DISUSUN OLEH :
1. Jasmine Ayunie Azmi 302022062
2. Ismi Rismayanti 302022063
3. Raka Rijal Wahyudi 302022067
4. Sabrina Farhan 302022079
5. Selly Pridia Wahyuni 302022090
Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
dan dukungan beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terimakasih kepada :
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
2.1 Gangguan Sistem Pernapasan...................................................................................5
2.1.1 Definisi gangguan sistem pernapasan................................................................5
2.1.2 Tanda dan gejala pada sistem pernapasan..........................................................5
2.1.3 Patofisiologi pada sistem pernapasan..............................................................11
2.2 Gangguan Sistem Perkemihan................................................................................30
2.2.1 Definisi gangguan sistem perkemihan.............................................................30
2.2.2 Tanda dan gejala gangguan sistem perkemihan...............................................31
2.2.3 Patofisiologi pada Sistem Perkemihan............................................................31
BAB III............................................................................................................................46
PENUTUP.......................................................................................................................46
3.1 Kesimpulan............................................................................................................46
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem pernafasan merupakan penghubung antara lingkungan luar
dengan lingkungan dalam tubuh. Tugas utama paru-paru adalah respirasi,
memegang peranan dalam metabolisme, membuang substansi tertentu dari
sirkulasi misalnya serotonin dan buffer (penyangga) volume pembuluh darah.
Oleh karena itu, jika ada gangguan atau kerusakan pada saluran pernafasan
dan paru-paru maka akan berdampak multiple patologis (penyakit) bagi
manusia. Penyakit yang diderita dapat menyebabkan kerugian baik secara
moril maupun materiilPenyakit pada saluran pernafasan dan paru-paru
merupakan penyakit yang paling banyak dilaporkan kunjungannya di
puskesmas.
Penyakit gangguan perkemihan merupakan salah satu penyakit yang
sering dijumpai di masyarakat Indonesia Penyakit gangguan perkemun terdiri
dari gangguan pada ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra Gangguan pada
ginjal meliputi penyakit gagal ginjal, glumeruloneftitis dan penyakit batu
ginjal. Jumlah penderita penyakit batu ginjal diperkirakan sebesar 13% pada
laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa Empat dari lima pasien
adalah laki-laki, sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai
keempat. Penyakit ini menyerang sekitar 4% dari seluruh populasi dengan
rasio pria-wanita 4:1 dan penyakit ini disertai morbiditas yang besar karena
rasa nyeri (Tisher, 1997) Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita
penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-2% penduduk
yang menderita batu saluran kemih Penyakit ini merupakan tiga penyakit
terbanyak dibidang urologi disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran
prostat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari gangguan sistem pernafasan dan perkemihan?
2. Bagaimana etiologi gangguan sistem pernafasan dan perkemihan?
3. Bagaimana patologi dan patofisiologi pada gangguan sistem pernafasan
dan perkemihan?
4. Seperti apa tanda dan gejala jika seseorang mengalami gangguan sistem
pernafasan dan perkemihan?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari gangguan sistem pernafasan dan
perkemihan?
1.3 Tujuan
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam
dan memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai mekanisme
patofisiologi dan patologi pada gangguan sistem pernafasan dan sistem
perkemihan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gangguan Sistem Pernapasan
2.1.1 Definisi gangguan sistem pernapasan
Gangguan sistem pernafasan merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Infeksi saluran pernafasan jauh lebih sering
terjadi dibandingkan dengan infeksi sistem organ tubuh lain dan berkisar
dari flu biasa dengan gejala serta gangguan yang relative ringan sampai
pneumonia berat.
Pada sistem pernapasan terjadi akan respirasi yaitu keadaan dimana
suatu peristiwa ketika tubuh kekurangan oksigen (O2) dan O, yang berada
di luar tubuh dihirup (inspirasi) melalui organ pernapasan. Pada keadaan
tertentu tubuh kelebihan karbon dioksida (CO), maka tubuh berusaha untuk
mengeluarkan kelebihan tersebut dengan menghembuskan napas (ekspirasi)
sehingga terjadi suatu keseimbangan antara O, dan CO, di dalam tubuh.
2.1.2 Tanda dan gejala pada sistem pernapasan
Penyakit paru-paru dapat menimbulkan tanda serta gejala umum
maupun pernapasan. Yang termasuk tanda dan gejala pernapasan adalah:
batuk, sputum yang berlebihan atau ab- normal, hemoptisis, dispnea dan
nyeri dada. Yang termasuk tanda dan gejala umum adalah sianosis, jari-jari
tabuh dan manifestasi lain yang berkaitan dengan pertukaran gas yang
tidak adekuat. Pembaca dipersilakan membaca buku teks lain yang
membahas bunyi dada tambahan dan penilaian sistemik dari keadaan
pernapasan.
1) Batuk
Batuk merupakan suatu refleks protektif yang timbul akibat
iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk
merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran
napas bagian bawah. Kebanyakan orang dewasa nor- mal batuk
beberapa kali setelah bangun pada pagi hari untuk membersihkan
trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama mereka tidur.
Batuk juga merupakan gejala yang paling umum dari penyakit
pernapasan. Segala jenis batuk yang berlangsung lebih dari tiga
minggu harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya.
Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan
mekanik, kimia dan peradangan. Inhalasi debu, asap dan benda-
benda asing kecil merupakan penyebab paling sering dari batuk.
Perokok seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus
mengisap benda asing (asap) dan saluran napasnya sering mengalami
peradangan kronik. Rangsangan me- kanik dari tumor, baik yang
ekstrinsik maupun intrinsik terhadap saluran napas merupakan
penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling
sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap
proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat
mengakibatkan batuk. Bronkitis kronik, tuberkulosis dan pneumonia
merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk se- bagai
gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif, atau pendek
dan tidak produktif, atau keras dan parau (seperti ada tekanan pada
tra- kea), sering, jarang atau paroksismal (serangan batuk yang
intermiten).
2) Sputum
Orang dewasa normal membentuk mukus sekitar 100 ml dalam
saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring oleh
gerakan pembersihan normal dari silia yang membatasi saluran
pernapasan. Kalau terbentuk mukus yang berlebihan, maka proses
normal pember- sihan mungkin tak efektif lagi, sehingga akhirnya
mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, maka membran mukosa
terangsang, dan mukus ini dibatukkan keluar sebagai sputum.
Pembentukan mukus yang berlebihan, mungkin disebabkan oleh
gangguan fisik atau kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa.
Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan
kemungkinan besar berasal dari sinus- sinus atau saluran hidung, dan
bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang banyak sekali
dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru-
paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat dengan
perlahan-lahan dalam jangka waktu bertahun-tahun merupakan tanda
adanya bronkitis kronis, atau bronkiektasis.
Warna dari sputum perlu diperhatikan diantaranya, jika sputum
yang berwarna kekuning-kuningan merupakan tanda adanya infeksi.
Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya
penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperok-
sidase yang dihasilkan oleh leukosit polimor- fonuklear (PMN)
dalam sputum. Sputum yang berwarna hijau sering ditemukan pada
bronkiektasis karena penimbunan nanah dalam bronkiolus yang
melebar dan terkena infeksi.
Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda
dari edema paru-paru akut. Sputum yang berlendir, lekat dan
berwarna abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik.
Sedangkan sputum yang berbau busuk merupakan tanda abses paru-
paru atau bronkiektasis.
3) Hemoptisis
Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga
seluruh cairan yang dikeluarkan dari paru-paru berupa darah.
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk
darah, atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang merusak
kesinambungan pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan
perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan
dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberkulosis aktif. Sebab-
sebab lain yang sering dari hemoptisis adalah: karsinoma
bronkogenik, infark dan abses paru-paru. Sputum yang mengandung
darah (sehingga berwarna seperti karat) merupakan ciri khas yang
sering ditemukan pada pneumonia pneumokok.
4) Dispneu
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan
merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang
yang mengalami dispnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek
atau merasa tercekik. Dispnea tidak selalu menunjukkan adanya
penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama setelah
melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
Dispnea juga merupakan keluhan yang biasa pada "sindrom
hiperventilasi" pada orang-orang sehat yang mengalami stres emosi.
Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan yang mengakibatkan dispnea
tergantung dari usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, dan jenis
latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan kegiatan itu.
Dispnea dapat terjadi, setelah latihan fisik sedang seperti naik
tangga, sesudah berjalan- jalan sebentar, sesudah melakukan
kegiatan ringan seperti berbicara, mandi atau bercukur, pada waktu
beristirahat, dan pada waktu berbaring (ortopnea). Faktor terpenting
yang tampaknya menentukan timbul atau tidaknya dispnea adalah
apakah ventilasi atau usaha yang dilakukan memadai untuk tingkat
aktivitas itu. Rangsangan, reseptor sensorik dan jaras saraf yang
mengenali apakah ventilasi atau usaha yang dilakukan memadai atau
tidak masih belum dapat dipastikan.
Dispnea merupakan gejala yang paling nyata pada penyakit
yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru-paru
dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit
paru-paru di mana terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat
meningkatnya resistensi elastik paru-paru (pneumonia, kongesti,
atelektasis, efusi pleura) atau dinding dada (obesitas, kifoskoliosis)
atau meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema,
bronkitis, asma).
5) Nyeri Dada
Ada berbagai penyebab nyeri dada, tetapi yang paling khas
dari penyakit paru-paru adalah akibat radang pleura (pleuritis).
Hanya lapisan parietalis pleura saja yang merupakan sumber nyeri
oleh karena pleura viseralis dan parenkim paru-paru dianggap
sebagai organ yang tidak peka.
Pleuritis terjadi mendadak, tapi dapat juga timbul secara
bertahap. Nyeri terjadi pada tempat peradangan dan biasanya tempat
peradangan dapat diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-
iris dan tajam, diperberat dengan batuk, bersin dan napas yang
dalam, sehingga pasien seringkali bernapas cepat dan dangkal, serta
menghindari gerakan-gerakan yang tak diperlukan. Nyeri dapat
sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan
tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru-paru
atau infark, meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa
timbulnya nyeri. Penderita pneumotoraks atau atelektasis yang berat
dapat kadang-kadang mengalami nyeri dada yang diduga akibat
tarikan pada pleura parietalis karena adanya perlekatan dengan
pleura viseralis.
6) Sianosis
Sianosis adalah warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut hemoglobin
tereduksi (hemoglobin yang tak berikatan dengan oksigen). Ada dua
jenis sianosis: sianosis sentral dan sianosis perifer. Sianosis sentral
disebabkan oleh insufisiensi oksigenasi hemoglobin dalam paru-
paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga,
serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya tak diketahui sebelum
jumlah absolut hemoglobin tereduksi mencapai 5 g per 100 ml atau
lebih pada seseorang dengan konsentrasi hemoglobin yang normal.
Jumlah normal hemoglobin tereduksi dalam jaringan kapiler adalah
2,5 g per 100 ml.
Penderita anemia (konsentrasi hemoglobin rendah)
mungkin tak pernah meng- alami sianosis walaupun mereka
menderita hipoksia jaringan yang berat karena jumlah absolut
hemoglobin tereduksi kemungkinan tidak dapat mencapai 5 g per
100 ml. Sebaliknya, orang yang menderita polisitemia (konsentrasi
hemoglobin yang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar
hemoglobin tereduksi 5 g per 100 ml walaupun hanya mengalami
hipoksia yang ringan sekali. Faktor-faktor lain yang menyulitkan
pengenalan sianosis adalah variasi ketebalan kulit, pigmen- tasi dan
kondisi penerangan.
Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi
pernapasan (sianosis sentral), sianosis perifer akan terjadi bila aliran
darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi
(kejenuhan) darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah
menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensi
jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh
darah akibat suhu yang dingin.Sianosis juga dapat ditimbulkan oleh
sejum lah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobin dalam sirkulasi,
walaupun jarang terjadi.
7) Hipoksemia
Hipoksemia merupakan penurunan oksigenasi dalam darah
arteri yang dibuktikan melalui penurunan PaO, pada pemeriksaan
gas darah arteri. Keadaan hipoksemia terjadi karena perubahan
respirasi, sedangkan hipoksia merupakan penurunan oksigenasi
jaringan pada tingkat seluler yang dapat disebabkan oleh keadaan-
keadaan yang mengenai sistem tubuh lain tetapi tidak ada berkaitan
dengan perubahan faal paru. Curah jantung yang rendah atau
keracunan sianida dapat menyebabkan hipoksia dan perubahan
respirasi. Hipoksia dapat terjadi pada bagian tubuh mana pun. Jika
hipoksia terjadi dalam darah, keadaan ini dinamakan hipoksemia.
Hipoksemia dapat menimbulkan hipoksia jaringan.
Hipoksemia dapat terjadi karena penurunan kandungan
oksigen dalam udara yang dihirup pada saat inspirasi,
hipoventilasi, kelainan difusi, rasio V/Q yang abnormal dan shunt
pulmoner dari kanan ke kiri. Berikut ini factor utama terjadinya
hipoksemia.
Penyebab Utama Faktor yang Mengontribusi
Penurunan oksigen yang Tempat tinggi, inhalasi, gas
dihirup saat inspirasi dengan kandungan oksigen yang
rendah atau bernafas dalam
ruangan tertutup
Hipoventilasi Pusat respirasi tidak terstimulasi
dengan tepat (seperti pada
keadaan oversedasi, overdosis,
atau kerusakan neurologi)
penyakit paru obstruktif
menahun.
Kelainan difusi kapiler alveoli Emfisema keadaan yang
menimbulkan fibrosis atau
edema paru.
Ketidakcocokan ventilasi- Penyakit asma, bronchitis kronis,
perfusi atau pneumonia.
