Anda di halaman 1dari 59

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK 2

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT HEMATOLOGI PADA ANAK


(ANEMIA, HEMOFILIA DAN THALASEMIA)

Dosen Pembimbing :
Yuni Sufyanti Arief S.Kp., M.Kes.

Disusun Oleh :
Kelompok 1 Kelas A3
1. Dika Putri Avianti (131711133001)
2. Anie Desiana (131711133016)
3. Anita Septya W. (131711133017)
4. Siti Nur Kholidah (131711133075)
5. Yustika Isnaini (131711133076)
6. Fitriana Syahputri (131711133118)
7. Adinda Reza W. (131711133131)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat pada waktunya.
Penulis makalah ini dilakukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan
Anak 2 Program S-1 Pendidikan Ners, Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga
Surabaya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat sulit terwujud sebagaimana yang
diharapkan, tanpa bimbingan dan bantuan serta tersedianya fasilitas-fasilitas yang diberikan
oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima
kasih dan rasa hormat kepada :
1. Kedua orang tua kami, terima kasih atas doa, dukungan, perhatian serta pengertiannya
selama proses pengerjaan skripsi ini;

2. Bapak Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs., (Hons) selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga serta segenap jajaran Wakil Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga;

3. Ibu Yuni Sufyanti Arief S.Kp., M.Kes selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
untuk meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing serta memberi masukan dalam
penyusunan makalah ini hingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih
banyak atas waktu, ilmu, bimbingan serta perhatiannya yang telah diberikan;

4. Seluruh jajaran pengajar Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya


yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, namun setiap ilmu yang diberikan sungguh
sangat berharga dan merupakan kesatuan bekal bagi Penulis di masa depan. Serta seluruh
Pegawai Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya yang secara langsung
maupun tidak langsung banyak membantu penulis selama perkuliahan;

5. Teman-teman Kelas A3 Angkatan 2017 Mahasiswa Pendidikan Ners Fakultas


Keperawatan Universitas Airlangga, terima kasih selama ini telah menjadi sahabat bagi
penulis. Semoga kita semua sukses dan segala impian kita tercapai;

6. Kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu selama perkuliahan dan
penyusunan makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan yang harus disempurnakan dari
makalah ini.Oleh karena itu, Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya dan membuka
diri untuk segala kritikan dan masukan yang dapat membangun dan meningkatkan kualitas
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan ilmu di masa
depan.

Surabaya, 7 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................ii


Daftar isi ............................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.....................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................3
2.1 Anemia Pada Anak ...............................................................................................3
2.2 Hemofilia Pada Anak............................................................................................17
2.3 Thalasemia Pada Anak ........................................................................................27
BAB.3 TINJAUAN KASUS..............................................................................................42
3.1 Studi Kasus.............................................................................................................42
3.2 Asuhan Keperawatan............................................................................................42
BAB 4 PENUTUP..............................................................................................................49
4.1 Kesimpulan ....................................................................................................49
4.2 Saran...............................................................................................................49
Daftar Pustaka...................................................................................................................50

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada banyak penyakit pada anak yang menyakut sistem hematologic contohnya
anemia, hemofilia, da thalassemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar
haemoglobin dalam darah kurang dari normal. Sementara, hemifilia adalah kelompok
kelainan pembekuan darah dengan karakteristik sexlinked resesif dan autosomal
resesif. Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat ranrai asam amino yang membentuk haemoglobin,
sehingga haemoglobin tidak terbentuk sempurna.
Ketiga penyakit tersebut merupakan penyakit pada sistem hematologic yang
paling sering dijumpai pada anak. Anemia masih menjadi masalah besar bagi
kesehatan masyarakat global dengan jumlah penderita yang mencapai hingga 2,3
milyar sampai diperkirakan 50% nya disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB).
Pada penyakit thalassemia Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kurang lebih
7% dari penduduk dunia mempunya gen thalassemia dimana angka kejadian tertinggi
sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia. Prevalensi karier thalassemia di
Indonesia mencapai 3-8%. Pada tahun 2009, kasus thalassemia di Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat di tahun 2006.
Pada kasus hemofilia diturunkan secara X-linked recessive dengan prevalensi 5000-
10000 penduduk laki-laki yang lahir hidup. Penderita dengan hemofilia A, B atau C,
inhibitor langsung melawan faktor VIII, IX atau XI selama diberikan terapi pengganti.
Insiden terbentuknya inhibitor pada hemofilia berkisar 20-40%, sedangkan pada
penderita hemofilia B berkisar 1-6%.
Ketiga penyakit ini memiliki tanda gejala yang hampir sama. Pada penderita
anemia biasanya penderita penyakit ini terlihat lesu, lemah,letih, pucat dikarenakan
kurangnya darah. Sementara gejala thalassemia adalah berat badan yang rendah, sesak
napas, mudah lelah, dan sakit kuning. Dan gejala utama hemofilia adalah perdarahan
yang sulit berhenti atau berlangsung lebih lama, termasuk perdarahan pada hidung
(mimisan), otot, gusi atau sendi.
Pada anemia diberikan penanganan suplementasi tablet Fe, fortifikasi
makanan dengan besi dan diberikan tablet penambah darah. Dan pada penderita

1
hemofilia untuk mencegah terjadinya perdarahan, penderita biasanya diberika
suntikan faktor pembekuan darah. Pada kasus hemofilia A dokter akan memberikan
suntikan octocog alfa atau desmepressin. Sedangkan untuk kasus hemofilia B dokter
akan memberikan suntikan nonacog alfa. Sementara pada pasien thalassemia
kemungkinan dapat diobati dengan transfuse darah tali pusat dan transplantasi
sumsum tulang dan juga transfuse darah secara rutin diperlukan bagi penderita
thalassemia beta.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis anemia ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis hemofilia ?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis thalasemia ?

1.3 Tujuan Masalah

1. Mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis anemia.


2. Mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis hemofilia.
3. Mengetahui asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronis thalasemia.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Anemia

2.1.1 Definisi

Anemia merupakan keadan berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya
kadar hemoglobin dalam darah, sehinga terjadi penurunan kemampuan darah untuk
menyalurkan oksigen ke jaringan. Anemia pada anak dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat (B9), defisiensikobalamin (B12) dan
defisiensi vitamin A. Anemia dapat terjadi pada bayi dan anak-anak. Anemia memiliki
dampak buruk terhadap tumbuh kembang anak. Anak yang terkena anemia akan susa
untuk berkonsentrasi dalam belajar, lesu, memiliki intelegnsi yang rendah, dan
mengalami gangguan kognitif dan motorik.

Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan perlu adanya
konsumsi zat besi yang cukup. Kebutuhan besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak
daripada orang dewasa apabila dihitung berdasarkan per kg berat bedan. Bayi yang
berumur dibawah 1 tahun, dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi
sama banyaknya dengan laki-laki dewasa.

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi anemia secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan etiologi
dan morfologi. Berikut klasifikasi anemia secara etiologi :

1. Anemia Defisiensi
Anemia yang disebabkan oleh karena kurangnya beberapa bahan yang diperlukan
untuk pematangan eritrosit, seperti defisiensi zat besi, B9 (asam folat) dan vitamin
B12 (kobalamin), vitamin A, protein, piridoksin, dsb.
a. Anemia Defisiensi Besi
Anemia ini disebut juga anemia hipokrom mikrositik dan paling banyak terjadi
pada anak-anak golongan umur 6 bulan sampai 6 tahun.
b. Anemia Defisiansi Asam Folat dan Kobalamin
Anemia jenis ini disebut juga anemia megaloblastik.
2. Anemia Aplastic
3
Anemia yang terjadi akibat terhentinya proses pembuatan sel darah oleh sumsum
tulang.
3. Anemia Hemoragik
Anemia yang terjadi akibat proese perdarahan masif atau perdarahan yang
menahun.
4. Anemia Hemolitik
Anemia yang disebabkan karena memendeknya umur sel darah merah atau akibat
penghancuran sel darah merah yang berlebihan.

Berikut klasifikasi berdasarkan morfologi :

1. Anemia normositik normokrom


Ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin
dalam jumlah normal (MCV dan MCHC normal) tetapi individu menderita
anemia )kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik, infeksi, gangguan
endokrin, gangguan ginjal kegagalan sumsum dan penyakit-penyakit infiltrarif
metastatik pada sumsum tulang)
2. Anemia makrositik normokrom
Ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena
konsentrasi hemoglobinnya normal. (MCV meningkat; MCHC normal)
3. Anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti
mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (MCV rendah;
MCHC rendah). Menggambarkan insufisiensi hem (besi), seperti pada anemia
defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik, gangguan
sistesis globin, seperti pada thalasemia.

