Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN THALASEMIA

Nama Kelompok 1:

1. Luh Made Artha Herawati


2. Wahyuningsih
3. Bq. Rohayati
4. Abu Toyib

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

PROGRAM B

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena berkat rahmat dan
karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang disusun untuk memenuhi
tugas Keperawatan Anak dengan judul “Thalasemia” dalam waktu yang telah ditentukan.

Terima kasih kami sampaikan kepada dosen bidang studi yang telah memberikan
kesempatan bagi kami untuk mengerjakan tugas makalah ini, sehingga kami menjadi lebih
mengerti dan memahami tentang materi “Thalasemia”. Tak lupa kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara langsung
maupun tidak langsung telah membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini baik
mendukung secara moril dan materil.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan,kekurangan dan kehilafan dalam


makalah ini. Untuk itu saran dan kritik tetap kami harapkan demi perbaikan makalah ini
kedepan. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.

Terima kasih

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................1

DAFTAR ISI...................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI............................................................................5

BAB III TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN ....................................13

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................19

2
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta penduduk Indonesia, maka
diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang lahir tiap
tahunnya. Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang berisiko tinggi untuk penyakit
thalasemia. Thalasemia adalah penyakit genetik yang menyebabkan terganggunya
produksi hemoglobin dalam sel darah merah. "Prevalensi thalasemia bawaan atau carrier di
Indonesia adalah sekitar 3-8 persen," kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti,
dalam  sambutannya di puncak peringatan hari ulang tahun Yayasan Thalasemia Indonesia
ke-25 di Gedung BPPT, Jakarta, hari ini.Wamenkes menjabarkan, jika persentase
thalasemia mencapai 5 persen, dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240 juta
penduduk Indonesia, maka diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita thalasemia yang
lahir tiap tahunnya. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan prevalensi
nasional thalasemia adalah 0,1 persen. "Ada 8 propinsi yang menunjukkan prevalensi
thalasemia lebih tinggu dari prevalensi nasional," ungkap Wamenkes. Beberapa dari 8
propinsi itu antara lain adalah Aceh dengan prevalensi 13,4 persen, Jakarta dengan 12,3
persen, Sumatera Selatan yang prevalensinya 5,4 persen, Gorontalo dengan persentase 3,1
persen, dan Kepulauan Riau 3  persen. Menurut Ali, setiap tahun, sekitar 300.000 anak
dengan thalasemia akan dilahirkan dan sekitar 60-70 ribu, di antaranya adalah penderita
jenis beta-thalasemia mayor, yang memerlukan transfusi darah sepanjang hidupnya."Beban
bagi penderita thalasemia mayor memang berat karena harus mendapatkan transfusi darah
dan pengobatan seumur hidup. Penderita thalasemia menghabiskan dana sekitar 7-10 juta
rupah per bulan untuk pengobatan," ungkap Wamenkes. Dua jenis  thalasemia yang lain
adalah thalasemia minor, yang terjadi pada orang sehat, namun dapat menurunkan gen
thalasemia pada anaknya dan thalasemia intermedia, yang penderitanya mungkin
memerlukan transfusi darah secara berkala dan dapat bertahan hidup sampai dewasa. Data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1994 menunjukkan persentase orang yang
membawa gen thalasemia di seluruh dunia mencapai 4,5 persen atau  sekitar 250 juta
orang. Jumlah kasus thalasemia cenderung meningkat dan pada tahun 2001 diperkirakan
jumlah pembawa gen thalasemia mencapai 7 persen dari penduduk dunia.

3
2. Rumusan Masalah
 Mengapa thalasemia bisa terjadi pada anak?
 Bagaimana patofisiologi terjadinya thalasemia?
 Bagaimana masalah yang timbul pada anak penderita thalasemia?
 Bagaimana penatalaksanaan thalasemia pada anak?

3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan adalah agar pembaca mengetahui thalasemia, sehingga dapat berguna di
tengah tengah masyarakat saat menjumpai kasus thalasemia.

4. Manfaat Penulisan

Adapun manfat penulisan adalah untuk memenuhi tugas dari Keperawatan Anak.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Thalasemia

Thalasemia merupakan penyakit kongenital herediter yang diturunkan secara


autosomal berdasarkan kelainan haemoglobin, dimana satu atau dua rantai Hb
kurang atau tidak terbentuk secara sempurna sehingga terjadi anemia hemolitik.
Kelainan hemolitik ini mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah didalam
pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (Indanah, 2010).
Thalasemia adalah penyakit genetic yang diturunkan secara autosomal resesif
menurut hukum mendel dari orang tua kepada anak-anaknya yang dapat
menunjukkan gejala klinis dari yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang
disebut thalasemia minor atau trait (carrier = pengembang sifat) hingga yang paling
berat (bentuk homozigot) yang disebut thalasemia mayor. Bentuk heterozigot
diturunkan oleh salah satu orang tua yang mengidap thalasemia, sedangkan bentuk
homozigot diturunkan oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalasemia
(Sudoyo, Aru W, 2009)
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
haemoglobin (suryadi,2001)
Thalassemia alpa adalah kelainan herediter yang diakibatkan oleh berkurangnya atau
tidak adanya sintesis satu atau lebih rantai globin α. Thalasemia mayor dikenal dengan
(Coleey anemia) merupakan bentuk homozigot dari thalasemia β yang disertai dengan
anemia berat dan sangat tergantung pada tranfusi. Penyakit thalasemia merupakan
kelainan genetik tersering didunia. Kelainan ini terutama ditemukan dikawasan
Mediterania, Afrika dan Asia Tenggara dengan frekuensi sebagai pembawa gen sekitar 5-
30% (Indanah, 2010).
Thalasemia adalah penyakit yang diturunkan secara autosomal dari orang tua
kepada anaknya. Dimana adanya penurunan produksi jumlah hemoglobin yaitu
salah satu komponen terpenting darah yang berfungsi mensuplai oksigen ke seluruh
tubuh, sehingga mengakibatkan suplai oksigen keseluruh tubuh terganggu.

5
B. Etiologi

Thalasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan orang tua kepada


anaknya. Anak yang mewarisi gen thalasemia dari salah satu orang tua dan gen
normal dari orang tua lain adalah seorang pembawa (carries). Anak yang mewarisi
gen dari kedua orang tuanya menderita thalasemia sedang sampai berat. (Muncie &
Campbell, 2009)

C. Tanda dan Gejala

Pada penderita thalasemiamenurut James & Ashwil (2007) akan ditemukan


beberapa kelainan diantaranya :

1. Anemia dengan gejala seperti pucat, demam tanpa penyebab yang jelas, tidak
nafsu makan, infeksi berulang, dan pembesaran limfe atau hati
2. Anemia progresif yang ditandai dengan hipoksia kronis seperti nyeri kepala,
nyeri prekordial, tulang, penurunan toleransi terhadap latihan, lesu dan anoreksia
3. Perubahan pada tulang, tulang akan mengalami penipisan dan kerapuhan akibat
sumsum tulang yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kekurangan
hemoglobin dalam sel darah. Hal ini terjadi pada kepala, frontal, parietal, molar
yang menjadi lebih menonjol, batang hidung menjadi lebih datar atau masuk ke
dalam dengan tulang pipih yang menonjol. Keadaan ini disebut facies cooley,
yang merupakan cirri khas thalasemia mayor.

Manifestasi klinik yang dapat dijumpai sebagai dampak patologis penyakit pada
thalasemia yaitu anemia yang menahun disebabkan eritropoises yang tidak efektif,
proses hemolisis dan reduksi sintesa hemoglobin (Indanah, 2010).
Adanya anemia tersebut mengakibatkan pasien memerlukan transfusi darah
seumur hidupnya. Pemberian transfusi darah secara terus menerus akan
menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi pada jaringan parenkim disertai
dengan kadar serum besi yang tinggi. Hal tersebut dapat menimbulkan
hemosiderosis pada berbagai organ tubuh seperti, jantung, hati, limpa serta kelenjar
endokrin. Kondisi anemia kronis menyebabkan terjadinya hypoxia jaringan dan
merangsang peningkatan produksi eritropoitin yang berdampak pada ekspansi
susunan tulang sehingga pasien thalasemia mengalami deformitas tulang, resiko
menderita gout dan defisiensi asam folat. Selain itu peningkatan eritropoitin juga
mengakibatkan hemapoesis ekstra medular. Hemapoesis eksta medular serta

6
hemolisis menyebabkan terjadinya hipersplenisme dan splenomegali. Hypoxia
yang kronis sebagai dampak dari anemia mengakibatkan penderita sering
mengalami sakit kepala, irritable, aneroxia, nyeri dada dan tulang serta intoleran
aktifitas. Pada taraf lanjut pasien juga beresiko mengalami gangguan pertumbuhan
dan perkembangan reproduksi. Pasien dengan thalasemia juga mengalami
perubahan struktur tulang yang ditandai dengan penampilan wajah khas berupa
tulang maxilaris yang menonjol, dahi yang lebar dan tulang hidung datar (Indanah,
2010).
D. Patofisiologi

Pada pasien thalasemia terjadi gangguan sintesis globin. Tidak seimbangnya


jumlah rantai α dan β globin yang disintesis menyebabkan hemoglobin tidak
terbentuk secara normal. Kondisi ini menyebabkan penurunan sintesis rantai β
dalam molekul hemoglobin yang terjadi secara parsial atau total. Penurunan rantai
β- akan dikompensasi oleh meningkatnya sintesis rantai α-, sedangkan rantai –γ
tetap aktif dan menghasilkan pembentukan hemoglobin yang cacat. (Rund &
Rachmilewitz, 2005)
Keadaan unit polipeptida yang tidak seimbang menyebabkan kelainan produksi
hemoglobin secara kronis dan destruksi eritrosit. Kondisi ini menyebabkan sumsum
tulang membentuk eritrosit baru, sehingga muncul eritropoeisis. (Price & Wilson,
2006)

7
E. Pathway

8
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Klien Dengan Thalasemia
a) Fraktur patologis
b) Hepatosplenomegali
c) Gangguan tumbuh kembang
d) Disfungsi organ
e) Gagal jantung
f) Hemosiderosis
g) Hemokromatosis
G. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi :
a. Hb rendah dapat sampai 2-3 g%
b. Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis
berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic
stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih
kurang khas.
c. Retikulosit meningkat.
2. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis) :
a. Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.
b. Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
3. Pemeriksaan khusus :Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
4. Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
a. Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan
trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).
5. Pemeriksaan lain :
a. Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar
dengan trabekula tegak lurus pada korteks.
b. Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga
trabekula tampak jelas.

H. Penatalaksanaan
Terapi thalasemia bertujuan meningkatkan kemampuan mendekati
perkembangan normal serta meminimalkan infeksi dan komplikasi sebagai dampak
sistemik penyakit. Terapi thalasemia mayor meliputi pemberian tranfusi, mencegah

9
penumpukan zat besi (Hemocromatosi) akibat tranfusi, pemberian asam folat,
usaha mengurangi hemolisis dengan splenektomi, dan transplantasi sumsum tulang
(Indanah, 2010).
1) Tranfusi Darah
Tranfusi darah yang teratur dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin
normal atau mendekati normal. Terapi ini diberikan jika kadar hemoglobin < 6
mg/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut. Tehnik yang
dipakai adalah hipertranfusi, yaitu untuk mencapai kadar hemoglobin diatas 10
gr/dl dengan jalan memberikan tranfusi 2 – 4 unit darah setiap 4 - 6 minggu,
sehingga produksi hemoglobin abnormal ditekan. Tindakan ini bertujuan
mengurangi komplikasi anemia dan eritropoesis, memaksimalkan pertumbuhan
dan perkembangan serta memperpanjang ketahanan hidup (Indanah, 2010).
2) Iron Chelator
Iron chelator diberikan untuk mencegah penumpukan zat besi
(hemocromatosis) akibat tranfusi dan akibat patogenesis dari thalasemia
sendiri serta mengontrol kadar besi didalam tubuh secara optimal (Indanah,
2010). Iron chelator yang diberikan berupa desferoksamin (desferal ®),
berfungsi untuk membantu mengekresikan besi dalam urin. Desferoksamin
diberikan dengan infusion bag dengan 1 – 2 g tiap unit darah yang
ditranfusikan atau melalui infus subcutan 20 – 4 mg/kg dalam 8 – 12 jam, 5 – 7
hari seminggu. Terapi ini diberikan setelah tranfusi darah 10 – 15 unit. Besi
yang terkelasi oleh desferoksamin diekresikan melalui urin dan feses.
Pemberian Vitamin C (200 mg/hari) membantu meningkatkan eksresi besi oleh
desferoksamin. Harapan hidup pasien thalasemia akan meningkat jika pasien
patuh terhadap terapi iron chelator ini. Selain harganya yang mahal, terapi ini
member efek samping pada pasien seperti bengkak, gatal, tuli, kerusakan pada
retina, kelainan tulang dan retardasi pertumbuhan (Indanah, 2010).
3) Splenektomi
Splenektomi adalah terapi thalasemia yang bertujuan mengurangi proses
hemolisis. Splenektomi dilakukan jika splenomegali cukup besar dan terbukti
adanya hipersplenisme serta dilakukan jika pasien berumur lebih dari 6 tahun
karena resiko infeksi pasca splenektomi (Indanah, 2010).

