Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

1. Abdul kadir (21120001P)


2. Ayu watira w (21120004P)
3. Febi try mentari (21120010P)
4. Fiola desta safitri (21120011P)
5. Rahmat nuryono (21120017P)
6. Sisilia Atami (21120024P)
7. Widya (21120025P)

DOSEN PEMBIMBING : Joko Tri Wahyudi

INSTITUSI ILMU KESEHATAN & TEKNOLOGI


MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2020


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga akhirnya kami dapat
membuat makalah keperawatan medical bedah dan teori keperawatan tersebut,
tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronis (Ppok) yang


ditulis untuk memenuhi tugas makalah keperawatan medical bedah dan teori
keperawatan. Pada kesempatan yang baik ini, kami menyampaikan rasa hormat
dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah
memberikan bantuan dan dorongan kepada kami dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kata “sempurna”, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan
demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Makalah ini dapat memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umunya,
semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin

Palembang, Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................1
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
2.1 Pengertian.......................................................................................3
2.2 Klasifikasi......................................................................................3
2.3 Etiologi...........................................................................................4
2.4 Patogenesis.....................................................................................6
2.5 Patofisiologi...................................................................................6
2.6 Tanda dan Gejala............................................................................7
2.7 Pemeriksaan Diagnostik.................................................................7
2.8 Penatalaksanaan.............................................................................8
2.9 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan COPD......................10

BAB III PENUTUP......................................................................................20

3.1 Kesimpulan..................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Pada saat tahun 2007 di Amerika Serikat, PPOK
merupakan penyebab utama kematian ketiga. Kebiasaan merokok merupakan
penyebab kausal yang terpenting. Gejala dan tanda klinis pada fase awal sangat
tidak khas. Pemberian terapi yang terlambat membawa dampak kematian Setiap
pengobatan harus spesifik terhadap setiap pasien, karena gejala dan keparahan
dari keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor. Pasien yang
pengobatannya terlambat angka kematiannya cukup tinggi
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronchitis kronis,
bronkiektasis, emfisiema dan asma. PPOK merupakan kondisi irreversible yang
berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru.
Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam
tergantung pada penyakit. Pada bronchitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan
lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan napas. Pada emfisema,
obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru-paru.
Pada asma, jalan napas bronchial menyempit dan membatasi jumlah udara yang
mengalir dalam paru-paru. Protocol pengobatan tertentu digunakan dalam semua
kelainan ini, meski patafisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan
pendekatan spesifik.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhulubungan dengan interaksi
genetic dengan lingkungan. Merokok, polusi udara dan pemajanan ditempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakakn factor-faktor risiko penting
yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam
rentang lebih dari 20-30 tahunan. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu
yang tidak mempunyai enzim yang normal mencegah panghancuran jaringan paru

1
oleh enzim tertentu. PPOK tampak timbul cukup dini dalam kehidupan dan
merupakan kelainan yang mempunyai kemajuan lambat yang timbul bertahun-
tahun sebelum awitan gejala-gejala klinis kerusakan fungsi paru.
PPOK sering menjadi simptomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi
insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia. meskipun aspek-aspek
paru tertentu, seperti kapasitas vital dan volume ekspirasi kuat,menurun sejalan
dengan peningkatan usia, PPOK memperburuk banyak perubahan fisiologi
yangberkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas (dalam
bronchitis)dan kehilangan daya kembang elastic paru (pada emfisema).
Karenanya, terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi perkusi pada
pasien lansia dengan PPOK.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah makalah ini antara
lain:
1. Apa pengertian PPOK?
2. Bagaimana klasifikasi dari PPOK?
3. Apa saja etiologi dari PPOK?
4. Bagaimana pathogenesis PPOK?
5. Bagaimana tanda dan gejala pasien dengan PPOK?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada pasien PPOK?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien PPOK?
8. Bagiamana asuhan keperawatan pada pasien PPOK?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Agar menambah pengetahuan mahasiswa tentang PPOK
2. Agar mahasiswa/mahasiwi dapat menerapkan asuhan keperawatan
pada pasien dengan PPOK.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Penyakit paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah


yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Bronchitis kronik, emfisema paru dan
asma bronchial membentuk kesatuan yang disebut PPOK. Agaknya ada
hubungan etiologi dan sekuensial antara bronchitis kronis dan emfisema,
tetapi tampaknya tidak ada hubungan antara penyakit itu dengan asma.
Hubungan ini nyata sekali sehubungan dengan etiologi, pathogenesis dan
pengobatan.