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien zat besi tersering
pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia.

Berikut beberapa stadium yang menggambarkan jenis anemia :

1. Stadium I: deplesi cadangan besi yang ditandai dengan penurunan serum ferritin
(<10-12µg/L) sedangkan pemeriksaan Hb dan zat besi masih normal.
2. Stadium II: defisiensi besi tanpa anemia terjadi bila cadangan besi sudah habis
maka kadar besi didalam serum akan menurun dan kadar hemoglobin masih

4
normal. Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan serum iron(SI) dan
saturasi transferrin, sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
3. Stadium III: anemia defisiensi besi ditandai dengan penurunan kadar Hb, MCH,
MCV, MCHC pada keadaan berat, Ht dan peningkatan kadar free erythrocyte
protoporphyrin (FEP).

2.1.3 Etiologi

Penyebab utama anemia defisiensi zat besi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup
dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari nasi
dan menu yang kurang beraneka ragam. Soemantri (1983), menyatakan bahwa anemia
defisiensi zat gizi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti sosial ekonomi,
pendidikan, status zat gizi dan pola makan, fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan
tubuh dan infkesi. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan.

Berikut penyebab defisiensi besi menurut umur :

1. Bayi di bawah umur 1 tahun


a. Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah.
2. Anak umur 1-2 tahun
a. Masukkan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan
tambahan (hanya minum susu).
b. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
c. Malabsorbsi
d. Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit
dan divertikulum Meckeli.
3. Anak umur 2-5 tahun
a. Masukkan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-Heme
b. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun.
c. Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit
dan divertikulum Meckeli.
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
a. Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit
dan poliposis.
5. Usia remaja – dewasa
a. Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan

5
Menurut Husaini (1989) penyebab anemia pada anak sebagai berikut :

Penyebab Tak Langsung Penyebab Langsung Status Besi


Ketersediaan zat besi
dalam bahan makanan
Jumlah zat besi dalam
rendah, pemberian
makanan tidak cukup
makanan kurang baik,
sosial ekonomi rendah
Komposisi makanan
kurang beragam, terdapat
Absorbsi zat besi rendah Anemia zat besi
zat-zat penghambat
absorbsi
Pertumbuhan fisik,
Kebutuhan naik
kehamilan dan menyusui
Perdarahan kronis,
infeksi, pelayanan Kehilangan darah
kesehatan rendah

2.1.4 Patofisiologi

Terdapat beberapa tahapan pada proses anemia defisiensi zat besi, sebagai berikut :

1. Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritinin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain
untuk mengatahui adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap Kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum
menurun dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free
erythrocyte porphrin (FEP) meningkat.
3. Tahap Ketiga
6
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila
besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan
hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama
pada ADB yang lebih lanjut.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Anemia terjadi pada bayi atau balita, hal ini sangat tidak cepat terdeteksi, karena
bayi/balita belum bisa mengungkapkan apabila mengalami tanda-tanda anemia. Anemia
pada bayi dapat dideteksi dengan menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar Hb
(Osorio, 2002). Adapun tanda dan gejala anemia adalah pucat pada konjugtiva, lidah,
telapak tangan dan kuku. Kasus anemia berat pada anak dapat mengalami tanda-tanda
gagal jantung, mudah lelah, takipnea, hepatomegali dan odema (Ouf & Jan, 2015).

Berikut tanda dan gejala yang dapat terjadi :

1. Anak terlihat lemah, letih, lesu. Hal ini dikarenakan oksigen yang dibawa
keseluruh tubuh berkurang karena media transportnya berkurang (Hb).
2. Menurunnya daya pikir, akibatnya sulit berkonsentrasi.
3. Daya tahan tubuh menurun yang ditandai dengan mudah terserang sakit
4. Pada tingkat lanjut atau anemia berat maka anak-anak bisa menunjukkan tanda-
tanda jantung cepat dan bengkak pada tangan dan kaki.

2.1.6 Komplikasi

Dampak anemia berpengaruh terhadap kualitas kerja, pertumbuhan dan


perkembangan bayi, dan penurunan fungsi imunitas (Osorio, 2002). Dampak lain anemia
adalah peningkatan kematian pada bayi, dan terjadi keterlambatan perkembangan
psikomotor (WHO, 2010). Penurunan cadangan besi di otak akan berpengaruh terhadap
sistesa enzim, penurunan neurotransmitter seperti dopamin, serotinin, dan andrenalin
yang dapat menyebabkan perubahan perilaku dan penurunan kemampuan anak.

7
Secara patologis komplikasi yang dapat terjadi, yaitu gagal jantung kongesif’
parestesia; konfusi kanker; penyakit ginjal; gondok; gangguan pembentukan heme;
penyakit infeksi kuman; thalasemia; kelainan jantung; rematoid; gangguan sistem imun.

8
2.1.7 WOC ANEMIA ANAK

Pemecahan Eritrosit Terlalu Cepat Kurangnya beberapa bahan pematangan


Kehilangan Darah yang Berlebihan Produksi Eritrosit ↓ (hemolisis) eritrosit (zat besi, asam folat, kobalamin)

Anemia

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Sel darah Sel darah Sel darah Sel darah Sel darah Sel darah
merah dalam merah dalam merah dalam merah dalam merah dalam merah dalam
darah menurun darah menurun darah menurun darah menurun darah menurun darah menurun

Pengangkutan Hb Pengangkutan Hb Pengangkutan Hb Pengangkutan Hb Pengangkutan Hb Pengangkutan Hb


dalam darah ↓ dalam darah ↓ dalam darah ↓ dalam darah ↓ dalam darah ↓ dalam darah ↓

Penurunan Penurunan Penurunan Penurunan Penurunan Penurunan


transport O2 transport O2 transport O2 ke volume darah transport O2 ke transport O2 ke
Otak ke ginjal ↓ Usus dan Lambung jaringan
Sesak Vasokontriksi
(peningkatan pembuluh Penurunan GFR ↓ Hipoksia jaringan
frekuensi darah perfusi jaringan Metabolisme
pernapasan) pada otak anaeorob
Metabolisme ↓
MK : Resiko MK : Gangguan 9
tinggi Eliminasi Urin
MK : Gangguan Kesadaran
penurunan
pertukaran gas menurun
curah jantung
MK : Risiko Penurunan Pembenrtukan
ketidakefektifan peristaltik asam laktat
perfusi jaringan
otak
Risiko Cedera Mual muntah
Keletihan

MK :
Perkembangan Ketidakseimbangan
nutrisi : kurang dari MK :
kognitif anak
kebutuhan tubuh Intoleransi
dapat terganggu
Aktivitas

Pertumbuhan dan
perkembangan anak Pertumbuhan
terganggu anak terganggu

10
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium


terkait pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit, leukosit, trombosit, MCHC,
konsentrasi protoporfirin eritrosit serta saturasi transferase konsentrasi feritrin.

2.1.9 Penatalaksanaan

Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera dimulai
untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas pemberian preparat
besi secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat dan lain-lain), pengobatan
ini tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan cara lain.

1. Terapi zat besi oral


- Pada bayi dan anak terapo besi elemental diberikan dibagi dengan 3-6
mg/kgBB/hari diberikan dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan
makan malam.
- Terapi zat besi diberikan selama 1 sampai 3 bulan dengan lama maksimal 5
bulan.
- 6 bulan setelah pengobatan selesai harus dilakukan pemeriksaan kadar Hb.
2. Terapi zat besi IM dan IV dapat dipertimbangkan bila respon pengobatan oral tidak
berjalan baik. Efek samping dapat berupa demam, mual, urtikaria, hipotensi, dll.
3. Tranfusi darah diberikan apabila gejala anemia disertai risiko terjadinya gagal
jantung yaitu pada kadar Hb 5-8 g/dL Komponen darah yang diberikan berupa
suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara serial dengan tetesan lambat.

2.1.10 Dampak Hospitalisasi

Dampak hospitalisasi yang terjadi dapat diawali dengan penolakan anak dalam upaya
membawa anak ke rumah sakit/klinik kesehatan. Lalu, ada perasaan cemas dan protes
karena berpisah dengan orang tua saat dilakukan pemeriksaan pada anak terkait anemia.
Setelah itu, anak mengalami putus asa, anak cenderung pasif dan terlihat lebih tenang,
serta menghindari bergaul atau berinteraksi dengan orang lain. Dengan upaya-upaya
yang dilakukan oleh tim perawat dan dukungan orang tua, anak mulai menerima dan
beradaptasi, membentuk hubungan atau pertemanan baru dengan anak lain, mulai tertarik
dengan lingkungan, mulai melakukan aktifitas rekreatif dan bermain dengan teman lain.