10
4) Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan alternatif pengobatan yang
dipercaya untuk kasus thalasemia. Proses penatalaksaan pengobatan thalasemia
dengan transplantasi sumsum tulang ini, harus dengan pertimbangan yang
sangat matang karena mengandung banyak resiko (Indanah, 2010)
menyebutkan penatalaksanaan transplantasi sumsum tulang yang
mempertimbangkan tingkatan hepatosplenomegali, ada tidaknya fibrosis postal
pada biopsi hati secara efektifitas iron chelation therapy sebelum
penatalaksanaan transplantasi. Terapi dengan transplantasi sumsum tulang
mampu menghilangkan kebutuhan pasien terhadap iron chelation therapy.

I. Diet
Berdasarkan berbagai hal yang telah diuraikan di atas, maka asupan nutrisi yang
dianjurkan pada pasien thalassemia adalah tinggi kalori, tinggi protein, kalsium,
seng, vitamin A (‚-karoten), vitamin D, vitamin E, dan rendah besi, sedangkan
vitamin C harus dibatasi karena dapat meningkatkan absorpsi besi. (Tabel 1 dan 2)
Tabel 1. Makanan yang harus dihindari oleh pasien Thalasemia
Makanan dengan kandungan zat besi tinggi Kandungan besi
Organ dalam (hati, ginjal, limpa) 5 – 14 mg/dl/100 g
• Daging sapi 2,2 mg/100 g
• Hati dan ampela ayam 2-10 mg/100 g
• Ikan pusu (dengan kepala dan tulang) 5,3 mg/100 g
• Kerang 13,2 mg/100 g
• Telur ayam 2,4 mg/butir
• Telur bebek 3,7 mg/ butir
• Buah kering / kismis, kacang 2,9 mg/ 100 g
• Kacang-kacangan yang digoreng 4-8 mg/100 g
• Kacang-kacangan yang dibakar 1,9 mg/100 g
• Biji-bijian yang dikeringkan 21,7 mg/100 g
• Sayuran berwarna hijau (bayam, kailan, >3 mg/100 g
kangkung)

11
Tabel 2. Makanan yang diperbolehkan bagi pasien hallassemia.24

Makanan dengan kandungan besi sedang Jumlah pemberian


 Daging ayam 2 potong/hari
 Tahu 1 potong
 Sawi, kacang panjang 1-2 porsi (0,5 cup)/hari
 Ikan pusu Tanpa kepala dan tulang
 Bawang, gandum Jumlah sedang
Makanan dengan kandungan besi rendah
• Nasi, mie, roti, biscuit
• Umbi-umbian (wortel, lobak, bengkoang)
• Semua jenis ikan
• Semua jenis buah (yang tidak dikeringkan)
• Susu, keju, minyak, lemak

12
BAB III

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial)
seperti Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai
pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.

2. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat
sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor
biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.

3. Riwayat Kesehatan Anak


Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi
lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.

4. Pertumbuhan dan Perkembangan


Seiring didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak
masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah
kecil untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti
tidak ada pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami
penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat pertumbuhan dan
perkembangan anak normal.

5. Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak
sesuai usia.

6. Pola Aktivitas

Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak
tidur/istirahat karena anak mudah lelah.

7. Riwayat Kesehatan Keluarga


Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua
juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia
mayor.

13
8. Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor
resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan
resiko yang mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.

9. Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia


a. Keadaan Umum = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang
seusia.
b. Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan
mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung
pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e. Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran
jantung dan disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek
nomegali).
g. Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah
normal
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai
dengan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis bahkan
mungkin anak tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i. Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat transfusi
warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya
penumpukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman Oksigen ke sel.
Tujuan: Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam , pasien mampu
mempertahankan perfusi jaringan adekuat.

Kriteria hasil :

a. Tidak terjadi palpitasi


b. Kulit tidak pucat

14
c. Membran mukosa lembab
d. Keluaran urine adekuat
e. Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
f. Tidak terjadi perubahan tekanan darah
g. Orientasi klien baik.
Intervensi :

a) Awasi tanda vital, palpasi nadi perifer


b) Lakukan pengkajian neurofaskuler periodik misalnya sensasi, gerakan nadi, warna
kulit atau suhu.
c) Berikan oksigen sesuai indikasi Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler,
warna kulit/ membran mukosa, dasar kuku.
d) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien dengan
hipotensi).
e) Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori,
bingung.
f) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat sesuai
indikasi.
g) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hemoglobin, AGD, dll
h) Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
i) Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan


kebutuhan.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperwatan selama 2x24 jam diharapkan klien
mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
Kriteria hasil:
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan dan
Tb masih dalam rentang normal pasien
Intervensi :

a) Kaji toleransi fisik anak dan bantu dalam aktivitas yang melebihi toleransi anak
b) Berikan anak aktivitas pengalihan misalnya bermain
c) Berikan anak periode tidur sesuai kondisi dan usia

15
d) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan kesulitan
dalam beraktivitas.
e) Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
f) Catat respon terhadap tingkat aktivitas.
g) Berikan lingkungan yang tenang.
h) Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
i) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
j) Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
k) Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
l) Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai
toleransi.
m) Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan


untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.

Tujuan : menunjukkan pemahaman pentingnya nutrisi

Kriteria hasil :

a. Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.


b. Tidak ada malnutrisi

Intervensi:

a) Pantau jumlah dan jenis intake dan output pasien


b) Timbang berat badan klien
c) Beri Health Education tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh
d) Kolaborasi dengan ahli gizi
e) Berikan makanan yang bergisi.
f) Berikan minuman yang bergisi misalnya susu
g) Beri makanan sedikit tapi sering.
h) Berikan suplemen atau vitamin pada anak
i) Berikan lingkungan yang menyenangkan

16
4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
Kriteria hasil :
Kulit utuh.
Intervensi :
a) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema dan
ekskoriasi.
b) Ubah posisi secara periodik.
c) Pertahankan kulit kering
d) Anjurkan pasien dan keluarga menjaga kebersihan
e) Batasi penggunaan sabun.
f) Anjurkan klien dan keluarga mencuci tangan

5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan


Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
a. Tidak ada demam
b. Tidak ada drainage purulen atau eritema
c. Ada peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
a) Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b) Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c) Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d) Pantau dan batasi pengunjung.
e) Pantau tanda-tanda vital.
f) Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
g) Kolaborasi pemberian diet dengan ahli gizi

6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.

Kriteria hasil :
a. Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana
pengobatan.
b. Mengidentifikasi faktor penyebab.
17
c. Melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi :

a) Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.


b) Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya thalasemia.
c) Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara psikologis.
d) Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan janin
melalui air ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk tidak menikah
dengan sesama penderita thalasemia, baik mayor maupun minor.
e) Berikan informasi mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
f) Gunakan teknik komunikasi terapeutik
g) Bantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang dilakukan

18
DAFTAR PUSTAKA

Arijanty, L., & Nasar, S. S. (2006). Masalah nutrisi pada thalassemia. Sari Pediatri,
5(1), 21-6.
Aru W. Sudoyo, 2009 Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 5 InternaPublishing:
Jakarta
Fatriani, Liza, 2012 Talasemia
Ganie, R. A. (2005). Thalassemia: Permasalahan dan Penanganannya. Disampaikan
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Patologi pada
Fakultas Kedokteran. USU, Medan.
Indanah, 2010 Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan “self care behavior”
Pada Anak Usia Sekolah Dengan Talasemia Mayor Di RSUPN, Dr. Cipto Mangun
Kusumo Jakarta.
James, S.R. & Ashwill, J.W. (2007). Nursing care of the children: Principle’s
&practice (3rd ed.)St. Louis: Saunders Elsevier.
Muncie, H.J. & Campbell, J.S. (2009). Alpha and beta thalasemia.
Rund, D., & Rachmilewitz, E. (2005). Cognitive abilities, mood changes and
adaptive functioning in children with β thalassaemia. Current Psychiatry, 16(3): 244-54.
Tentang, P. O. T., Anak, P. T. P., Thalasemia, C., & Aceh B. Dara Khairina.

19

Anda mungkin juga menyukai