Shuntting (permintasan) Sindrom gawat nafas dewasa,
sindrom distress pernafasan
idiopatik pada bayi baru lahir,
atau atelectasis (bocornya paru-
paru)
8) Hiperkapea
Seperti halnya ventilasi, yang dianggap memadai bila suplai
O2 seimbang dengan kebutuhan O2, maka demikian juga
pembuangan CO2 melalui paru-paru baru dianggap memadai bila
pembuangannya seimbang dengan pembentukan CO2. Karena CO2
mudah sekali mengalami difusi, maka tekanan CO2 dalam udara
alveolus sama dengan tekanan CO2 dalam darah arteri; dengan
demikian PaCO2 merupakan gambaran ventilasi alveolus yang
langsung dan segera dalam hubungannya dengan kecepatan
metabolisme. Ventilasi yang memadai akan mempertahankan kadar
PaCO2 sebesar 40 mm Hg.
Hiperkapnea didefinisikan sebagai peningkatan PaCO2
sampai di atas 45 mm Hg, sedangkan hipokapnea terjadi apabila
PaCO2 kurang dari 35 mm Hg. Penyebab langsung retensi CO2
adalah hipoventilasi alveolar (ventilasi kurang memadai, tak dapat
mengimbangi pembentukan CO2). Hiperkapnea selalu disertai
hipoksia dalam derajat tertentu apabila pasien bernafas dengan udara
yang terdapat dalam ruangan.
Penyebab utama dari hiperkapnea adalah penyakit
obstruktif saluran napas, obat-obat yang menekan fungsi pernapasan,
kelemahan atau paralisis otot pernapasan, trauma dada atau
pembedahan abdominal yang mengakibatkan pernapasan menjadi
dangkal, dan kehilangan jaringan paru-paru. Tanda-tanda klinik yang
dikaitkan dengan hiperkapnea adalah: kekacauan mental yang
berkembang menjadi koma, sakit kepala (akibat vasodilatasi
serebral), asteriksis ya atau flapping tremor, dan volume denyut nadi
yang besar disertai tangan dan kaki yang terasa panas dan
berkeringat (akibat vasodilatasi perifer karena hiperkapnea).
Hiperkapnea kronik diakibatkan oleh penyakit paru-paru kronik
dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang
tinggi, sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia.
Dalam keadaan ini, bila diberi oksigen kadar tinggi, akan
menghambat pernapasan itu sendiri sehingga hiper- kapnea
bertambah berat.
Kehilangan CO2 dari paru-paru yang berlebihan
(hipokapnea) akan terjadi apabila terjadi hiperventilasi (ventilasi
dalam keadaan kebu- tuhan metabolisme meningkat untuk
membuang CO2). Penyebab umum hiperventilasi mekanis yang
berlebihan, kegelisahan, trauma serebral dan respon kompensasi
terhadap hipoksia. Tanda dan gejala yang sering berkaitan dengan
hipokapnea adalah sering mendesah dan menguap, pusing, palpitasi,
tangan dan kaki kesemutan dan baal, serta kedutan otot. Hipokapnea
hebat (PaCO2 <25 mm Hg).
2. Bronkitis kronik
Bronkitis kronis merupakan inflamasi pada bronkus yang
disebabkan oleh iritan atau infeksi. Bronkitis yang merupa- kan
salah satu bentuk PPOM dapat diklasifikasikan sebagai bronkitis
akut atau kronis. Pada bronkitis kronis, hipersekresi mukus serta
batuk produktif yang kronis berlangsung selama tiga bulan dalam
satu tahun dan terjadi sedikitnya selama dua tahun berturut-turut.
Ciri khas bronkitis yang membedakan adalah obstruksi jalan napas.
Penyebab bronkitis kronis yang sering ditemukan meliputi:
1) Pajanan unsur iritan
2) Kebiasaan merokok
3) Predisposisi genetik
4) Pajanan debu organik atau anorganik
5) Pajanan gas berbahaya
6) Infeksi saluran napas
Pada awalnya hanya bronkus besar yang terlibat inflamasi ini,
tetapi kemudian semua saluran napas turut terkena. Jalan napas
menjadi tersumbat dan terjadi penutupan, khususnya pada saat
ekspirasi. Dengan demikian, udara napas akan terperangkap di
bagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi hipoventilasi yang
menyebabkan ketidakcocokan V/Q dan akibatnya timbul
hipoksemia.
Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena
hipoventilasi. Resistensi vaskuler paru meningkat ketika
vasokonstriksi yang terjadi karena inflamasi dan kompensasi pada
daerah-daerah yang mengalami hipoventilasi membuat arteri
pulmonalis menyempit. Peningkatan resistensi vaskuler paru
menimbulkan afterload ventrikel kanan. Dengan terjadinya episode
inflamasi berulang, terjadilah pembentukan parut pada jalan napas
dan perubahan struktur yang permanen. Infeksi respiratorius dapat
memicu eksaserbasi akut dan dengan demikian dapat terjadi gagal
napas.
Pasien bronkitis kronis akan mengalami penurunan
dorongan untuk bernapas. Hipoksia kronis yang ditimbulkan
menyebabkan ginjal menghasilkan eritropoietin, yang akan
menstimulasi produksi sel darah merah dan menimbulkan
polisitemia. Meskipun kadar hemoglobin tinggi, namun jumlah
hemoglobin tereduksi (yang tidak teroksigenasi sepenuhnya) yang
mengalami kontak dengan oksigen rendah sehingga terjadi
sianosis.
Pada bronkitis kronis ini terdapat beberapa tanda dan gejala
yang spesifik yaitu :
Sputum yang banyak dan berwarna kelabu, putih, atau pun
kuning yang dihasilkan oleh paru-paru
Batuk produktif untuk mengeluarkan mukus yang
diproduksi oleh paru-paru dispnea akibat obstruksi jalan
napas pada percabangan trakeobronkial bagian bawah .
Sianosis yang berhubungan dengan penurunan oksigenasi
dan hipoksia seluler; penurunan pasokan oksigen ke dalam
jaringan
Penggunaan otot-otot aksesorius pernapasan akibat upaya
yang bersifat kompensasi untuk memasok lebih banyak
oksigen ke dalam sel
Takipnea akibat hipoksia
Edema pedis akibat gagal jantung kanan
Distensi vena leher akibat gagal jantung kanan penambahan
berat badan akibat edema mengi akibat aliran udara
melewati saluran napas yang sempit
Pemanjangan waktu ekspirasi akibat upaya tubuh
mempertahankan patensi jalan napas
Ronki akibat aliran udara melewati saluran napas yang sel-
sel sempit dan berisi mukus
Hipertensi pulmoner yang disebabkan oleh keterlibatan
arteri pulmonalis yang kecil; keadaan ini terjadi karena
inflamasi pada dinding bronkial dan spasme pembuluh
darah pulmoner akibat hipoksia.