PPOK adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara


menetap disertai dengan kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang
dan penyempitan saluran nafas , batuk produktif selama 3 bulan, dalam
jangka waktu 2 tahun berturut-turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut
Price & Wilson (2005), COPD adalah suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai
dengan obstruksi aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Menurut Carpenito (1999) COPD atau yang lebih dikenal dengan PPOM
merupakan suatu kumpulan penyakit paru yang menyebabkan obstruksi
jalan napas, termasuk bronchitis, empisema, bronkietaksis dan asma.
PPOM paling sering diakibatkan dari iritasi oleh iritan kimia (industri dan
tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran pernapasan kambuh.

3
2.2 Klasifikasi

Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:

1. Asma Bronkhial: dikarakteristikkan oleh konstruksi yang dapat pulih


dari otot halus bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca
dingin, latihan, obat, kimia dan infeksi.
2. Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari
disertai pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut
dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu
dibedakan dari tuberkulosis paru, bronkiektasis, tumor paru, dan asma
bronkial.
3. Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus
terminal, disertai kerusakan dinding alveolus.

2.3 Etiologi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD
(Mansjoer, 1999) adalah :
1. Kebiasaan merokok
Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control,
rokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara fisiologis rokok
berhubungan langsung dengan hiperplasia kelenjar mukosa bronkusdan
metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan
bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok
menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar
dan surfaktan.
a. Riwayat Perokok : 1. Perokok Aktif
2. Perokok Pasif
3. Bekas Perokok
b. Derajat berat merokok
( Indeks Brinkman = Jumlah rata-2 batang rokok /hr X lama merokok /th):

4
1. Ringan: 0 - 200
2. Sedang: 200 - 600
3. Berat: >600
2. Polusi udara
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat
pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,
aldehid dan ozon.
a. Polusi di dalam ruangan: - asap rokok
- asap kompor
b. Polusi di luar ruangan: - Gas buang kendaranan bermotor
- Debu jalanan
c. Polusi tempat kerj (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Riwayat infeksi saluran nafas.


Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis
koronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta
menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis
disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian
menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.
5. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun, debu
gandum, dan debu asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada
yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
Sedangkan risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah:
1. Usia
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar
dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun
kejadian ini hanya dialami < 1% pasien PPOK.
2. Jenis kelamin

5
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah
wanita yang merokok.
3. Adanya gangguan fungsi paru
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya
PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin)
atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis.
Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi
paru-parulebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya
normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK.
Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak
normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.

2.4 Patogenesis & Patofisiologi PPOK

Inhalasi bahan berbahaya

oksidan Oksidative strees


Anti oksidan

Mekanisme perlindungan Mekanisme perbaikan


Inflamasi

Kerusakan jaringan

Penyempitan saluran nafas & fibrosis Destruksi Parenkim Paru Hipersekresi mukus
Emfisema Bronkitis kronis

6
2.5 Patofisiologi
Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan,
bronkiolus dan parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit
polimorfonuklear yang diaktivasi dan makrofag yang melepaskan elastase
tidak dapat dihalangi secara efektif oleh antiprotease. Hal ini
mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang
disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan
oksidan oleh fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan
apoptosis atau nekrosis sel yang terpapar. Penurunan usia dan mekanisme
autoimun juga mempunyai peran dalam patogenesis PPOK (Kamangar,
2010).

a) Bronkitis kronik
Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran
pernafasan termasuk atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia,
hiperplasia otot lurik, proses inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus
adalah tanda-tanda bronkitis kronik. Neutrofilia terjadi di lumen saluran
pernafasan dan infiltrasi neutrofil berkumpul di submukosa. Di bronkiolus,
terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi lumen oleh mukus,
metaplasia sel goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat fibrosis.
Semua perubahan ini dikombinasikan bersama kehilangan supporting
alveolar attachments menyebabkan pernafasan yang terbatas akibat
penyempitan lumen saluran pernafasan dan deformitas dinding saluran
pernafasan (Kamangar, 2010).
b) Emfisema
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal
dan disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut
morfologinya:
1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan
meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering
terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.

