Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

KEHAMILAN DENGAN TALASEMIA

Rizky Fajar Imam Asshiddiq


22104101004

Pembimbing:
dr. Erva, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD BLAMBANGAN BANYUWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam kita junjungkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran
sehingga dalam penyelesaian tugas ini.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada


Laboratorium Ilmu Obstetri dan Ginekologi yaitu dr. Erva, Sp.OG yang
memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi
dalam penyusunan referat dengan judul Kehamilan dengan Talasemia ini
sehingga dapat terselesaikan.

Saya menyadari dalam laporan kasus ini belum sempurna secara


keseluruhan oleh karena itu saya mengharapkan masukan-masukan yang
membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan
penyelesaian makalah laporan kasus selanjutnya. Demikian pengantar ini saya
sampaikan, laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua. Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Banyuwangi, 17 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Talasemia......................................................................................................3
2.1.1 Definisi........................................................................................................3
2.1.2 Epidemiologi Thalasemia............................................................................3
2.1.3 Etiologi........................................................................................................4
2.1.4 Klasifikasi....................................................................................................6
2.1.5 Patofisiologi.................................................................................................7
2.1.6 Thalasemia Pada Kehamilan.......................................................................9
2.1.7 Penegakan Diagnosis Thalasemia...............................................................9
2.1.8 Diagnosis Banding....................................................................................13
2.1.9 Penatalaksanaan.........................................................................................13
2.1.10 Komplikasi..............................................................................................14
2.1.11 Skrining Thalasemia................................................................................15
BAB III KESIMPULAN........................................................................................18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................18
3.2 Saran.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

3
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Talasemia adalah kelaianan genetik autosomal yang menyebabkan
penurunan atau tidak adanya satu atau lebih sintesis rantai globin dalam darah
(Cao, 2013). Prevalensi beta-talasemia yang tertinggi terdapat pada populasi di
daerah Mediterania, Timur Tengah dan Asia. Talasemia α ditemukan di Asia
Timur, Asia Tenggara, Cyprus, Yunani, Turki dan Sardinia. Sedangkan talasemia
β banyak ditemukan di Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia
Tenggara, Rusia Selatan dan Cina. Data di dunia menunjukkan sekitar 68.000
anak lahir dengan beta-talasemia serta prevalensi beta-talasemia karier sekitar atau
sekitar 1,5% dari populasi global (Origa, 2017).
Pada talasemia defek genetik didasari terjadinya delesi total atau parsial
gen globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Akibatnya terjadi
pengurangan atau tidak adanya mRNA bagi satu atau lebih rantai globin atau
terbentuknya mRNA yang cacat secara fungsional. Keadaan ini menyebabkan
ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang mengakibatkan kerusakan sel darah
merah di sumsum tulang dan perifer. Kemudian terjadi anemia berat yangakan
menyebabkan peningkatanproduksi eritropoetin dan ekspansi sumsum tulang yang
tidak efektif, deformitas tulang, pembesaran limpa dan hati serta hambatan
pertumbuhan. Pada pasien obstetri, anemia ditemukan pada saat kunjungan
prenatal awal atau skrining ulang usia kehamilan 24-28 minggu. Kunci evaluasi
anemia adalah pada mekanisme yang mendasari dan proses patologi yang terjadi,
sehingga penyebab dari anemia perlu diketahui untuk menentukan diagnosis dan
penanganan yang sesuai agar didapatkan luaran kehamilan yang baik.
Saat ini, terdapat lebih dari 10.531 pasien talasemia di Indonesia, dan
diperkirakan 2.500 bayi baru lahir dengan talasemia setiap tahunnya di Indonesia.
Tahun 2016, prevalensi talasemia mayor di Indonesia berdasarkan data
Hematologi Ikatan Dokter Anak Indonesia mencapai jumlah 9.121 orang.
Berdasarkan data Yayasan Talasemia Indonesia/Perhimpunan Orang Tua
Penderita (YTI/POPTI) diketahui bahwa penyandang talasemia di Indonesia
mengalami peningkatan dari 4.896 penyandang di tahun 2012 menjadi 9.028
penyandang pada tahun 2018 (Kemenkes, 2019).
2