Tindakan menghindari polutan udara (paling efektif)
tindakan menghentikan kebiasaan merokok dan
menghindari asap rokok -pemberian antibiotik untuk
mengatasi infeksi yang kambuhan -pemberian obat-obat
golongan bronkodilator untuk meredakan bronkospasme
dan memfasilitasi klirens mukosilier.
Terapi hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan secret.
Fisioterapi dada untuk memobilisasi secret.
Penggunaan alat nebulizer ultrasonik atau mekanis untuk
mengencerkan dan memobilisasi secret.
Pemberian kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi.
Pemberian obat-obat golongan diuretik untuk mengurangi
edema.
Pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksia.
3. Emfisema
Emfisema merupakan pelebaran asinus yang abnormal,
permanen, dan disertai destruksi dinding alveoli paru. Obstruksi
pada emfisema lebih disebabkan oleh perubahan jaringan daripada
produksi mukus, seperti yang terjadi pa- da asma dan bronkitis
kronis. Karakteristik emfisema yang membedakannya dari keadaan
lain adalah keterbatasan alir- an udara napas yang disebabkan oleh
penurunan pengem- bangan paru secara elastis (elastic recoil of the
lungs).
Emfisema lebih sering dialami oleh pria ketimbang wanita.
Sekitar 63% pasien emfisema yang diagnosisnya sudah pasti
ditemukan pada kaum pria, sementara 35% yang lain pada kaum
wanita. Biasanya emfisema disebabkan oleh defisiensi antitripsin-
alfa, (AAT) dan kebiasaan merokok.
Emfisema primer memiliki keterkaitan dengan defisiensi
kongenital enzim AAT yang merupakan komponen utama i
globulin-alfa,, AAT akan menghambat pengaktivan bebe rapa
enzim proteolitik. Defisiensi enzim ini merupakan sifat autosom-
resesif yang adalah faktor predisposisi yang membuat individu
menderita emfisema karena proses proteolisis dalam jaringan paru
tidak bisa dihambat. Individu 5 yang homozigous memiliki
peluang sebesar 80% untuk 3 menderita penyakit paru. Individu
yang memiliki kebiasaan merokok mempunyai peluang yang lebih
besar lagi untuk terkena emfisema. Pasien yang terkena emfisema
sebelum usia 40 tahun atau pada awal usia tersebut dan penderita
emfisema yang bukan perokok diyakini mengalami defisiensi AAT.
Pada emfisema, inflamasi yang rekuren akan menyertai
pelepasan enzim-enzim proteolitik dari sel-sel paru. Keada an ini
menimbulkan pelebaran ireversibel ruang-ruang udara di sebelah
distal bronkiolus terminalis. Pelebaran ruang-ruang udara ini akan
menghancurkan dinding alveoli dan kehancuran dinding alveoli ini
selanjutnya akan meru- sak elastisitas paru serta menghilangkan
jaringan fibrosa serta otot sehingga paru-paru menjadi tidak lentur
lagi.
Pada pasien emfisema, inflamasi paru yang rekuren akan
merusak din- ding alveoli dan akhirnya menghancurkan dinding
tersebut sehingga terbentuk ruang udara yang besar. (Lihat Melihat
alveoli paru yang abnormal) Septum interalveolaris (sekat antara
alveoli) pada mulanya turut hancur sehingga menghilangkan
sebagian capillary bed dan meningkatkan volume udara dalam
asinus. Kerusakan ini membuat alveoli tidak bisa balik ke keadaan
semula secara normal setelah mengembang dan menyebabkan
kolaps bronkiolus pada saat ekspirasi. Dinding alveoli paru yang
rusak atau hancur tidak dapat lagi menyangga saluran napas untuk
mem- buatnya tetap terbuka. (Lihat Udara yang terperangkap pada
emfisema.) Jumlah udara yang dapat dihembuskan keluar secara
pasif pada waktu ekspirasi akan berkurang sehingga udara tersebut
terperangkap dalam paru-paru dan menimbulkan distensi paru
berlebihan. Hiperinflasi alveoli paru akan menghasilkan bullae
(ruang udara) yang dekat dengan pleura (blebs).
Destruksi septum interalveolaris juga mengurangi diameter
lumen saluran napas. Sebagian udara yang dihirup pada tiap kali
inspirasi akan terperangkap karena terdapat peningkatan volume
residu dan pe- nurunan diameter lumen saluran napas. Destruksi
septum bisa saja hanya memengaruhi bronkiolus respiratorius dan
duktus alveolaris sementara sakus alveolaris masih utuh (emfisema
sentriasiner), atau dapat melibatkan seluruh asinus (emfisema
panasiner) disertai kerusakan yang lebih acak serta meliputi lobus
inferior paru.
Tanda dan gejala emfisema dapat meliputi takipnea yang
berhubungan dengan penurunan oksigenasi dispnea d'effort yang
sering menjadi gejala dada berbentuk tong (barrel chest) akibat
distensi dan pengembangan paru yang berlebihan dan
waktu ekspirasi yang memanjang dan bunyi stridor akibat
penggunaan otot-otot aksesorius untuk inspirasi dan otot-otot
abdomen untuk ekspirasi -penurunan bunyi napas akibat udara
yang terperangkap dalam alveoli dan destruksi dinding alveoli
Penatalaksanaan emfisema secara khas meliputi:
1) Penghentian kebiasaan merokok untuk mempertahankan
alveoli paru yang masih tersisa.
2) Tindakan menghindari polusi udara untuk mempertahankan
alveoli paru yang masih tersisa.
3) Pemberian bronkodilator seperti obat-obat golongan
penyekat-beta adrenergik, albuterol serta ipratropium.
4) untuk memulihkan bronkospasme dan meningkatkanklirens
mukosilier.
5) Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi saluran napas
atas.
4. Bronkietasis
Bronkiektasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi
kronik bronkus dan bronkiolus ukuran sedang (kira-kira generasi
percabangan keempat sampai kesembilan).Bronkiektasis timbul
apabila dinding bronkus melemah akibat perubahan peradangan
kronik yang mengenai mukosa serta lapisan otot. Bahan purulen
terkumpul pada daerah yang melebar ini dan mengakibatkan
infeksi yang menetap pada segmen atau lobus yang terserang.
Infeksi kronik selanjutnya semakin merusak dinding bronkus, dan
terbentuk suatu lingkaran yang tidak berkesudahan. Tidak ada
penyebab tunggal yang khas dari bronkiektasis karena penyakit ini
dilandasi oleh suatu kelainan anatomis.
Inflamasi yang terjadi pada dinding bronkial menyebabkan
hilangnya dari elastin yang dapat menyebabkan kehancuran dari
otot dan kartilago. Mekanisme spesifik dari kehilangan ini
menyebabkan terjadinya dilatasi. Hal ini pun dapat menyebabkan
terjadinya fibrosis pada dinding saluran pernapasan, atelektasis,
dan perubahan pribronkial pneumonik.