7
2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus
distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru
bawah. Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi
pada pasien dengan defisiensi α1-antitripsin.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran
pleura (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.6 Tanda dan gejala


Tanda dan gejala PPOK adalah sebagai berikut Brunner & Suddarth
(2005) :
1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
2. Sputum putih,
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk
bernapas
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat.
8. Hipoksia, sesak dalam dada.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


1. Anamnesa (keluhan)
- Umumnya dijumpai pada usia tua (>45 th)
- Riwayat PEROKOK / bekas PEROKOK
- Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja (waktu lama)
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Ada faktor predisposisi pada masa bayi / anak
(infeksi nafas berulang, lingkungan asap rokok)
- Batuk berulang dengan / tanpa dahak
- Sesak dengan / tanpa bunyi mengi
- Sesak nafas bila aktivitas bAerat

8
2. Pemeriksaan fisik:
a. Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
b. Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
c. Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, pekak jantung berkurang.
d. Suara nafas berkurang.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow
berupa bayangan garis-garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke
apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
b. Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar,
penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.
4. Tes fungsi paru:
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan
penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstimulasi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan
untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
5. Pemeriksaan gas darah.
6. Pemeriksaan EKG
7. Pemeriksaan Laboratorium darah: hitung sel darah putih.

2.8 Penatalaksanaan
1. Pencegahan: Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara.
2. Terapi eksaserbasi akut dilakukan dengan:
o Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi:
 Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0,25 – 0,5 g/hari atau
aritromisin 4 x 0,5 g/hari.
 Augmentin (amoxilin dan asam klavuralat) dapat diberikan
jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B.

9
Catarhalis yang memproduksi B. Laktamase. Pemberian antibiotic
seperti kotrimoksosal, amoksisilin atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempererat kenaikan peak flowrate. Namun hanya dalam
7 – 10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder
atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antiobiotik yang lebih
kuat.
o Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas CO2.

MANFAAT OKSIGEN:

1. Mengurangi sesak
2. Memperbaiki Aktiviti
3. Mengurangi hipertensi pulmonal (Penyakit jantung)
4. Mengurangi vasokonstriksi
5. Mengurangi hematokrit
6. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
7. Meningkatkan kualiti hidup
INDIKASI PEMBERIAN OKSIGEN:
1. PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90 %.
2. PaO2 antara 55 – 59 mmHg atau SaO2 > 89 % +
adanya:
a. Kor Pulmonale
b. P Pulmonal
c. Hematokrit > 55%
d. tanda gagal janyung kanan
e. Sleep apneu
f. Penyakit paru lain
Macam Terapi Oksigen :
1. Pemberian oksigen jangka panjang
2. Pemberian Oksigen pada waktu aktiviti
3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

10
4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal nafas

Alat bantu pemberian Oksigen:


1. Nasal kanul
2. Sungkup venturi
3. Sungkup rebreathing
4. Sungkup Non rebreathing
o Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
o Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termsuk
didalamnya golongan adrenergic B dan antikolinergik. Pada pasien dapat
diberikan sulbutamol 5 mg dan g diberikan tiap 6 jam dengan
rebulizeratau protropium bromide 250 atau aminofilin 0,25 – 05 g IV
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan:
o Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4 x 0,25 –
0,5/hari dapat menurunkan ekserbasi akut.
o Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien, maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif fungsi foal paru.
o Fisioterapi.
o Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi akivitas fisik.
o Mukolitik dan ekspekteron.
o Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas
Tip II dengan PaO2 <>
o Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatna sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi untuk pasien PPOK/COPD: a) Fisioterapi b)
Rehabilitasi psikis c) Rehabilitasi pekerjaan.

11
2.9 Asuhan Keperawatan pada pasien dengan COPD
A. Pengkajian
1. Diagnosa Keperawatan Identitas klien
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama/suku, warga
Negara, bahasa yang digunakan, penanggung jawap meliputi: nama,
alamat, hubungan dengan klien.
2. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan.
Kaji status riwayat kesehatan yang pernah dialami klien, apa upaya dan
dimana kliwen mendapat pertolongan kesehatan, lalu apa saja yang
membuat status kesehatan klien menurun.
3. Pola nutrisi metabolik.
Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien makan
dan minnum klien dalam sehari. Kaji selera makan berlebihan atau
berkurang, kaji adanya mual muntah ataupun adanyaterapi intravena,
penggunaan selang enteric, timbang juga berat badan, ukur tinggi badan,
lingkaran lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk
memperoleh gambaran status nutrisi.

4. Pola eliminasi.
o Kaji terhadap rekuensi, karakteristik, kesulitan/masalah dan juga
pemakaian alat bantu seperti folly kateter, ukur juga intake dan output
setiap sift.
o Eliminasi proses, kaji terhadap prekuensi,
karakteristik,kesulitan/masalah defekasi dan juga pemakaian alat
bantu/intervensi dalam BAB.
5. Pola aktivitas dan latihan
Kaji kemampuan beraktivitas baik sebelum sakit atau keadaan sekarang
dan juga penggunaan alat bantu seperti tongkat, kursi roda dan lain-lain.
Tanyakan kepada klien tentang penggunaan waktu senggang. Adakah
keluhanpada pernapasan, jantung seperti berdebar, nyeri dada, badan
lemah.

12
6. Pola tidur dan istirahat
Tanyakan kepada klien kebiasan tidur sehari-hari, jumlah jam tidur, tidur
siang. Apakah klien memerlukan penghantar tidur seperti mambaca,
minum susu, menulis, memdengarkan musik, menonton televise.
Bagaimana suasana tidur klien apaka terang atau gelap. Sering bangun saat
tidur dikarenakan oleh nyeri, gatal, berkemih, sesak dan lain-lain.
7. Pola persepsi kognitif
Tanyakan kepada klien apakah menggunakan alat bantu pengelihatan,
pendengaran. Adakah klien kesulitan mengingat sesuatu, bagaimana klien
mengatasi tak nyaman: nyeri. Adakah gangguan persepsi sensori seperti
pengelihatan kabur, pendengaran terganggu. Kaji tingkat orientasi
terhadap tempat waktu dan orang.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah mengalami putus
asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut klien mengenai dirinya.
9. Pola peran hubungan dengan sesame
Apakah peran klien dimasyarakat dan keluarga, bagaimana hubungan klien
di masyarakat dan keluarga dn teman sekerja. Kaji apakah ada gangguan
komunikasi verbal dan gangguan dalam interaksi dengan anggota keluarga
dan orang lain.
10. Pola produksi seksual
Tanyakan kepada klien tentang penggunaan kontrasepsi dan permasalahan
yang timbul. Berapa jumlah anak klien dan status pernikahan klien.
11. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.
Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat mengontrol diri,
tempat klien bertukar pendapat dan mekanisme koping yang digunakan
selama ini. Kaji keadaan klien saat ini terhadap penyesuaian diri, ugkapan,
penyangkalan/penolakan terhadap diri sendiri.
12. Pola sistem kepercayaan
Kaji apakah klien dsering beribadah, klien menganut agama apa?. Kaji
apakah ada nilai-nilai tentang agama yang klien anut bertentangan dengan
kesehatan.

