Anda di halaman 1dari 47

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI GANGGUAN SISTEM

PERKEMIHAN DAN SISTEM PERNAFASAN


diajukan sebagai salah satu syarat tugas mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan

dengan dosen pengampu Sajodin, S.Kep.,Ners.,M.Kes., AIFO

DISUSUN OLEH :
1. Jasmine Ayunie Azmi 302022062
2. Ismi Rismayanti 302022063
3. Raka Rijal Wahyudi 302022067
4. Sabrina Farhan 302022079
5. Selly Pridia Wahyuni 302022090

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamualaikum wr. wb puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT. atas segala rahmat, taufik, dan inayahnya penulis telah menyelesaikan tugas
makalah untuk mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan yang membahas tentang
“Patologi dan Patofisiologi pada Sistem Perkemihan dan Sistem Pernafasan”.

Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
dan dukungan beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Bapak Sajodin, S.Kep.,Ners.,M.Kes., AIFO selaku dosen pengajar Ilmu


Dasar Keperawatan yang telah membantu penulis menyelesaikan makalah
ini.
2. Rekan-rekan yang ikut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari banyaknya kekurangan didalam makalah ini, oleh


karena itu kritik serta saran dari semua pihak yang bersifat memperbaiki dan
membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 6 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................4
1.3 Tujuan......................................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN................................................................................................................5
2.1 Gangguan Sistem Pernapasan...................................................................................5
2.1.1 Definisi gangguan sistem pernapasan................................................................5
2.1.2 Tanda dan gejala pada sistem pernapasan..........................................................5
2.1.3 Patofisiologi pada sistem pernapasan..............................................................11
2.2 Gangguan Sistem Perkemihan................................................................................30
2.2.1 Definisi gangguan sistem perkemihan.............................................................30
2.2.2 Tanda dan gejala gangguan sistem perkemihan...............................................31
2.2.3 Patofisiologi pada Sistem Perkemihan............................................................31
BAB III............................................................................................................................46
PENUTUP.......................................................................................................................46
3.1 Kesimpulan............................................................................................................46
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem pernafasan merupakan penghubung antara lingkungan luar
dengan lingkungan dalam tubuh. Tugas utama paru-paru adalah respirasi,
memegang peranan dalam metabolisme, membuang substansi tertentu dari
sirkulasi misalnya serotonin dan buffer (penyangga) volume pembuluh darah.
Oleh karena itu, jika ada gangguan atau kerusakan pada saluran pernafasan
dan paru-paru maka akan berdampak multiple patologis (penyakit) bagi
manusia. Penyakit yang diderita dapat menyebabkan kerugian baik secara
moril maupun materiilPenyakit pada saluran pernafasan dan paru-paru
merupakan penyakit yang paling banyak dilaporkan kunjungannya di
puskesmas.
Penyakit gangguan perkemihan merupakan salah satu penyakit yang
sering dijumpai di masyarakat Indonesia Penyakit gangguan perkemun terdiri
dari gangguan pada ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra Gangguan pada
ginjal meliputi penyakit gagal ginjal, glumeruloneftitis dan penyakit batu
ginjal. Jumlah penderita penyakit batu ginjal diperkirakan sebesar 13% pada
laki-laki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa Empat dari lima pasien
adalah laki-laki, sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai
keempat. Penyakit ini menyerang sekitar 4% dari seluruh populasi dengan
rasio pria-wanita 4:1 dan penyakit ini disertai morbiditas yang besar karena
rasa nyeri (Tisher, 1997) Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita
penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-2% penduduk
yang menderita batu saluran kemih Penyakit ini merupakan tiga penyakit
terbanyak dibidang urologi disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran
prostat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari gangguan sistem pernafasan dan perkemihan?
2. Bagaimana etiologi gangguan sistem pernafasan dan perkemihan?
3. Bagaimana patologi dan patofisiologi pada gangguan sistem pernafasan
dan perkemihan?
4. Seperti apa tanda dan gejala jika seseorang mengalami gangguan sistem
pernafasan dan perkemihan?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari gangguan sistem pernafasan dan
perkemihan?
1.3 Tujuan
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam
dan memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai mekanisme
patofisiologi dan patologi pada gangguan sistem pernafasan dan sistem
perkemihan.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Gangguan Sistem Pernapasan
2.1.1 Definisi gangguan sistem pernapasan
Gangguan sistem pernafasan merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas. Infeksi saluran pernafasan jauh lebih sering
terjadi dibandingkan dengan infeksi sistem organ tubuh lain dan berkisar
dari flu biasa dengan gejala serta gangguan yang relative ringan sampai
pneumonia berat.
Pada sistem pernapasan terjadi akan respirasi yaitu keadaan dimana
suatu peristiwa ketika tubuh kekurangan oksigen (O2) dan O, yang berada
di luar tubuh dihirup (inspirasi) melalui organ pernapasan. Pada keadaan
tertentu tubuh kelebihan karbon dioksida (CO), maka tubuh berusaha untuk
mengeluarkan kelebihan tersebut dengan menghembuskan napas (ekspirasi)
sehingga terjadi suatu keseimbangan antara O, dan CO, di dalam tubuh.
2.1.2 Tanda dan gejala pada sistem pernapasan
Penyakit paru-paru dapat menimbulkan tanda serta gejala umum
maupun pernapasan. Yang termasuk tanda dan gejala pernapasan adalah:
batuk, sputum yang berlebihan atau ab- normal, hemoptisis, dispnea dan
nyeri dada. Yang termasuk tanda dan gejala umum adalah sianosis, jari-jari
tabuh dan manifestasi lain yang berkaitan dengan pertukaran gas yang
tidak adekuat. Pembaca dipersilakan membaca buku teks lain yang
membahas bunyi dada tambahan dan penilaian sistemik dari keadaan
pernapasan.

1) Batuk
Batuk merupakan suatu refleks protektif yang timbul akibat
iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk
merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran
napas bagian bawah. Kebanyakan orang dewasa nor- mal batuk
beberapa kali setelah bangun pada pagi hari untuk membersihkan
trakea dan faring dari sekret yang terkumpul selama mereka tidur.
Batuk juga merupakan gejala yang paling umum dari penyakit
pernapasan. Segala jenis batuk yang berlangsung lebih dari tiga
minggu harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya.
Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan
mekanik, kimia dan peradangan. Inhalasi debu, asap dan benda-
benda asing kecil merupakan penyebab paling sering dari batuk.
Perokok seringkali menderita batuk kronik karena terus menerus
mengisap benda asing (asap) dan saluran napasnya sering mengalami
peradangan kronik. Rangsangan me- kanik dari tumor, baik yang
ekstrinsik maupun intrinsik terhadap saluran napas merupakan
penyebab lain yang dapat menimbulkan batuk (tumor yang paling
sering menimbulkan batuk adalah karsinoma bronkogenik). Setiap
proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa eksudat dapat
mengakibatkan batuk. Bronkitis kronik, tuberkulosis dan pneumonia
merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk se- bagai
gejala yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif, atau pendek
dan tidak produktif, atau keras dan parau (seperti ada tekanan pada
tra- kea), sering, jarang atau paroksismal (serangan batuk yang
intermiten).

2) Sputum
Orang dewasa normal membentuk mukus sekitar 100 ml dalam
saluran napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring oleh
gerakan pembersihan normal dari silia yang membatasi saluran
pernapasan. Kalau terbentuk mukus yang berlebihan, maka proses
normal pember- sihan mungkin tak efektif lagi, sehingga akhirnya
mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, maka membran mukosa
terangsang, dan mukus ini dibatukkan keluar sebagai sputum.
Pembentukan mukus yang berlebihan, mungkin disebabkan oleh
gangguan fisik atau kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa.
Sputum yang dihasilkan sewaktu membersihkan tenggorokan
kemungkinan besar berasal dari sinus- sinus atau saluran hidung, dan
bukan dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang banyak sekali
dan purulen menyatakan adanya proses supuratif, seperti abses paru-
paru, sedangkan pembentukan sputum yang terus meningkat dengan
perlahan-lahan dalam jangka waktu bertahun-tahun merupakan tanda
adanya bronkitis kronis, atau bronkiektasis.
Warna dari sputum perlu diperhatikan diantaranya, jika sputum
yang berwarna kekuning-kuningan merupakan tanda adanya infeksi.
Sputum yang berwarna hijau merupakan petunjuk adanya
penimbunan nanah. Warna hijau timbul karena adanya verdoperok-
sidase yang dihasilkan oleh leukosit polimor- fonuklear (PMN)
dalam sputum. Sputum yang berwarna hijau sering ditemukan pada
bronkiektasis karena penimbunan nanah dalam bronkiolus yang
melebar dan terkena infeksi.
Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda
dari edema paru-paru akut. Sputum yang berlendir, lekat dan
berwarna abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronik.
Sedangkan sputum yang berbau busuk merupakan tanda abses paru-
paru atau bronkiektasis.

3) Hemoptisis
Sputum dapat bercampur dengan darah atau dapat juga
seluruh cairan yang dikeluarkan dari paru-paru berupa darah.
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk
darah, atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang merusak
kesinambungan pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan
perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius dan
dapat merupakan manifestasi pertama dari tuberkulosis aktif. Sebab-
sebab lain yang sering dari hemoptisis adalah: karsinoma
bronkogenik, infark dan abses paru-paru. Sputum yang mengandung
darah (sehingga berwarna seperti karat) merupakan ciri khas yang
sering ditemukan pada pneumonia pneumokok.

4) Dispneu
Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan
merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang
yang mengalami dispnea sering mengeluh napasnya menjadi pendek
atau merasa tercekik. Dispnea tidak selalu menunjukkan adanya
penyakit; orang normal akan mengalami hal yang sama setelah
melakukan kegiatan fisik dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
Dispnea juga merupakan keluhan yang biasa pada "sindrom
hiperventilasi" pada orang-orang sehat yang mengalami stres emosi.
Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan yang mengakibatkan dispnea
tergantung dari usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, dan jenis
latihan fisik, dan terlibatnya emosi dalam melakukan kegiatan itu.
Dispnea dapat terjadi, setelah latihan fisik sedang seperti naik
tangga, sesudah berjalan- jalan sebentar, sesudah melakukan
kegiatan ringan seperti berbicara, mandi atau bercukur, pada waktu
beristirahat, dan pada waktu berbaring (ortopnea). Faktor terpenting
yang tampaknya menentukan timbul atau tidaknya dispnea adalah
apakah ventilasi atau usaha yang dilakukan memadai untuk tingkat
aktivitas itu. Rangsangan, reseptor sensorik dan jaras saraf yang
mengenali apakah ventilasi atau usaha yang dilakukan memadai atau
tidak masih belum dapat dipastikan.
Dispnea merupakan gejala yang paling nyata pada penyakit
yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru-paru
dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan dengan penyakit
paru-paru di mana terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat
meningkatnya resistensi elastik paru-paru (pneumonia, kongesti,
atelektasis, efusi pleura) atau dinding dada (obesitas, kifoskoliosis)
atau meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema,
bronkitis, asma).