11
2.1.11 Asuhan Keperawatan Teoritis

1) Pengkajian
1. Identitas klien
Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin, alamat, no.register dan keluhan
utama saat anak masuk rumah sakit. Biasanya wanita lebih rentan terkena anemia,
kemudian untuk usia, anak-anak juga memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia.
2. Riwayat penyakit sekarang
Kronologis penyakit yang dialami saat ini sejak awal hingga anak dibawa ke rumah
sakit secara lengkap.
3. Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu. Mungkin ketika masih bayi,
baik yang ada hubungannya dengan penyakit sekarang maupun yang tidak
berhubungan dengan penyakit sekarang, riwayat operasi dan riwayat alergi.
4. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah penyakit degeneratif dari keluarga perlu juga untuk dikaji. Atau adanya
penyakit ganas dan menular yang dimiliki oleh anggota keluarganya.
5. Riwayat Tumbuh Kembang
Tahap pertumbuhan :
Pada anak umur lima tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti
patokan umur 1-6 tahun  yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB pada usia
3 tahun : 14,6 Kg, pada usia 4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7 kg. Untuk anak
usia pra sekolah rata – rata pertambahan berat badan 2,3 kg/tahun.Sedangkan untuk
perkiraan tinggi badan dalam senti meter menggunakan patokan umur 2- 12 tahun
yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi ada rata-rata TB pada usia pra sekolah yaitu 3
tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata pertambahan TB pada
usia ini yaitu 6 – 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung bertambah
tinggi.
Tahap perkembangan :
Perkembangan psikososial ( Eric Ercson ) : Inisiatif vs rasa bersalah.Anak
punya insiatif mencari pengalaman baru dan jika anak dimarahi atau diomeli maka
anak merasa bersalah dan menjadi anak peragu untuk melakukan sesuatu percobaan
yang menantang ketrampilan motorik dan bahasanya.

12
Perkembangan psikosexsual ( Sigmund Freud ) : Berada pada fase oedipal/
falik ( 3-5 tahun ).Biasanya senang bermain dengan anak berjenis kelamin
berbeda.Oedipus komplek ( laki-laki lebih dekat dengan ibunya ) dan Elektra komplek
( perempuan lebih dekat ke ayahnya ).
Perkembangan kognitif ( Piaget ) : Berada pada tahap preoperasional yaitu
fase preconseptual ( 2- 4 tahun ) dan fase pemikiran intuitive ( 4- 7 tahun ). Pada
tahap ini kanan-kiri belum sempurna, konsep sebab akibat dan konsep waktu belum
benar dan magical thinking.
Perkembangan moral berada pada prekonvensional yaitu mulai melakukan
kebiasaan prososial : sharing, menolong, melindungi, memberi sesuatu, mencari
teman dan mulai bisa menjelaskan peraturan- peraturan yang dianut oleh keluarga.
Perkembangan spiritual yaitu mulai mencontoh kegiatan keagamaan dari
orang tua atau guru dan belajar yang benar – salah untuk menghindari hukuman.
Perkembangan body image yaitu mengenal kata cantik, jelek,pendek-
tinggi,baik-nakal, bermain sesuai peran jenis kelamin, membandingkan ukuran
tubuhnya dengan kelompoknya.
Perkembangan sosial yaitu berada pada fase “ Individuation – Separation “.
Dimana sudah bisa mengatasi kecemasannya terutama pada orang yang tak di kenal
dan sudah bisa mentoleransi perpisahan dari orang tua walaupun dengan sedikit atau
tidak protes.
Perkembangan bahasa yaitu vocabularynya meningkat lebih dari 2100 kata
pada akhir umur 5 tahun. Mulai bisa merangkai 3- 4 kata menjadi kalimat. Sudah bisa
menamai objek yang familiar seperti binatang, bagian tubuh, dan nama-nama
temannya. Dapat menerima atau memberikan perintah sederhana.
Tingkah laku personal sosial yaitu dapat memverbalisasikan permintaannya,
lebih banyak bergaul, mulai menerima bahwa orang lain mempunyai pemikiran juga,
dan mulai menyadari bahwa dia mempunyai lingkungan luar.
Bermain jenis assosiative play yaitu bermain dengan orang lain yang
mempunyai permainan yang mirip.Berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan
kemampuan motorik halus yaitu melompat, berlari, memanjat,dan bersepeda dengan
roda tiga.
6. Riwayat Imunisasi
Anak usia pra sekolah sudah harus mendapat imunisasi lengkap antara lain : BCG,
POLIO I,II, III; DPT I, II, III; dan campak.

13
7. Riwayat Nutrisi
Untuk mengetahui status gizi pada anak, adakah tanda-tanda yang menunjukkan anak
mengalami gangguan kekurangan nutrisi.
8. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan yang nampak
pada klien.
b. B1 (Breathing) : Dispnea (kesulitan bernapas), napas pendek, dan lebih cepat lelah
dalam melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya
pengiriman oksigen.
c. B2 (Bleeding) : Tachycardi dan bising jantung menggambarkan beban kerja dan
curah jantung yang meningkat, pucat pada kuku, telapak tangan serta membran
mukosa bibir dan konjungtiva. Keluhan nyeri dada bila melibatkan arteri koroner.
Angina (nyeri dada), khususnya pada klien usia lanjut dengan stenosis koroner
dapat diakibatkan karena iskema miokardium. Pada anemia berat, dapat
menimbulkan gagal jantung kongestif sebab otot jantung yang kekurangan
oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung yang
meningkat.
d. B3 (Brain) : Disfungsi neurologis, sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinitus
(telinga berdenging)
e. B4 (Bladder) : Gangguan ginjal, penurunan produksi urin
f. B5 (Bowel) : Penurun intake nutrisi disebabkan karena anoreksia, nausea,
konstipasi atau diare, serta stomatitis (sariawan lidah mulut)
g. B6 (Bone) : Kelemahan dalam melakukan aktivitas
9. Pemeriksaan penunjang.
Lakukan pemeriksaan penunjang kadar Hb, hematokrit, MCV, MCHC, konsentrasi
protoporfirin eritrosit serta Saturasi transferin dan konsentrasi feritin. Setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk analisa elemen darah pada penderita anemia
biasanya akan menunjukkan hasil sebagai berikut.
a. Konsentrasi Hb menurun.
b. Hematokrit menurun.
c. MCV dan MCHC menurun.
d. Keluasan distribusi sel darah merah (kadar: 14%)
e. Konsentrasi protoporfirin eritrosit, 1—2 tahun: 80 µg/dl sel darah merah

14
f. Saturasi transferin , lebih muda dari 6 bulan: 15 µg/L atau kurang.
g. Konsentrasi feritin serum kurang dari 16%.

2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan diambil dari NANDA. Diagnosa untuk penderita anemia yang
biasanya muncul adalah:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan d.d pasien merasa lemah.
2. Defisit nutrisi b.d peningk. Kebutuhan metabolisme d.d berat badan menurun
3. Keletihan b.d kondisi fisilogis (anemia) d.d pasien tampak lesu
3) Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1. : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan d.d pasien merasa
lemah.
Tujuan : Toleransi aktivitas meningkat
Kriteria Hasil :
1. Saturasi oksigen cukup meningkat (4)
2. Keluhan lelah cukup menurun (4)
3. Perasaan lemah cukup menurun (4)
Intervensi :
1. Monitor kelelahan fisik dan emosional
2. Monitor pola dan jam tidur
3. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus
4. Anjurkan tirah baring
5. Anjurkan aktivitas secara bertahap
Diagnosa 2 : Defisit nutrisi b.d peningkatan kebutuhan metabolisme d.d berat badan
menurun
Tujuan : Status nutrisi meningkat
Kriteria Hasil :
1. Berat badan cukup membaik (4)
2. Nafsu makan cukup membaik (4)
3. Bising usus cukup membaik (4)
Intervensi :
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Monitor berat badan

15
4. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
5. Monitor asupan makanan
Diagnosa 3 : Keletihan b.d kondisi fisilogis (anemia) d.d pasien tampak lesu
Tujuan : Tingkat keletihan menurun
Kriteria hasil :
1. Verbalisasi lelah cukup menurun (4)
2. Lesu cukup menurun (4)
3. Pola istirahat cukup membaik (4)
Intervensi :
1. Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat
2. Anjurkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat
3. Anjurkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai kemampuan
4. Monitor pola dan jam tidur
5. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus

16
2.3 Hemofilia

2.3.1 Definisi Hemofilia

Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan karakteristik


autosomal resesif atau hemofilia juga dapat dikatakan sebagai gangguan perdarahan
(herediter) yang berkaitan dengan defesiensi atau kelainan biologik faktor VIII, Faktor X dan
faktor XI dalam Plasma. Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah yang
diturunkan melalui kromosom X.

2.3.2 Klasifikasi Hemofilia

1. Berdasarkan jenisnya
Hemofilia terbagi atas dua jenis, yaitu:
1) Hemofilia A yang dikenal juga dengan nama:
a. Hemofilia klasik
Terjadi karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor
pembekuan pada darah.
b. Hemofilia kekurangan faktor VIII
Terjadi karena kekurangan faktor 8 (Faktor VIII) protein pada darah yang
menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
2) Hemofilia B yang dikenal juga dengan nama:
a. Christmas disease
Karena ditemukan untuk pertama kalinya pada seorang yang bernama Steven
Christmas asal Kanada.
b. Hemofilia kekurangan faktor IX
Terjadi karena kekurangan faktor 9 (Faktor IX) protein pada darah yang
menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
3) Hemofilia C dikarenakan defisiensi faktor XI
2. Klasifikasi Hemofili menurut berat ringannya penyakit:
1) Defisiensi berat:
a. Kadar faktor VIII 0-2% dari normal
b. Terjadi hemartros dan perdarahan berat berulang
2) Defisiensi sedang:
a. Kadar faktor VIII 2-5 % dari normal
b. Jarang menyebabkan kelainan ortopedik

17
c. Jarang terjadi hemartros dan perdarahan spontan
3) Defisiensi ringan:
a. Kadar faktor VIII 5-25 % dari normal
b. Mungkin tidak terjadi hemartros dan perdarahan spontan lain, tetapi dapat
menyebabkan perdarahan serius bila terjadi trauma / luka yg tidak berat / proses
pembedahan.
4) Subhemofilia kadar faktor 25-50% dari normal. Tidak mengakibatkaan perdarahan,
kecuali bila penderita mengalami trauma hebat dan pembedahan yang luas.

2.3.3 Etiologi Hemofilia

a. Faktor Kongenital. Bersifat resesif autosimal herediter atau kelainan darah yang timbul
akibat sintesis faktor pembekuan darah yang menurun. Gejala yang dikeluarkan berupa
mudah timbulnya kebiruan pada kulit / perdarahan yang berlebihan setelah terjadi suatu
trauma.

b. Faktor Defisiensi Protombin : Hemofilia A / hemofilia klasik (hemofilia karena


kekurangan faktor VIII protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses
pembekuan darah) dan hemofilia B / chrismas disease (hemofilia karena kekurangan
faktor IX protein dalam darah yang juga menyebabkan masakah pada proses
pembekuan darah).

2.3.4 Manifestasi Klinis Hemofilia

Gambaran klinis yang sering terjadi pada kllien dengan hemofilia adalah adanya
perdarahan berlebih yang spontan setelah luka ringan, pembengkakan, nyeri, dan kelainan-
kelainan degeneratif pada sendi, serta keterbatasan gerak. Hematuria spontan dan perdarahan
gastrointestinal juga kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi (Handayani, Wiwik, 2008).

Manifestasi klinis perdarahan pada hemofilia A dan B sejalan dengan derajat


defisiensinya. Perdarahan yang umum dijumpai adalah mudah memar, perdarahan oral
khususnya perdarahan gusi, hemartrosis dan hematoma yang terjadi secara spontan atau
setelah adanya trauma. Perdarahan yang terjadi pada penyakit hemofilia dapat berupa
perdarahan ringan sampai berat, biasanya berupa perdarahan mukokutan seperti memar yang
hebat, epistaksis, menoragi, adanya perdarahan yang memanjang pada luka kecil, perdarahan
yang berlebihan setelah trauma atau cabut gigi.

18
2.3.5 Patofisiologi Hemofilia

Dalam proses pembekuan darah terdapat dua jalur yang dilalui, yaitu jalur ekstrinsik
yang merupakan proses menstimulasi koagulasi yang dimulai dengan pelepasan faktor III
(faktor jaringan atau tromboplastin) ke sirkulasi dari sel endothelial vascular yang cedera dan
jalur intrinsik dimulai dari aktivasi faktor XII (faktor koagulasi hageman) dalam darah.
Kedua jalur tersebut akan bekerja sama untuk mengaktifkan faktor X.

Pada seseorang dengan penyakit hemofilia dijalur intrinsik terjadi ketidakseimbangan


pembekuan darah. Dimana trombositnya mengalami gangguan dalam menghasilkan faktor
VIII, yaitu Anti Hemofiliac Factor (AHF). AHF terdiri dari dua komponen aktif, komponen
besar dan komponen kecil. Komponen kecil pada faktor VIII atau Anti Hemofiliac Factor
membantu aktivasi faktor X. Faktor X yang teraktifasi akan membentuk aktivator protombin
dengan bantuan faktor V dan fosfolipid jaringan. Dimana nantinya aktivator protombin
dengan bantuan fosfolipid jaringan (ion kalsium) membantu proses terjadinya perubahan
protombin menjadi trombin. Trombin inilah yang bekerja sebagai katalis kunci yang
mengatur perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan menyebebkan koagulasi.

Jadi, jika terjadi defisiensi faktor VIII dan IX, maka tidak akan terbentuk benang-
benang fibrin karena tidak akan terjadi aktvasi atau pembentukan faktor X yang nantinya
akan membentuk aktivator protombin. Karena aktivator protombin tidak terbentuk, maka
trombin juga tidak akan terbentuk. Inilah yang akan mengakibatkan tidak terbentuknya
benang-benang fibrin sehingga pembekuan darah tidak terjadi.

2.3.6 Komplikasi Hemofilia


Menurut (Betz & Sowden, 2009) komplikasi hemofili adalah:
a. Artritis/artropati progresif
b. Sindrom compartemen
c. Atrofi otot
d. Kontraktur otot
e. Paralisis
f. Perdarahan intracranial
g. Kerusakan saraf
h. Hipertensi
i. Kerusakan ginjal

19
j. Splenomegali
k. Hepatitis
l. Sirosis
m. Infeksi HIV karena terpajan produk darah yang terkontaminasi
n. Antibody terbentuk sebagai antagonis terhadap
o. Reaksi transfusi alergi terhadap produk darah
p. Anemia hemolitik
q. Trombosis dan/atau tromboembolisme
r. Nyeri kronis

2.3.7 WOC Hemofilia

20
21
2.3.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Betz & Sowden, 2009) uji laboratorium dan diagnostik untuk hemofilia adalah :
1. Uji penapisan/skrining untuk koagulasi darah
a. Hitung trombosit : normal pada hemofilia ringan sampai sedang
b. Masa protrombin (PT) : normal pada hemofili ringan sampai sedang
c. Masa tromboplastin parsial (APTT) : normal pada hemofilia ringan sampai sedang;
memanjang pada pengukuran hemofilia cukup berat secara adekuat dalam aliran
koagulasi instrinsik.
d. Masa perdarahan : normal pada hemofilia ringan sampai sedang; mengkaji
pembentukan sumbatan trombosit trombosit dalam kapiler
e. Analisis fungsional terhadap faktor VIII dan IX untuk memastikan diagnosis
f. Masa pembekuan trombin normal pada hemofilia ringan sampai sedang
2. Biopsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk memperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi dan kultur.
3. Uji fungsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit hati
(misalnya serum glutamic-piruvic transaminase [SPGT], serum glutamicoxaloacetic
transaminase [SGOT], alkalin fosfatase, bilirubin).

2.3.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana penderita hemofilia harus dilakukan secara komprehensif meliputi
a. Pemberian faktor pengganti
Pemberian faktor pengganti yaitu F VIII untuk hemofilia A dan pemberian faktor
pengganti F IX untuk hemofilia B. Untuk hemofilia A diberikan konsentrat F VIII
dengan dosis 0.5 x BB (kg) x kadar yang diinginkan (%). F VIII diberikan tiap 12 jam
sedangkan F IX diberikan tiap 24 jam untuk hemofilia B.
b. Perawatan dan rehabilitasi terutama bila ada sendi
Bila terjadi perdarahan akut terutama daerah sendi, maka tindakan RICE (rest, ice,
compression, elevation) segera dilakukan. Sendi yang mengalami perdarahan
diistirahatkan dan diimobilisasi. Kompres dengan es atau handuk basah yang dingin,
kemudian dilakukan penekanan atau pembebatan dan meninggikan daerah perdarahan.
Penderita sebaiknya diberikan faktor pengganti dalam 2 jam setelah perdarahan.
c. Edukasi dan dukungan psikososial bagi penderita dan keluarganya.

22
d. Pemberian kriopesipitat dan profilaksis untuk hemifilia berat
Kriopresipitat juga dapat diberikan untuk hemofilia A dimana satu kantung
kriopresipitat mengandung sekitar 80 U F VIII. Demikian juga dengan obat
antifibrinolitik seperti asam epsilon amino-kaproat atau asam traneksamat. Aspirin dan
obat antiinflamasi non steroid harus dihindari karena dapat mengganggu hemostasis.
Profilaksis F VIII atau IX dapat diberikan secara kepada penderita hemofilia berat
dengan tujuan mengurangi kejadian hemartrosis dan kecacatan sendi. WHO dan WFH
merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia 1- 2 tahun dan dilanjutkan
seumur hidup. Profilaksis diberikan berdasarkan Protokol Malmö yang pertama kali
dikembangkan di Swedia yaitu pemberian F VIII 20-40 U/kg selang sehari minimal 3
hari per minggu atau F IX 20-40 U/kg dua kali per minggu.
e. Pemberian desmopressin
Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin (1-deamino-8- arginine
vasopressin, DDAVP) suatu anolog vasopressin dapat digunakan untuk meningkatkan
kadar F VIII endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan untuk hemofilia
berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum jelas, diduga obat ini merangsang
pengeluaran vWF dari tempat simpanannya (Weibel-Palade bodies) sehingga
menstabilkan F VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan secara intravena, subkutan
atau intranasal.
f. Berolahraga secara rutin dan menjaga BB seimbang
Penderita hemofilia dianjurkan untuk berolah raga rutin, memakai peralatan
pelindung yang sesuai untuk olahraga, menghindari olahraga berat atau kontak fisik.
Berat badan harus dijaga terutama bila ada kelainan sendi karena berat badan yang
berlebih memperberat arthritis.
g. Menjaga Kebersihan mulut dan gigi
h. Vaksinasi
Vaksinasi diberikan sebagaimana anak normal terutama terhadap hepatitis A dan B.
Vaksin diberikan melalui jalur subkutan, bukan intramuskular. Pihak sekolah sebaiknya
diberitahu bila seorang anak menderita hemofilia supaya dapat membantu penderita
bila diperlukan.

23
2.3.10 Pengkajian Umum Keperawatan Hemofilia

1) Pengkajian
a. Biodata klien: biasanya lebih banyak terjadi pada pria karena mereka hanya memiliki 1
kromosom x. Sedangkan wanita, umumnya menjadi pembawa sifat saja (carrier).
b. Riwayat penyakit sekarang: sering terjadi nyeri pada luka, pembengkakan, perdarahan pada
jaringan lunak, penurunan morbiditas, perdarahan mukosa oral, ekimosis subkutan diatas
tonjolan-tonjolan tulang.
c. Riwayat penyakit dahulu: fokus primer yang serig terjadi pada hemofilia adalah sering
terjadi infeksi pada daerah luka, dan mugkin terjadi hipotensi akibat perdarahan yang terus
menerus dan apabila sering terjadi perdarahan yang terus-menerus pada daerah sendi akan
mengakibatkan kerusakan sendi.
d. Riwayat kesehatan keluarga: kaji apakah ada riwayat penyakit hemofilia atau penyakit
herediter seperti kekurangaan faktor VIII protein dan faktor IX protein.
e. Pola aktivitas: klien sering mengalami nyeri dan perdarahan yang memungkinkan
mengganggu pola aktivitas klien. Pola istirahat akan terganggu dengan adanya nyeri dan
membuat anak sering merasakan nyeri.
2) Pengkajian fisik :
a. B1 (Breathing) : pernapasan dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal,
pneumonitis, edema pulmoner dll.
b. B2 (Blood) : terjadi pperdarahan secara terus-menerus dan adanya luka memar di dekat
area perdarahan.
c. B3 (Brain) : mata (konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur), rambut
(mudah rontok, tipis, kasar), mulut (ulserasi dan perdarahan, perdarahan gusi), hidung
(pernapasan cuping hidung), leher (pembesaran vena leher).
d. B4 (Bladder) : hematuria (urin mengandung darah) dan oliguria.
e. B5 (Bowel) : mual, muntah.
f. B6 (Bone) : nyeri area pinggang, asites, kelemahan tugkai, rasa panas pada telapak kaki
dll.
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Uji laboratorium dan diagnostic : jumlah trombosit (normal) dan jumlah protombia
(normal).

24
b. Uji pembangkitan tromboplastisin : didapatkan temuan pembentukan yang tidak efisien
dari tromboplastin akibat kurangnya faktor VIII.
c. Masa pembentukan trombin yang lambat.
d. Uji fungsi hati atau dapat juga dilakuan biopsi hati
4) Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakseimbangan cairan b.d perdarahan (kehilangan volume cairan yang aktif
akibat perdarahan)
2. Perfusi jaringan tidak efektif b.d perdarahan aktif
5) Intervensi
Dignosis NOC NIC
Risiko Tujuan : agar tidak terjadi 1. Kaji tingkat perdarahan dan pembekuan
ketidakseimbangan kekurangan volume cairan darah pasien
cairan b.d Kriteria hasil: R : untuk mengetahui tingkat
perdarahan -Membran mukosa lembab perdarahan dan gua menetapkan
-Turgor kulit baik intervensi lanjutan
-Cairan masuk dan keluar 2. anjurkan untuk minum yang banyak
seimbang R : untuk meminimalkan kekurangan
-TTV dalam batas normal volume cairan
3. Observasi TTV, ukur intake dan output
cairan : rasionalnya untuk mengetahui
perkembangan psien
4. Kolaborasi dalam pemberian cairan
(infus)
R : meminimalkan terjadinya
kekurangan cairan akibat perdarahan
Perfusi jaringan Tujuan dan kriteria hasil : 1. Kaji penyebab perdarahan.
tidak efektif b.d agar tidak terjadi penurunan R : dengan mengetahui penyebab
perdarahan aktif kesadaran, pengisian kapiler perdarahan maka akan membantu dan
baik, perdarahan dapat diatasi menentukan intervensi lanjutan
2. Kaji warna kulit, hematom, sianosis
R : hal tersebut dapat memberikan derajat /
keadekuatan perfusi jaringan guna
penetapan intervensi lanjutan
25
3. Kolaborasi dalam penmerian cairan
infus yang adekuat
R : mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit serta memaksimalkan
kontraktilitas / curah jantung sehingga
sirkulasi menjadi adekuat
4. Kolaborasi dalam pemberian tranfusi
darah
R : memperbaiki / mengoptimalkan jumlah
sel darah merah dan meningkatkan Hb
dalam darah

26
2.3 Thalasemia Pada Anak

2.3.1 Definisi
Thalassemia merupakan penyakit genetic yang ditandai dengan defisiensi
hemoglobin dalam eritrosit. Keadaan ini disebabkan atau tidak adanya sintesis rantai
globin. Thalassemia dapat mempengaruhi tubuh dengan menurunkan kadar sel darah
merah dan hemoglobin dari angka normal. Hemoglobin merupakan protein kaya besi yang
terdapat pada sel darah merah dan berperan dalam distribusi oksigen maupun
karbondioksida dalam tubuh.
Sederhananya, thalassemia terjadi karena tubuh tidak dapat memproduksi rantai
protein hemoglobin yang cukup. Hal ini menyebabkan sel darah merah gagal terbentuk
dengan baik dan tidak dapat membawa oksigen yang cukup. Gen memiliki peran dalam
mensintesis rantai protein hemoglobin. Jika gen-gen ini hilang atau diubah atau terganggu
maka thalassemia dapat terjadi.
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang
dari 100 hari).

2.3.2 Klasifikasi Thalasemia


Thalassemia diklasifikasi berdasarkan molekuler menjadi dua, yaitu :
1. Thalassemia Alfa
Thalassemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai yang ada.
Thalassemia alfa terdiri dari :
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali
atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
b. Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan dengan
sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.
c. Hb H Disease

27
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada
gejala sama sekali, hingga anemia yang berat disertai dengan perbesaran limpa.
d. Alfa Thalasemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalassemia tipe ini merupakan kondisi yang
paling berbahaya pada thalassemia tjpe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin
yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang
menderita alpha thalassemia mayor pada awal kehamilan akan memngalami
anemia, membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini
biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2. Thalassemia Beta
Thalassemia beta terjadi jika terdapat mutase pada satu atau dua rantai globin beta yang
ada. Thalassemia beta terdiri dari :
a. Beta thalassemia Trait
Thalassemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang
mengecil (mikrositer).
b. Thalassemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutase tetapi masih bisa produksi sedikit rantai
beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat
mutase gen yang terjadi.
c. Beta Thalassemia Mayor
Kondisi ini kedua gen mengalami mutase sehingga tidak dapat memproduksi rantai
beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang
berat. Penderita thalassemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup
sehingga hamper tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang
lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan oksigen, gagal jantung kongestif,
maupun kematian. Penderita thalassemia mayor memerlukan tranfusi darah rutin
dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.

2.3.3 Etiologi Pada Thalasemia


Thalassemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein
yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya. Hemoglobin

28
merupakan protein kaya zat besi yang berada didalam sel darah merah dan berfungsi sangat
penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh yang
membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak ada,
maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat
terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu menjalankan
aktivitasnya secara normal. Thalassemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang
merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam
amino yang membentuk hemoglobin. Thalassemia adalah penyakit yang sifatnya
diturunkan. Penyakit ini, merupakan penyakit kelainan pembentukan sel darah merah.
Adapun etiologi dari thalassemia adalah factor genetic (herediter). Thalassemia
merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah didalam
pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). Penyebab
kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan
hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh :
a. Gangguan struktur pembentukan hemoglobin (Hb abnormal)
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa rantai globin seperti pada thalassemia)

2.3.4 Patofisiologi Thalasemia


Pada keadaan normal, disintesis hemoglobin A yang terdiri dari dua rantai alfa dan
dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95% dari seluruh hemoglobin. Sisanya
terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan
kadarnya tidak lebih dari 2% pada keadaan normal. Hemoglobin F (Foetal) setelah lahir
fetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa,
yaitu tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan
2 rantai gamma. Pada thalassemia, satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi
sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan dalam proses
pembentukan hemoglobin normal orang dewasa (HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak
terpakai akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritroposesis
tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom, mikrositer.
Pada thalassemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb
menurun sedangkan produksi HbA2 atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan
rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin

29
sebagai usaha kompensasi. Eritropoesis didalam susunan tulang sangat giat, dapat
mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritopoesis ekstra
medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan prekusornya dalam sumsum tulang adalah
luas (eritroporsis tidak efektif) dan masa hidup eritrosit memendek dan hemolysis.

2.3.5 Manifestasi Klinis Thalasemia


Bayi baru lahir dengan thalassemia beta mayor tidak mengalami anemis. Gejala
awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama
kehidupan dan pad kasus yang berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila
penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan
terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai
demem berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan perbesaran
jantung.
Terdapat hepatosplenomegaly dan mungkin ada icterus ringan. Terjadi perubahan pada
tulang menetap , yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis yang
hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki dapat menimbulkan
fraktr patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi
menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit,
koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila
limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang
dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia akibat hipersplenisme. Secara
umum tanda dan gejala yang dapat dilihat antara lain :
a) Latergi
b) Pucat
c) Kelemahan
d) Anoreksia
e) Sesak nafas
f) Tebalnya tulang kranial
g) Pembesaran limpa
h) Menipisnya tulang kartilago

2.3.6 Komplikasi Thalasemia

30
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah
yang berulang-ulang dan proses hemolysis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat
tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit,
jantung dan lain-lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah rupture akibat trauma ringan. Kadang-kadang
thalassemia disertai hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian
terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa
terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes
melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena
peningkatan deposisi melanin.

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang Thalasemia


Pemeriksaan laboratorium meliputi, pemeriksaan darah lengkap, khususnya
memeriksa nilai eritrosit rerata seperti Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean
Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC),
Red Blood Cell Distribution Width (RDW). Pada pasien thalassemia alfa maupun
thalassemia beta menunjukkan niali MCV dan MCH yang rendah (Mikrositer Hipokrom)
dan mengalami anemia. Pada kasus beta thalassemia trait mengalami anemia yang ringan.
Pemeriksaan laboratorium pada thalassemia diperlukan juga evaluasi sediaan hapusan
darah tepi, badan inklusi HbH serta Analisa hemoglobin dengan pemeriksaan hemoglobin
elektroforesis dengan menilai kadar HbA2 dan kadar HbF. Kuantitasi HbA2 yang
meningkat >3,5% mengidentifikasi suatu beta thalassemia trait. Analisa hemoglobin selain
hemoglobin elektroforesis yaitu dengan menggunakan HPLC. Mutasi yang terjadi sehingga
mengakibatkan diagnosis negative palsu, maka pemeriksaan Analisa genetic sangat
diperlukan.
2.3.8 Penatalaksanaan Thalasemia
Hingga sekarang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan thalassemia. Namun
terdapat cara penanganan yang secara umum untuk menangani penyakit thalassemia,
diantaranya :
a. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan setelah kadar ferritin
serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferrin lebih 50%, atau sekitar
31
10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari
subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari
berturut setiap selesai transfusi darah. Vitamin C 100-250 mg/hari selama
pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi. Asam folat 2-5 mg/hari
untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. Vitamin E 200-400 IU setiap hari
sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
b. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya
rupture Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfuse darah
atau kebutuhan suspense eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu
tahun.
c. Suportif
Transfusi darah. Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan
keadaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan
tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan
perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (Packed Red Cell),
10 ml/kg BB untuk setiap Hb 1g/dl. Ada beberapa cara transfusi :
- Low Transfusion : transfusi bila Hb < 6 g/dl
- High Transfusion : Hb dipertahakan pada 10 g/dl
- Super Transfusion : Hb dipertahankan pada 12 g/dl

Terapi suportif bertujuan mempertahankan kadar Hb yang cukup untuk mencegah


ekspansi sumsum tulang dan deformitas tulang yang diakibatkannya, serta
menyediakan eritrosit dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pertumbuhan
dan aktifitas fisik yang normal. Keuntungan terapi suportif ini meliputi :

- Meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis karena anak mampu ikut serta
dalam aktivitas normal.
- Penurunan kardiomegali dan hepatosplenomegaly.
- Perubahan pada tulang lebih sedikit.
- Pertumbuhan atau perkembangan normal atau mendekati normal sampai usia
pubertas.

32
2.3.9 Dampak Hospitalisasi Thalasemia

Menurut Wong (2003) berbagai perasaan merupakan respons emosional seperti:


1. Cemas akibat Perpisahan
Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap penilaian sesuatu yang
berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart & Sundeen,
1998). Menurut Wong (2003), Stres utama dari masa bayi pertengahan sampai usia
prasekolah, terutama untuk anak-anak yang berusia 6 bulan sampai 30 bulan adalah
kecemasan akibat perpisahan yang disebut sebagai depresi anaklitik. Pada kondisi
cemas akibat perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku
2. Kehilangan Kendali
Kurangnya kendali akan mengakibatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi
ketrampilan koping anak-anak. Kehilangan kendali pada anak sangat beragam dan
tergantung usia serta tingkat perkembangannya

Respon Keluarga terhadap Hospitalisasi

1. Respon Orang Tua


Beberapa penelitian menunjukkan, orang tua merasakan kecemasan yang tinggi
terutama ketika pertama kali anaknya dirawat di RS, orang tua yang kurang mendapat
dukungan emosi dan sosial keluarga, kerabat dan petugas kesehatan dan saat orang tua
mendengar keputusan dokter tentang diagnosa penyakit anaknya (Frieddman,1997).
2. Respon Sibling
Sibling sangat terpengaruh dalam menghadapi anggota keluarga yang sedang di rawat
dirumah sakit. Sibling akan merasa cemburu, marah, benci, iri dan merasa bersalah. Hal
tersebut dikarenakan secara tiba-tiba perhatian keluarga sedang tertuju kepada
saudaranya yang sakit sehingga sibling akan merasa terabaikan.