13
Diagnosis keperawatan :

1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan


peningkatan produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret, spasme bronkus).
3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada
selaput paru-paru.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mucus
bronkokonstriksi dan iritan jalan napas.
5. Intoleransi aktivitas akibat keletihan hipoksemia dan pola pernapasan tidak
efektif

Perencanaan Keperawatan.
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan gangguan
peningkatan
produksi secret, sekresi tertahan, tebal dan kental.
Tujuan:Ventilasi/oksigenisasi adekuat untuk kebutuhan individu.
Kriteria hasil: Mempertahankan jalan napas paten dan bunyi napas
bersih/jelas.
Intervensi :
1. Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
Rasional: Takipnea biasanya ada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
Pernapasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
disbanding inspirasi.
2. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat
tidur, duduk dan sandaran tempat tidur.
Rasional:
Peninggian kepala tempat tidur mempermudah pernapasan dan
menggunakan gravitasi. Namun pasien dengan distress berat akan mencari
posisi yang lebih mudah untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki dengan

14
meja, bantal dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan
dapat sebagai alat ekspansi dada.
3. Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas misalnya: mengi,
krokels dan ronki.
Rasional:
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan
dapat/tidak dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas adventisius,
misalnya: penyebaran, krekels basah (bronchitis), bunyi napas redup
dengan ekspirasi mengi (emfisema), atau tidak adanya bunyi napas (asma
berat).
4. Catat adanya /derajat disepnea, misalnya: keluhan “lapar udara”, gelisah,
ansietas, distress pernapasan, dan penggunaan obat bantu.
Rasional:
Disfungsi pernapasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses
kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit,
misalnya infeksi dan reaksi alergi.
5. Dorong/bantu latihan napas abdomen atau bibir.
Rasional:
Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol
dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6. Observasi karakteristik batuk, misalnya: menetap, batuk pendek, basah,
bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan jalan napas.
Rasional:
Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia,
sakit akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk paling
tinggi atau kepala dibawah setelah perkusi dada.
7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Rasional:
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan secret, mempermudah
pengeluaran. Penggunaan air hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada
diafragma.

15
8. Bronkodilator, misalnya, β-agonis, efinefrin (adrenalin, vavonefrin),
albuterol (proventil, ventolin), terbutalin (brethine, brethaire), isoeetrain
(brokosol, bronkometer).
Rasional:
Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti local, menurunkan
spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa. Obat-obatan mungkin
per oral, injeksi atau inhalasi. dapat meningkatkan distensi gaster dan
tekanan pada diafragma.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen


berkurang. (obstruksi jalan napas oleh sekret, spasme bronkus).
Tujuan: Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
keperluan tubuh.
Kriteria hasil:
o Tanpa terapi oksigen, SaO2 95 % dank lien tidan mengalami sesak napas.
o Tanda-tanda vital dalam batas normal
o Tidak ada tanda-tanda sianosis.
Intervensi:
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat pengguanaan otot aksesorius,
napas bibir, ketidakmampuan bicara/berbincang.
Respon:
Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan kronisnya proses
penyakit.
2. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
Rasional:
Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar
bibir atau danun telinga). Keabu-abuan dan dianosis sentral
mengindikasikan beratnya hipoksemia.
3. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir
sesuai dengan kebutuhan/toleransi individu.
Rasional:

16
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan
laithan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja
napas.
4. Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila diindikasikan.
Rasional:
Kental tebal dan banyak sekresi adalah sumber utama gangguan
pertukaran gas pada jalan napas kecil, dan pengisapan dibuthkan bila batuk
tak efektif.
5. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi
tambahan.
Rasional:
Bunyi napas mingkin redup karena penurrunan aliran udara atau area
konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus/ter-tahannya
sekret. Krekles basah menyebar menunjukan cairan pada
interstisial/dekompensasi jantung.
6. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung.
Rasional:
Takikardi, disiretmia dan perubahan tekanan darah dapat menunjuak efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
7. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan
toleransi pasien.
Rasional:
Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia. Catatan; emfisema
koronis, mengatur pernapasan pasien ditentikan oleh kadar CO2 dan
mungkin dikkeluarkan dengan peningkatan PaO2 berlebihan.

3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan proses peradangan


pada
selaput paru-paru.
Tujuan: Rasa nyeri berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil:
o Klien mengatakan rasa nyeri berkurang/hilang.