5) Nyeri Dada
Ada berbagai penyebab nyeri dada, tetapi yang paling khas
dari penyakit paru-paru adalah akibat radang pleura (pleuritis).
Hanya lapisan parietalis pleura saja yang merupakan sumber nyeri
oleh karena pleura viseralis dan parenkim paru-paru dianggap
sebagai organ yang tidak peka.
Pleuritis terjadi mendadak, tapi dapat juga timbul secara
bertahap. Nyeri terjadi pada tempat peradangan dan biasanya tempat
peradangan dapat diketahui dengan tepat. Nyeri itu bagaikan teriris-
iris dan tajam, diperberat dengan batuk, bersin dan napas yang
dalam, sehingga pasien seringkali bernapas cepat dan dangkal, serta
menghindari gerakan-gerakan yang tak diperlukan. Nyeri dapat
sedikit diredakan dengan menekan daerah yang terkena peradangan
tersebut. Penyebab utama nyeri pleuritik ini adalah infeksi paru-paru
atau infark, meskipun keadaan seperti itu juga dapat diderita tanpa
timbulnya nyeri. Penderita pneumotoraks atau atelektasis yang berat
dapat kadang-kadang mengalami nyeri dada yang diduga akibat
tarikan pada pleura parietalis karena adanya perlekatan dengan
pleura viseralis.

6) Sianosis
Sianosis adalah warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut hemoglobin
tereduksi (hemoglobin yang tak berikatan dengan oksigen). Ada dua
jenis sianosis: sianosis sentral dan sianosis perifer. Sianosis sentral
disebabkan oleh insufisiensi oksigenasi hemoglobin dalam paru-
paru, dan paling mudah diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga,
serta bagian bawah lidah. Sianosis biasanya tak diketahui sebelum
jumlah absolut hemoglobin tereduksi mencapai 5 g per 100 ml atau
lebih pada seseorang dengan konsentrasi hemoglobin yang normal.
Jumlah normal hemoglobin tereduksi dalam jaringan kapiler adalah
2,5 g per 100 ml.
Penderita anemia (konsentrasi hemoglobin rendah)
mungkin tak pernah meng- alami sianosis walaupun mereka
menderita hipoksia jaringan yang berat karena jumlah absolut
hemoglobin tereduksi kemungkinan tidak dapat mencapai 5 g per
100 ml. Sebaliknya, orang yang menderita polisitemia (konsentrasi
hemoglobin yang tinggi) dengan mudah mempunyai kadar
hemoglobin tereduksi 5 g per 100 ml walaupun hanya mengalami
hipoksia yang ringan sekali. Faktor-faktor lain yang menyulitkan
pengenalan sianosis adalah variasi ketebalan kulit, pigmen- tasi dan
kondisi penerangan.
Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi
pernapasan (sianosis sentral), sianosis perifer akan terjadi bila aliran
darah banyak berkurang sehingga sangat menurunkan saturasi
(kejenuhan) darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah
menjadi biru. Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensi
jantung, sumbatan pada aliran darah, atau vasokonstriksi pembuluh
darah akibat suhu yang dingin.Sianosis juga dapat ditimbulkan oleh
sejum lah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobin dalam sirkulasi,
walaupun jarang terjadi.

7) Hipoksemia
Hipoksemia merupakan penurunan oksigenasi dalam darah
arteri yang dibuktikan melalui penurunan PaO, pada pemeriksaan
gas darah arteri. Keadaan hipoksemia terjadi karena perubahan
respirasi, sedangkan hipoksia merupakan penurunan oksigenasi
jaringan pada tingkat seluler yang dapat disebabkan oleh keadaan-
keadaan yang mengenai sistem tubuh lain tetapi tidak ada berkaitan
dengan perubahan faal paru. Curah jantung yang rendah atau
keracunan sianida dapat menyebabkan hipoksia dan perubahan
respirasi. Hipoksia dapat terjadi pada bagian tubuh mana pun. Jika
hipoksia terjadi dalam darah, keadaan ini dinamakan hipoksemia.
Hipoksemia dapat menimbulkan hipoksia jaringan.
Hipoksemia dapat terjadi karena penurunan kandungan
oksigen dalam udara yang dihirup pada saat inspirasi,
hipoventilasi, kelainan difusi, rasio V/Q yang abnormal dan shunt
pulmoner dari kanan ke kiri. Berikut ini factor utama terjadinya
hipoksemia.
Penyebab Utama Faktor yang Mengontribusi
Penurunan oksigen yang Tempat tinggi, inhalasi, gas
dihirup saat inspirasi dengan kandungan oksigen yang
rendah atau bernafas dalam
ruangan tertutup
Hipoventilasi Pusat respirasi tidak terstimulasi
dengan tepat (seperti pada
keadaan oversedasi, overdosis,
atau kerusakan neurologi)
penyakit paru obstruktif
menahun.
Kelainan difusi kapiler alveoli Emfisema keadaan yang
menimbulkan fibrosis atau
edema paru.
Ketidakcocokan ventilasi- Penyakit asma, bronchitis kronis,
perfusi atau pneumonia.
Shuntting (permintasan) Sindrom gawat nafas dewasa,
sindrom distress pernafasan
idiopatik pada bayi baru lahir,
atau atelectasis (bocornya paru-
paru)

8) Hiperkapea
Seperti halnya ventilasi, yang dianggap memadai bila suplai
O2 seimbang dengan kebutuhan O2, maka demikian juga
pembuangan CO2 melalui paru-paru baru dianggap memadai bila
pembuangannya seimbang dengan pembentukan CO2. Karena CO2
mudah sekali mengalami difusi, maka tekanan CO2 dalam udara
alveolus sama dengan tekanan CO2 dalam darah arteri; dengan
demikian PaCO2 merupakan gambaran ventilasi alveolus yang
langsung dan segera dalam hubungannya dengan kecepatan
metabolisme. Ventilasi yang memadai akan mempertahankan kadar
PaCO2 sebesar 40 mm Hg.
Hiperkapnea didefinisikan sebagai peningkatan PaCO2
sampai di atas 45 mm Hg, sedangkan hipokapnea terjadi apabila
PaCO2 kurang dari 35 mm Hg. Penyebab langsung retensi CO2
adalah hipoventilasi alveolar (ventilasi kurang memadai, tak dapat
mengimbangi pembentukan CO2). Hiperkapnea selalu disertai
hipoksia dalam derajat tertentu apabila pasien bernafas dengan udara
yang terdapat dalam ruangan.
Penyebab utama dari hiperkapnea adalah penyakit
obstruktif saluran napas, obat-obat yang menekan fungsi pernapasan,
kelemahan atau paralisis otot pernapasan, trauma dada atau
pembedahan abdominal yang mengakibatkan pernapasan menjadi
dangkal, dan kehilangan jaringan paru-paru. Tanda-tanda klinik yang
dikaitkan dengan hiperkapnea adalah: kekacauan mental yang
berkembang menjadi koma, sakit kepala (akibat vasodilatasi
serebral), asteriksis ya atau flapping tremor, dan volume denyut nadi
yang besar disertai tangan dan kaki yang terasa panas dan
berkeringat (akibat vasodilatasi perifer karena hiperkapnea).
Hiperkapnea kronik diakibatkan oleh penyakit paru-paru kronik
dapat mengakibatkan pasien sangat toleran terhadap PaCO2 yang
tinggi, sehingga pernapasan terutama dikendalikan oleh hipoksia.
Dalam keadaan ini, bila diberi oksigen kadar tinggi, akan
menghambat pernapasan itu sendiri sehingga hiper- kapnea
bertambah berat.
Kehilangan CO2 dari paru-paru yang berlebihan
(hipokapnea) akan terjadi apabila terjadi hiperventilasi (ventilasi
dalam keadaan kebu- tuhan metabolisme meningkat untuk
membuang CO2). Penyebab umum hiperventilasi mekanis yang
berlebihan, kegelisahan, trauma serebral dan respon kompensasi
terhadap hipoksia. Tanda dan gejala yang sering berkaitan dengan
hipokapnea adalah sering mendesah dan menguap, pusing, palpitasi,
tangan dan kaki kesemutan dan baal, serta kedutan otot. Hipokapnea
hebat (PaCO2 <25 mm Hg).

2.1.3 Patofisiologi pada sistem pernapasan


Terdapat dua jenis penyakit pada pernapasan yaitu penyakit pada
pernapaan obstruktif dan restriktif , berikut ini penjelasan mengenai
definisi, etiologic, patofisiologi dan penatalaksanaan untuk kedua jenis
penyakit tersebut.
1. Asma
Asma adalah keadaan-keadaan yang menunjukan respon
abnormal saluran napas terhadap berbagai rangsangan yang
menyebabkan penyempitan jalan napas yang meluas.
Penyempitan jalan napas disebabkan oleh bronkospasme,
edema mukosa, dan hipersekresi mukus yang kental. Asma dibagi
menjadi tiga kategori. Asma ekstrinsik, atau alergik, ditemukan pada
sejumlah kecil pasien dewasa, dan disebabkan oleh alergen yang
diketahui. Bentuk ini biasanya dimulai pada masa kanak-kanak
dengan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit atopic termasuk
demam jerami, eczema, dermatitis dan asma sendiri. Asma alergi
disebabkan karena kepekaan individu terhadap alergen, biasanya
protein dalam bentuk serbuk sari yang dihirup, bulu halus binatang,
kain pembalut atau yang lebih jarang yaitu terhadap makanan seperti
susu dan coklat. Pada asma intrinstik atau idopatik, sering tidak
ditemukan faktor-faktor pencetus serangan asma yang jelas.
Faktor-faktor non spesifik seperti flu biasa, latihan fisik,
atau emosi dapat memicu serangan asma dan biasanya timbul sesudah
usia 40 tahun dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus
hidung. Makin lama serangan makin sering dan makin hebat, sehingga
akhirnya keadaan ini berkelanjutan menjadi bronchitis kronik dan
emfisema. Bentuk asma yang sering menyerang pasien adalah asma
campuran, yang mana terdiri dari komponen asma ekstrinsik dan
intrisik.
Setelah pasien terpapar alergen penyebab atau faktor
presipitasi, maka segera akan timbul dyspnea. Pasien akan merasa
tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha penuh
mengarahkan tenaga untuk bernapas. Berdasarkan perubahan-
perubahan anatomis yang terlah dijelaskan, maka dengan mudah
dilihat bahwa kesulitan utama terletak pada ekspirasi. Percabangan
trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi, tetapi sulit
untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit,
mengalami edema, dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan
berkontraksi sampai pada tingkatan tertentu pada ekspirasi. Udara
terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga terjadi
hiperinflasi progresif dari paru-paru. Sewaktu pasien berusaha
memaksakan udara keluar akan timbul mengi ekspirasi memanjang
yang merupakan ciri khas asma. Serangan asma dapat berlansung
beberapa menit sampai beberapa jam dengan batuk produktif yang
banyak sekali dengan sputum berwarna keputih-putihan.
Tanda dan gejala asma dapat di observasi secara objektif
diantaranya:
a) Dispnea mendadak, mengi dan rasa berat pada dada.
b) Batuk-batuk dengan sputum yang kental, jernih, atau pun
kuning.
c) Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi
aksesorius.
d) Denyut nadi yang cepat pengeluaran keringat (perspirasi) yang
banyak.
e) Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi.
f) Bunyi napas yang berkurang.
Terapi obat bagi penyakit asma secara khas didasarkan
pada intensitas penyakit. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut :
1) Pencegahan dengan mengenali dan menghindari fak- tor-faktor
presipitasi, seperti alergen atau iritan dari lingkungan;
pencegahan merupakan tindakan terbaik -desensitisasi
terhadap alergen tertentu sangat mem- bantujika stimulus tidak
bisa dihilangkan sepenuhnya- yang mengurangi intensitas
serangan asma ketika terpajan alergen tersebut di kemudian
hari
2) Pemberian preparat bronkodilator yang meliputi obat-obat
golongan metilxantin (teofilin serta amino- filin) dan agonis
adrenergik-beta, (albuterol dan terbuta- lin) untuk mengurangi
bronkokonstriksi, meredakan edema pada jalan napas bronkial,
dan meningkatkan ventilasi paru
3) Pemberian kortikosteroid (seperti hidrokortison sodium
suksinat, prednison, metil prednisolon dan beklometason)
untuk memberikan efek antiinflamasi dan imunosupresi, yang
akan mengurangi reaksi inflamasi dan edema pada jalan napas
-pemberian obat-obat penstabil sel mast (natrium kro- molin
dan natrium nedokromil) yang efektif bagi pasien asma atopik
dengan serangan musiman (Ketika diberikan sebagai terapi
profilaksis, obat-obat ini me- nyekat efek obstruksi akut yang
terjadi karena pajanan antigen; penyekatan efek obstruksi yang
akut ini ber- langsung lewat penghambatan degranulasi sel
mast dan dengan demikian mencegah pelepasan mediator
kimia yang menjadi penyebab reaksi anafilaktik.