33
2.3.10 WOC Thalasemia

Pernikahan penderita thalasemia carier

Penyakit secara autosomal resesif

↓ Gangguan sintesis rantai globin α dan β

Pembentukan rantai α dan β di Rantai α kurang terbentuk daripada rantai β


retikulosit tidak seimbang
 Rantai β kurang dibentuk
dibanding α
 Rantai β tidak dibentuk sama
sekali
 Rantai g dibentuk tetapi tidak
menutupi kekurangan rantai β

Thalasemia β Thalasemia α

 Gangguan pembentukan
rantai α dan β
 Pembentukan rantai α dan β ↓
 Penimbunan dan
pengendapan rantai α dan β

Tidak terbentuk HbA

34

Membentuk inclusion bodies


Menempel pada dinding eritrosit

Merusak dinding eritrosit

Hemolisis
 Eritropoesis darah tidak efektif
dan penghancuran percusor
eritrosit dan intramedula
 ↓ sintesis Hb = eritrosit hipokrom
dan mikrositer
 Hemolisis eritrosit yang immature
 Rantai g dibentuk tetapi tidak
menutupi kekurangan rantai β

Anemia

Pengikatan O2 Kompensasi tubuh membentuk Hipoksia


oleh RBC eritrosit oleh sumsum tulang ↓
Tubuh merespon dengan Suplai O2 / Na ke jaringan ↓
Aliran darah Hiperplasia sumsum pembentukan eritropoetin
organ vital
Metabolisme sel ↓
dan jaringan ↓ Masuk ke sirkulasi
Ekspansi masif sumsum tulang
wajah dan kranium
O2 dan nutrisi
tidak di Pertumbuhan sel dan otak terhambat
transpor Deformitas tulang Merangsang eritropesis
secara adekuat
MK : Gangguan Tumbuh Kembang
Pembentukan RBC baru
(D.0106)
Perfusi yang immature dan mudah
jaringan
Perubahan bentuk wajah lisis
penonjolan tulang tengkorak
terganggu 35
perubahan pertumbuhan pada Perubahan pembentukan ATP
tulang maksila terjadi face cooley Hb ↓
Perasaan berbeda dengan orang lain Perlu tranfusi Energi yang dihasilkan ↓

Gambaran diri negatif Terjadi Fe dalam tubuh Kelemahan fisik

MK : Gangguan Citra Tubuh (D.0083) Hemosiderosis MK : Intoleransi Aktivitas (D.0056)

↑ pigmentasi kulit (coklat kehitaman) Terjadi hemapoesis di extramedula

MK : Gangguan Integritas Kulit (D.0129)


Fibrosis Hemokromatesi
Gangguan Citra Tubuh (D.0083)

Liver Limfa Jantung Pankreas Paru-paru

Hepatomegali ↓ Splenomegali Payah jantung DM Frekuensi


nafas ↑

Perut bucin Splenokromi Imunitas ↓


MK : Pola Nafas
Tidak Efektif
Menekan MK : Resiko (D.0005)
diafragma Infeksi (D.0142)

Compliance
paru-paru
terganggu

Perkusi nafas ↑

MK : Pola Nafas
Tidak Efektif
(D.0005) 36
2.3.11 Asuhan Keperawatan Teoritis Thalasemia
1) Pengkajian

1. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania). Seperti
turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup banyak
dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah terlihat sejak
anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia minor yang gejalanya
lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur sekitar 4 – 6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi lainnya.
Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbuh
kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan
yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor.
Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan dalam
kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak.
Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia
minor sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga berat badan
anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur / istirahat,
karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.

7. Riwayat kesehatan keluarga


Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua yang
menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia, maka

37
anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling pranikah
sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit yang
mungkin disebabkan karena keturunan.
8. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)

Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor
risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila diduga
faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang mungkin
dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis, maka ibu
segera dirujuk ke dokter.
9. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah aanak
seusianya yang normal.
b. B1: pernapasan
Anak biasanya mengalami hipoksia jaringan yang bersifat kronik. Frekuensi
napas anak meningkat.
c. B2: jantung pembuluh darah
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik
d. B3: sistem syaraf pusat
Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan
dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan
ketiak. Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis
thalasemia minor sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
e. B4 : saluran kemih
Biasaya tidak ditemukan masalah pada sistem perkemihan anak.
f. B5: pencernaan
Perut anak kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati ( hepatosplemagali).Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya
dan BB nya kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila
dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Adanya anoreksia, anak sering

38
mengalami susah makan, sehingga berat badan anak sangat rendah dan tidak
sesuai dengan usianya.
g. B6: muskuloskeletal
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
2) Diagnosa Keperawatan

1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan


kebutuhan oksigen
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit thalasemia
3. Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan defisiensi stimulus
4. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan penyakit kronis thalasemia

3) Intervensi
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan :
Toleransi aktivitas (L.05047)
1. Saturasi oksigen meningkat
2. Mudah melakukan kegiatan sehari-hari
3. Perasaan lemah menurun

Intervensi:
Manajemen energi (I.05178)
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh
2. Monitor ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitas
3. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus
4. Anjurkan tirah baring
5. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit thalasemia


Tujuan:
Citra tubuh (L.09067)
1. Hubungan sosial tidak terganggu

39
2. Fokus pada bagian tubuh menurun

Intervensi:
Promosi citra tubuh (I.09305)
1. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap perkembangan
2. Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap diri sendiri
3. Diskusikan perubahan penampilan fisik terhadap harga diri
4. Jelaskan kepada keluarga tentang perawatan perubahan citra tubuh

3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit thalasemia

Tujuan:
Citra tubuh (L.09067)
3. Hubungan sosial tidak terganggu
4. Fokus pada bagian tubuh menurun

Intervensi:
Promosi citra tubuh (I.09305)
1. Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap perkembangan
2. Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap diri sendiri
3. Diskusikan perubahan penampilan fisik terhadap harga diri
4. Jelaskan kepada keluarga tentang perawatan perubahan citra
tubuh.

4. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan penyakit kronis


thalasemia

Tujuan:
Tingkat infeksi (L.14137)
1. Nyeri berkurang
2. Gangguan kognitif menurun

Intervensi :
Pencegahan infeksi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
2. Batasi jumlah pengunjung

40
3. Pertahankan teknik aseptik pada pasien
4. Jelaskan tanda gejala infeksi
5. Anjurkan meningkatkan nutrisi

41
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 Studi kasus


Seorang anak An.A usia 7 tahun dibawa ke Rumah sakit karena lemah ,lesu, hanya
berbaring di tempat tidur saja karena lemas . Anak tersebut terlihat pucat pada telapak tangan dan
pada kulit , bibir kering , otot lemah . Dokter mendiagnosa talasemia mayor. Ketika dilakukan
pemeriksaan didapatkan konjungtiva anemis , suhu : 37 oC TD : 100/85 RR : 24x/menit nadi
100x/menit (Hb < 7 gr/dl) BB : 19,5 kg crt > 5 detik .Setelah melakukan anamnesa pada
orangtua , orangtua mengatakan anak tidak nafsu makan.

3.2 Asuhan Keperawatan


1) Pengkajian
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Tanggal MRS : 2 Oktober 2019 Jam Masuk : 09.45WIB
Tanggal Pengkajian : 2 Oktober 2019 No. RM : 871XXX
Jam Pengkajian : 10.00 WIB Diagnosa Masuk : Anemia – Thalasemia
Hari rawat ke :1 mayor
IDENTITAS
Identitas Pasien Identitas Wali
Nama : An.A Nama Ayah/Ibu : Tn. F/ Ny. K
Jenis Kelamin : Laki- laki Umur Ayah/ Ibu : 30 Tahun/ 28 Tahun
Umur : 7 tahun Pekerjaan Ayah : Polisi
Suku/Bangsa : Jawa Pendidikan Ayah : S1
Agama : Islam Pekerjaan Ibu : Akuntan
Alamat : Surabaya Pendidikan Ibu : S1
Sumber Biaya : BPJS
KELUHAN UTAMA
An.A lemah lesu , hanya dapat berbarig ditempat tidur karena lemas .
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
An.A mengalami anemia dengan tanda gejala lemah, lesu , pucat , konjungtiva anemis ,
kulit pucat,bibir kering , otot lemah , serta hasil pemeriksaan Hb yaitu <7 gr/dll . An. A
tidak nafsu makan dan hanya berbaring di tempat tidur karena lemas .
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

42
1. Pernah dirawat :  tidak  ya Kapan: 2 Januari 2019
Diagnosa: Thalasemia mayor
2. Riwayat penyakit kronik dan menular Ya  Tidak Jenis: -
Riwayat kontrol :-
Riwayat penggunaan obat : -
3. Riwayat alergi : Tidak ada
4. Riwayat operasi : Tidak ada
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
 tidak  ya
- Jenis
- Genogram

Keterangan:
: Perempuan : Laki- laki x :kakek pasien : Tinggal serumah

x : ibu pasien x : pasien


RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN
Prenatal
Jumlah Kunjungan : 7 kali
Bidan/ Dokter : Bidan
HPHT :10 Oktober 2011
Kenaikan BB selama kehamilan : 12 Kg
Keluhan selama hamil : Anemia
Riwayat hospitalisasi : Tidak pernah

43
Pemeriksaan kehamilan : USG saat umur 4,6,8 bulan
Natal
Awal persalinan : 17 Juli 2012
Lama persalinan : 30 menit
Tempat persalianan : RS. A
Komplikasi persalinan : Tidak ada
Jenis persalinan : normal
Penolong persalinan : Dokter
Postnatal
Kondisi bayi : Lahir dengan skor APGAR normal
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
An. A terlihat lemah , lesu , kekuatan otot lemah , konjungtiva anemis , telapak
tangan pucat , kulit pucat , bibir kering .
2. Tanda-Tanda Vital
- suhu : 37oC , TD : 100/85 ,RR : 24x/menit , nadi :100x/menit , BB : 19,5 kg crt >5
detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan Hemoglobin yaitu Hb < 7 gr/dl

2) Analisis data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. Data Subjektif: Anemia Ketidakefektifan perfusi
 jaringan perifer (Domain 4 ,
Data Objektif:
Pengikatan O2 oleh Kelas 4 , 00204)
- RR : 24x/menit RBC

- suhu : 37oC Aliran darah organ vital
- crt > 5 detik dan jaringan menurun

- TD : 100/85 O2 dan nutrisi tidak
- nadi : 100x/menit ditranspor secara
adekuat
- (Hb < 7 gr/dl) 
- BB : 19,5 kg Perfusi jaringan
terganggu
44

Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer

2. Data Subjektif: Anemia Ketidakseimbangan nutrisi :


 kurang dari kebutuhan tubuh
- Orang tua
Anoreksia (Domain 2 , kelas 1 , 00002)
mengatakan 
Asupan nutrisi kurang
anaknya tidak 
nafsu makan Defisit nutrisi
Data Objektif:
- An. A tampak
lemah , lesu
- Bibir kering
- BB :19,5 kg
- Otot lemah
- Pucat
- A
BB : 19,5 kg
TB : 112,5 cm
LILA : 15 cm
IMT : 15,1
- B
Hb : < 7 gr/dl
Creatinin : 0,5
mg/dl
Natrium : 120
mEq/dl
Kalium : 3,4
mEq/dl
Calsium : 3,5
mEq/dl
- C : kekuatan otot

45
lemah ,
konjungtiva
anemis , telapak
tangan pucat ,
kulit pucat , bibir
kering.
- D : anak hanya
makan satu piring
kecil nasi dan
nugget , karena
tidak nafsu
makan
3. Data Subjektif” anemia Intoleransi aktivitas

- Orangtua (Domain 4 , Kelas 4 , 00092)
Suplai O2/Na ke ke
mengatakan anak jaringan
hanya beerbaring
di tempat tidur 
metabolisme sel
saja karenalemas 
Data objektif : Perubahan
pembentukan ATP
- Anak terlihat 
lemas lesu dan Energi yang dihasilkan
sedikit
hanya berbaring 
di tempat tidur Kelemahan fisik

karena lemas Intoleransi aktivitas

46
3) Intervensi
No Diagnosa Tujuan Intervensi
.
1 Ketidakefektifan perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Asam Basa (1910)
perifer berhubungan dengan selama 2x24 jam perfusi perifer meningkat 1. Pertahankan kepatenan jala napaas
berhubungan dengan factor biologis dengan kriteria hasil : 2. Posisikan klien untuk
ditandai dengan perubahan mendapatkan ventilasi yang
karakteristik kulit menjadi pucat , (Perfusi jaringan : perifer) adequate
pengisian kapiler >3 detik 1. Pengisian kapiler jari (5) 3. Monitor gas darah arteri
(Domain 4 , Kelas 4 , 00204) 2. Kekuatan nadi (5) 4. Ambil specimen yang
3. Kulit pucat (5) diinstruksikan untuk mendapatkan
Analisa gas darah
5. Monitor pernapasan
6. Berikan pengobatan yang sudah
diresepkan
2 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang Setelah dilkukan tindakan keperawatan Pemberian Makan (1050)
dari kebutuhan tubuh berhubungan selama 2x24 jam status nutrisi membaik 1. Identifikasikan diet yang
dengan kurang asupan makanan dengan kriteria hasil : disarankan
ditandai dengan kelemahan otot , 2. Ciptakan lingkungan yang
penurunan berat badan (Status Nutrisi 1004) menyenangkan selama makan
(Domain 2 , kelas 1 , 00002) 1. Asupan gizi (5) 3. Tawarkan untuk mencium makanan
2. Asupan makanan (5) untuk menstimulus nafsu makan
3. Asupan cairan (5) 4. Tanyakan makanan kesukaan
pasien
5. Atur makanan sesuai dengan
kesenangan pasien
6. Catat asupan dengan tepat
7. Dorong orang tua untuk menyyuapi
makan

47
Manajemen Gangguan makan (1030)
1. Tentukan pencapaian berat badan
harian
2. Rundingkan dengan ahli gizi untuk
menentukan asupan
3. Monitor tanda-tanda fisiologis

3 Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Eneergi (0180)
dengan ketidakseimbangan antara selama 2x24 jam toleransi aktivitas 1. Monitor pola dan jam tidur
suplai dan kebutuhan oksigen meningat dengan kriteria hasil : 2. Sediakan lingkungan nyaman
ditandai dengan keletihan 3. Lakukan latihan rentan gerak pasif
(Domain 4 , Kelas 4 , 00092) Toleransi terhadap aktivitas (0005) atau aktif
1. Frekuensi nadi ketika beraktifitas (5) 4. Berikan aktifitas distraksi yang
2. Saturasi oksigen keika menyenangkan
beraktifitas(5) 5. Anjurkan tirah baring
3. Kekuatan tubuh bagian atas (5) 6. Anjurkan melakukan aktifitas
4. Kekuatan tubuh bagian bawah (5) secara bertahap
5. Kemampuan melakukan aktivitas 7. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
fisik (5) cara meningkatkan asupan makanan

48
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Asuhan keperawatan pada pasien anak dengan beberapa penyakit hematologi diharapkan
dilakukan dengan seksama dan menyeluruh. Anemia adalah suatu keadaan dimana Hb dalam darah
kurang dari normal, sementara hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan
karakteristik autosomal resesif, dan thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan
oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk semua.

4.2 Saran

Semoga pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua masyarakat. Kelompok
menyadari masih banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini dan semoga dapat lebih baik
lagi.

49
DAFTAR PUSTAKA
Barkin, R. M. 1995. Diagnosis Pediatri yang Berorientasi pada Masalah.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Behrman, R. E., Kliegman, R. M. & Arvin, A. M. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta:
EGC.
Betz, C. L. & Sowden, L. A. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri.
Jakarta: EGC.
Betz, L. B. & Sowden, L. A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri.
Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI-Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1978. Perawat Anak
di Pusat Kesehatan Masyarakat.
Shelov, S. P. 2004. Panduan Lengkap Perawatan untuk bayi dan Balita.
Jakarta: Arcan.
Wong, D. L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Kowalak, J.P., Welsh, W. & Mayer, B. (Ed). 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Mudayatiningsih, S., Lundy, F. & Mugianti, S. 2011. Modul Pemeriksaan Fisik dan Implikasinya
dalam Keperawatan.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/146/jtptunimus-gdl-ekowidyast-7282-3-babii.pdf diakses
pada 29 September 2019 pukul 20.46

https://books.google.co.id/books?
id=CiRZDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=thalasemia&hl=jv&sa=X&ved=0ahUKEwjGpe
WX8vXkAhXJLI8KHdJNCSoQ6AEILDAB#v=onepage&q=thalasemia&f=false diakses pada 29
September 2019 pukul 20.15

https://www.persi.or.id/images/regulasi/kepmenkes/kmk12018.pdf diakses pada 29 September


2019 pukul 19.43

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/48317/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y diakses, pada 30 September 2019 pukul 18.45

https://www.academia.edu/8364738/Asuhan_Keperawatan_Thalasemia_Pada_Anak diakses pada


30 September 2019 pukul 09.22

https://www.academia.edu/30104122/THALASEMIA diakses pada 30 september 2019 pukul


09.10

50
49
49
27
28
29
22

Anda mungkin juga menyukai