17
o Ekspresi wajah rileks.
Intervensi:
1. Tentukan karakteristik nyeri, miaalnya; tajam, konsisten, di tusuk, selidiki
perubahan karakter/intensitasnyeri/lokasi.
Rasional:
Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pneumonia, juga dapat
timbul komplikasi seperti perikarditis dan endokarditis.
2. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional:
Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien
mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda-tanda
vital.
3. Berikan tindakan nyaman, misalnya; pijatan punggung, perubahan posisi,
musik tenang/perbincangan, relaksasi/latihan napas.
Rasional:
Tindakan non-analgetik diberikan dengan sentuhan lembut dapat
menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesic.
4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Rasional:
Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan
memberan mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode
batuk.
Rasional:
Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan
keefektifan upaya batuk.
6. Berikan analgesic dan antitusif sesuai indikasi.
Rasional:
Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif/proksimal
atau menurunkan mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/istirahat
umum.

18
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mucus
bronkokonstriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan:perbaikan dalam pola pernapasan
Kriteria Hasil:
o Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta
menggunakannya ketika sesak nafas dan saat melakukan aktivitas
o Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat
jarak dalam aktivitas
o Menggunakan pelatihan oto-otot inspirasi seperti yang diharuskan selama
10 menit setiap hari
Intervensi:
1. Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan
Rasional:
Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini
pasien akan bernapas dengan efisien dan lebih efektif
2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
Biarkan pasien membuat beberapa keputusan (mandi, bercukur) tentang
perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
Rasional:
Memberikan jeda aktivitas akan memungkinkan pasien untuk melakukan
aktivitas tanpa distress berlebihan.
3. Berikan dorongan penggunaan otot pernapasan jika diharuskan
Rasional:
Menguatkan dan mengkondisikan otot-otot pernapasan.
5. Intoleransi aktivitas akibat keletihan hipoksemia dan pola pernapasan tidak
efektif
Tujuan: perbaikan daalam toleransi aktivitas
Kriteria Hasil:
o Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.
o Mengungkapkan perlunya untuk melakukan latihan setiap hari
o Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk
memprbaiki kondisi fisik

19
Intervensi:
Mendukung pasien menegakkan regimen latihan teratur dengan
menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang
sesuai seperti berjalan perlahan.
a. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana
latihan berdasarkan pada status fungsi dasar
b. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan
program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien. Siapkan unit
oksigen portable untuk berjaga-jaga jika diperlukan selama latihan.
Rasional:
Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih bnyak oksigen
dan memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang
teratur, bertahap, kelompok otot ini menjadi lebih terkondisi, dan pasien
dapat melakukan lebih banyak tanpa mengalami napas pendek. Latihan
yang bertahap memutus siklus yang melemahkan ini.

Contoh Kasus
Seorang pria berusia 54 tahun dengan riwayat medis hipertensi menyajikan ke
klinik dengan keluhan sesak napas yang mulai sekitar 4 sampai 5 tahun yang
lalu. gejalanya telah secara bertahap memburuk sejak saat itu. dia sekarang tidak
mampu berjalan 100 yard tanpa harus stop dan istirahat. ia juga memiliki batuk
sehari-hari yang biasanya produktif sputum kekuningan. ia merokok sekitar 1
1/2 bungkus rokok sehari dan telah melakukannya selama 30 tahun terakhir. ia
juga minum rata-rata 6 sampai 7 bir sehari. ia tidak memiliki pekerjaan dengan
ruang terbuka yang signifikan debu, gas, asap.

Penyelesaian Kasus
1. Data Subjektif
Umur : 54 th
Jenis kelamin : laki-laki
Riwayat penyakit : hipertensi, perokok, pemabuk,sesak napas sekitar 4
sampai 5 tahun yang lalu, tidak sanggup berjalan lebih

20
dari 100 kaki (91,44 m) tanpa istirahat dan berhenti dan
batuk berdahak.