2. Bronkitis kronik
Bronkitis kronis merupakan inflamasi pada bronkus yang
disebabkan oleh iritan atau infeksi. Bronkitis yang merupa- kan
salah satu bentuk PPOM dapat diklasifikasikan sebagai bronkitis
akut atau kronis. Pada bronkitis kronis, hipersekresi mukus serta
batuk produktif yang kronis berlangsung selama tiga bulan dalam
satu tahun dan terjadi sedikitnya selama dua tahun berturut-turut.
Ciri khas bronkitis yang membedakan adalah obstruksi jalan napas.
Penyebab bronkitis kronis yang sering ditemukan meliputi:
1) Pajanan unsur iritan
2) Kebiasaan merokok
3) Predisposisi genetik
4) Pajanan debu organik atau anorganik
5) Pajanan gas berbahaya
6) Infeksi saluran napas
Pada awalnya hanya bronkus besar yang terlibat inflamasi ini,
tetapi kemudian semua saluran napas turut terkena. Jalan napas
menjadi tersumbat dan terjadi penutupan, khususnya pada saat
ekspirasi. Dengan demikian, udara napas akan terperangkap di
bagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi hipoventilasi yang
menyebabkan ketidakcocokan V/Q dan akibatnya timbul
hipoksemia.
Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena
hipoventilasi. Resistensi vaskuler paru meningkat ketika
vasokonstriksi yang terjadi karena inflamasi dan kompensasi pada
daerah-daerah yang mengalami hipoventilasi membuat arteri
pulmonalis menyempit. Peningkatan resistensi vaskuler paru
menimbulkan afterload ventrikel kanan. Dengan terjadinya episode
inflamasi berulang, terjadilah pembentukan parut pada jalan napas
dan perubahan struktur yang permanen. Infeksi respiratorius dapat
memicu eksaserbasi akut dan dengan demikian dapat terjadi gagal
napas.
Pasien bronkitis kronis akan mengalami penurunan
dorongan untuk bernapas. Hipoksia kronis yang ditimbulkan
menyebabkan ginjal menghasilkan eritropoietin, yang akan
menstimulasi produksi sel darah merah dan menimbulkan
polisitemia. Meskipun kadar hemoglobin tinggi, namun jumlah
hemoglobin tereduksi (yang tidak teroksigenasi sepenuhnya) yang
mengalami kontak dengan oksigen rendah sehingga terjadi
sianosis.
Pada bronkitis kronis ini terdapat beberapa tanda dan gejala
yang spesifik yaitu :
 Sputum yang banyak dan berwarna kelabu, putih, atau pun
kuning yang dihasilkan oleh paru-paru
 Batuk produktif untuk mengeluarkan mukus yang
diproduksi oleh paru-paru dispnea akibat obstruksi jalan
napas pada percabangan trakeobronkial bagian bawah .
 Sianosis yang berhubungan dengan penurunan oksigenasi
dan hipoksia seluler; penurunan pasokan oksigen ke dalam
jaringan
 Penggunaan otot-otot aksesorius pernapasan akibat upaya
yang bersifat kompensasi untuk memasok lebih banyak
oksigen ke dalam sel
 Takipnea akibat hipoksia
 Edema pedis akibat gagal jantung kanan
 Distensi vena leher akibat gagal jantung kanan penambahan
berat badan akibat edema mengi akibat aliran udara
melewati saluran napas yang sempit
 Pemanjangan waktu ekspirasi akibat upaya tubuh
mempertahankan patensi jalan napas
 Ronki akibat aliran udara melewati saluran napas yang sel-
sel sempit dan berisi mukus
 Hipertensi pulmoner yang disebabkan oleh keterlibatan
arteri pulmonalis yang kecil; keadaan ini terjadi karena
 inflamasi pada dinding bronkial dan spasme pembuluh
darah pulmoner akibat hipoksia.
 Tindakan menghindari polutan udara (paling efektif)
tindakan menghentikan kebiasaan merokok dan
menghindari asap rokok -pemberian antibiotik untuk
mengatasi infeksi yang kambuhan -pemberian obat-obat
golongan bronkodilator untuk meredakan bronkospasme
dan memfasilitasi klirens mukosilier.
 Terapi hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan secret.
 Fisioterapi dada untuk memobilisasi secret.
 Penggunaan alat nebulizer ultrasonik atau mekanis untuk
mengencerkan dan memobilisasi secret.
 Pemberian kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi.
 Pemberian obat-obat golongan diuretik untuk mengurangi
edema.
 Pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksia.
3. Emfisema
Emfisema merupakan pelebaran asinus yang abnormal,
permanen, dan disertai destruksi dinding alveoli paru. Obstruksi
pada emfisema lebih disebabkan oleh perubahan jaringan daripada
produksi mukus, seperti yang terjadi pa- da asma dan bronkitis
kronis. Karakteristik emfisema yang membedakannya dari keadaan
lain adalah keterbatasan alir- an udara napas yang disebabkan oleh
penurunan pengem- bangan paru secara elastis (elastic recoil of the
lungs).
Emfisema lebih sering dialami oleh pria ketimbang wanita.
Sekitar 63% pasien emfisema yang diagnosisnya sudah pasti
ditemukan pada kaum pria, sementara 35% yang lain pada kaum
wanita. Biasanya emfisema disebabkan oleh defisiensi antitripsin-
alfa, (AAT) dan kebiasaan merokok.
Emfisema primer memiliki keterkaitan dengan defisiensi
kongenital enzim AAT yang merupakan komponen utama i
globulin-alfa,, AAT akan menghambat pengaktivan bebe rapa
enzim proteolitik. Defisiensi enzim ini merupakan sifat autosom-
resesif yang adalah faktor predisposisi yang membuat individu
menderita emfisema karena proses proteolisis dalam jaringan paru
tidak bisa dihambat. Individu 5 yang homozigous memiliki
peluang sebesar 80% untuk 3 menderita penyakit paru. Individu
yang memiliki kebiasaan merokok mempunyai peluang yang lebih
besar lagi untuk terkena emfisema. Pasien yang terkena emfisema
sebelum usia 40 tahun atau pada awal usia tersebut dan penderita
emfisema yang bukan perokok diyakini mengalami defisiensi AAT.
Pada emfisema, inflamasi yang rekuren akan menyertai
pelepasan enzim-enzim proteolitik dari sel-sel paru. Keada an ini
menimbulkan pelebaran ireversibel ruang-ruang udara di sebelah
distal bronkiolus terminalis. Pelebaran ruang-ruang udara ini akan
menghancurkan dinding alveoli dan kehancuran dinding alveoli ini
selanjutnya akan meru- sak elastisitas paru serta menghilangkan
jaringan fibrosa serta otot sehingga paru-paru menjadi tidak lentur
lagi.
Pada pasien emfisema, inflamasi paru yang rekuren akan
merusak din- ding alveoli dan akhirnya menghancurkan dinding
tersebut sehingga terbentuk ruang udara yang besar. (Lihat Melihat
alveoli paru yang abnormal) Septum interalveolaris (sekat antara
alveoli) pada mulanya turut hancur sehingga menghilangkan
sebagian capillary bed dan meningkatkan volume udara dalam
asinus. Kerusakan ini membuat alveoli tidak bisa balik ke keadaan
semula secara normal setelah mengembang dan menyebabkan
kolaps bronkiolus pada saat ekspirasi. Dinding alveoli paru yang
rusak atau hancur tidak dapat lagi menyangga saluran napas untuk
mem- buatnya tetap terbuka. (Lihat Udara yang terperangkap pada
emfisema.) Jumlah udara yang dapat dihembuskan keluar secara
pasif pada waktu ekspirasi akan berkurang sehingga udara tersebut
terperangkap dalam paru-paru dan menimbulkan distensi paru
berlebihan. Hiperinflasi alveoli paru akan menghasilkan bullae
(ruang udara) yang dekat dengan pleura (blebs).
Destruksi septum interalveolaris juga mengurangi diameter
lumen saluran napas. Sebagian udara yang dihirup pada tiap kali
inspirasi akan terperangkap karena terdapat peningkatan volume
residu dan pe- nurunan diameter lumen saluran napas. Destruksi
septum bisa saja hanya memengaruhi bronkiolus respiratorius dan
duktus alveolaris sementara sakus alveolaris masih utuh (emfisema
sentriasiner), atau dapat melibatkan seluruh asinus (emfisema
panasiner) disertai kerusakan yang lebih acak serta meliputi lobus
inferior paru.
Tanda dan gejala emfisema dapat meliputi takipnea yang
berhubungan dengan penurunan oksigenasi dispnea d'effort yang
sering menjadi gejala dada berbentuk tong (barrel chest) akibat
distensi dan pengembangan paru yang berlebihan dan
waktu ekspirasi yang memanjang dan bunyi stridor akibat
penggunaan otot-otot aksesorius untuk inspirasi dan otot-otot
abdomen untuk ekspirasi -penurunan bunyi napas akibat udara
yang terperangkap dalam alveoli dan destruksi dinding alveoli
Penatalaksanaan emfisema secara khas meliputi:
1) Penghentian kebiasaan merokok untuk mempertahankan
alveoli paru yang masih tersisa.
2) Tindakan menghindari polusi udara untuk mempertahankan
alveoli paru yang masih tersisa.
3) Pemberian bronkodilator seperti obat-obat golongan
penyekat-beta adrenergik, albuterol serta ipratropium.
4) untuk memulihkan bronkospasme dan meningkatkanklirens
mukosilier.
5) Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi saluran napas
atas.

4. Bronkietasis
Bronkiektasis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi
kronik bronkus dan bronkiolus ukuran sedang (kira-kira generasi
percabangan keempat sampai kesembilan).Bronkiektasis timbul
apabila dinding bronkus melemah akibat perubahan peradangan
kronik yang mengenai mukosa serta lapisan otot. Bahan purulen
terkumpul pada daerah yang melebar ini dan mengakibatkan
infeksi yang menetap pada segmen atau lobus yang terserang.
Infeksi kronik selanjutnya semakin merusak dinding bronkus, dan
terbentuk suatu lingkaran yang tidak berkesudahan. Tidak ada
penyebab tunggal yang khas dari bronkiektasis karena penyakit ini
dilandasi oleh suatu kelainan anatomis.
Inflamasi yang terjadi pada dinding bronkial menyebabkan
hilangnya dari elastin yang dapat menyebabkan kehancuran dari
otot dan kartilago. Mekanisme spesifik dari kehilangan ini
menyebabkan terjadinya dilatasi. Hal ini pun dapat menyebabkan
terjadinya fibrosis pada dinding saluran pernapasan, atelektasis,
dan perubahan pribronkial pneumonik.
Bronkiektasis folikular ditandai dengan adanya folikel
limfoid pada dinding bronkial. Proses inflamasi terjadi pada
saluran napas yang lebih kecil menyebabkan pelepasan mediator.
Sehingga, terjadi perburukan kerusakan elastin yang menyebabkan
dilatasi bronkial. Progresi dari folikel limfoid dapat menyebabkan
obstruksi saluran udara.
Penatalaksanaan bronkiektasis ditujukan untuk mencegah
eksaserbasi, mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup
pasien, dan menghentikan progresivitas penyakit. Klirens saluran
pernapasan dan pemberian antibiotik masih menjadi pilihan utama
pada tata laksana bronkiektasis. Pembedahan dapat dilakukan
apabila terjadi bronkiektasis berat yang berisiko mengancam
nyawa.
Tanda dan Gejala bronkiektasis yang paling sering terlihat
adalah:
 Batuk yang diikuti dengan keluarnya dahak yang berwarna
kuning pucat, kehijauan, atau bening. Batuk terjadi setiap
hari.
 Batuk yang disertai dengan darah.
 Mengalami infeksi saluran napas yang berulang atau
kambuhan.
 Mengalami sesak napas.
 Mengalami bengek atau mengi.
 Mengalami nyeri dada.
 Penurunan berat badan.
 Terjadi perubahan pada bagian ujung jari.
5. Fibrosis kistik
Fibrosis kistik atau mukovisidosis adalah suatu penyakit
yang bersumberkan pada cairkan sekresi dan diikuti dengan
drainase postural dan perkusi. Dan terjadi pada sekitar satu di
antara 2.000 kelahiran bangsa kulit putih, tetapi jarang di antara
mereka yang berkulit hitam.
Kelenjar-kelenjar eksokrin yang menghasilkan mukus dan
beberapa cairan eksokrin lain, membentuk sekret abnormal yang
lengket. Sekret yang lengket ini seringkali mengakibatkan
penyumbatan pada saluran pankreas, hati dan bronkiolus.
Selanjutnya, penyumbatan ini dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan fibrosis pada organ yang bersangkutan. Beberapa pasien
mungkin dapat hidup sampai mencapai usia dewasa, tetapi
biasanya mereka tak dapat melebihi usia remaja.
Patofisiologi Cystic Fibrosis Cystic Fibrosis
merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi gen yang
terletak pada kromosom 7. Mutasi gen ini menyebabkan hilangnya
fenilalanin pada rantai asam ammino 508 yang dikenal sebagai
regulator transmembran fibrosis kistik (CFTR).
Penatalaksanaan fibrosis kistik bertujuan untuk mengobati
gejala dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Anak dengan fibrosis
kistik harus mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi yang adekuat,
sehingga pertumbuhannya tidak terganggu. Oleh karena itu,
penanganan penyakit ini termasuk multidisiplin spesialis dan
membutuhkan kontrol rutin pasien.
Tanda dan gejala pada fibrosis kistik meliputi :
 Batuk berkepanjangan
 Sesak napas atau sulit bernapas
 Saluran hidung meradang atau hidung tersumbat
 Sinusitis berulang
Penderita fibrosis kistik yang mengalami gangguan pada sistem
pencernaannya akan mengalami gejala-gejala seperti penurunan
berat badan atau bahkan pertumbuhan yang terhambat akibat
makanan yang tidak tercerna dengan baik sehingga penderita
kekurangan nutrisi atau malnutrisi dan tekstur tinja yang
menggumpal, berminyak, dan berbau tajam.
6. Gangguan pleura
Efusi Pleura adalah membran tipis yang membungkus paru-
paru.Pleura yang melekat pada paru-paru adalah pleura visceralis,
yang berjalan dari pangkal masing-masing paru (hilus) menuju
permukaan dalam dinding toraks membentuk pleura parietalis.
Secara umum efusi pleura berdasarkan jenis cairannya atau
berdasarkan komposisi cairan dapat dibagi menjadi transudat atau
eksudat. Penyebab antara transudat dan eksudat ini biasanya dibuat
pada saat torakosintesis. Penyebab efusi pleura lainnya yang lebih
spesifik adalah chylotoraks dan hemotoraks.
Cairan yang terakumulasi didalam kavum pleura umumnya
timbul apabila cairan yang diproduksi lebih banyak dibandingkan
yang diresorbsi. Hal ini bisa disebabkan karena adanya
peningkatan tekanan mikrovaskuler paru (contohnya pada kasus
gagal jantung), berkurangnya tekanan onkotik (pada kasus
hipoproteinemia), peningkatan permeabilitas mikrovaskuler,
berkurangnya drainage limfatik (pada kasus limfangitis), atau
adanya defek pada diafragma sehingga cairan peritoneal dapat
masuk kedalam kavum pleura. Tanda dan gejala efusi pleura
lainnya yang umum terjadi adalah ,batuk kering, sesak napas,
cegukan, nyeri dada (terutama saat batuk dan bernapas) dan sulit
bernapas (terutama saat telentang (orthopnea)).
Penatalaksanaan pada efusi pleura adalah paliasi atau
mengurangi gejala. Pilihan terapi harus tergantung pada prognosis,
kejadian efusi berulang, dan keparahan gejala pada pasien. Berikut
ini penatalaksanaan lebih spesifik dari efusi pleura.
 Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura baru yang
tidak tau penyebabnya. Obeservasi dan optimal medical
therapy (OMT) tanpa dilakukan thorasentesis merupakan
hal yang wajar dalam penanganan efusi pleura karena gagal
jantung atau setelah operasi CABG.
 Pemeriksaan laboratorium Analisis cairan pleura,
penampilan makroskopis cairan pleura harus diperhatikan
saat dilakukan thoracentesis, karena dapat menegakkan
diagnosis.
 Kimia darah, pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi
glukosa dalam cairan pleura berbanding lurus dengan
kelainan patologi pada cairan pleura. Asidosis cairan pleura
(pH rendah berkorelasi dengan prognosis buruk dan
memprediksi kegagalan pleurodesis. Pada dugaan infeksi
pleura, pH kurang dari 7,20 harus diobati dengan drainase
pleura.

7. Emboli paru-paru
Sebagai komplikasi paru yang paling sering ditemukan
pada pasien yang dirawat di rumah sakit, emboli paru merupakan
keadaan arterial bed pulmoner tersumbat oleh trombus yang lepas,
massa pada katup jantung, atau benda asing. Diperkirakan kejadian
ini mengenai sekitar 6 juta orang dewasa setiap tahun di Amerika
dan menimbulkan 100.000 kematian. Meskipun infark paru yang
terjadi karena emboli dapat bersifat ringan dan asimptomatik, na-
mun emboli paru yang masif (menimbulkan obstruksi sir- kulasi
darah arteri paru melebihi 50%) dan infeksi yang menyertai dapat
membawa kematian dengan cepat.
Emboli paru umumnya terjadi karena pelepasan trombus
yang berasal dari dalam vena-vena tungkai atau pelvis. Lebih dari
separuh trombus tersebut terbentuk dalam vena profunda tungkai.
Sumber trombus yang lebih jarang ada- lah vena pelvis, vena
renalis, vena hepatika, jantung kanan dan ekstremitas atas.
Faktor predisposisi emboli paru meliputi imobilitas jangka-
panjang, penyakit paru kronis, gagal jantung atau fibrilasi atrium,
tromboflebitis, polisitemia vera, trombosi tosis, anemia hemolitik
autoimun, penyakit sel sabit, venn varikosa, pembedahan yang
baru saja dilakukan, usia lanjut, kehamilan, fraktur atau
pembedahan pada ekstre- mitas bawah, luka bakar, obesitas, cedera
vaskuler, kanker, pemberian obat IV, penyalahgunaan obat atau
pemakaian obat kontrasepsi oral.
Pembentukan trombus terjadi langsung karena kerusakan
dinding vaskuler, venostasis, atau hiperkoagulabilitas darah.
Trauma, gangguan pelarutan darah, spasme otot mendadak,
perubahan tekanan intravaskuler, atau per- ubahan aliran darah tepi
dapat membuat trombus terlepas atau pecah. Kemudian trombus
tersebut yang kini disebut emboli-akan berjalan ke jantung kanan
dan masuk ke dalam paru-paru melalui arteri pulmonalis. Di dalam
paru- paru, emboli dapat dilarutkan, terus pecah menjadi fragmen
kecil-kecil atau bertumbuh.
Dengan menyumbat arteri pulmonalis, emboli meng-
balangi alveoli dalam memproduksi cukup surfaktan untuk
mempertahankan integritas alveoli. Akibatnya, terjadi kolaps
alveoli dan timbul atelektasis. Jika ukuran emboli bertambah besar,
emboli ini dapat menyumbat sebagian besar atau seluruh pembuluh
darah paru dan menyebabkan kematian.
Kadang-kadang emboli mengandung udara, lemak, bakteri,
cairan ketuban, tale (dari obat-obat yang dimak- sudkan untuk
pemakaian oral, tetapi kemudian disuntikkan ke dalam vena oleh
para pecandu obat bius), atau sel-sel tumor
Tanda dan gejala emboli yaitu oklusi total arteri pulmonalis
utama akan membawa kematian dengan cepat. Emboli yang
berukuran lebih kecil atau merupakan fragmen kecil-kecil akan
menimbulkan keluhan dan gejala yang bervariasi menurut ukuran,
jumlah, serta lokasi. Biasanya gejala pertama emboli paru adalah
sesak napas (dispnea), yang bisa disertai nyeri dada yang bersifat
anginal atau pleuritik. Gambaran klinis lain berupa takikardia,
batuk produktif (sputumn dapat beroda darah), demam subfebris,
dan efusi pleura. Tanda lain yang lebih jarang terjadi meliputi
hemoptisis massif.
Penanganan emboli paru dirancang untuk mempertahankan
fungsi kardiovaskuler serta paru yang adekuat selama resolusi
obstruksi dan mencegah rekurensi emboli. Karena sebagian besar
emboli akan terserap (atau mengalami resolusi) dalam tempo 10
hingga 14 hari, penanganannya hanya terdiri atas terapi oksigen
sebagaimana diperlukan dan terapi antikoagulasi dengan heparin
untuk menghambat pembentukan trombus yang baru. Terapi
heparin dipantau dengan pemeriksaan koagulasi tiap hari (partial
thrombo- plastin time, PTT).
Pasien yang menderita emboli paru yang masif dan syok
memerlukan terapi fibrinolitik dengan urokinase, streptokinase,
atau alteplase untuk meningkatkan fibrino- lisis emboli paru dan
trombus yang masih tersisa, Emboli yang menyebabkan hipotensi
membutuhkan pemberian obat-obat golongan vasopresor, Terapi
emboli septik me- merlukan pemberian antibiotik dan bukan
antikoagulan, dan membutuhkan pemeriksaan evaluasi untuk
menentukan sumber infeksi, khususnya endokarditis.
Pembedahan dikerjakan pada pasien yang tidak bisa
menjalani terapi antikoagulan (karena baru menjalani pem-
bedahan atau karena menderita kelainan darah), atau pada pasien
yang menderita emboli rekuren selama terapi anti- koagulan.
Pembedahan (yang tidak boleh dilakukan tanpa hasil pemeriksaan
angiografi yang membuktikan adanya emboli paru) terdiri atas
ligasi vena kava, plikasi, atau pemasangan alat khusus (umbrella
filter) untuk menyaring darah yang akan kembali ke jantung dan
paru-paru. Untuk mencegah tromboemboli vena pascabedah dapat
dilakukan terapi kombinasi heparin dengan dihidroergotamin.

8. Edema paru-paru
Edema paru merupakan keadaan penumpukan cairan di
dalam ruang ekstravaskuler paru. Keadaan ini merupakan
komplikasi yang sering ditemukan pada gangguan jantung dan
dapat timbul dengan cepat serta membawa akibat fatal.
Edema paru terjadi karena gagal jantung kiri yang disebab
kan oleh arteriosclerosis, kardiomiopati, hipertensi, penyakit
jantung valvuler. Faktor-faktor yang merupakan predisposisi edema
paru meliputi:
 Keracunan opiat atau barbiturat
 Gagal jantung
 Pemberian infus yang berlebihan atau terlalu cepat
 Drainase limfatik paru yang terganggu (akibat penyakit
Hodgkin atau limfangitis obliterasi pascaradiasi)
 Inhalasi gas yang iritatif
 Stenosis mitral dan miksoma atrium kiri (yang meng
ganggu pengosongan atrium kiri)
 Pneumonia
 Penyakit aklusi vuna pulmonalis
Pada kondisi normal, tekanan hidrostatik kapiler paru,
tekanan onkotik kapiler, permeabilitas kapiler, dan drainase
limfatik berada dalam keadaan seimbang. Kalau keseim- bangan
ini terganggu atau kalau sistem drainase limfatik tersumbat, cairan
akan menginfiltrasi paru-paru dan terjadi edema paru. Jika tekanan
hidrostatik kapiler paru mening- kat, ventrikel kiri yang terganggu
menserlukan peningkatan tekanan pengisian untuk
mempertahankan curah jantung yang adekuat. Tekanan ini akan
ditransmisi ke atrium kiri, vena pulmonalis, dan capillary bed
pulmoner sehingga memaksa cairan serta larutan mengalir dari
ruang intra- vaskuler ke dalam ruang interstisial paru. Ketika di
dalam ruang interstisial terdapat kelebihan muatan cairan, cairan
ini akan membanjiri alveoli perifer dan mengganggu pert karan
gas.
Apabila terjadi penurunan tekanan osmotik koloid, gaya
hidrostatik yang mengatur cairan intravaskuler (gaya penarikan
yang alami) akan hilang karena tidak ada lawan yang
mengimbangi. Cairan akan mengalir dengan bebas ke dalam ruang
interstisial dan alveoli sehingga mengganggu pertukaran gas dan
menimbulkan edema paru.
Penyumbatan saluran limfe dapat terjadi karena kom presi
oleh edema atau jaringan fibrotik tumor dan karena peningkatan
tekanan vena sistemik. Tekanan hidrostatik dalam vena-vena
pulmonalis yang besar akan meningkat, sistem limfatik paru tidak
bisa mengalirkan cairan limfe dengan benar ke dalam vena
pulmonalis, dan cairan yang berlebihan itu akan berpindah ke
dalam ruang interstisial. Dengan demikian, terjadi edema paru
akibat penumpukan cairan.
Cedera kapiler, seperti yang terjadi pada adult respiratory
distress syndrome (ARDS) atau pada inhalasi gas beracun, akan
meningkatkan permeabilitas kapiler. Cedera tersebut menyebabkan
protein plasma serta air mereinbes keluar dari kapiler dan mengalir
ke dalam ruang interstisial sehingga terjadi peningkatan tekanan
onkotik interstisial yang pada kondisi normal rendah. Tekanan
onkotik interstisial mulai menyamai tekanan onkotik kapiler dan
air mulai merembes keluar dari dalam kapiler untuk masuk ke
dalam paru-paru sehingga terjadi edema paru.
Tanda dan gejala keadaan awal edema paru dapat meliputi:
 Pernapasan yang tersengal-sengal dan cepat akibat hipoksia
 Bunyi ronki basah yang lebih difus dan terdengar ke- tika
udara napas bergerak melewati cairan di dalam paru-paru
 Batuk yang menghasilkan sputum yang berbuih dan
mengandung darah.
 Peningkatan takikardia akibat hipoksemia
 Aritmia akibat hipoksemia miokardium
 Kulit yang dingin dan basah akibat vasokonstriksi perifer.
Penanganan edema paru dirancang untuk mengurangi
cairan ekstravaskuler, memperbaiki pertukaran gas serta fungsi
miokard, dan, kalau memungkinan, inengoreksi keadaan patologis
yang mendasari. Koreksi gangguan ini secara khas meliputi:
 Pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi lewat kanula
hidung untuk meningkatkan pertukaran gas dan
memperbaiki oksigenasi.
 Pelaksanaan ventilasi yang dibantu untuk memperbaiki
penyampaian oksigen ke jaringan dan meningkatkan
keseimbangan asam-basa.
 Pemberian diuretik, seperti furosemid dan bumetanid, untuk
meningkatkan urinasi, yang akan membantu menggerakkan
cairan ekstravaskuler.
 Pemberian obat-obat golongan inotropik positif, seper ti
digoksin dan inamrinon, untuk meningkatkan kon-
traktilitas pada disfungsi miokard.

9. Kor pulmonal
Kor pulmonale (yang disebut pula gagal jantung kanan)
merupakan keadaan terdapat hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan,
yang terjadi sekunder karena penyakit pada struktur atau fungsi
paru-paru atau sistem pembuluh darah. Keadaan ini bisa terjadi
pada sta- dium akhir berbagai gangguan kronis yang mengenai
paru- paru, pembuluh darah pulmoner, dinding dada dan pusat
kendali pernapasan. Kor pulmonale tidak terjadi pada gang- guan
yang berasal dari penyakit jantung kongenital atau pada gangguan
yang mengenai jantung sebelah kiri.
Sekitar 85% pasien kor pulmonale juga menderita penyakit
paru obstruktif menahun (PPOM) dan sekitar 25% pasien PPOM
bronkial pada akhirnya akan mengalami kor pulmonale. Gangguan
ini paling sering ditemukan di antara para perokok dan pada laki-
laki usia pertengahan hingga lanjut; namun insidensi kor
pulmonale di antara kaum wanita juga semakin meningkat. Karena
kor pulmonale terjadi kemudian dalam perjalanan masing-masing
penyakit yang mendasarinya dan juga dijumpai bersama dengan
penyakit ireversibel lain maka gangguan ini memiliki prognosis
yang buruk.
Penyebab kor pulmonale yang sering ditemukan meliputi
gangguan yang mengenai parenkim paru – PPOM, asma bronkial,
hipertensi pulmoner primer, vasculitis, emboli paru, obstruksi
eksternal pembuluh darah akibat tumor atau aneurisma,
kifoskoliosis, pektus ekskavatum (funnel chest), distrofi muskuler,
poliomielitis, obesitas, tempat tinggi (tinggal di pegunungan, dll.)
Pada kor pulmonale, hipertensi pulmoner akan mening-
katkan beban kerja jantung Untuk mengimbanginya, ventrikel
kanan mengalami hipertrofi guna memaksa darah mengalir melalui
paru-paru. Selama jantung dapat mengim bangi peningkatan
resistensi vaskuler pulmoner ini, tanda dan gejala hanya
mencerminkan penyakit yang ada di balik kor pulmonal.
Tingkat keparahan pembesaran ventrikel kanan pada kor
pulmonale disebabkan oleh peningkatan afterload. Pembuluh darah
yang tersumbat akan mengganggu keniam- puan jantung untuk
menghasilkan cukup tekanan. Hiper- tensi pulmoner terjadi karena
peningkatan aliran darah yang diperlukan untuk oksigenasi
jaringan.
Sebagai respons terhadap keadaan hipoksia, sumsum tulang
memproduksi lebih banyak sel darah merah sehingga terjadi
polisitemia. Akibatnya, akan timbul peningkatan viskositas darah
yang membuat hipertensi pulmoner semakin parah. Keadaan ini
meningkatkan beban kerja ventrikel kanan dan menyebabkan gagal
jantung (Lihat Kor pulmo- nale: sebuah tinjauan).
Mekanisme kompensasi mulai mengalami kegagalan dan
jumlah darah yang tersisa dalam ventrikel kanan pada akhir diastol
semakin bertambah sehingga terjadi dilatasi ventrikel. Peningkatan
tekanan intratorakal akan menghalangi aliran balik vena dan
menaikkan tekanan vena jugularis. Edema perifer dapat terjadi, dan
hipertrofi ven- trikel kanan bertambah secara progresif. Arteri
pulmonalis utama melebar, keadaan hipertensi pulmoner semakin
bertambah berat dan akhirnya terjadi gagal jantung.
Tanda dan gejala pasien kor pulmonale yang masih dalam
stadium dini dapat ditemukan mengalami batuk produktif yang
kronis untuk mengeluarkan sekret dari dalam paru-paru, dispnea
d'effort akibat hipoksia, bunyi pada ekspirasi akibat penyempitan
jalan napas, keluhan keletihan dan lemah akibat hipoksemia.Pasien
kor pulmonale yang progresif dapat ditemukan mengalami:
 Dispnea pada saat istirahat akibat hipoksemia
 Takipnea akibat penurunan oksigenusi pada jaringan
 Ortopnea akibat edema paru
 Edema dependen akibat gagal jantung kanan
 Distensi vena leher akibat edema paru
 Pembesaran dan nyeri tekan pada hati yang berhubungan
dengan polisitemia dan penurunan curah jantung.
 Refluks hepatojuguler (distensi vena jugularis yang terlihat
ketika hati ditekan) akibat gagal jantung kanan
 Gangguan rasa nyaman pada abdomen kuadran kanan atas
akibat pembesaran hati
 Takikardia akibat penurunan curah jantung dan peningkatan
hipoksia.
 Denyut nadi yang melemah akibat penurunan curah jantung
 Bising pansistolik pada tepi stemum kiri bawah

Terapi kor pulmonale mempunyai tiga tujuan: mengurangi


hipoksemia serta vasokonstriksi pembuluh darah paru (arte- ri
pulmonalis), meningkatkan toleransi pasien terhadap latihan atau
aktivitas fisik, dan mengoreksi kondisi yang mendasari jika hal ini
memungkinkan. Penanganan kor puls monale meliputi:
a) Tirah baring untuk mengurangi kebutuhan miokardium akan
oksigen
b) Pemberian digoksin untuk meningkatkan kekuatan kontraksi
miokardium
c) Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi saluran napas
yang mendasari.
d) Pemberian obat-obat golongan vasodilator arteri pul- monalis
yang poten, seperti diazoksid, nitroprusid, hidralazin, inhibitor
ACE, penyekat saluran kalsium (calcium channel blockers),
atau prostaglandin untuk mengurangi hipertensi pulmoner
primer.
e) Pemberian secara terus-menerus oksigen dengan kece- patan
rendah untuk mengurangi hipertensi pulmoner, polisitemia,
dan takipnea.
f) Ventilasi mekanis untuk mengurangi beban kerja pernapasan
pada keadaan akut.
g) Diet rendah garam disertai pembatasan cairan untuk
mengurangi edema.
10. Kanker paru-paru
Kanker paru adalah pertumbuhan yang tidak terkontrol dari
sel-sel abnormal pada satu atau kedua paru. Sementara sel-sel
normal bereproduksi dan berkembang menjadi jaringan paru yang
sehat, sel-sel abnormal berkembang biak lebih cepat dan tidak
pernah tumbuh menjadi jaringan paru normal. Benjolan sel kanker
(tumor) kemudian terbentuk dan tumbuh. Selain mengganggu
fungsi paru, sel-sel kanker dapat menyebar dari tumor ke dalam
aliran darah atau sistem limfatik di mana mereka dapat menyebar
ke organ lain. Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit
keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru
sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di
paru). Kanker paru primer yaitu tumor ganas yang berasal dari
epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic carcinoma.
Patogenesis pada kanker paru mirip dengan kanker lainnya,
paru-paru diawali dengan aktivasi onkogen atau inaktivasi gen
penekan tumor. Karsinogen menyebabkan mutasi pada gen ini
yang menyebabkan perkembangan kanker. Perubahan epigenetik -
seperti perubahan metilasi DNA, modifikasi ekor histon, atau
regulasi RNA mikro - dapat menyebabkan inaktivasi gen penekan
tumor. Reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) mengatur
proliferasi sel, apoptosis, angiogenesis, dan invasi tumor.
Klasifikasi berdasarkan stadium kanker :
a) Stadium I: kanker masih berada dalam paru-paru dan belum
menyebar ke kelejar atau organ sekitarnya.
b) Stadium II: kanker masih berada dalam paru-paru, namun
telah menyebar ke kelejar getah bening di sekitarnya.
c) Stadium III: kanker telah menyebar ke kelenjar getah
bening yang letaknya jauh dari paru atau bagian tubuh
lainnya, seperti batang tenggorokan (trakea),
kerongkongan, dan pembuluh darah utama di jantung.
d) Stadium IV: kanker telah menyebar ke kedua paru dan
organ lain yang letaknya jauh dari paru, seperti otak dan
hati. Kanker juga menyebabkan penumpukan di paru-paru.
Penyebab pasti kanker paru belum diketahui, namun
paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama. Penyebab yang
meningkatkan terjadinya dari kanker paru adalah sebagai berikut:
1) Asap rokok Rokok adalah faktor risiko yang paling umum
terjadinya kanker paru-paru. Meski nikotin sendiri tidak
bersifat karsinogenik, ada sebanyak 55 zat dalam asap
rokok yang telah dianggap karsinogenik
2) Paparan zat karsinogen, seperti a. Asbestos, sering
menimbulkan mesotelioma b.Radiasi ion pada pekerja
tambang uranium c. Radon, arsen, kromium, nikel,
polisiklik hidrokarbon, vinil klorida
3) Polusi udara Bahan bakar biomassa yang belum diproses,
termasuk kayu, sisa tanaman, kotoran, dan batu bara.
4) Genetik Faktor genetik yang menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap kanker paru-paru menjadi lebih buruk.
Kerabat tingkat pertama pasien dengan kanker paru-paru
berada pada peningkatan risiko, bahkan setelah
menyesuaikan kebiasaan merokok.
Pengobatan tergantung pada tipe sel, ketahanan, dan status
fisiologis pasien (terutama jantung dan paru). Pengobatan pada
kanker paru mencakup:
1) Terapi Non-Bedah
 Terapi Oksigen, jika terjadi hipoksia, pasien dapat
diberikan terapi oksigen via masker atau nasal kanula
sesuai dengan kebutuhan.Terapi Diet, beberapa aspek
dalam nutrisi turut menyebabkan proses timbulnya
penyakit kanker
 Terapi Obat, jika pasien mengalami bronkospasme
biasanya dokter dapat memberikan obat golongan
bronkodilator/kortikosteroid untuk mengurangi
bronkospasme, inflamasi dan edema.
2) Terapi pembedahan
 Labektomi merupakan prosedur pembedahan dengan
cara mengangkat satu lobus paru yang terkena kanker.
 Labektomi sleeve merupakan prosedur pembedahan
dengan pengangkatan lobus yang mengalami kanker
serta segmen bronkus besar di reseksi.
 Pneumonektomi merupakan prosedur pembedahan
dengan pengangkatan seluruh paru.
3) Radioterapi
Radiasi dapat dilakukan untuk terapi tunggal maupun
kombinasi dengan terapi lain yang bertujuan untuk
menghancurkan sel kanker yang sedang membelah,
sementara sel normal diharapkan mengalami sedikit
kerusakan.
4) Kemoterapi dan Imunoterapi
Kemoterapi dilakukan untuk mengganggu pola
pertumbuhan tumor, terutama terjadinya metastase ke
daerah yang lebih luas dan mengurangi nyeri.
11. Tb paru-paru
TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang
paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma
dan menimbulkan nekrosi jaringan. Penyakit ini bersifat menahun
dan dapat menular dari penderita kepada orang lain.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan asam ini
dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada
beberapa mikobakteria patogen, tetapi hanya strain bovin dan
human yang patogenik terhadap manusia.
Ukuran dari Mycobacterium tuberculosis yaitu 1-4 mikron
x 0,3-0,6 mikron, berbentuk batang, tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranul, tidak mempunyai selubung, mempunyai lapisan luar
yang tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Kuman
terdiri dari asam lemak, sehingga kuman lebih tahan asam dan
tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran
pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.
Kebanyakan infeksi tuberkulosis terjadi melalui udara (airborne),
yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman
basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag,
sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya.
Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibat kan makrofag
yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.
Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat)
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya
diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga
basil; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di
saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan
penyakit Setelah berada dalam ruang alveolus biasanya di bagian
bawah lobus atas paru-paru atau di bagian atas lobus bawah basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut
dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme
tersebut. Sesudah hari pertama maka leukosit diganti oleh
makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan
timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh
dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau
proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel.
Secara rinci tanda gejala Tb paru dapat dibagi atas dua
golongan yaitu gelaja sistemik dan respiratorik.
a) Demam
Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru,
biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan
keringat mirip demam influenza yang segera mereda.
b) Malaise
Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat
terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan
berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan
pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.
c) Batuk
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan
bronkus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkhus
selanjutnya akibat adanya peradangan-peradangan pada
bronchus.
d) Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah.
e) Sesak nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan
kerusakan paru yang cukup luas.
f) Nyeri dada
Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat di
pleura terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau peluritik.
Pegobatan Tb diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal
(intensif) dan lanjutan. Pada tahap awal atau intensif obat diberikan
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat, bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tetap biasanya pasien yang menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar klien TB
BTA positif menjadi BTA negative (konversi) dalam 2 bulan.
Kemudian pada tahap lanjutan pemberian obat menjadi lebih
sedikit namun dalam waktu kurun waktu yang lama. Tahap ini
penting untuk mencegah terjadinya kekambuhan.
2.2 Gangguan Sistem Perkemihan
2.2.1 Definisi gangguan sistem perkemihan
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya
proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat- zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat- zat yang masih
dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh
tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih). Ginjal
melakukan fungsi yang paling penting dengan menyaring plasma dan
memindahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi
tergantung pada kebutuhan tubuh. Kemudian ginjal membuang zat
yang tidak diinginkan dengan filtrasi darah dan mengeksresi ke dalam
urine. Sementara zat yang dibutuhkan masuk kembali ke dalam darah.
Penyakit gangguan perkemihan merupakan salah satu penyakit
yang sering dijumpai di masyarakat Indonesia. Penyakit gangguan
perkemihan terdiri dari gangguan pada ginjal, ureter, kandung kemih,
dan uretra. Gangguan pada ginjal meliputi penyakit gagal ginjal,
glumerulonefritis dan penyakit batu ginjal.

2.2.2 Tanda dan gejala gangguan sistem perkemihan


A. Poliurasi atau sering miksi
B. Oliguri adalah jumlah urine yang keluar < normal, minimal
urine keluar 400 cc. 3. Stanguri adalah sering miksi, sedikit-
sedikit, lambat, sakit.
C. Urgency adalah berkeinginan untuk b.a.k tapi tidak terkontrol
untuk keluar.
D. Noktury adalah klien terbangun tengah malam untuk miksi.
E. Incontinensia urine adalah urine keluar dengan sendirinya
tanpa disadari.
F. Disuria adalah adanya rasa sakit sewaktu miksi.
G. Adanya rasa panas sewaktu miksi.
H. Hematuri adalah adanya darah yang keluar bercampur miksi.
I. Piuri adalah: adanya nanah dalam urine, keadaan ini diketahui
melalui pemeriksaan makroskopik, karena tidak semua urine
yang keruh mengandung nanah.
J. Lithuria adalah urine keluar bersama batu kecil sewaktu miksi.

2.2.3 Patofisiologi pada Sistem Perkemihan


1. Urolithiasis
Urolithiasis adalah suatu kelainan yang ditandai dengan adanya
batu di satu atau beberapa tempat di sepanjang collecting system
(Munver & Preminger, 2001).Batu saluran kemih adalah adanya batu
di traktus urinarius. (ginjal, ureter atau kandung kemih, uretra) yang
membentuk kristal; kalsium, oksalat, fosfat, kalsium urat, asam urat
dan magnesium. (Brunner & Suddath, 2002).Urolithiasis adalah batu
atau kalkuli dibentuk dalam saluran kemih mulai dari ginjal ke
kandung kemih oleh kristalisasi dari substansi ekskresi dalam urine
(Nursalam, 2007).Urolithiasis adalah suatu keadaan terbentuknya batu
(calculus) pada ginjal dan saluran kemih. (Toto Suharyanto, 2009).
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan
dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran
kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum
terungkap (idiopatik). Faktor predisposisi terjadinya batu pada saluran
kemih yaitu:
1) Infeksi, Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan
nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan
batu saluran kemih. Infeksi bakteri akan memecah ureum
dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine
menjadi alkali.

2) Stasis dan Obstruksi Urine, Adanya obstruksi dan stasis


urine akan mempermudah pembentukan batu saluran
kemih.
3) Ras, pada daerah tertentu angka kejadian batu saluran
kemih lebih tinggi daripada daerah lain, daerah seperti di
Afrika Selatan hampir tid, ak dijumpai penyakit batu
saluran kemih.
4) Keturunan
5) Air Minum, Memperbanyak diuresis dengan cara banyak
minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya
batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua
substansi dalam urine meningkat.
6) Pekerjaan, pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi
kemungkinan terbentuknya batu daripada pekerja yang
lebih banyak duduk.
7) Suhu, tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak
mengeluar kan keringat sedangkan asupan air kurang dan
tingginya kadar mineral dalam air minum meningkatkan
insiden batu saluran kemih.

Setiap orang mensekresi kristal lewat urine setiap waktu, namun


hanya kurang dari 10 % yang membentuk batu. Supersaturasi filtrat
diduga sebagai faktor utama terbentuknya batu, sedangkan faktor lain
yang dapat membantu yaitu keasaman dan kebasaan batu, stasis urine,
konsentrasi urine, substansi lain dalam urine (seperti : pyrophospat,
sitrat dan lain-lain).
Sedangkan materi batunya sendiri bisa terbentuk dari kalsium,
phospat, oksalat, asam urat, struvit dan kristal sistin. Batu kalsium
banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80 % dari seluruh batu saluran
kemih, kandungan batu jenis ini terdir atas kalsium oksalat, kalsium
fosfat atau campuran dari kedua unsur itu. Batu struvit disebut juga
batu infeksi karena terbentuknya batu ini disebabkan oleh adanya
infeksi saluran kemih, kuman penyebab infeksi ini adalah kuman
golongan pemecah urea atau 'urea splitter', yang dapat menghasilkan
enzim urease dan merubah urine menjadi basa. Batu struvit biasanya
mengandung magnesium, amonium dan sulfat.
Apabila intake cairan tidak adekuat atau seseorang mengalami
dehidrasi, maka supersaturasi akan terjadi dan kemungkinan
terjadinya batu kalsium sangat besar. pH urine juga dapat membantu
terjadinya batu atau sebaliknya, batu asam urat dan sistin cenderung
terbentuk pada suasana urine yang bersifat asam, sedangkan batu
struvit dan kalsium fosfat dapat terbentuk pada suasana urine basa,
adapun batu kalsium oksalat tidak dipengaruhi oleh pH urine
Batu yang besar dan menyumbat saluran kemih akan menyebabkan
obstruksi sehingga menimbulkan hidronefrosis atau kaliektasis.
Peningkatan tekanan akibat obstruksi menyebabkan ischemia arteri
renalis diantara korteks renalis dan medulla dan terjadi pelebaran
tubulus sehingga dapat menimbulkan kegagalan ginjal. Obstruksi yang
tidak teratasi akan menyebabkan urine stasis yang menjadi
predisposisi terjadinya infeksi sehingga menambah kerusakan ginjal
yang ada.
Sebagian urine dapat mengalir kembali ke tubulus renalis masuk ke
vena dan tubulus getah bening yang bekerja sebagai mekanisme
kompensasi gand mencegah kerusakan ginjal. Ginjal yang tidak
menderita menigani bil alih eliminasi produk sisa yang banyak.
Karena obstruksi yang berkepanjangan, ginjal yang tidak menderita
membesar dan dapat berfungsi seefektif seperti kedua buah ginjal
seperti sebelum terjadi obstruksi. Obstruksi kedua belah ginjal
berdampak kepada kega galan ginjal. Hidronefrosis bisa timbul tanpa
gejala selama ginjal berfungsi adekuat dan urine masih bisa mengalir.
Adanya obstruksi dan infeksi akan menimbulkan nyeri koliks, nyeri
tumpul (dull pain), mual, muntah dan perkembangan hidronefrosis
yang ber langsung lamban dapat menimbulkan nyeri ketok pada
pinggang Kadang-kadang dijumpai hematuri akibat kerusakan epitel.
Batu yang keluar dari pelvis ginjal dapat menyumbat ureter yang
akan menimbulkan rasa nyeri kolik pada pinggir abdomen, rasa nyeri
bisa menjalar ke daerah genetalia dan paha yang disebabkan oleh
peningkatan aktivitas kegiatan peristaltik dari otot polos pada ureter
yang berusaha melepaskan obstruksi dan mendorong urine untuk
berlalu. Mual dan muntah seringkali menyertai obstruksi ureter akut
disebabkan oleh reaksi reflek terhadap nyeri dan biasanya dapat
diredakan setelah nyeri mereda. Ginjal yang berdilatasi besar dapat
mendesak lambung dan menyebabkan gejala gastrointestinal yang
berkesinambungan. Bila fungsi ginjal sangat terganggu, mual dan
muntah merupakan ancaman gajala uremia (Long, 1996).
Tanda dan gejala seseorang mengalami urolithiasis diantaranya :
1) Kolik renal atau ureter, tergantung dimana letak adanya
batu. Apabila batu ada di dalam pelvis ginjal, penyebab
nyerinya adalah hidronefrosis dan nyeri ini tidak tajam,
tetap dirasakan di area sudut kostovertebra. Apabila batu
turun ke dalam ureter, pasien akan mengalami nyeri yang
hebat, kolik dan rasa seperti ditikam. Nyeri ini bersifat
intermitten dan disebabkan oleh spasme (kejang) ureter dan
anoksia dinding ureter yang ditekan batu. Nyeri ini
menyebar ke area suprapubik, genitalia eksterna dan femur.
2) Nausea dan vomitus akibat adanya distesnsi abdomen
karena penekanan ginjal.
3) Demam dan menggigil karena infeksi.
4) Hematuria, karena adanya abrasi pada ureter karena batu.
5) Oliguria dan anuria, akibat adanya stasis urine.
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah menghilangkan batu,
menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan
infeksi, mengurangi obstruksi yang terjadi. Untuk mempertahankan
PH urine maka :
 Natrium bikarbonat untuk membuat urine lebih alkalin, pada
asam pencetus batu.
 Asam askorbat untuk membuat urine lebih asam, pada alkalin
pencetus batu.
 Diuretik tiazid untuk menurunkan ekskresi kalsium
 Alupurinal untuk mengatasi batu asam dengan menrunkan
kadar asam urat plasma.
 Pengangkatan batu melalui pembedahan: Pielolitotomi (batu
diangkat dari pelvis ginjal).
 Uretolitotomi (batu diangkat dari ureter).
 Sistolitotomi (batu diangkat dari kandung kemih).
 Depecahkan dengan ESWL (Ekstracorporal Short Wave
Lithotripsi) Menghancurkan batu menjadi partikel yang lebih
kecil agar bisa keluar bersama urine.
 Litotripsi ultrasonik perkutan (PUL) Terapi pelarutan
menggunakan larutan kimia khusus batu yang dimasukkan
melalui selang refrostomi untuk mengirigasi area dan
melarutkan batu.

2. Batu Ureter (Ureterolithiasis)


Ureterolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya penumpu kan
oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal.
Ureterolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan,
Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu mulai dengan
kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran
perkemihan yang tumbuh sebaga pencetus larutan urine. Calculi
bervariasi dalam ukuran dan dari fokus mikroskopik sampai beberapa
centimeter dalam diameter cukup besar untuk masuk dalam pelvis
ginjal.
Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke
ureter. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan
kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke
kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung
kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil
menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter
yang mungkin asimtomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang
didahului oleh serangan kolik.
Sampai saat sekarang penyebab terbentuknya batu belum diketahui
secara pasti. Beberapa faktor predisposisi terjadinya batu ginjal adalah

 Tubular rusak pada nefron, mayoritas terbentuknya batu .


 Immobilisasi
Kurang gerakan tulang dan muskuloskeletal menyebabkarı
penimbunan kalsium. Peningkatan kalsium di plasma akan
meningkatkan pembentukan batu.
 Infeksi
 Infeksi saluran kemih dapat menyebabkan nekrosis jaringan
ginjal dan menjadi inti pembentukan batu.
 Kurang minum
 Pekerjaan
Dengan banyak duduk lebih memungkinkan terjadinya
pemben tukan batu dibandingkan pekerjaan seorang buruh atau
petani.
 Iklim
Tempat yang bersuhu dingin (ruarig AC) menyebabkan k
kering dan pemasukan cairan kurang. Tempat yang bersih
panas misalnya di daerah tropis, di ruang mesin menye babkan
banyak keluar keringat, akan mengurangi produks urine.
 Makanan
Kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalsium sepert susu,
keju, kacang polong, kacang tanah dan coklat. Tinge purin
seperti: ikan, ayam, daging, jeroan. Tinggi oksalat seperti:
bayam, seledri, kopi, teh dan vitamin D.

Batu yang terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot


sistem pelvikalikes dan turun ke ureter menjadi batu ureter Tenaga
peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun
ke kandung kemih. Batu yang ukurannya kecil (< 5 mm) pada
umumnya dapat keluar spontan, sedangkan yang lebih besar sering
kali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan,
serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidronefrosis dan
hidroureter.
Batu yang terletak pada ureter mampu menimbulkan
obstruks saluran kemih dan menimbulkan kelainan struktur saluran
kemih sebelah atas. Obstruksi di ureter dapat menimbulkan
hidronefrosis dan hidroureter. Batu di pielum dapat menimbulkan
hidronefrosis dan batu di kaliks mayor dapat menimbulkan
kaliektasis pada kaliks yang bersangkutan.
Tanda dan gejala adanya batu yang terjebak di ureter adalah:
a) Adanya rasa nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang
menyebar ke paha dan genitalia
b) Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urine yang keluar
c) Hematuri akibat aksi abrasi batu.
d) Biasanya batu bisa keluar secara spontan dengan diameter batu
0,5-1 cm.
e) Pemberian cairan, kecuali pasien mengalami muntah atau
menderita gagal jantung kongestif atau kondisi lain yang
memerlukan pembatasan cairan.

Pengangkatan batu, pemeriksaan sistoskopik dan passase kateter


ureteral kecil untuk menghilangkan batu yang menyebabkan
obstruksi (jika mungkin), akan segera mengurangi tekanan
belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri. Berikut beberapa cara
menangani batu uretrer :

1) Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah batu ginjal.


2) Masukan cairan yang adekuat dan menghindari makanan
tertentu dalam diet yang merupakan bahan utama pem- bentuk
batu (misalnya: kalsium), efektif untuk mencegah
pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan ukuran batu
yang telah ada.
3) Minum paling sedikit 8 gelas sehari untuk mengencerkan
urine, kecuali dikontraindikasikan.
4) Batu kalsium, pengurangan kandungan kalsium dan fosfor
dalam diet dapat membantu mencegah pembentukan batu lebih
lanjut.
5) Batu fosfat, diet rendah fosfor dapat diresepkan untuk pasien
yang memiliki batu fosfat.
6) Batu oksalat, urine encer dipertahankan dengan pembatasan
pemasukan oksalat. Makanan yang harus dihindari mencakup
sayuran hijau berdaun banyak, kacang, seledri, coklat, teh,
kopi.
7) Penghancuran batu dengan ESWL.
8) Uteroskopi, mencakup visualisasi dan askes ureter dengan
memasukan suatu alat ureteroskop melalui sistoskop. A Batu
dihancurkan dengan menggunakan laser, lithotripsy
elektrohidraulik atau ultrasound kemudian diangkat.
9) Pelarutan batu, infuse cairan kemolitik, untuk melarutkan batu
dapat dilakukan sebagai alternatif penanganan untuk pasien
kurang berisiko terhadap terapi lain, dan menolak metode lain,
atau mereka yang memiliki batu yang mudah larut (struvit).
10) Tindakan pembedahan dilakukan dengan nefrolitotomi (Insisi
pada ginjal untuk mengangkat batu atau nefrektomi, jika ginjal
tidak berfungsi akibat infeksi atau hidronefrosis.

3. Syndrom nefrotik
Syndrom nefrotik merupakan gangguan klinis yang ditandai
oleh peningkatan protein yang bermakna dalam urine (proteinuria),
penurunan albumin dalam darah (hipoalbunemia) edema dan serum
kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah
(hiperlipidemia).
Penyebab pasti syndrom nefrotik belum diketahui, secara umum
penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu syndrom nefrotik bawaan
atau keadaan dimana adanya reaksi fetomaternal terhadap janin
ataupun karena gen resesif autosom menyebabkan syndrom
nefrotik dan syndrom nefrotik sekunder yang disebabkan oleh
adanya penyakit lain seperti: parasit malaria, penyakit kolagen,
trombosis vena renalis, pemajanan bahan kimia (trimetadion,
paradion, penisilamin, garam emas, raksa, amilodosis dan lain-
lain). Penyebab Syndrom nefrotik sekunder paling sering adalah
glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan,
penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin dan akibat
penyakit sistemik seperti:
 Infeksi HIV, Hepatitis Virus B dan C, Sifilis, Malaria,
Skisotoma, TBC, Lepra.
 Keganasan adenokarsinoma paru, Adenokarsinoma mamae,
limfoma Hodgkin, mieloma multiple dan karsinoma ginjal.
 Penyakit jaringan penghubung: SLE, Arthritis rheumatoid.
 Efek obat dan toksin obat antiinflamasi non steroid, preparat
emas, penisilamin, probenesid, air raksa, captopril, heroin,
amilodosis, DM, preeklampsia, refluks vesiko ureter atau
sengatan lebah.
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerulus akan
berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi
proteinuria.Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan
hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin, tekanan os- motik
plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke dalam
interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah
ke renal menurun karena hipovolemia,
Biasanya tanda dan gejala yang muncul akibat terpapar
penyakit ini yaitu berat badan meningkat, wajah tampak sembab
(edema fascialis) terutama disekitar mata, tampak pada saat bangun
di pagi hari dan berkurang di siang hari, pembengkakan abdomen
(asites), efusi pleura, pembengkakan labia atau skrotum, Edema
pada mukosa intestinal yang dapat menyebabkan diare, anoreksia
dan absorbsi intestinal yang buruk, edema tungkai, iritabilitas,
mudah letih, penurunan volume urine atau urine berbuih,
pembengkakan pada wajah, terutama disekitar mata, azotemia
(peningkatan kadar urea dan nitrogen dalam darah), tekanan darah
biasanya normal/naik sedikit.
Penatalaksanaan pada syndrome nefrotik ini dengan cara :
 Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari,
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3
gram/kgBB/hari.
 Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat
digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/ hari,
tergantung beratnya edema dan respon pengobatan.
 Bila edema refrakter dapat digunakan hidroklortiazid (25- 50
mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik atau kehila-
ngan cairan intravaskuler.
 Pemberian kortikosteroid.
 Cegah infeksi dengan pemberian antibiotika.

4. Batu Ginjal
Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalamn ginjal dan
mengandung komponen kristal serta matrik organik (Sudoyo, 2001).
Batu ginjal (renal kalkuli) adalah pembentukan batu di traktus
urinarius ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium oksalat,
kalsium fosfat dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk
ketika terdapat defisiensi substansi tertentu. seperti sifat yang sangat
normal mencegah kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencangkup PH urine dan
status cairan pasien. (baru cenderung terjadi pada pasien dehidrasi).
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain:
 PH urine yang abnormal.
 Konsentrasi zat terlarut urine.
 Stasis urine.
 Beberapa infeksi (misal: infeksi oleh bakteri yang meng-
hasilkan urease).
 Diet tinggi kalsium.
 Demineralisasi tulang.
Kebanyakan batu mengandung kalsium, sementara sisanya
mengandung amoniomagnesium fosfat atau stuvit, asam urat atau
sistin.
Batu ginjal terjadi sebagai hasil interaksi dari tiga factor yaitu
supersaturasi komponen-komponen pembentuk batu dalam urine,
ada rangsangan fisik dan kimia dalam urine yang meningkatkan
pembentukan batu dan tidak adekuatnya komponen-komponen
penghambat pembentukan batu dalam urine.
Ketika batu menghambat aliran urine, terjadi obstruksi.
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala
ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang
disertai menggigil, demam dan disuria) dapat terjadi dari iritasi
batu yang terus menerus. Beberapa batu. jika ada, menyebabkan
sedikit gejala namun secara perlahan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal: sedangkan yang lain menyebabkan nyeri yang luar
biasa dan ketidaknyamanan.
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gelombang nyeri
yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan
genitalia. Pasien sering merasa ingin berkemih, namun hanya
sedikit urine yang keluar, dan biasanya mengandung darah akibat
aksi abrasif batu. Kelompok gejala ini disebut kolik uretreral
Umumnya, pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5
sampai 1 cm secara spontan. Batu dengan diameter lebih dari 1 cm
biasanya harus diangkat atau dihancurkan sehingga dapat diangkat
atau dikeluarkan secara spontan.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan
gejala iritasi dan berhubungan infeksi traktus urinarius dan
hematuria. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung
kemih, akan terjadi retensi urine.
Tanda dan gejala dari penyakit batu ginjal:
a) Obstruksi saluran kemih, hematuria, infeksi saluran kemih,
kolik dan gagal ginjal. b. Batu yang kecil mungkin dapat lewat
melalui uretra.
b) Nyeri kolik hebat, gejala dan tanda infeksi mungkin pula
terdapat.
c) Nyeri ditandai dengan mula gejala yang tiba-tiba dan cukup
hebat.
d) Hematuria (darah dalam urine) dapat terjadi karena trauma
yang disebabkan oleh batu.
e) Infeksi.
f) Obstruksi pelvis renalis dan ureter.

Penatalaksanaan pada batu ginjal bertujuan untuk menurunkan


komplikasi pada ginjal dan menghilangkan keluhan.
Penatalaksanaanya adalah sebagai berikut:
1) Natrium bikarbonat untuk membuat urine lebih alkalin,
pada asam pencetus batu.
2) Asam askorbat untuk membuat urine lebih asam, pada
alkalin pencetus batu.
3) Diuretik tiazid untuk menurunkan ekskresi kalsium
4) Alupurinal untuk mengatasi batu asam dengan menrunkan
kadar asam urat plasma.
5) Pielolitotomi (batu diangkat dari pelvis ginjal).
6) Uretolitotomi (batu diangkat dari ureter).
7) Sistolitotomi (batu diangkat dari kandung kemih).
8) Depecahkan dengan ESWL (Ekstracorporal Short Wave
Lithotripsi), menghancurkan batu menjadi partikel yang
lebih kecil agar bisa keluar bersama urine.
9) Litotripsi ultrasonik perkutan (PUL), terapi pelarutan
menggunakan larutan kimia khusus batu yang dimasukkan
melalui selang refrostomi untuk mengirigasi area dan
melarutkan batu.

5. Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal adalah ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dlam
keadaan asupan makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi
menjadi dua kategori yaitu kronik dan akut (Nurarif & Kusuma,
2013).
Gagal ginjal kronis stadium End stage renal disease (ESRD)
yaitu kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih
kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan
gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berakibat peningkatan pada kadar ureum (uremia). Gagal ginjal
kronik merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel. Ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus
secara medadak dan cepat (hitungan jam – minggu). Penyakit gagal
ginjal tahap akhir tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal, ginjal tidak dapat merespon
sesuai dengan perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari.
Retensi natrium dan air dapat meningkatkan beban sirkulasi
berlebihan, terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan
hipertensi ( Agustina, 2019).
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti
gangguan metabolic (DM), infeksi (Pielonefritis), Obstruksi
Traktus Urinarius, Gangguan Imunologis, Hipertensi, Gangguan
tubulus primer (nefrotoksin) dan Gangguan kongenital yang
menyebabkan GFR menurun. Pada waktu terjadi kegagalan ginjal
sebagai nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorbsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron-nefron
rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa di reabsorbsi berakibat dieresis osmotic disertai
poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi
lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Fungsi renal
menurun, produk akhir metabolism protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap system tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat.
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan
laju filtrasi glomerulus atau yang disebut juga penurunan
glomerulus filtration rate (GFR). Penyebab gagal ginjal kronik
diantaranya:
1) Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler
dapat menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan
ginjal. Lesi yang paling sering adalah Aterosklerosis pada
arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik
progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia fibromaskular
pada satu atau lebih artieri besar yang juga menimbulkan
sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis yaitu suatu
kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak di
obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya
elastistisitas system, perubahan darah ginjal mengakibatkan
penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
2) Gangguan imunologis
3) Infeksi : dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri
terutama E.Coli yang berasal dari kontaminasi tinja pada
traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal
melalui aliran darah atau yang lebih sering secara ascenden
dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal
sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal
yang disebut pielonefritis.
4) Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan
mobilisasi lemak meningkat sehingga terjadi penebalan
membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan
disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amyloidosis
yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia
abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius
merusak membrane glomerulus.
5) Gangguan tubulus primer
6) Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi
prostat, dan kontstriksi uretra.
7) Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik
sama dengan kondisi keturunan yang dikarakteristik oleh
terjadinya kista atau kantong berisi cairan didalam ginjal
dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang
bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya
asidosis.
Tanda dan gejala yang muncul akibat adanya gagal
ginjal kronik yaitu menurunnya cadangan ginjal pasien
asimtomatik, insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien
mengalami polyuria dan nokturia, GFR 10% hingga 25%
dari normal, kadar kreatinin serum dan BUN sedikit
meningkat diatas normal, penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letargi, anoreksia,
mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang
sampai koma), yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10
ml/menit, kadar serum kreatinin dan BUN meningkat
tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang
komplek.
End stage renal disease dapat diklasifikasikan
berdasarkan laju filtrasi glumerulus (LFG) atau glumerolus
filtration rate (GFR), terdapat 5 stadium dalam end stage
renal disease, antara lain:
 Stadium 1 dimana kerusakan ginjal dalam kondisi
normal atau mengalami peningkatan GFR (90
ml/menit atau lebih),
 Stadium 2 dimana kerusakan ginjal dan mengalami
penurunan GFR dalam batas ringan (60 – 89
ml/menit)
 Stadium 3 dimana terjadi penurunan GFR sedang
(30-59 ml/menit)
 Stadium 4 dimana terjadi penurunan GFR yang
berat (15-29ml/menit)
 Stadium 5 atau yang dikenal dengan ESRD ginjal
sudah mengalami kegagalan fungsi (kurang dari
15ml/menit atau dalam terapi dialisis)
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan
cairan elektrolit dan mencegah komplikasi :
1) Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah
komplikasi gagal ginjal yang serius, seperti hyperkalemia,
pericarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan
perdarahan dan membantu penyembuhan luka. Dialisis atau
dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode terpi
yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal
yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari
tubuh.
Ada dua jenis dialisis yang Hemodialisis (cuci darah
dengan mesin dialiser) adalah jenis dialisis dengan
menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai ginjal
buatan. Pada proses ini, darah dipompa keluar dari tubuh,
masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin dialiser,
darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi
dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk
dialisis), lalu setelah darah selesai di bersihkan, darah
dialirkan kembali kedalam tubuh.
Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut) Terapi
kedua adalah dialisis peritoneal untuk metode cuci darah
dengan bantuan membrane peritoneum (selaput rongga
perut). Jadi, darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan dan disaring oleh mesin dialisis.
2) Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena
hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal
pertama yang harus diingat adalah jangan menimbulkan
hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG.
Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah
dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na
Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3) Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi
factor defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan
yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada
keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi darah
hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya
ada infusiensi coroner.
4) Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan
harus dihindari. Natrium Bikarbonat dapat diberikan
peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium
bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan
dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat
juga mengatasi asidosis.
5) Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan
vasodilatator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam
mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak
semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6) Transplantasi ginjal
Dengan pencakokkan ginjal yang sehat ke pasien
gagal ginjal kronik, maka seluruh faal ginjal diganti oleh
ginjal yang baru.
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas mengenai patologi dan patofisiologi
gangguan sistem pernapasan dan perkemihan menghasilkan beberapa
kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut sebagai berikutSistem pernapasan
merupakan penghubung antara lingkungan luar dengan lingkungan dalam
tubuh. Tugas utama paru-paru adalah respirasi, memegang peranan dalam
metabolisme membuang substansi tertentu dari sirkulasi misalnya serotonin
dan buffer atau penyangga volume pembuluh darah, lalu sistem perkemihan
adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga
darah bebas dari zat - zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat - zat yang masih dipergunakan oleh tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Aspiani, R.Y. (2015). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : TMI.
Guswanti. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
Hemodialisa. Jurnal Poltekes Kaltim.
Harrison. (2015). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : ECG.
Kolawak, dkk. (2013). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : ECG.
Nursalam, M. (2020). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.
Sylvia, A. (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
ECG.
Syaifuddin. (2011). Anatomi fisiologi. Jakarta : ECG.
Zuliani, dkk. (2021). Gangguan pada Sistem Pekemihan. Yayasan Kita Menulis

Anda mungkin juga menyukai