Bronkiektasis folikular ditandai dengan adanya folikel
limfoid pada dinding bronkial. Proses inflamasi terjadi pada
saluran napas yang lebih kecil menyebabkan pelepasan mediator.
Sehingga, terjadi perburukan kerusakan elastin yang menyebabkan
dilatasi bronkial. Progresi dari folikel limfoid dapat menyebabkan
obstruksi saluran udara.
Penatalaksanaan bronkiektasis ditujukan untuk mencegah
eksaserbasi, mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup
pasien, dan menghentikan progresivitas penyakit. Klirens saluran
pernapasan dan pemberian antibiotik masih menjadi pilihan utama
pada tata laksana bronkiektasis. Pembedahan dapat dilakukan
apabila terjadi bronkiektasis berat yang berisiko mengancam
nyawa.
Tanda dan Gejala bronkiektasis yang paling sering terlihat
adalah:
Batuk yang diikuti dengan keluarnya dahak yang berwarna
kuning pucat, kehijauan, atau bening. Batuk terjadi setiap
hari.
Batuk yang disertai dengan darah.
Mengalami infeksi saluran napas yang berulang atau
kambuhan.
Mengalami sesak napas.
Mengalami bengek atau mengi.
Mengalami nyeri dada.
Penurunan berat badan.
Terjadi perubahan pada bagian ujung jari.
5. Fibrosis kistik
Fibrosis kistik atau mukovisidosis adalah suatu penyakit
yang bersumberkan pada cairkan sekresi dan diikuti dengan
drainase postural dan perkusi. Dan terjadi pada sekitar satu di
antara 2.000 kelahiran bangsa kulit putih, tetapi jarang di antara
mereka yang berkulit hitam.
Kelenjar-kelenjar eksokrin yang menghasilkan mukus dan
beberapa cairan eksokrin lain, membentuk sekret abnormal yang
lengket. Sekret yang lengket ini seringkali mengakibatkan
penyumbatan pada saluran pankreas, hati dan bronkiolus.
Selanjutnya, penyumbatan ini dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan fibrosis pada organ yang bersangkutan. Beberapa pasien
mungkin dapat hidup sampai mencapai usia dewasa, tetapi
biasanya mereka tak dapat melebihi usia remaja.
Patofisiologi Cystic Fibrosis Cystic Fibrosis
merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen yang
terletak pada kromosom 7. Mutasi gen ini menyebabkan hilangnya
fenilalanin pada rantai asam ammino 508 yang dikenal sebagai
regulator transmembran fibrosis kistik (CFTR).
Penatalaksanaan fibrosis kistik bertujuan untuk mengobati
gejala dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Anak dengan fibrosis
kistik harus mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi yang adekuat,
sehingga pertumbuhannya tidak terganggu. Oleh karena itu,
penanganan penyakit ini termasuk multidisiplin spesialis dan
membutuhkan kontrol rutin pasien.
Tanda dan gejala pada fibrosis kistik meliputi :
Batuk berkepanjangan
Sesak napas atau sulit bernapas
Saluran hidung meradang atau hidung tersumbat
Sinusitis berulang
Penderita fibrosis kistik yang mengalami gangguan pada sistem
pencernaannya akan mengalami gejala-gejala seperti penurunan
berat badan atau bahkan pertumbuhan yang terhambat akibat
makanan yang tidak tercerna dengan baik sehingga penderita
kekurangan nutrisi atau malnutrisi dan tekstur tinja yang
menggumpal, berminyak, dan berbau tajam.
6. Gangguan pleura
Efusi Pleura adalah membran tipis yang membungkus paru-
paru.Pleura yang melekat pada paru-paru adalah pleura visceralis,
yang berjalan dari pangkal masing-masing paru (hilus) menuju
permukaan dalam dinding toraks membentuk pleura parietalis.
Secara umum efusi pleura berdasarkan jenis cairannya atau
berdasarkan komposisi cairan dapat dibagi menjadi transudat atau
eksudat. Penyebab antara transudat dan eksudat ini biasanya dibuat
pada saat torakosintesis. Penyebab efusi pleura lainnya yang lebih
spesifik adalah chylotoraks dan hemotoraks.
Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura umumnya
timbul apabila cairan yang diproduksi lebih banyak dibandingkan
yang diresorbsi. Hal ini bisa disebabkan karena adanya
peningkatan tekanan mikrovaskuler paru (contohnya pada kasus
gagal jantung), berkurangnya tekanan onkotik (pada kasus
hipoproteinemia), peningkatan permeabilitas mikrovaskuler,
berkurangnya drainage limfatik (pada kasus limfangitis), atau
adanya defek pada diafragma sehingga cairan peritoneal dapat
masuk kedalam kavum pleura. Tanda dan gejala efusi pleura
lainnya yang umum terjadi adalah ,batuk kering, sesak napas,
cegukan, nyeri dada (terutama saat batuk dan bernapas) dan sulit
bernapas (terutama saat telentang (orthopnea)).
Penatalaksanaan pada efusi pleura adalah paliasi atau
mengurangi gejala. Pilihan terapi harus tergantung pada prognosis,
kejadian efusi berulang, dan keparahan gejala pada pasien. Berikut
ini penatalaksanaan lebih spesifik dari efusi pleura.
Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura baru yang
tidak tau penyebabnya. Obeservasi dan optimal medical
therapy (OMT) tanpa dilakukan thorasentesis merupakan
hal yang wajar dalam penanganan efusi pleura karena gagal
jantung atau setelah operasi CABG.
Pemeriksaan laboratorium Analisis cairan pleura,
penampilan makroskopis cairan pleura harus diperhatikan
saat dilakukan thoracentesis, karena dapat menegakkan
diagnosis.
Kimia darah, pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi
glukosa dalam cairan pleura berbanding lurus dengan
kelainan patologi pada cairan pleura. Asidosis cairan pleura
(pH rendah berkorelasi dengan prognosis buruk dan
memprediksi kegagalan pleurodesis. Pada dugaan infeksi
pleura, pH kurang dari 7,20 harus diobati dengan drainase
pleura.
7. Emboli paru-paru
Sebagai komplikasi paru yang paling sering ditemukan
pada pasien yang dirawat di rumah sakit, emboli paru merupakan
keadaan arterial bed pulmoner tersumbat oleh trombus yang lepas,
massa pada katup jantung, atau benda asing. Diperkirakan kejadian
ini mengenai sekitar 6 juta orang dewasa setiap tahun di Amerika
dan menimbulkan 100.000 kematian. Meskipun infark paru yang
terjadi karena emboli dapat bersifat ringan dan asimptomatik, na-
mun emboli paru yang masif (menimbulkan obstruksi sir- kulasi
darah arteri paru melebihi 50%) dan infeksi yang menyertai dapat
membawa kematian dengan cepat.
Emboli paru umumnya terjadi karena pelepasan trombus
yang berasal dari dalam vena-vena tungkai atau pelvis. Lebih dari
separuh trombus tersebut terbentuk dalam vena profunda tungkai.
Sumber trombus yang lebih jarang ada- lah vena pelvis, vena
renalis, vena hepatika, jantung kanan dan ekstremitas atas.
Faktor predisposisi emboli paru meliputi imobilitas jangka-
panjang, penyakit paru kronis, gagal jantung atau fibrilasi atrium,
tromboflebitis, polisitemia vera, trombosi tosis, anemia hemolitik
autoimun, penyakit sel sabit, venn varikosa, pembedahan yang
baru saja dilakukan, usia lanjut, kehamilan, fraktur atau
pembedahan pada ekstre- mitas bawah, luka bakar, obesitas, cedera
vaskuler, kanker, pemberian obat IV, penyalahgunaan obat atau
pemakaian obat kontrasepsi oral.
Pembentukan trombus terjadi langsung karena kerusakan
dinding vaskuler, venostasis, atau hiperkoagulabilitas darah.
Trauma, gangguan pelarutan darah, spasme otot mendadak,
perubahan tekanan intravaskuler, atau per- ubahan aliran darah tepi
dapat membuat trombus terlepas atau pecah. Kemudian trombus
tersebut yang kini disebut emboli-akan berjalan ke jantung kanan
dan masuk ke dalam paru-paru melalui arteri pulmonalis. Di dalam
paru- paru, emboli dapat dilarutkan, terus pecah menjadi fragmen
kecil-kecil atau bertumbuh.
Dengan menyumbat arteri pulmonalis, emboli meng-
balangi alveoli dalam memproduksi cukup surfaktan untuk
mempertahankan integritas alveoli. Akibatnya, terjadi kolaps
alveoli dan timbul atelektasis. Jika ukuran emboli bertambah besar,
emboli ini dapat menyumbat sebagian besar atau seluruh pembuluh
darah paru dan menyebabkan kematian.
Kadang-kadang emboli mengandung udara, lemak, bakteri,
cairan ketuban, tale (dari obat-obat yang dimak- sudkan untuk
pemakaian oral, tetapi kemudian disuntikkan ke dalam vena oleh
para pecandu obat bius), atau sel-sel tumor
Tanda dan gejala emboli yaitu oklusi total arteri pulmonalis
utama akan membawa kematian dengan cepat. Emboli yang
berukuran lebih kecil atau merupakan fragmen kecil-kecil akan
menimbulkan keluhan dan gejala yang bervariasi menurut ukuran,
jumlah, serta lokasi. Biasanya gejala pertama emboli paru adalah
sesak napas (dispnea), yang bisa disertai nyeri dada yang bersifat
anginal atau pleuritik. Gambaran klinis lain berupa takikardia,
batuk produktif (sputumn dapat beroda darah), demam subfebris,
dan efusi pleura. Tanda lain yang lebih jarang terjadi meliputi
hemoptisis massif.
Penanganan emboli paru dirancang untuk mempertahankan
fungsi kardiovaskuler serta paru yang adekuat selama resolusi
obstruksi dan mencegah rekurensi emboli. Karena sebagian besar
emboli akan terserap (atau mengalami resolusi) dalam tempo 10
hingga 14 hari, penanganannya hanya terdiri atas terapi oksigen
sebagaimana diperlukan dan terapi antikoagulasi dengan heparin
untuk menghambat pembentukan trombus yang baru. Terapi
heparin dipantau dengan pemeriksaan koagulasi tiap hari (partial
thrombo- plastin time, PTT).
Pasien yang menderita emboli paru yang masif dan syok
memerlukan terapi fibrinolitik dengan urokinase, streptokinase,
atau alteplase untuk meningkatkan fibrino- lisis emboli paru dan
trombus yang masih tersisa, Emboli yang menyebabkan hipotensi
membutuhkan pemberian obat-obat golongan vasopresor, Terapi
emboli septik me- merlukan pemberian antibiotik dan bukan
antikoagulan, dan membutuhkan pemeriksaan evaluasi untuk
menentukan sumber infeksi, khususnya endokarditis.
Pembedahan dikerjakan pada pasien yang tidak bisa
menjalani terapi antikoagulan (karena baru menjalani pem-
bedahan atau karena menderita kelainan darah), atau pada pasien
yang menderita emboli rekuren selama terapi anti- koagulan.
Pembedahan (yang tidak boleh dilakukan tanpa hasil pemeriksaan
angiografi yang membuktikan adanya emboli paru) terdiri atas
ligasi vena kava, plikasi, atau pemasangan alat khusus (umbrella
filter) untuk menyaring darah yang akan kembali ke jantung dan
paru-paru. Untuk mencegah tromboemboli vena pascabedah dapat
dilakukan terapi kombinasi heparin dengan dihidroergotamin.
8. Edema paru-paru
Edema paru merupakan keadaan penumpukan cairan di
dalam ruang ekstravaskuler paru. Keadaan ini merupakan
komplikasi yang sering ditemukan pada gangguan jantung dan
dapat timbul dengan cepat serta membawa akibat fatal.
Edema paru terjadi karena gagal jantung kiri yang disebab
kan oleh arteriosclerosis, kardiomiopati, hipertensi, penyakit
jantung valvuler. Faktor-faktor yang merupakan predisposisi edema
paru meliputi:
Keracunan opiat atau barbiturat
Gagal jantung
Pemberian infus yang berlebihan atau terlalu cepat
Drainase limfatik paru yang terganggu (akibat penyakit
Hodgkin atau limfangitis obliterasi pascaradiasi)
Inhalasi gas yang iritatif
Stenosis mitral dan miksoma atrium kiri (yang meng
ganggu pengosongan atrium kiri)
Pneumonia
Penyakit aklusi vuna pulmonalis
Pada kondisi normal, tekanan hidrostatik kapiler paru,
tekanan onkotik kapiler, permeabilitas kapiler, dan drainase
limfatik berada dalam keadaan seimbang. Kalau keseim- bangan
ini terganggu atau kalau sistem drainase limfatik tersumbat, cairan
akan menginfiltrasi paru-paru dan terjadi edema paru. Jika tekanan
hidrostatik kapiler paru mening- kat, ventrikel kiri yang terganggu
menserlukan peningkatan tekanan pengisian untuk
mempertahankan curah jantung yang adekuat. Tekanan ini akan
ditransmisi ke atrium kiri, vena pulmonalis, dan capillary bed
pulmoner sehingga memaksa cairan serta larutan mengalir dari
ruang intra- vaskuler ke dalam ruang interstisial paru. Ketika di
dalam ruang interstisial terdapat kelebihan muatan cairan, cairan
ini akan membanjiri alveoli perifer dan mengganggu pert karan
gas.
Apabila terjadi penurunan tekanan osmotik koloid, gaya
hidrostatik yang mengatur cairan intravaskuler (gaya penarikan
yang alami) akan hilang karena tidak ada lawan yang
mengimbangi. Cairan akan mengalir dengan bebas ke dalam ruang
interstisial dan alveoli sehingga mengganggu pertukaran gas dan
menimbulkan edema paru.
Penyumbatan saluran limfe dapat terjadi karena kom presi
oleh edema atau jaringan fibrotik tumor dan karena peningkatan
tekanan vena sistemik. Tekanan hidrostatik dalam vena-vena
pulmonalis yang besar akan meningkat, sistem limfatik paru tidak
bisa mengalirkan cairan limfe dengan benar ke dalam vena
pulmonalis, dan cairan yang berlebihan itu akan berpindah ke
dalam ruang interstisial. Dengan demikian, terjadi edema paru
akibat penumpukan cairan.
Cedera kapiler, seperti yang terjadi pada adult respiratory
distress syndrome (ARDS) atau pada inhalasi gas beracun, akan
meningkatkan permeabilitas kapiler. Cedera tersebut menyebabkan
protein plasma serta air mereinbes keluar dari kapiler dan mengalir
ke dalam ruang interstisial sehingga terjadi peningkatan tekanan
onkotik interstisial yang pada kondisi normal rendah. Tekanan
onkotik interstisial mulai menyamai tekanan onkotik kapiler dan
air mulai merembes keluar dari dalam kapiler untuk masuk ke
dalam paru-paru sehingga terjadi edema paru.
Tanda dan gejala keadaan awal edema paru dapat meliputi:
Pernapasan yang tersengal-sengal dan cepat akibat hipoksia
Bunyi ronki basah yang lebih difus dan terdengar ke- tika
udara napas bergerak melewati cairan di dalam paru-paru
Batuk yang menghasilkan sputum yang berbuih dan
mengandung darah.
Peningkatan takikardia akibat hipoksemia
Aritmia akibat hipoksemia miokardium
Kulit yang dingin dan basah akibat vasokonstriksi perifer.
Penanganan edema paru dirancang untuk mengurangi
cairan ekstravaskuler, memperbaiki pertukaran gas serta fungsi
miokard, dan, kalau memungkinan, inengoreksi keadaan patologis
yang mendasari. Koreksi gangguan ini secara khas meliputi:
Pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi lewat kanula
hidung untuk meningkatkan pertukaran gas dan
memperbaiki oksigenasi.
Pelaksanaan ventilasi yang dibantu untuk memperbaiki
penyampaian oksigen ke jaringan dan meningkatkan
keseimbangan asam-basa.
Pemberian diuretik, seperti furosemid dan bumetanid, untuk
meningkatkan urinasi, yang akan membantu menggerakkan
cairan ekstravaskuler.
Pemberian obat-obat golongan inotropik positif, seper ti
digoksin dan inamrinon, untuk meningkatkan kon-
traktilitas pada disfungsi miokard.
9. Kor pulmonal
Kor pulmonale (yang disebut pula gagal jantung kanan)
merupakan keadaan terdapat hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan,
yang terjadi sekunder karena penyakit pada struktur atau fungsi
paru-paru atau sistem pembuluh darah. Keadaan ini bisa terjadi
pada sta- dium akhir berbagai gangguan kronis yang mengenai
paru- paru, pembuluh darah pulmoner, dinding dada dan pusat
kendali pernapasan. Kor pulmonale tidak terjadi pada gang- guan
yang berasal dari penyakit jantung kongenital atau pada gangguan
yang mengenai jantung sebelah kiri.
Sekitar 85% pasien kor pulmonale juga menderita penyakit
paru obstruktif menahun (PPOM) dan sekitar 25% pasien PPOM
bronkial pada akhirnya akan mengalami kor pulmonale. Gangguan
ini paling sering ditemukan di antara para perokok dan pada laki-
laki usia pertengahan hingga lanjut; namun insidensi kor
pulmonale di antara kaum wanita juga semakin meningkat. Karena
kor pulmonale terjadi kemudian dalam perjalanan masing-masing
penyakit yang mendasarinya dan juga dijumpai bersama dengan
penyakit ireversibel lain maka gangguan ini memiliki prognosis
yang buruk.
Penyebab kor pulmonale yang sering ditemukan meliputi
gangguan yang mengenai parenkim paru – PPOM, asma bronkial,
hipertensi pulmoner primer, vasculitis, emboli paru, obstruksi
eksternal pembuluh darah akibat tumor atau aneurisma,
kifoskoliosis, pektus ekskavatum (funnel chest), distrofi muskuler,
poliomielitis, obesitas, tempat tinggi (tinggal di pegunungan, dll.)
Pada kor pulmonale, hipertensi pulmoner akan mening-
katkan beban kerja jantung Untuk mengimbanginya, ventrikel
kanan mengalami hipertrofi guna memaksa darah mengalir melalui
paru-paru. Selama jantung dapat mengim bangi peningkatan
resistensi vaskuler pulmoner ini, tanda dan gejala hanya
mencerminkan penyakit yang ada di balik kor pulmonal.
Tingkat keparahan pembesaran ventrikel kanan pada kor
pulmonale disebabkan oleh peningkatan afterload. Pembuluh darah
yang tersumbat akan mengganggu keniam- puan jantung untuk
menghasilkan cukup tekanan. Hiper- tensi pulmoner terjadi karena
peningkatan aliran darah yang diperlukan untuk oksigenasi
jaringan.
Sebagai respons terhadap keadaan hipoksia, sumsum tulang
memproduksi lebih banyak sel darah merah sehingga terjadi
polisitemia. Akibatnya, akan timbul peningkatan viskositas darah
yang membuat hipertensi pulmoner semakin parah. Keadaan ini
meningkatkan beban kerja ventrikel kanan dan menyebabkan gagal
jantung (Lihat Kor pulmo- nale: sebuah tinjauan).
Mekanisme kompensasi mulai mengalami kegagalan dan
jumlah darah yang tersisa dalam ventrikel kanan pada akhir diastol
semakin bertambah sehingga terjadi dilatasi ventrikel. Peningkatan
tekanan intratorakal akan menghalangi aliran balik vena dan
menaikkan tekanan vena jugularis. Edema perifer dapat terjadi, dan
hipertrofi ven- trikel kanan bertambah secara progresif. Arteri
pulmonalis utama melebar, keadaan hipertensi pulmoner semakin
bertambah berat dan akhirnya terjadi gagal jantung.
Tanda dan gejala pasien kor pulmonale yang masih dalam
stadium dini dapat ditemukan mengalami batuk produktif yang
kronis untuk mengeluarkan sekret dari dalam paru-paru, dispnea
d'effort akibat hipoksia, bunyi pada ekspirasi akibat penyempitan
jalan napas, keluhan keletihan dan lemah akibat hipoksemia.Pasien
kor pulmonale yang progresif dapat ditemukan mengalami:
Dispnea pada saat istirahat akibat hipoksemia
Takipnea akibat penurunan oksigenusi pada jaringan
Ortopnea akibat edema paru
Edema dependen akibat gagal jantung kanan
Distensi vena leher akibat edema paru
Pembesaran dan nyeri tekan pada hati yang berhubungan
dengan polisitemia dan penurunan curah jantung.
Refluks hepatojuguler (distensi vena jugularis yang terlihat
ketika hati ditekan) akibat gagal jantung kanan
Gangguan rasa nyaman pada abdomen kuadran kanan atas
akibat pembesaran hati
Takikardia akibat penurunan curah jantung dan peningkatan
hipoksia.
Denyut nadi yang melemah akibat penurunan curah jantung
Bising pansistolik pada tepi stemum kiri bawah
3. Syndrom nefrotik
Syndrom nefrotik merupakan gangguan klinis yang ditandai
oleh peningkatan protein yang bermakna dalam urine (proteinuria),
penurunan albumin dalam darah (hipoalbunemia) edema dan serum
kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah
(hiperlipidemia).
Penyebab pasti syndrom nefrotik belum diketahui, secara umum
penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu syndrom nefrotik bawaan
atau keadaan dimana adanya reaksi fetomaternal terhadap janin
ataupun karena gen resesif autosom menyebabkan syndrom
nefrotik dan syndrom nefrotik sekunder yang disebabkan oleh
adanya penyakit lain seperti: parasit malaria, penyakit kolagen,
trombosis vena renalis, pemajanan bahan kimia (trimetadion,
paradion, penisilamin, garam emas, raksa, amilodosis dan lain-
lain). Penyebab Syndrom nefrotik sekunder paling sering adalah
glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan,
penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin dan akibat
penyakit sistemik seperti:
Infeksi HIV, Hepatitis Virus B dan C, Sifilis, Malaria,
Skisotoma, TBC, Lepra.
Keganasan adenokarsinoma paru, Adenokarsinoma mamae,
limfoma Hodgkin, mieloma multiple dan karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung: SLE, Arthritis rheumatoid.
Efek obat dan toksin obat antiinflamasi non steroid, preparat
emas, penisilamin, probenesid, air raksa, captopril, heroin,
amilodosis, DM, preeklampsia, refluks vesiko ureter atau
sengatan lebah.
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerulus akan
berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi
proteinuria.Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan os- motik
plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam
interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah
ke renal menurun karena hipovolemia,
Biasanya tanda dan gejala yang muncul akibat terpapar
penyakit ini yaitu berat badan meningkat, wajah tampak sembab
(edema fascialis) terutama disekitar mata, tampak pada saat bangun
di pagi hari dan berkurang di siang hari, pembengkakan abdomen
(asites), efusi pleura, pembengkakan labia atau skrotum, Edema
pada mukosa intestinal yang dapat menyebabkan diare, anoreksia
dan absorbsi intestinal yang buruk, edema tungkai, iritabilitas,
mudah letih, penurunan volume urine atau urine berbuih,
pembengkakan pada wajah, terutama disekitar mata, azotemia
(peningkatan kadar urea dan nitrogen dalam darah), tekanan darah
biasanya normal/naik sedikit.
Penatalaksanaan pada syndrome nefrotik ini dengan cara :
Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari,
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat
digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/ hari,
tergantung beratnya edema dan respon pengobatan.
Bila edema refrakter dapat digunakan hidroklortiazid (25- 50
mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik atau kehila-
ngan cairan intravaskuler.
Pemberian kortikosteroid.
Cegah infeksi dengan pemberian antibiotika.
4. Batu Ginjal
Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalamn ginjal dan
mengandung komponen kristal serta matrik organik (Sudoyo, 2001).
Batu ginjal (renal kalkuli) adalah pembentukan batu di traktus
urinarius ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium oksalat,
kalsium fosfat dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk
ketika terdapat defisiensi substansi tertentu. seperti sifat yang sangat
normal mencegah kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencangkup PH urine dan
status cairan pasien. (baru cenderung terjadi pada pasien dehidrasi).
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain:
PH urine yang abnormal.
Konsentrasi zat terlarut urine.
Stasis urine.
Beberapa infeksi (misal: infeksi oleh bakteri yang meng-
hasilkan urease).
Diet tinggi kalsium.
Demineralisasi tulang.
Kebanyakan batu mengandung kalsium, sementara sisanya
mengandung amoniomagnesium fosfat atau stuvit, asam urat atau
sistin.
Batu ginjal terjadi sebagai hasil interaksi dari tiga factor yaitu
supersaturasi komponen-komponen pembentuk batu dalam urine,
ada rangsangan fisik dan kimia dalam urine yang meningkatkan
pembentukan batu dan tidak adekuatnya komponen-komponen
penghambat pembentukan batu dalam urine.
Ketika batu menghambat aliran urine, terjadi obstruksi.
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala
ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang
disertai menggigil, demam dan disuria) dapat terjadi dari iritasi
batu yang terus menerus. Beberapa batu. jika ada, menyebabkan
sedikit gejala namun secara perlahan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal: sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar
biasa dan ketidaknyamanan.
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gelombang nyeri
yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan
genitalia. Pasien sering merasa ingin berkemih, namun hanya
sedikit urine yang keluar, dan biasanya mengandung darah akibat
aksi abrasif batu. Kelompok gejala ini disebut kolik uretreral
Umumnya, pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5
sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm
biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat
atau dikeluarkan secara spontan.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan
gejala iritasi dan berhubungan infeksi traktus urinarius dan
hematuria. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung
kemih, akan terjadi retensi urine.
Tanda dan gejala dari penyakit batu ginjal:
a) Obstruksi saluran kemih, hematuria, infeksi saluran kemih,
kolik dan gagal ginjal. b. Batu yang kecil mungkin dapat lewat
melalui uretra.
b) Nyeri kolik hebat, gejala dan tanda infeksi mungkin pula
terdapat.
c) Nyeri ditandai dengan mula gejala yang tiba-tiba dan cukup
hebat.
d) Hematuria (darah dalam urine) dapat terjadi karena trauma
yang disebabkan oleh batu.
e) Infeksi.
f) Obstruksi pelvis renalis dan ureter.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas mengenai patologi dan patofisiologi
gangguan sistem pernapasan dan perkemihan menghasilkan beberapa
kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut sebagai berikutSistem pernapasan
merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan lingkungan dalam
tubuh. Tugas utama paru-paru adalah respirasi, memegang peranan dalam
metabolisme membuang substansi tertentu dari sirkulasi misalnya serotonin
dan buffer atau penyangga volume pembuluh darah, lalu sistem perkemihan
adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga
darah bebas dari zat - zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat - zat yang masih dipergunakan oleh tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Aspiani, R.Y. (2015). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : TMI.
Guswanti. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
Hemodialisa. Jurnal Poltekes Kaltim.
Harrison. (2015). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : ECG.
Kolawak, dkk. (2013). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : ECG.
Nursalam, M. (2020). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.
Sylvia, A. (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
ECG.
Syaifuddin. (2011). Anatomi fisiologi. Jakarta : ECG.
Zuliani, dkk. (2021). Gangguan pada Sistem Pekemihan. Yayasan Kita Menulis