2. Data Objektif
Dahak berwarna kekuningan

3. Asessment
Dari data subjektif yang diperoleh diketahui bahwa pasien mengidap penyakit
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) berdasarkan gejala-gejala yang timbul
seperti pasien merupakan perokok yang termasuk jenis perokok berat, pemabuk,
sesak nafas sejak 4 sampai 5 tahun terakhir, tidak sanggup berjalan kaki lebih dari
100 kaki (91,44 m), batuk yang mengeluarkan dahak kekuningan. PPOK ini
merupakan penyakit yang berhubungan dengan hambatan pada saluran pernafasan
yang biasanya diderita oleh perokok. Pasien juga merupakan pasien dengan
penyakit hipertensi namun hipertensinya tidak terkontrol dengan baik dan riwayat
pengobatannya tidak dijelaskan dengan jelas.
Pasien seharusnya mendapatkan pengobatan hipertensi dan pengobatan PPOK.
Sesak nafas pada pasien ini disebabkan inflamasi kronis pada salura nafas yang
diakibatkan paparan inhalasi dari asap rokok sehingga mengakibatkan
terganggunya klirens produksi mukus yang berlebihan sehingga terjadi
penyempitan atau tersumbatnya jalan nafas kemudian timbul sesak nafas. Serta
batuk berdahak pada pasien dikarenakan adanya peradangan pada paru yang
sudah lama akibat perokok berat sehingga sputum menjadi berwarna kekuningan.
4. Planning
Untuk penatalaksanaan farmakologis diberikan :
a) pengobatan untuk PPOK diberikan Brokidilator (Salbutamol inhaler
d0sisny 1-2 tarikan nafas setiap 4-6 jam) saya memilih inhaler karena
pertimbangan penyakit pernafasan si pasien telah akut dan karena pasien
tersebut juga merokok makanya dibutuhkan sediaan obat yg kerjanya
lebih cepat
b) Anti hipertensi (amlodipine)
c) Antibiotik (amoksisilin)

21
d) untuk batuk berdahak diberikan mukolitik (Sirup Ambroxol).
Perlu di berikan antibiotik karena Sputum dalam jumlah besarBerhubungan
dengan infeksi bakteriRonki kasar pada auskultasi
Untuk hipertensi belum dapat diberikan obat secara rasional karena data subjektif
tekanan darah belum jelas, disarankan untuk melihat riwayat penyakit atau
memeriksakan berapa tekanan darahnya.
Yang diperlu diperhatikan adalah dosis pemberian dan waktu pemberian untuk
mengurangi efek samping.
Terapi non-farmakologis :

a) Rehabilitasi: latihan fisik, latihan ketahanan, latihan pernapasan,


rehabilitasi psikososial
b) Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada PPOK stadium
III

– PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88% dengan/tanpa hiperkapnia

– PaO2 55-60 mmHg atau Sa02 < 88% dengan hipertensi


pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.

BAB III
PENUTUP

22
3.1 Kesimpulan

COPD atau yang lebih dikenal dengan PPOM merupakan suatu kumpulan
penyakit paru yang menyebabkan obstruksi jalan napas, termasuk bronchitis,
emfisema, bronkietaksis dan asma. PPOM paling sering diakibatkan dari iritasi
oleh iritan kimia (industri dan tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran
pernapasan kambuh.Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya
merokok, polusi, infeksi saluran napas dan bersifat genetik yaitu defisiensi -1
antitripsin. Tanda dan gejala dari PPOK antara lain batuk produktif, kronis pada
bulan-bulan musim dingin, batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam
jumlah yang sangat banyak, dispnea, nafas pendek dan cepat (Takipnea).
Penatalaksanaan pasien PPOK diberikan terapi sesuai dengan gejala yang dialami
misalnya terapi oksigen. Dan asuhan keperawatan dimulai dari mengkaji keadaan
fisik, memperoleh data subjektif dan objektif dari pasien, kemudian menetukan
diagnose berdasarkan dari data-data yang telah diperoleh yaitu bersihan jalan
napas tak efektif berhubungan dengan gangguan peningkatan produksi secret,
sekresi tertahan, tebal dan kental dan kerusakan pertukaran gas berhubungan
dengan gangguan suplai oksigen berkurang. (obstruksi jalan napas oleh secret,
spasme bronkus), kemudian melakukan intervensi sampai dengan evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Smeltzer SC dan Bare BG. Buku Ajar keperawatan medikal-bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: EGC, 2001.
2. Price SA & Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta: EGC, 2005
3. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.
4. Alsagaff H & Mukty HM. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Airlangga University Press, 2006.

24

Anda mungkin juga menyukai