dalam dengan bibir di kerutkan ke depan jika tidak di lakukan
intubasi dan ventilasi mekanis, cara ini di lakukan untuk membantu
memelihara patensi jalan napas.
b. Aktivitas sesuai kemampuan.
c. Pembatasan cairan pada gagal jantung.
2. Farmakologi
a. Terapi oksigen untuk meningkatkan oksigenasi dan menaikan PaO2
b. Ventilasi mekanis dengan pemasangan pipa endotrakea atau trakeostomi
jika perlu untuk memberikan oksigenasi yang adekuat dan membalikkan
keadaan asidosis.
c. Ventilasi frekuensi tinggi jika kondisi pasien tidak bereaksi terhadap
terapi yang diberikan. Tindakan ini di lakukan untuk memaksa jalan napas
terbuka, meningkatkan oksigenasi, dan mencegah kolaps alveoli paru.
d. Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi.
e. Pemberian bronkodilator untuk mempertahankan patensi jalan napas.
f. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi.
g. Pembatasan cairan pada kor pulmonaleuntuk mengurangi volume dan
beban kerja jantung.
h. Pemberian preparat inotropik positif untuk meningkatkan curah jantung.
i. Pemberian vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah.
2.8 Patoflow Gagal Nafas
b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
a) Inspeksi
Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi
pernafasan. Keadaan normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit
dengan amplitude yang cukup besar. Jika seseorang bernafas
lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya depresi pusat
pernafasan. Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi
pernafasan > 20x/menit atau karena penyakit sistemik seperti
sepsis, perdarahan, syok, dan gangguan metabolic seperti diabetes
militus.
b) Palpasi
Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil
fremitus yang menjadi penyebab utama gagal nafas.
c) Perkusi
Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat
ditemukan daerah redup sampai daerah dengan daerah nafas
melemah yang disebabkkan oleh penebalan pleura, efusi pleura
yang cukup banyak, dan hipersonor, bila ditemukan
pneumothoraks atau emfisema paru.
d) Auskultasi
Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti
wheezing dan ronki serta untuk menentukan dengan tepat lokasi
yang didapat dari kelainan yang ada.
b. B2 (Blood)
Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi
keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
c. B3 (Brain)
Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat
karena merupakan gejala sekunder yang terjadi akibat gangguan
pertukaran gas. Diperlukan pemeriksaan GCS untuk menentukan
tiingkat kesadaran.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan
dengan intake cairan. Oleh karena itu, perlu memonitor adanya
oliguria, karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
e. B5 (Boowel)
Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi
dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhanya. Pada klien
sesak nafas potensial terjadi kekurangan pemenuhan nutrisi, hal ini
terjadi karena laju metabolisme, serta kecemasan yang dialami
klien.
f. B6 (Bone)
Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada
ekstermitas, turgon kulit, kelembaban, pengelupasan atau bersik
pada dermis/integument.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan gangguan aliran
udara ke alveoli atau kebagian utama paru
b. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
peningkatan produksi secret/mucus, keterbatasan gerakan dada, nyeri,
kelemahan dan kelelahan.
c. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan,
penurunan ekspansi paru, pengesetan ventilator yang tidak tepat.
d. Pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
3. Intevensi
a. Diagnose 1:
Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan gangguan aliran
udara ke alveoli atau kebagian utama paru
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam
pertukaran gas membaik.
Kriteria evaluasi :
1) Frekuensi napas 18-20/menit
2) Frekuensi nadi 75-100/menit
3) Warna kulit normal, tidak ada dipnea, dan gas darah arteri (GDA)
dalam batas normal.
4) Dapat mendemonstrasikan batuk efektif
5) Hasil analisa gas darah normal :
PH (7,35 – 7,45)
PO2 (80 – 100 mmHg)
PCO2 ( 35 – 45 mmHg)
Kriteria hasil :
Kriteria evaluasi: