Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DEWASA DENGAN KASUS


GANGGUAN PADA SISTEM PERNAPASAN”

Dosen Pembimbing:
Dr. Tintin Sukartin, S. Kp., M. Kes

Disusun oleh:
Kelompok 2 (A3)
1. Nur Fadhilahtur Rokhmah (131711133020)
2. Santi Oktavia (131711133021)
3. Miftakhul Jannah (131711133056)
4. Linda Masruroh (131711133060)
5. Suci Erawati (131711133074)
6. Uswatun Mujayana (131711133078)
7. Danu Suryo Indra Waskito Arum (131711133133)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, penulis mengucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dewasa Dengan Kasus Gangguan Pada Sistem Pernapasan”.

Dalam penyusunan makalah ini penulis melibatkan bantuan dari berbagai


pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Tanpa bantuan semua pihak mungkin penulis akan sulit
dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis meminta maaf apabila dalam menyusun
makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan hati terbuka penulis menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir perkataan, penulis berharap semoga makalah yang berjudul “Asuhan


Keperawatan Pada Klien Dewasa Dengan Kasus Gangguan Pada Sistem
Pernapasan” dapat memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca maupun
penulis.

Surabaya, 6 Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................. 3

BAB 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan Pada Manusia ............................. 4

BAB 3. GANGGUAN PADA SISTEM PERNAPASAN

3.1 Efusi Pleura


3.1.1 Definisi .................................................................................................. 13
3.1.2 Patofisiologi .......................................................................................... 14
3.1.3 Asuhan Keperawatan ............................................................................ 15
3.1.4 Pengobatan ............................................................................................ 20
3.2 PPOK
3.2.1 Definisi .................................................................................................. 20
3.2.2 Patofisiologi .......................................................................................... 21
3.2.3 Asuhan Keperawatan ............................................................................ 25
3.2.4 Pengobatan............................................................................................ 34
3.3 Asma

3.3.1 Definisi .................................................................................................. 35


3.3.2 Patofisiologi .......................................................................................... 36
3.3.3 Asuhan Keperawatan ............................................................................ 39
3.3.4 Pengobatan ............................................................................................ 47
BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 51


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 52

ii
iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pernapasan manusia atau dapat disebut dengan sistem respirasi
merupakan suatu susunan yang sangat kompleks. Setiap sel dan jaringan yang
menyusunnya memiliki fungsi dan peranannya tersendiri. Strukturnya yang
begitu rumit menjadikan sistem ini begitu penting dalam kehidupan manusia.
Tujuan dari sistem respirasi adalah untuk memperoleh oksigen dari udara ke
jaringan tubuh dan membuang karbondioksida (Guyton dkk, 2006). Ia
memegang banyak peranan penting yang secara garis besar dibagi menjadi
fungsi respirasi dan non-respirasi. Fungsi respirasi di sini adalah proses
memasukan oksigen dari luar tubuh kedalam tubuh untuk digunakan lebih lanjut
sebagai bahan utama metabolisme sel. Karena fungsinya itu, sistem ini selalu
terpapar ke dunia luar terhadap dunia luar yang menyebabkan kerentanan sistem
ini untuk mengalami ganggguan.
Dampak yang muncul dari kehidupan modern adalah terbentuknya
pencemaran lingkungan, salah satunya adalah udara. Salah satu penyakit yang
sering muncul di masyarakat akibat hal ini adalah penyakit gangguan
pernafasan. Berdasarkan WHO pada tahun 2014, kasus yang berhubungan
dengan penyakit paru-paru di Indonesia sebesar 66% dengan estimasi angka
kematian cukup tinggi dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi
di Indonesia.
Gangguan sistem respirasi sendiri secara garis besar dibagi kedalam dua
kelompok, yaitu penyakit paru restriktif dan paru obstruktif yang masih terbagi
kedalam beberapa kelompok kecil lainnya. Namun kali ini dijadikan ke 2
kelompok lain yaitu infeksi dan obstruktif. Salah satu penyakit infeksi yang
akan dibahas adalah efusi pleura. Efusi pleura disebabkan oleh iritasi atau
infeksi pada paru-paru. Pada keadaan normal, terdapat sedikit cairan pada
pleura sebagai pelumas agar paru-paru dapat bergerak dengan mulus pada
rongga paru-paru. Terlalu banyak cairan dapat menyebabkan tekanan pada
paru-paru meningkat, sehingga mengakibatkan kesulitan bernapas. Kelompok
lainnya adalah penyakit paru obstruktif, sebagai contoh PPOK (penyakit paru

1
obstruktif kronik). Pada penderita PPOK terjadi limitasi saluran udara yang
dapat terjadi sepenuhnya, bersifat reversibel dan progressive. Terakhir yang
akan dibahas adalah mengenai asma, yaitu suatu penyakit inflamasi kronik yang
menyebabkan episode berulang dari mengi, sulit bernafas, sesak dada, dan
batuk terutama di malam atau pagi hari. Gej ala ini dikaitkan dengan
terjadinya bronkokontriksi.
Namun yang perlu diingat adalah gangguan respirasi ini adalah suatu
gangguan yang dapat dicegah. Salah satu faktor resiko adalah kebiasaan
merokok, baik perokok aktif maupun pasif. Faktor resiko lainnya yang juga
tidak kalah berbahaya adalah polutan dalam rumah yang berasal dari bahan
bakar, nitrit oksida, dan formaldehyde. Yang tidak kalah penting juga adalah
polutan dari lingkungan luar seperti kendaraan bermotor, polutan lingkungan
kerja, serta allergen. Dimana semua faktor resiko diatas sangat berkaitan dengan
perilaku dan kebiasaan hidup seseorang. Sehingga yang dapat dilakukan
sekarang adalah memberikan penjelasan dan penyuluhan kepada masyarakat
luas tentang penyakit respirasi. Perlu juga diberi penjelasan mengenai gejala-
gejala gangguan respirasi sehingga meningkatkan kewaspadaan dari
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang terbentuk adalah:
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem pernapasan?
2. Bagaimana definisi, patofisiologi, asuhan keperawatan, dan pengobatan
pada gangguan sistem pernapasan efusi pleura?
3. Bagimana definisi, patofisiologi, asuhan keperawatan, dan pengobatan
pada gangguan sistem pernapasan PPOK?
4. Bagaimana definisi, patofisiologi, asuhan keperawatan, dan pengobatan
pada gangguan sistem pernapasan asma?

2
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami anatomi dan fisiologi sistem pernapasan.
2. Memahami definisi, patofisiologi, asuhan keperawatan, dan pengobatan
pada gangguan sistem pernapasan efusi pleura, PPOK, dan asma.

3
BAB 2
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan Pada Manusia


Pada manusia, pernapasan terjadi melalui alat-alat pernapasan yang
terdapat dalam tubuh atau melalui jalur udara pernapasan untuk menuju ke sel-
sel tubuh lainnya. Struktur organ atau bagian-bagian alat pernapasan pada
manusia terdiri atas rongga hidung, faring (rongga tekak), laring (kotak suara),
trakea (batang tenggorokan), bronkus dan paru-paru. Alat pernapasan manusia
tersebut diatas memiliki fungsi dan tugas masing-masih dalam
berlangsungnnya proses pernapasan, yaitu sebagai berikut terdiri atas beberapa
organ, yaitu sebagai berikut:
1. Rongga Hidung
Hidung adalah bangunan berongga yang terbagi oleh sebuah sekat di
tengah yang menjadi rongga hidung kiri dan kanan. Hidung meliputi
bagian eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal berupa
rongga hidung sebagai alat penyalur udara. Pada bagian depan hidung,
berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung) anterior dan di
belakang berhubungan dengan bagian atas farings (nasofaring). Masing-
masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum, yaitu bagian
lebih lebar tepat di belakang nares anterior, dan bagian respirasi.
Permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang memiliki ciri adanya
kelenjar sabesa besar, yang meluas ke dalam vestibulum nasi sebagai
tempat menyimpan kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel
rambut yang kaku dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-
benda kasar yang terdapat dalam udara inspirasi. Terdapat 3 fungsi
rongga hidung:
a. Dalam hal pernafasan: udara yang di inspirasi melalui rongga hidung
akan menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghanatan,
dan pelembaban.
b. Ephithelium olfactory: bagian meial rongga hidung memiliki fungsi
dalam penerimaan bau.

4
c. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara- suara
fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi.

2. Faring (Rongga tekak)


Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih
13cm yang menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada laring pada
dasar tengkorak.
Faring dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan
atas palatum molle. Pada bagian ini terdapat dua struktur penting
yaitu adanya saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius
dan tuba auditory. Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membrane timpani. Apabila tidak sama, telinga terasa sakit. Untuk
membuka tuba ini, orang harus menelan. Tuba Auditory yang
menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah.
b. Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak
dan tulang hyodi. Bagian orofaring ini memiliki fungsi pada system
pernapasan dan system pencernaan. refleks menelan berawal dari

5
orofaring menimbulkan dua perubahan makanan terdorong masuk
ke saluran cerna (oesophagus) dan secara stimulant, katup menutup
laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam saluran
pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh fauces. Fauces
adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti tonsila
palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual.
c. Laringo faring terletak di belakang laring. Laringo faring merupakan
posisi terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring
system respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui
bagian anterior ke dalam larings dan makanan lewat posterior ke
dalam esophagus melalui epiglottis yang fleksibel.

3. Laring (Kotak Suara)


Laring adalah suatu katup yang rumit pada persimpangan antara
lintasan makanan dan lintasan udara. Laring terangkat dibawah lidah
saat menelan dan karenanya mencegah makanan masuk ke trakea.
Fungsi utama pada larings adalah untuk melindungi jalan napas atau
jalan udara dari farings ke saluran napas lainnya, namun juga sebagai
organ pembentuk suara atau menghasilkan sebagian besar suara yang
dipakai berbicara dan bernyanyi.

6
Mamalia menghasilkan getaran dari pita suara pada dasar larings.
Sumber utama suara manusia adalah getaran pita suara (Frekuensi 50
Hertz adalah suara bas berat sampai 1700 Hz untuk soprano tinggi).
Selain pada frekuensi getaran, tinggi rendah suara tergantung panjang
dan tebalnya pita suara itu sendiri. Apabila pita lebih panjang dan tebal
pada pria menghasilkan suara lebih berat, sedangkan pada wanita pita
suara lebih pendek. Kemudian hasil akhir suara ditentukan perubahan
posisi bibir, lidah dan palatum molle.
Disamping fungsi dalam produksi suara, ada fungsi lain yang lebih
penting, yaitu Larings bertindak sebagai katup selama batuk, penutupan
pita suara selama batuk, memungkinkan terjadinya tekanan yang sangat
tinggi pada batang tracheobronchial saat otot-otot trorax dan abdominal
berkontraksi, dan pada saat pita suara terbuka, tekanan yang tinggi ini
menjadi penicu ekspirasi yang sangat kuat dalam mendorong sekresi
keluar.

4. Trakea (Batang Tenggorok)


Trakea adalah tabung terbuka berdiameter 2,5 cm dan panjang 10
sampai 12 cm. Trakea terletak di daerah leher depan esophagus dan
merupakan pipa yang terdiri dari gelang-gelang tulang rawan. Di daerah

7
dada, trakea meluas dari larings sampai ke puncak paru, tempat ia
bercabang menjadi bronkus kiri dan kanan. Jalan napas yang lebih besar
ini mempunyai lempeng-lempeng kartilago di dindingnya, untuk
mencegah dari kempes selama perubahan tekanan udara dalam paru-
paru. Tempat terbukanya trakea disebabkan tunjangan sederetan tulang
rawan (16-20 buah) yang berbentuk huruf C (cincin-cincin kartilago)
dengan bagian terbuka mengarah ke posterior (esofagus).
Trakea dilapisi epitel bertingkat dengan silia (epithelium yang
menghasilkan lendir) yang berfungsi menyapu partikel yang berhasil
lolos dari saringan hidung, ke arah faring untuk kemudian ditelan atau
diludahkan atau dibatukkan dan sel gobet yang menghasikan mukus.
Potongan melintang trakea khas berbentuk huruf D.

5. Bronkus dan Percabangannya


Bronkus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian
kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu
berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk paru.
Trakea bercabang menjadi bronkus utama (primer) kiri dan kanan.
Bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan lebih vertikal daripada

8
yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan
sebuah cabang utama lewat di bawah arteri disebut bronkus lobus
bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan,
dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi
beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi
bronkus lobaris (sekunder) dan kemudian menjadi lobus segmentalis
(tersier). Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang
ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus
terminalis. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya
adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus adalah unit fungsional paru. Alveolus yaitu tempat
pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius
(lintasan berdinding tipis dan pendek). Ductus alveolaris seluruhnya
dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis. Terdapat sekitar
20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris.
Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.

9
6. Paru-Paru
Paru-paru adalah struktur elastis sperti spons. Paru-paru berada
dalam rongga torak, yang terkandung dalam susunan tulang-tulang iga
dan letaknya di sisi kiri dan kanan mediastinum (struktur blok padat
yang berada di belakang tulang dada. Paru-paru menutupi jantung, arteri
dan vena besar, esophagus dan trakea).
Paru-paru memilki beberapa bagian sebagai berikut:
a. Apeks, Apeks paru meluas kedalam leher sekitar 2,5 cm diatas
calvicula.
b. Permukaan costo vertebra, menempel pada bagian dalam
dinding dada
c. Permukaan mediastinal, menempel pada perikardium dan
jantung.
d. Basis, Terletak pada diafragma.
Paru-paru juga di lapisi oleh pleura yaitu parietal pleura (dinding
thorax) dan visceral pleura (membrane serous). Di antara rongga pleura
ini terdapat rongga potensial yang disebut rongga pleura yang
didalamnya terdapat cairan surfaktan sekitar 10-20 cc cairan yang
berfungsi untuk menurunkan gaya gesek permukaan selama pergerakan
kedua pleura saat respirasi. Tekanan rongga pleura dalam keadaan
normal ini memiliki tekanan -2,5 mmHg.
Paru-paru divaskularisasi dari dua sumber, yaitu:
a. Arteri bronchial yang membawa zat-zat makanan pada bagian
conduction portion, bagian paru yang tidak terlibat dalam pertukaran
gas. Darah kembali melalui vena-vena bronchial.
b. Arteri dan vena pulmonal yang bertanggungjawab pada
vaskularisasi bagian paru yang terlibat dalam pertukaran gas yaitu
alveolus.

10
7. Pembuluh Darah dan Persarafan
Persyarafan penting dalam aksi pergerakan pernapasan disuplai
melalui n.phrenicus dan n.spinal thoraxic. Nervus phrenicus
mempersyarafi diafragma, sementara n.spinal thoraxic mempersyarafi
intercosta. Di samping syaraf-syaraf tersebut, paru juga dipersyarafi
oleh serabut syaraf simpatis dan para simpatis. Di dalam paru terdapat
peredaran darah ganda. Darah yang miskin oksigen dari ventrikel kanan
masuk ke paru melalui arteri pulmonalis. Selain system arteri dan vena
pulmonalis, terdapat pula arteri dan vena bronkialis, yang berasal dari
aorta, untuk memperdarahi jaringan bronki dan jaringan ikat paru
dengan darah kaya oksigen.

11
Fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk memungkinkan ambilan
oksigen dari udara kedalam darah dan memungkinkan karbon dioksida terlepas
dari dara ke udara bebas. Meskipun fungsi utama system pernapasan adalah
pertukaran oksigen dan karbon dioksida, masih ada fungsi-fungsi tambahan lain
yaitu:
1. Tempat menghasilkan suara.
2. Untuk meniup (balon, kopi/the panas, tangan, alat musik dan lain
sebagainya)
3. Homeostatis (pH darah)
4. Otot-otot pernapasan membantu kompresi abdomen (miksi, defekasi,
partus).

12
BAB 3
GANGGUAN PADA SISTEM PERNAPASAN

3.1 Efusi Pleura


3.1.1. Definisi

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan


melebihi normal di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan visceralis
dapat berupa transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura
hanya mengandung cairan sebanyak 10- 20 ml berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleura bergerak tanpa adanya friksi. Efusi pleura
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain, jarang merupakan penyakit
primer. Penyakit- penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah
tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma
tembus atau tumpul pada daerah dada, infark paru, serta gagal jantung kongestif.
Di negara- negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia lazim diakibatkan oleh infeksi
tuberculosis.

Efusi pleura merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada
penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker
payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada
sekitar 50%-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara
5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan
sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura.

Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, dispneu. Nyeri bisa timbul
akibat efusi yang banyak berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Diagnosis
efusi pleura dapat ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan fisikyang
teliti, diagnosis yang pasti melalui pungsi percobaan, biopsy dan analisa cairan
pleura. Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan
kausal, thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD), dan pleurodesis.

13
3.1.2. Patofisiologi
Dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5 ml cairan yang cukup untuk
membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini
dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya sebagian cairan ini diserap
kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis sebagian kecil lainnya (10%-- 20%)
mengalir ke dalam pembuluh limfe. Bila kesinambungan antara produksi dan
absorbsi terganggu maka akan terjadi penumpukan cairan dirongga pleura (R.
Syamsuhidayat, 1997: 526).

Pleura parietalis dan viseralis letaknya berhadapan satu sama lain dan hanya
dipisahkan oleh selaput tipis cairan serosa, lapisan tipis dari selaput ini
memperlihatkan adanya keseimbangan antara transudasi dari kapiler kapiler
pleura, reabsorpsi oleh vena viseral, parietal, dan saluran getah bening. Efusi
pleura dapat berupa transudat atau eksudat. Transudat terjadi pada peningkatan
tekanan vena pulmonalis, misalnya pada payah jantung kengestif pada kasus ini
keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh.

Transudat juga terjadi pada hipoproteinema seperti pada penyakit hati dan
ginjal atau penekanan tumor pada vena cava. Penimbunan transudat dalam rongga
pleura dikenal dengan nama hidrotorak. Cairan pleura cenderung tertimbun pada
dasar paru- paru akibat gaya gravitasi. Penimbunan eksudat timbul jika ada
peradangan atau keganasan pleura dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler
atau gangguan absorpsi getah bening. Eksudat dibedakan dengan transudat dari
kadar protein yang dikandungnya dan dari berat jenisnya. Transudat mempunyai
berat jenis kurang dari 1, 015 sedangkan kadar proteinnya kurang dari 3%. Untuk
cairan eksudat berat jenis dan kadar proteinnya lebih tinggi.

14
Gambar 1: Skema Patofisiologi dan Masalah Keperawatan Penyakit Efusi Pleura

3.1.3. Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan klien dan
lingkungannya untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian klien dalam
merawat dirinya. Asuhan keperawatan penyakit efusi pleura terdiri atas:

1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses ertama yang dilakukan oleh seorang
perawat dalam melakukan asuhan keparawatan kepada klien. Pengkajian
berfungsi untuk mengkumpulkan data- data masalah keperawatan yang
dihadapi oleh klien. Setiap penyakit memiliki indikator tersendiri yang arus
dikaji. Data yang harus dikumpulkan oleh perawat pada tahap pengkajian,
meliputi:

15
a. Aktifitas / istirahat
Gejala yang dapat dilihat sebagai indikator seseorang mengalami
penyakit efusi pleura yaitu dispenea pada saat melakukan aktifitas
ataupun pada saat istirahat.
b. Sirkulasi
Pada saat melakukan pengkajian keperawatan penyakit efusi pleura
akan didapatkan tanda tanda seperti takikardia, disaritmia, irama jantung
kollaps, hipertensi/ hipotensi.
c. Itegritas ego
Pada saat melakukan pengkajian integritas ego pada klien yang
mengalami penyakit efusi pleura akan didapatkan tanda berupa
ketakutan dan kegelisahan.
d. Makanan/ cairan
Pengkajian makanan/ cairan pada pasien efusi pleura dapat dilakukan
pada pemasangan IV vena sentral/ infus.
e. Nyeri/ kenyamanan
Gejala nyeri tergantung ukuran/ area terlibat. Nyeri yang diperberat oleh
napas dalam, kemungkinan menyabar ke leher, bahu, abdomen.
Sehingga dalam melakukan pengkajian ini perawat harus berhati- hati
pada area yang sakit.
f. Pernapasan
Gejala yang biasanya muncul pada saat pelakukan pengkajian
pernapasan pada penyakit efusi pleura, meliputi kesulitan bernapas,
batuk, riwayat bedah dada/ trauma. Tanda- tanda yang timbul berupa
takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi
interkostal, bunyi napas menurun dan fremitus menurun (pada sisi
terlibat), perkusi dada: hipersonan diarea terisi udara dan bunyi pekak
diarea terisi cairan. Pada saat observasi dan palpasi dada didapatkan
gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma, penurunan
pengembangan (area sakit), kulit pucat, sianosis, berkeringat, dan
krepitasi subkutan.

16
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan keputusan klinis tentang respon
individu, keluarga, dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau
potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat
secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi
secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan
merubah status klien. Diagnosis keperawatan ditetapkan berdasarkan
analisis dan interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian keperawatan
klien.
Pada pasien dengan penyakit efusi pleura diagnosis keperawatan
dapat memunculkan beberapa diagnosis keperawatan. Adapun diagnosis
keperawatan yang muncul berupa:
a. Pola nafas tidak efektif
b. Nyeri dada
c. Resiko tinggi trauma
d. Kurang penegtahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan

Selain diagnosis diatas masih banyak lagi kemungkinan diagnosis


keperawatan yang akan muncul, hal ini tergantung permasalahan yang
muncul dan ditemukan pada saat melakukan pengkajian.

3. Intervensi
Intervensi keperawatan merupakan hasil yang diharapkan dari
tindakan keperawatan yang dilakukan. Setiap intervensi keperawatan yang
dilakukan berisikan rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan
berdasarkan masalah keperawatan yang muncul, hasil yang diharapkan,
tujuan jangka pendek dan panjang, serta frekuensi pelaksanan dari tindakan
keperawatan yang akan dilakukan.
Intervensi keperawatan disusun sesuai diagnosis yang telah
ditegakkan oleh perawat dalam mengatasi permasalahan keperawatan yang
muncul. Pada penyakit efusi pleura intervensi yang kemungkinan muncul,
dari contoh diagnosis yang muncul pada penjelasan diatas adalah:

17
a. Pola nafas tidak efektif
Tujuan yang ingin dicapai: pola nafas efektif
Kriteria hasil:
- Menunjukkan pola napas normal/ efektif dengan GDA normal
- Bebas sianosis dan tanda gejala hipoksia

Intervensi:
- Identifikasi etiologi atau faktor pencetus
- Evaluasi fungsi pernapasan (napas cepat, sianosis, dan perubahan
tanda vital)
- Auskultasi bunyi napas
- Pertahankan posisi nyaman biasanya peninggian kepala tempat tidur
b. Nyeri dada
Tujuan ingin dicapai: Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil:
- Pasien mengatakan nyeri berkurang
- Pasien tampak tenang

Intrevnsi:

- Kaji terhadap adanya nyeri, skala, intensitas nyeri.


- Ajarkan pada klien tentang manajemen nyeri dengan distraksi dan
relaksasi
- Berikan analgetik sesuai indikasi
c. Resiko tinggi trauma/ henti napas
Tujuan yang ingin dicapai: tidak terjadi trauma atau henti napas.
Kriteria hasil:
- Mengenal kebutuhan/ mencari bantuan untuk mencegah komplikasi
- Memperbaiki/ menghindari lingkungan dan bahaya fisik

Intervensi:

- Kaji dengan pasien tujuan/ fungsi unit drainase, catat gambarab


keamanan

18
- Amankan unit drainase pada tempat tidur dengan area lalu lintas
rendah
- Anjurkan psien menghindari berbaring/ menarik selang
d. Kurang pengetahuan
Tujuan yang ingin dicapai: Mengetahui tentang kondisinya dan aturan
pengobatan.
Kriteria hasil:
- Menyatakan pemahaman tentang masalahnya
- Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola
hidup untuk mencegah terulangnya masalah.

Intervensi:

- Kaji pemahaman klien tentang masalahnya


- Identifikasi kemungkinan kambuh/ komplikasi jangka panjang
- Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, nutrisi, istirahat dan latihan
- Berikan informasi tentang apa yang ditanyakan klien

4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang
telah ditetapkan (Asmadi, 2008). Pada penyakit efusi pleura implementasi
keperawatan yang dilakukan oleh perawat disesuiakan dengan intervensi/
rencana asuhan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan
diagnosis masalah keperawatan yang muncul.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Pada asuhan keperawatan pada penyakit efusi pleura, evaluasi
dilakukan untuk mengevaluasi apakah tindakan yang telah dilakukan oleh
perawat yang telah tersusun dalam rencana asuhan keperawatan telah
berdampak pada peningkatan kesembuhan dan mengurangi masalah
keperawatan yang ditimbulkan akibat penyakit efusi pleura. Jika maslah

19
keperawatan dapat teratasi dengan intervensi yang telah ditetapkan maka
intervensi tersebut dapat dilanjutkan, dan jika tidak menunjukkan perubahan
maka perlu melakukan pengkajian ulang atas intervensi dan tidakan
keperawatan yang telah dilakukan.

3.1.4. Pengobatan

Pengobatan pada peyakit efusi pleura bertujuan untuk menemukan


penyebab dasar untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk
menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan
pada penyebab dasar, contoh: gagal jantung kongestif, penumonia, dan sirosis.
Pengobatan penyakit efusi pleura dapat dilakukan dengan torasentesis untuk
membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis dan
untuk menghilangkan disneu. Bila penyebab dasar efusi pelura malignansi, maka
efusi pleura dapat kembali lagi dalam beberapa hari atau minggu pasca
torasentesis. Torasentesis yang dilakukan secara berulang dapat mengakibatkan
nyeri, penipisan proteindan elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam
keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang
dihubungkan ke sistem drainase water seal atau pengisapan untuk mengevaluasi
ruang pleura dan pengembangan paru. Pengobatan lainnya untuk efusi pleura
malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.

3.2 PPOK

3.2.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau chronic obstructive pulmonary


disease adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi
berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversible. PPOK biasanya bermanifestasi menjadi bronkhritis dan emfisema.

20
Gambar 2. Manisfestasi Klinis PPOK
PPOK termasuk ke dalam lima besar penyakit non-infeksi yang
mengakibatkan kematian dan diperkirakan akan menduduki posisi tiga besar di
tahun 2020.

3.2.2 Patofisiologis

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK


yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan resiko munculnya PPOK, diantaranya:

1. Faktor Genetik (Defisiensi alpha-1 antitripsin)


Alpha 1-antitrypsin (A1AT) adalah suatu protein yang memiliki fungsi
sebagai antiprotease atau neutrophil elastase inhibitor sehingga secara luas
dikenal sebagai Alpha-1 proteinase inhibitor (A1Pi) karena dapat
menghambat berbagai jenis protease. Sebagian besar A1AT disintesis di sel
hepatosit dan monosit yang kemudian akan didistribusikan secara difusi
melalui sirkulasi menuju paru, sementara sebagian kecil diproduksi oleh sel
alveolar makrofag dan sel epitelial. Umumnya, kadar A1AT yang berada di
dalam darah adalah 1,5–2 gram/liter. Jika terjadi defisiensi A1AT, maka
neutrofil elastase akan langsung memecah elastin, protein yang menyokong
jaringan paru dan akan menyebabkan komplikasi pada saluran pernapasan
seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Alpha-1 antitrypsin memiliki lebih dari 90% aktivitas antiproteinase
dalam serum manusia yang akan menjadi pertahanan jika terjadi serangan
elastolitik pada bagian distal alveolar akibat neutrophil elastase. Alpha-1

21
antitrypsin akan menghambat aktivitas elastase yang berasal dari neutrofil,
pankreas ataupun bakteri dengan cara menetralisir proteinase-3,
myeloperoxidase, cathepsin G, dan -defensins yang berasal dari neutrofil;
chymase dan tryptase yang berasal dari sel mast; granzyme-B yang berasal
dari limfosit T; circulating kallikreins 7 dan 14; dan kaskade koagulasi
serine proteinase yang berasal dari plasmin, trombin, urokinase, dan faktor
Xa.
Defisiensi A1AT diawali dengan adanya mutasi lokus gen A1AT
(SERPINA1 gene) yang berefek pada penurunan kadar A1AT serum. Hal ini
mengakibatkan ketidakseimbangan antara aktivitas protease dan A1AT,
yang akan memicu terjadinya aktivitas neutrophil elastase yang tidak
terbatas dengan cara memecah elastin dan kolagen yang menyokong
parenkim paru. Destruksi parenkim paru biasanya terjadi pada PPOK.
Saat terpapar pajanan ataupun infeksi yang mengenai saluran
pernapasan, secara langsung respon inflamasi akan aktif dan memicu
pelepasan neutrophil elastase. Ketidakseimbangan antara aktivitas
neutrophil elastase dan A1AT menyebabkan pemecahan elastin tidak dapat
dihindari dan memperlambat proses perbaikan parenkim paru di daerah
tersebut.
Pada akhirnya, aktivitas respon inflamasi yang meningkat akibat
defisiensi A1AT akan menyebabkan nekrosis dari parenkim paru. Hal
tersebut akan mengganggu dan menurunkan kerja paru yang dapat
memunculkan berbagai manifestasi pada individu tersebut. Manifestasi
klinik sebagian besar bergantung pada respon ventilasi terhadap gangguan
fungsi paru. Manifestasi yang paling sering dan banyak muncul adalah sesak
napas atau dispnea akibat berkurangnya luas permukaan alveolus sebagai
tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Dispnea dan gangguan
kemampuan kerja fisik merupakan tanda khas pada pasien dengan PPOK.
Karena defisiensi A1AT merupakan permasalahan genetik, maka PPOK
yang disebabkannya disebut dengan PPOK genetik.

22
2. Polutan dan Radikal Bebas
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid
selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses
inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut
akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti
interleukin 8 dan leukotrienB4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte
chemotactic peptide(MCP)-1 dan reactive oxygen species(ROS). Faktor-
faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan
dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses
inflamasi.
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat
menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah
terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan
struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli yang
menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan
oleh leukosit dan polusi dan asap rokok.

Gambar 3. Patogenesis PPOK akibat Zat Asing

23
3. Kebiasaan Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama dalam menyebabkan
perkembangan dan peningkatan PPOK. Di Indonesia diperkirakan terdapat
sekitar 4,8 juta penderita PPOK. Angka ini bisa meningkat dengan semakin
banyaknya jumlah perokok karena 90% penderita PPOK adalah perokok
atau bekas perokok. PPOK merupakan penyakit obstruksi paru yang mana
obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel asing seperti kandungan zat pada rokok. Respon inflamasi dari
PPOK ditandai dengan epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel
skuamousa akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan
kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan
terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling
ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi
dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas
yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran
nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada
mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Inflamasi pada saluran
nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat
terhadap iritasi kronik seperti asap rokok.

Gambar 4. Gambaran Epitel Saluran Nafas pada PPOK dan Orang Sehat

Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit


akan melepaskan mediator mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan
struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Peningkatan netrofil,
makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK.
Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang

24
berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4,
chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth
related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß.

3.2.3 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian data dasar pada pasien PPOK menurut Engram (2000) sebagai
berikut:
a. Umumnya dijumpai pada usia tua (>45 tahun)
b. Riwayat atau adanya fakto penunjang
 Riwayat Perokok/Bekas Perokok
 Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja/lingkungan
(waktu)
 Riwayat penyakit (emfisema, alergi, asma) pada keluarga
 Faktor presdisposisi pada masa bayi/anak (BBLR,
lingkungan asap rokok, infeksi nafas berulang)
c. Riwayat atau adanya faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi,
seperti allergen.
d. Pemeriksaan Fisik
1. IPPA
 Inspeksi
- Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
- Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu
nafas
 Palpasi
- Sela iga melebar
 Perkusi
- Hipersonor
 Auskultasi
- Fremitus melemah
- Suara nafas vesikuler melemah atau normal
- Ekspirasi memanjang

25
- Bunyi jantung menjauh
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau pada ekspirasi paksa
2. Manifestasi klinik
- Peningkatan dyspnea
- Penggunaan otot aksesori pernafasan
- Penurunan bunyi nafas
- Takipnea
- Ortopnea
3. Gejala menetap pada proses penyakit dasar:
 Asma :
- Batuk dan perasaan dada seperti terikat
- Mengi
- Pernapasan cuping hidung
- Ketakutan dan diaforesis
 Bronkhitis
- Batuk produktif dengan warna sputum putih keabu-abuan
- Inpirasi ronkhi kasar (crackles) dan mengi
- Sesak napas
 Bronkhitis (Tahap Lanjut)
- Penampilan sianosis (karena polisitimia yang terjadi akibat
dari hipoksemia kronis)
- Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan
oleh udema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor
pulmonal), secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue
bloaters”.
 Emfisema
- Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter
toraks anterior posterior meningkat sebagai akibat
hiperinflasi paru-paru)
- Fase ekspirasi memanjang

26
 Emfisema (Tahap Lanjut)
- Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tidak ada sianosi,
pasien ini sering digambarkan secara klinis sebagai “pink
puffers”.

e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien PPOK menurut Doenges
(2000) antara lain:
1) Sinar X dada, menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan
tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda
bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode
remisi (asma).
2) Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dyspnea
3) Pemeriksaan Spirometri
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced
Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity).
FEV1 adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan secara
pak dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1
pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi
badan. FVC adalah volume maksimum total udara yang pasien
dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan
derajat berikut:
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis: Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis,
produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor
resiko.
Spirometri: Normal

27
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat
sesak 1.
Spirometri: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis: Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul
pada saat aktivitas).
Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis: Sesak napas derajat sesak 3 dan 4.Eksaserbasi
lebih sering terjadi.
Spirometri: FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis: Pasien derajat III dengan gagal napas kronik.
Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung
kanan.
Spirometri: FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Doenges (2000) adalah:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
b. Kerusakan pertukaran gas
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
d. Resiko tinggi terhadap infeksi

3. Intervensi
Langkah-langkah perencanaan/intervensi pada asuhan keperawatan,
diantaranya:

28
a) Menentukan prioritas
Salah satu sistem yang digunakan adalah hirarki “kebutuhan
manusia” (Lyer et al., 1996) dengan mengidentifikasi prioritas
kelompok diagnosa keperawatan dan masalah kolaburatif. Beberapa
hirarki yang digunakan untuk menentukan prioritas perencanaan
adalah Hirarki Maslow dan Hirarki Kalish
b) Menetapkan tujuan
c) Menentukan kriteria hasil
Tujuan keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan suatu
tindakan yang dapat diukur berdasarkan kemampuan dan
kewenangan perawat. pedoman penulisan kriteria hasil:
- Berfokus pada klien (S : Spesifik, M :Measurable, A :Achievable,
R : Reasonable, T :Time)
- Singkat dan Jelas
- Dapat diukur
- Ada batas waktunya
- Realistik
d) Menentukan rencana tindakan

Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis


menurut Doenges (2000) adalah:
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pasien akan mempertahankan jalan napas yang paten.
Kriteria Hasil:
- Pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan
jalan napas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan secret.
Intervensi Mandiri:
- Auskultasi bunyi napas (mengi, crackles, ronkhi).
- Kaji atau pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi atau
ekspirasi.

29
- Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara,
gelisah, ansietas, distress pernapasan, penggunaan otot bantu.
- Kaji pasien untuk posisi yang nyaman.
- Dorong atau bantu latihan nafas abdmen atau bibir.
- Observasi kriteria batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek,
basah.
- Tingkatkan masukan cairan sampai 3000ml/hari sesuai toleransi
jantung.
Intervensi Kolaborasi:
- Berikan obat sesuai indikasi.

b. Kerusakan pertukaran gas


Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernapasan.
Kriteria Hasil:
- Pasien akan berpartisipasi dalm program pengobatan dalam
tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi mandiri:
- Kaji frekuensi, kedalaman napas. Catat penggunan otot aksesori,
napas bibir, ketidakmampuan berbicara.
- Tinggikan kepala tempat tidur.
- Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
- Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila diindikasikan.
- Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan atau
bunyi tambahan.
- Palpasi fremitus.
- Awasi tingakt kesadaran atau status menatl. Selidiki adanya
perubahan.
- Evaluasi tingkat toleransi aktivitas.

30
- Awasi tanda vital dan irama jantung.
Intervensi kolaborasi:
- Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
- Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil GDA dan
toleransi pasien.
- Berikan penekanan SSP (antiansietas, sedative atau narkotik)
dengan hati-hati.
- Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang
tepat.
Kriteria Hasil:
- Pasien menunjukkan perilaku atau perubahan polahidup untuk
menigkatkan atau mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi mandiri:
- Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. evaluasi berat
badan dan ukuran tubuh.
- Auskultasi bunyi bising usus.
- Berikan perawatan oral sring, buang sekret, berikan wadah khusus
untuk sekali pakai dan tisu.
- Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah
makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
- Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
- Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
- Timbang berat badan sesuai indikasi.
Intervensi kolaborasi:
- Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan makanan yang
mudah dicerna, secara nutrisi seimbang.
- Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa dan elektrolit.

31
d. Resiko tinggi terhadap infeksi
Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24jam diharapkan
pasien menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu.
Kriteria Hasil:
- Pasien mampu mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau
menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik,
perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi mandiri:
- Awasi suhu.
- Kaji pentingnya latihan napas, batuk efektif, perubahan posisi dan
masukan cairan adekuat.
- Observasi warna, karakter, bau sputum.
- Bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar dan penggunaan sarung tangan bila memgang
atau membuang tisu dan wadah sputum.
- Awasi pengunjung, beri masker sesuai indikasi.
- Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
Intervensi kolaborasi:
- Kolaborasi untuk memberikan antimikrobial sesuai indikasi.

e) Implementasi
Implementasi di dalam asuhan keperawatan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakuakn oleh perawat untuk membantu klien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam
Potter & Perry, 1997). Secara operasional hal yang perlu diperhatikan
perawat dalam pelaksanaan implementasi keperawatan adalah:
1. Pada tahap persiapan
- Menggali analisis kekuatan dan keterbatasan profesional pada
diri sendiri
- Memahami rencana keperawatan dengan baik

32
- Menguasai keterampilan teknis keperawatan
- Memahami kode etik dan aspek hukum yang berlaku
- Memahami standar praktik klinik keperawatan untuk mengukur
keberhasilan
- Memahami efek samping dan komplikasi yang mungkin terjadi
2. Pada tahap pelaksanaan
- Mengomunikasikan kepada klien tentang keputusan tindakan
keperawatan yang akan dilakukan oleh perawat
- Memberi kesempatan klien untuk memberi feedback terkait
penjelasan tersebut
- Menerapkan pengetahuan intelektual
- Mencegah kecelakaan, memerhatikan privasi klien dan respon
klien terhadap tindakan keperawatan
3. Pada tahap terminasi
- Meninjau kemajuan klian dari tindakan keperawatan yang telah
diberikan
- Merapikan peralatan dan lingkungan klien dan melakukan
terminasi
- Melakukan pendokumentasian

Prinsip implementasi adalah tindakan keperawatan yang


dikerjakan sesuai dengan pedoman dari intervensi yang telah ditetapkan
sesuai diagnosa sehingga menciptakan kriteria hasil yang diharapkan.

f) Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari asuhan keperawatan yang
bertujuan untuk menilai apakah tindakan keperawatan yang telah
dilakukan dapat mengatasi masalah kesehatan klien atau tidak. Evaluasi
disusun menggunakan SOAP (Suprajitno dalam Wardhani, 2013):
- S (Subjektif): Ungkapan pasien secara langsung melalui anamnesis
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
- O (Objektif): Data dari pemeriksaan fisik setelah dilakukannya
tindakan keperawatan.

33
- A (Assesment): Analisis dan interpretasi berdasarkan data yang
terkumpul kemudian dibuat kesimpulan meliputi diagnosis atau
masalah potensial serta perlu tidaknya dilakukan tindakan segera.
- P (Plan): rencana dari tindakan yang akan diberikan untuk tindak
lanjut.

Evaluasi untuk PPOK digunakan untuk menilai hasil dari tindakan


keperawatan kepada pasien PPOK dan bagaimana hasil atau efek yang
muncul setelah dilakukan intervensi, hasil analisa terbut
didokumentasikan dalam bentuk SOAP.

3.2.4 Pengobatan
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi
ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian.
1) Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan
kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan
latihan pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal
penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi
pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan penyakit.
2) Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain
seperti kortikoteroid, antibiotic dan antiinflamasi diberikan pada beberapa
kondisi tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari
ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long
acting). Macam-macam bronkodilator adalah sebagai berikut:

34
 Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kaliperhari).
 Golongan β– 2 agonis
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
 Kombinasi antikolinergik dan β– 2 agonis
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
 Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

3.3 Asma

3.3.1 Definisi

Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat
mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi
berupa serangan asma (Ngastiyah, 2005). Asma adalah penyakit yang
menyebabkan otot-otot di sekitar saluran bronchial (saluran udara) dalam paru-
paru mengkerut, sekaligus lapisan saluran bronchial mengalami peradangan dan
bengkak (Espeland, 2008). Asma adalah suatu peradangan pada bronkus akibat
reaksi hipersensitif mukosa bronkus terhadap bahan alergen (Riyadi, 2009).

35
3.3.2 Patofisiologi
1) Etiologi
Adapun faktor penyebab dari asma adalah faktor infeksi dan faktor non
infeksi. Faktor infeksi misalnya virus, jamur, parasit, dan bakteri sedangkan
faktor non infeksi seperti alergi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis
(Mansjoer, 2000).

2) Proses terjadi
Faktor-faktor penyebab seperti virus, bakteri, jamur, parasit, alergi,
iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis akan merangsang reaksi
hiperreaktivitas bronkus dalam saluran pernafasan sehingga merangsang sel
plasma menghasilkan imonoglubulin E (IgE). IgE selanjutnya akan menempel
pada reseptor dinding sel mast yang disebut sel mast tersensitisasi. Sel mast
tersensitisasi akan mengalami degranulasi, sel mast yang mengalami
degranulasi akan mengeluarkan sejumlah mediator seperti histamin dan
bradikinin.

Mediator ini menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga


timbul edema mukosa, peningkatan produksi mukus dan kontraksi otot polos
bronkiolus. Hal ini akan menyebabkan proliferasi akibatnya terjadi sumbatan
dan daya konsulidasi pada jalan nafas sehingga proses pertukaran O2 dan CO2
terhambat akibatnya terjadi gangguan ventilasi. Rendahnya masukan O2 ke
paru-paru terutama pada alveolus menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan CO2 dalam alveolus atau yang disebut dengan hiperventilasi, yang
akan menyebabkan terjadi alkalosis respiratorik dan penurunan CO2 dalam
kapiler (hipoventilasi) yang akan menyebabkan terjadi asidosis respiratorik.
Hal ini dapat menyebabkan paru-paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya
dalam pertukaran gas yaitu membuang karbondioksida sehingga menyebabkan
konsentrasi O2 dalam alveolus menurun dan terjadilah gangguan difusi, dan
akan berlanjut menjadi gangguan perfusi dimana oksigenisasi ke jaringan tidak
memadai sehingga akan terjadi hipoksemia dan hipoksia yang akan
menimbulkan berbagai manifestasi klinis.

36
3) Manifestasi klinis
Adapun manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain mengi/wheezing,
sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, pilek, nyeri dada, nadi
meningkat, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea, kelelahan, lemah,
anoreksia, sianosis dan gelisah.

4) Komplikasi
Adapun komplikasi yang timbul yaitu bronkitis berat, emfisema,
atelektasis, pneumotorak dan bronkopneumonia.

37
Bagan 1: Web of Caution (WOC) Asma

Etiologi

Faktor infeksi Faktor non infeksi

 Virus (respiratory syntitial  Alergi


virus) dan virus parainfluenza  Iritan
 Bakteri (pertusis dan  Cuaca
streptoccus)  Kegiatan jasmani
 Jamur (aspergillus)  Psikis
Reaksi hiperaktivitas bronkus

Antibody muncul (IgE)

Sel mast mengalami degranulasi
Peningkatan Edema Kontraksi otot
produksi mukus polos bronkus
mukosa

Anoreksia Mempermudah proliferasi


  Batuk, pilek
Perubahan nutrisi  Mengi / wheezing
Terjadi sumbatan dan daya konsolidasi
kurang dari  Sesak
kebutuhan tubuh 
Hipoventilasi Hiperventilasi Bersihan

jalan nafas

Konsentrasi O2 dalam Konsentrasi CO2 dalam


alveolus menurun alveolus meningkat

Gangguan difusi

Oksigenasi ke jaringan tidak memadai

Hipoksemia dan hipoksia
 Kelelahan Dada terasa
 Sianosis  Lemah tertekan / sesak,
 Takipnea nyeri dada, nadi
meningkat
 Gelisah
Intoleransi
 Nafas cuping hidung
aktivitas Nyeri Akut
 Retraksi otot dada
 Keluarga bertanya
tentang penyakit
anaknya Gangguan
 Cemas dan gelisah pertukaran gas
Cemas

38
3.3.3 Asuhan Keperawatan Asma
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan (Gaffar,
1999). Pada tahap ini akan dilaksanakan pengumpulan, pengelompokan dan
penganalisaan data. Pada pengumpulan data akan diperoleh data subyektif
yaitu data yang diperoleh dari keterangan pasien atau orang tua pasien. Data
obyektif diperoleh dari pemeriksaan fisik. Dari data subyektif pada pasien
asma biasanya diperoleh data anak dikeluhkan sesak nafas, batuk, pilek,
nafsu makan menurun, lemah, kelelahan dan gelisah. Dari data obyektif
diperoleh data mengi/wheezing berulang, ronchi, dada terasa tertekan atau
sesak, pernapasan cepat (takipnea), sianosis, nafas cuping hidung dan
retraksi otot dada.
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon
aktual/potensial terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan. Dari
pengkajian yang dilakukan maka didapatkan diagnosa keperawatan yang
muncul seperti :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sputum atau sekret.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap anoreksia
akibat rasa dan bau sputum.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan batuk persisten dan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh.
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, batuk
menetap.
e. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler – alveolar.
f. Cemas berhubungan dengan kesulitan bernafas dan rasa takut
sufokasi.

39
3. Intervensi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien
mampu:
 Respiratory status : Ventilation (0403)
 Respiratory status : Airway patency (0410)
 Aspiration Prevention (1918)
Kriteria Hasil:
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
- Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal).
- Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas.
Intervensi:
Airway Management (3140)
- Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu.
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
- Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan.
- Pasang mayo bila perlu.
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
- Keluarkan sekret dengan batuk atau suction.
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
- Lakukan suction pada mayo.
- Berikan bronkodilator bila perlu.
- Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab.
- Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
- Monitor respirasi dan status O2.

40
b. Gangguan pertukaran gas
Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien
mampu:
 Respiratory Status : Gas Exchange (0402)
 Respiratory Status : Ventilation (0403)
 Vital Signs (0802)
Kriteria Hasil:
- Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat.
- Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress
pernafasan.
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
- Tanda tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi:
Respiratory Monitoring (3350)
- Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi.
- Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal.
- Monitor suara nafas, seperti dengkur.
- Monitor pola nafas: bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot.
- Catat lokasi trakea.
- Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis).
- Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan.
- Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan
ronkhi pada jalan napas utama.
- Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya.

41
c. Intoleransi aktivitas
Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien
mampu :
 Activity tolerance (0005)
Kriteria Hasil:
- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan RR.
- Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri.
Intervensi:
Activity Therapy (4310)
- Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
- Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan.
- Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial.
- Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan.
- Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda,
krek.
- Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai.
- Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang.
- Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas.
- Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas.
- Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan.
- Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual.

42
d. Nyeri akut
Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien
mampu:
 Pain Level (2102)
 Pain control (1605)
 Discomfort level (2109)
Kriteria Hasil:
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri.
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri).
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
- Tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi:
Pain Management (1400)
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
- Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
- Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
- Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
- Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.
- Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan.
- Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

43
- Kurangi faktor presipitasi nyeri.
- Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi
dan inter personal).
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
- Ajarkan tentang teknik non farmakologi.
- Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
- Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
- Tingkatkan istirahat.
- Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
tidak berhasil.
- Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri.
Analgesic Administration (2210)

- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum


pemberian obat.
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi.
- Cek riwayat alergi.
- Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu.
- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri.
- Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal.
- Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara
teratur.
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali.
- Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat.
- Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping).

e. Cemas
Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien
mampu:

44
 Anxiety self-control (1402)
 Coping (1302)
Kriteria Hasil:
- Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas.
- Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontol cemas.
- Vital sign dalam batas normal.
- Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan.
Intervensi:
Anxiety Reduction (5820)
- Gunakan pendekatan yang menenangkan.
- Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien.
- Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur.
- Pahami prespektif pasien terhadap situasi stres.
- Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut.
- Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis.
- Dorong keluarga untuk menemani anak.
- Lakukan back / neck rub.
- Dengarkan dengan penuh perhatian.
- Identifikasi tingkat kecemasan.
- Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan.
- Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi.
- Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi.
- Barikan obat untuk mengurangi kecemasan.

f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan


Tujuan yang ingin dicapai:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, pasien
mampu:
 Nutritional Status : food and Fluid Intake (1008)
 Nutritional Status : nutrient Intake (1009)

45
Kriteria Hasil:
- Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
- Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
- Tidak ada tanda tanda malnutrisi.
- Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
Intervensi:
Nutrition Management (1100)
- Kaji adanya alergi makanan.
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien.
- Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe.
- Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
- Berikan substansi gula.
- Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi.
- Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi).
- Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
- Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
- Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
- Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan.

4. Implementasi
Pelaksanaan adalah pngelolaan, perwujudan dari rencana perawatan
yang telah disusun pada tahap kedua untuk memenuhi kebutuhan pasien
secara optimal dan komprehensif. Tindakan keperawatan yang dilaksanakan
disesuaikan dengan perencanaan (Nursalam, 2001).

46
5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan
rencana tujuan yaitu:
1) Bersihan jalan nafas efektif
2) Ventilasi dan pertukaran gas efektif
3) Aktivitas dapat ditingkatkan
4) Pemenuhan nutrisi adekuat
5) Nyeri berkurang/terkontrol
6) Kecemasan orang tua berkurang/hilang, pengetauan orang tua
bertambah, keluarga memahami kondisi pasien.

3.3.4 Pengobatan
1. Pengobatan Medis Jangka Panjang
Pengobatan jangka panjang terhadap penderita asma, dilakukan
berdasarkan tingkat keparahan terhadap gejala asma tersebut. Pada
penderita asma intermitten, tidak ada pengobatan jangka panjang. Pada
penderita asma mild intermitten, menggunakan pilihan obat
glukokortikosteroid inhalasi dan didukung oleh Teofilin, kromones, atau
leukotrien. Dan untuk asma moderate persisten, menggunakan pilihan obat
β-agonist inhalsi dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline
atau leukotrien. Untuk asma severe persisten, β2-agonist inhalasi
dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan
leukotrien atau menggunakan obat β2 agonist oral (GINA, 2006).
Berikut penjelasan tentang obat-obat pengontrol asma (Controller) menurut
GINA (2006):
 Glukokortikosteroid Inhalasi
Jenis obat ini digunakan selama satu bulan atau lebih untuk mengurangi
gejala inflamasi asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru,
mengurangi hiperresponsive dan mengurangi gejala asma dan
meningkatkan kualitas hidup. Obat ini dapat menimbulkan kandidiasis
orofaringeal, menimbulkan iritasi pada bagian saluran napas atas dan

47
dapat memberikan efek sistemik, menekan kerja adrenal atau
mengurangi aktivitas osteoblast.
 Gluokortikosteroid Oral
Mekanisme kerja obat dan fungsi obat ini sama dengan obat
kortikosteroid inhalasil. Obat ini dapat menimbulkan hipertensi,
diabetes, penekanan kerja hipothalamus-pituitary dan adrenal, katarak,
glukoma, obaesitas dan kelemahan.
 Kromones (Sodium Cromogycate dan Nedocromyl Sodium)
Obat ini dapat menurunkan jumlah eosin bronchial pada gejala asma.
Obat ini dapat menurunkan gejala dan menurunkan reaksi
hiperresponsive pada 2-agonist inhalsi dikombinasikan dengan
glukokortikoid inhalasi, teofiline atau leukotrien. Untuk asma severe
persisten, β2-agonist inhalasi dikombinasikan dengan
glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan leukotrien atau menggunakan
obat β2 agonist oral, imun nonspecific. Obat ini dapat menimbulkan
batuk-batuk pada saat pemakaian dengan bentuk formulasi powder.
 Β2-Agioinst Inhalasi
Obat in berfungsi sebagai bronkodilator selama 12 jam setelah
pemakaian. Obat ini dapat mengurangi gejala asma pada waktu malam,
meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat menimbulkan tremor pada
bagian musculoskeletal, menstimulasi kerja cardiovascular dan
hipokalemia.
 B2-Agonist Oral
Obat ini sebagai bronkodilator dan dapat mengontrol gejala asma pada
waktu malam. Obat ini dapat menimbulkan anxietas, meningkatkan
kerja jantung, dan menimbulkan tremor pada bagian musculoskeletal.
 Teofiline
Obat ini digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma
bronkial dengan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan
pembuluh darah pulmonal. Obat ini dapat menyebabkan efek samping
berupa mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan iritabilitas. Pada

48
level yang lebih dari 35 mcg/mL menyebabkan hperglisemia, hipotensi,
aritmia jantung, takikardi, kerusakan otak dan kematian.
 Leukotriens
Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini berfungsi untuk
mengurangi gejala termasuk batuk, meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan gejala asma.

Berikut penjelasan tentang obat-obat meringankan (Reliever) asma


menurut GINA (2006):

 β2- Agoinst Inhalasi


Obat ini bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini digunakan untuk
mengontrol gejala asma, variabilitas peak flow, hiperresponsive jalan
napas. Obat ini dapat menstimulasi kerja jantung, tremor otot skeletal
dan hipokalemia.
 Β2- Agionst Oral
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat menstimulasi kerja
jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia.
 Antikolinergic
Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat meningkatkan fungsi
paru. Obat ini dapat menyebabkan mulut kering dan pengeluaran mucus.
2. Metode Pengobatan Alternative
Metode pengobatan alternative ini sebagian besar masih dalam
penelitian. Buteyko merupakan salah satu pengobatan alternative yang
terbukti dapat menurunkan ventilasi alveolar terhadap hiperventilasi paru
penderita asma, selain itu memperbaiki gejala yang ditimbulkan asma.
Buteyko ini merupakan tehnik bernapas yang dirancang khusus untuk
penderita asma dengan prinsip latihan tehnik bernapas dangkal (GINA,
2006).
Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi
bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang panjang.
Slow deep breathing adalah gabungan dari metode nafas dalam (deep
breathing) dan napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien
melakukan nafas dalam dengan frekuensi kurang dari atau sama dengan 10

49
kali permenit. Latihan napas dalam dan lambat secara teratur akan
meningkatkan respons saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf
simpatik, meningkatkan fungsi pernafasan dan kardiovaskuler, mengurangi
efek stres, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental.
Penelitian Telles dan Desiraju (1991) menunjukkan bahwa
pengaturan pernapasan dalam dan lambat menyebabkan penurunan secara
signifikan konsumsi oksigen. Teknik pernapasan dengan pola yang teratur
juga dapat dilakukan untuk relaksasi, manajemen stres, kontrol
psikofisiologis dan meningkatkan fungsi organ (Geng and Ikiz, 2009).

50
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada manusia, pernapasan terjadi melalui alat-alat pernapasan yang
terdapat dalam tubuh atau melalui jalur udara pernapasan untuk menuju ke
sel-sel tubuh lainnya. Struktur organ atau bagian-bagian alat pernapasan pada
manusia terdiri atas rongga hidung, faring (rongga tekak), laring (kotak
suara), trakea (batang tenggorokan), bronkus dan paru-paru. Alat pernapasan
manusia tersebut diatas memiliki fungsi dan tugas masing-masih dalam
berlangsungnnya proses pernapasan.
Gangguan sistem pernapasan, secara garis besar dibagi kedalam dua
kelompok, yaitu penyakit paru restriktif dan paru obstruktif yang masih
terbagi kedalam beberapa kelompok kecil lainnya. Namun kali ini dijadikan
ke 2 kelompok lain yaitu infeksi dan obstruktif. Salah satu penyakit infeksi
yang akan dibahas adalah efusi pleura. Efusi pleura disebabkan oleh iritasi
atau infeksi pada paru-paru. Pada keadaan normal, terdapat sedikit cairan pada
pleura sebagai pelumas agar paru-paru dapat bergerak dengan mulus pada
rongga paru-paru. Terlalu banyak cairan dapat menyebabkan tekanan pada
paru-paru meningkat, sehingga mengakibatkan kesulitan bernapas. Kelompok
lainnya adalah penyakit paru obstruktif, sebagai contoh PPOK (penyakit paru
obstruktif kronik). Pada penderita PPOK terjadi limitasi saluran udara yang
dapat terjadi sepenuhnya, bersifat reversibel dan progressive. Terakhir yang
akan dibahas adalah mengenai asma, yaitu suatu penyakit inflamasi kronik
yang menyebabkan episode berulang dari mengi, sulit bernafas, sesak dada,
dan batuk terutama di malam atau pagi hari. Gejala ini dikaitkan dengan
terjadinya bronkokontriksi.

51
DAFTAR PUSTAKA
Berawi, Khairun Nisa., Emeraldha, Theodorus. 2017. Defisiensi Alpha 1-
Antitrypsin sebagai Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Jurnal
Universitas Lampung Vol. 6 No. 2.

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa keperawatan. (Edisi 6). Jakarta: EGC.

Communication Limited, Cambridge. 1996. Anatomi dan Fisiologi Modul Swa-


instruksional. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.

Dewi, Putu. “Efusi Pleura Masif: Sebuah Laporan Kasus”. Fakultas Kedokteran.
Universitas Udayana. Bali

Doenges, M.E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan. (Edisi 3). Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC Buku
Kedokteran

Dr. Tambayong, Jan. 1999. Anatomi dan Fisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.

Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.


Jakarta: EGC Buku Kedokteran.

Espeland, N. 2008. Petunjuk Lengkap Mengatasi Alergi dan Asma pada Anak.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Fatimah. 2017. Penerapan Model Dokumentasian Asuhan Keperawatan Pada


Ruang Rinra Sayang II di RSUD Haji Makassar (skripsi). Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar

Gaffar, L.O.J. 1999. Pengantar Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC.

Geng, A., Ikiz, A.O., Guneri. E.A., dan Gunerli, A. 2008. Effect of Breathing
Excercises on oxygenatipn after Major head and neck surgery.
Otolaryngology-head and neck surgery, 139, 281-285.

52
Global Initiative for Asthma (GINA), 2006. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention.

Guyton, A.C. Hall, J.E., 2006. Effect of Smoking on Pulmonary Ventilation in


Exercise. In: Textbook of Medical Physiology. 11th ed. USA: Elsevier
Saunders; p. 1062.

Kurniasih Neira P. 2016. Perancangan Sistem Akuisisi Data Berbasis Arduno untuk
Pengenalan Ciri Sinyal Suara Paru dan Jantung. Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Airlangga: Surabaya, diakses 6 Oktober 2018
(http://repository.unair.ac.id/30078/2/2.%20BAB%20I%20PENDAHULUA
N.pdf)

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. (Edisi 3), Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.

Nursalam. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC.

Pearce, Evelyn. 1993. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia.

Riyadi, S. 2009. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Susanti, Putri Fitriana Eka. 2015. Influence of Smoking on Chronic Obstructive


Pulmonary Disease (COPD). Artikel Review. Vol.4 No. 5

Tryanni Vania dan Syarifuddin Elisna. 2013. Prevalensi Gangguan Respirasi dan
Hubungannya dengan Perilaku Warga Rumah Susun serta Faktor yang
Berhubungan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta, diakses 6
Oktober 2018 (http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S-
Vania%20Tryanni)

53

Anda mungkin juga menyukai