Sampai saat ini, talasemia belum dapat disembuhkan.Sedangkan biaya


pengobatan suportif seperti transfusi darah dan kelasi besi seumur hidup pada
seorang pasien talasemia sangat besar yaitu berkisar 200-300 juta
rupiah/anak/tahun diluar biaya pengobatan jika terjadi komplikasi. Selain itu
beban psikologis juga menjadi hal yang harus ditanggung oleh pasien dan
keluarganya. Banyak studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa program
pencegahan talasemia akan lebih menguntungkan daripada mengobati penderita
yang terus bertambah dan mengurangi populasi penderita talasemia homozigot
serta kejadian kematian janin dalam rahim akibat hidrops fetalis
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Talasemia
2.1.1 Definisi
Talasemia merupakan defek genetik yang mengakibatkan berkurang atau
tidak adanya sama sekali sintesis satu atau lebih rantai globin yang membentuk
struktur normal hemoglobin. Talasemia merupakan salah satu penyakit yang
mengenai sistem hematologi sehingga dapat mempengaruhi fungsi sel darah
merah, atau dapat disampaikan bahwa talasemia merupakan kelainan jumlah
penyusun hemoglobin (Rujito, 2019). Talasemia merupakan penyakit genetik
yang diturunkan secara autosomal resesif dimana semua perubahan genetik yang
terjadi diturunkan dari ibu maupun ayah. Talasemia terjadi bila sintesis salah satu

rantai polipeptida menurun. Sebagian besar kelainan hemoglobin dan jenis


talasemia merupakan hasil kelainan mutasi pada gamet yang terjadi pada replikasi
DNA (Sudoyo, 2009).
Talasemia disebabkan oleh penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan
produksi satu atau lebih rantai globin α, β ataupun rantai globin lainnya sehingga
terjadi delesi total atau parsial gen globin dan substitusi, delesiatau insersi
nukleotida. Defek bersifat kuantitatif dimana sintesis rantai globin normal menjadi
kurang atau tidak ada, tapi ada juga mutasi yang menyebabkan struktur bervariasi
dan mutasi yang menghasilkan hemoglobin sangat tidak stabil, sehingga fenotif
talasemia beragam.

2.1.2 Epidemiologi Thalasemia


Sebaran talasemia terentang lebar dari Mediterania, Timur Tengah, Afrika,
Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara. Saat ini talasemia didapatkan
hampir di semua belahan dunia, akibat terjadinya migrasi populasi hingga ke
Eropa, Amerika dan Australia .Talasemia α ditemukan di Asia Timur, Asia
Tenggara, Cyprus, Yunani, Turki dan Sardinia. Sedangkan talasemia β banyak
ditemukan di Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia
Selatan dan Cina.8,9 Di Cyprus dan Yunani lebih banyak varian β+ sedangkan di
4

Asia Tenggara lebih banyak varian βo. Talasemia α sering dijumpai di Asia
Tenggara, lebih sering daripada talasemia β.

Gambar 2.1 Peta Sebaran Talasemia α dan β6

Dari hasil survei lokal dan kunjungan wawancara para ahli, WHO
memperkirakan jumlah pembawa sifat kelainan hemoglobin mencapai 269 juta
orang. Sekitar 3% populasi dunia (150 juta orang) membawa gen talasemia β1.Di
Indonesia kasus talasemia disebabkan oleh adanya migrasi penduduk dan
percampuran penduduk.Keseluruhan populasi ini tersebar di Kalimantan,
Sulawesi, pulau Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores. Di Indonesia,
diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar 3-5% dari jumlah populasi.
Di beberapa daerah di Indonesia mencapai 10% sedangkan angka pembawa sifat
2.1.3 Etiologi
Talasemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal
resesif dimana semua perubahan genetik yang terjadi diturunkan dari ibu maupun
ayah. Talasemia terjadi bila sintesis salah satu rantai polipeptida menurun.
Sebagian besar kelainan hemoglobin dan jenis talasemia merupakan hasil kelainan
mutasi pada gamet yang terjadi pada replikasi DNA. Pada replikasi DNA dapat
terjadi pergantian urutan asam basa dalam DNA dan perubahan kode genetik akan
diteruskan pada penurunan gen berikutnya. Mutasi ini dapat memperpendek rantai
asam amino maupun memperpanjangnya.
Mutasi gen pada talasemia β dibagi menjadi bentuk :
1. Delesi, sedikitnya 17 delesi berbeda ditemukan pada talasemia β. Yang sering
ditemukan adalah delesi 619 bp pada ujung akhir 3’ gen globin β, pada
populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Bentuk homozigot delesi ini
5

menyebabkan talasemia β° sedangkan heterozigotnya menimbulkan


peningkatan HbA2 dan HbF.
2. Non delesi, terjadi transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi
3. Bentuk mutasi lain seperti talasemia β yang diwariskan dominan, varian globin
β tidak stabil, talasemia β tersembunyi, mutasi talasemia yang tidak terkait
kluster gen globin β dan bentuk variasi talasemia β.

Gambar 2.2 Pewarisan Sifat Talasemia5


Sedangkan pada talasemia α, mutasi gen yang terjadi berbentuk3:

1. Delesi, mencakup satu gen (-α) atau kedua (--) gen globin α. Pada talasemia -

α°, terdapat 14 delesi yang mengenai gen α, sehingga produksi rantai α hilang

sama sekali dari kromosom abnormal. Bentuk umum –α+ yang paling umum (-

α3,7 dan -α4,2) mencakup delesi satu atau duplikasi gen globin α lainnya.

2. Non delesi, kedua haplotip gen α utuh (αα).ekspresi gen –α2 lebih kuat 2-3

kali dari ekspresi gen –α1 sehingga sebagian besar mutasi non delesi

ditemukan predominasi pada ekspresi gen-α2.


6

2.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan kelainan klinis, talasemia dibagi menjadi 3, yaitu: talasemia
mayor, talasemia intermedia dan talasemia minor. Pembagian tersebut
berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta kebutuhan transfusi darah yang
digunakan untuk terapi suportif (Rujito, 2019).

a. Talasemia mayor.
Talasemia mayor merupakan keadaan klinis talasemia yang paling
berat. Gejala secara umum muncul pada usia 7 bulan awal pertumbuhan bayi
atau setidak nya di bawah 3 tahun. Gejala awal berupa pucat pada telapak
tangan dan kelopak mata bagian dalam, kemudian bayi akan tampak lemas,
tidak begitu aktif dan tidak ingin menyusui. Bayi akan mengalami kegagalan
untuk berkembang secara normal dan menjadi semakin pucat.
b. Talasemia intermedia.
Gejala klinis dari talasemia intermedia tidak se dini talasemia mayor.
Diagnosa awal dapat terjadi pada usia belasan tahun, atau bahkan pada usia
dewasa. Talasemia intermedia menunjukkan gejala dan tanda yang sama
dengan talasemia mayor, namun lebih ringan daripada talasemia mayor.
c. Talasemia minor.
Talasemia minor juga disebut sebagai karier talasemia, yang tidak
menunjukkan gejala selama hidupnya. Hal ini dapat dipahami karena
abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan salah satu dari dua kromosom
yang dikandungnya, bisa dari ayah atau ibu. (Dewi, 2009).

Tabel 1: Perbedaan Talasemia alfa dan beta


7

2.1.5 Patofisiologi
Hb (hemoglobin) sebagai protein pengikat oksigen dan setiap molekul
hemoglobin berbentuk tetramer dan terbuat dari empat rantai globin polipeptida.
Setiap subunit pada globin mengandung bagian heme yang terbentuk dari struktur
cincin protoporfirin organik dan ion besi dalam bentuk Fe2 +. Pada orang dewasa
jenis hemoglobin yang paling umum adalah HbA, yang terdiri atas dua subunit
alfa-globin dan dua beta-globin. Gen globin yang berbeda akan mengkodekan
setiap jenis subunit globin (Hafen, 2021).

Talasemia merupakan cacat secara kuantitatif dari proses sintesis


hemoglobin. Sedangkan pada beta-talasemia terjadi mutasi dari gen beta-globin
yang diwariskan dan menyebabkan berkurangnya sintesis rantai beta-globin
hemoglobin. Sehingga terdapat penurunan dari HbA yang terbentuk dari beta-
globin dan peningkatan dari Hb jenis lainnya

Gambar 2.3 Mutasi pada Gen Globin


Penurunan sintesa rantai beta-globin menyebabkan kerusakan
pembentukan hemoglobin, hal ini dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi
anemia. Pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang dan suplai dari transfusi
menyebabkan hemolisis RBC yang menyebabkan fe meningkat dan terjadi
hemosiderosis (Cao, 2010). Pada talasemia β heterozigot, sintesis β globin kurang
lebih separuh dari nilai normalnya. Pada talasemia β homozigot, sintesis β globin
dapat mencapai nol. Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis
Hb A total menurun dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien
dengan talasemia β homozigot mengalami anemia berat. Sebagai respon
kompensasi maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga hemoglobin
8

pasien mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun sintesis rantai γ ini


tidak efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi.

Tabel 2.1 Patofisiologi Talasemia β

Patofisiologi talasemia α umumnya sama dengan talasemia β kecuali


beberapa perbedaan utama akibat delesi atau mutasi rantai globin α. Hilangnya
gen globin α tunggal tidak berdampak pada fenotif, sedangkan talasemia 2 aα
homozigot (-α/-α) atau 1aα heterozigot (αα/--) memberi fenotif seperti talasemia β
carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin memberi fenotip dengan berat gejala
9

penyakit menengah disebut HbH disease. Sedangkan talasemia α° homozigot


(--/--) tidak dapat bertahan hidup, disebut Hb-Bart’s hydrops
syndrome.Perbedaan antara talasemia α dan β dapat dilihat pada tabel berikut.
2.1.6 Talasemia pada Kehamilan
Pada wanita hamil, dari anamnesis dapat ditanyakan adanya gejala anemia
seperti pusing, lemah, mudah lelah, hingga sinkop. Ada atau tidaknya riwayat
splenomegali, batu empedu, trombosis, kardiomiopati, penyakit hati kronis serta
kelainan endokrin seperti diabetes melitus. Gejala talasemia sering muncul pada
usia >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2-8 tahun). Pada beberapa wanita gejala
anemia akan bertambah berat karena ekspansi volume plasma yang disertai sedikit
peningkatan eritropoiesis. Dapat ditanyakan juga adanya riwayat transfusi, apakah
sejak sebelum atau setelah kehamilan, karena stress fisiologis kehamilan dapat
mengeksaserbasi gejala talasemia (Creasy, 2014).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa penilaian menggunakan dopler


sebagai alat non-invasif untuk memprediksi anemia janin pada kehamilan dengan
resiko. Pemeriksaan dengan menilai peak systolic velocity (PSV) atau kecepatan
puncak sistolik pada arteri cerebri media janin. Penilaian tersebut didasarkan pada
prinsip bahwa janin dengan anemia mempertahankan pengiriman oksigen ke otak
dengan meningkatkan aliran darah ke otak dengan viskositas rendah (Suresh,
2016).

2.1.7 Penegakan Diagnosis Thalasemia


Diagnosis talasemia dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.

Riwayat Penyakit
Ras, riwayat keluarga, usia awal terkena penyakit dan pertumbuhan

Pemeriksaan Fisik
Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal dan pigmentasi

Laboratorium darah dan sediaan apusan

Hb, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi atau
sumsum tulang dan presipitasi HbH
10

Elektroforesis Hemoglobin

adanya Hb abnormal, analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan Hb Barts

Penetuan HbA2 dan Hb F

Distribusi Hb F intraselular Sintesis rantai globin struktur Hb varian


Gambar 2.5 Algoritme Pendekatan Diagnosis Talasemia

Pada wanita hamil, dari anamnesis dapat ditanyakan adanya gejala anemia
seperti pusing, lemah, mudah lelah, hingga sinkop. Ada atau tidaknya riwayat
splenomegali, batu empedu, trombosis, kardiomiopati, penyakit hati kronis serta
kelainan endokrin seperti diabetes melitus.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis


talasemia ialah:
1. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang
dicurigai menderita talasemia adalah :

a. Darah rutin Kunci mendiagnosis talasemia adalah anemia hipokromik

mikrositik dengan mean corpuscular volume (MCV) < 80 fl dan mean

corpuscular haemoglobin (MCH)< 27 pg. Pemeriksaan kombinasi MCV dan

MCH ini lebih baik daripada hanya MCV saja atau MCH saja. Anemia

hipokromik mikrositik juga ditemukan pada anemia defisiensi besi namun

biasanya disertai penurunan kadar red blood cell (RBC) dan peningkatan

red cell distribution width (RDW).

b. Hitung retikulosit pada talassemia meningkat antara 2-8 %.

c. Gambaran darah tepi. Anemia pada talasemia mayor mempunyai sifat

mikrositik hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan

retikulosit, poikilositosis,basophilic stippling, sel tear drops dan sel target.

d. Feritin, Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)
11

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia

terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,

sedangkan TIBC akan meningkat.

e. Tes Fungsi Hepar

Kadar bilirubin tak terkonjugasi akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka

tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,

obstruksi batu empedu dan cholangitis.

2. Pemeriksaan sumsum tulang

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat

aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8 sedangkan

pada keadaan normal biasanya memiliki nilai perbandingan 10 : 3.

3. Pemeriksaan rontgen

Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila

tidak mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat,

mineralisasi berkurang dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi

darah secara berkala.

Gambar 2.6 Gambar Rontgen Kepala “Hair on end” dan Penipisan Korteks
pada Tulang Panjang

Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan

dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
12

memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai

rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.

4. EKG dan ekokardiografi untuk mengetahui dan memonitor keadaan

jantungnya. Kadang ditemukan jantung yang kardiomegali akibat anemianya.

5. HLA typing untuk pasien yang akan di transplantasi sumsum tulang

6. Pemeriksaan mata, pendengaran, fungsi ginjal dan tes darah rutin untuk

memonitor efek terapi deferoxamine (DFO) dan obat kelasi.

7. High throughput screens

Dua metode yang sering digunakan adalah high pressure liquid

chromatography (HPLC) dan capillary zone electrophoresis (CZE), mendeteksi

hemoglobin berdasarkan perbedaan elution atau migrasi dengan deteksi

spektrofotometri pada 415 nm. Perbedaan keduanya adalah cara pemisahan

kandungan hemoglobin. Diagnosis definitif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

eleltroforesis hemoglobin.

8. Gel electrophoresis

Varian hemoglobin memiliki beragam tingkat migrasi saat dipisahkan dengan gel

electrophoresis. Elektroforesis asam-basa merupakan metode tambahan yang

memisahkan spesies hemoglobin menggunakan buffer matriks polimer masing-masing

pada pH asam maupun basa. Isoelectric focusing electrophoresis (IEF) kemudian

memisahkan spesies hemoglobin pada kelompok yang pola migrasinya sama seperti

elektroforesis basa tapi dengan resolusi yang lebih baik.

9. Mass spectrometry
Berpotensi meningkatkan sensitivitas analisis Hb sebagai metode pelengkap

HPLC dan IEF. Tandem metode mass spectrometry untuk skrining neonatal

memberikan keuntungan dibandingkan metode lainnya termasuk ekspertise yang

efisien biayanya.
13

10. Diagnostik molekular untuk kelainan hemoglobin

2.1.8 Diagnosa Banding

Talasemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal ini
disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan dan gambaran eritrosit
mikrositik hipokrom. Pada anemia sideroblastik dimana didapatkan pula
gambaran apusan darah tepi mikrositik hipokrom dan gejala-gejala anemia, yang
membedakan dengan talasemia adalah kadar besi dalam darah tinggi, kadar TIBC
(Total Iron Binding Capacity) normal atau meningkat sedangkan pada talasemia
kadar besi dan TIBC normal.Dapat juga dibandingkan dengan anemia defisiensi
G6PD, dimana enzim ini bekerja untuk mencegah kerusakan eritrosit akibat
oksidasi.Dapat dibedakan dengan talasemia dari apusan darah tepi dimanapada
defisiensi G6PD nomositik-normokromik dan pemeriksaan enzim G6PD.

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Anemia Hipokromik Mikrositik


Anemia SI TIBC Feritin FEP Hba2 Hbf RDW
serum
Defisiensi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Normal Normal Tinggi
besi Rendah
Talasemia α Tinggi Norma Tinggi Normal Normal Rendah Tinggi
l
Talasemia β Tinggi Norma Tinggi Normal Tinggi Tinggi Tinggi
l
Anemia Rendah Rendah Tinggi Tinggi Normal Normal Normal
penyakit
kronis
Anemia Tinggi Norma Tinggi Rendah Normal Normal Tinggi
l
sideroblastik

2.1.9 Penatalaksanaan

Wanita hamil dengan talasemia-β minor dan anemia dimana


Hb < 7 gr/dL biasanya terjadi pada trimester ketiga, membutuhkan asam folat

5 mg/hari dan terapi transfusi suportif (Rachmilewitz, 2011). Pada kebanyakan


wanita, konsumsi asam folat 5 mg/hari dapat meningkatkan hemoglobin secara
14

signifikan dan mencegah defek susunan saraf. Sebaliknya, konsumsi


suplementasi zat besi tergantung terhadap individu. Pemberian suplemen besi
hanya jika pasien terdapat defisiensi yang dikonfirmasi dengan diagnosis standar,
yaitu serum iron, saturasi transferrin, dan serum ferritin. Pencegahan trombosis
pada kehamilan, dapat diberikan heparin atau low- molecular-weight heparin 7
hari setelah melahirkan per vaginam atau selama 6 minggu setelah sectio caesarea

atau dosis rendah aspirin 75 mg/hari (RCOG, 2014). Adanya splenomegali dan
hipersplenisme merupakan indikasi untuk dilakukannya splenektomi
(Rachmilewitz, 2011)

Dalam upaya mengurangi mortalitas dan morbiditas karena talasemia


dilakukan skrining. Pada praktik obstetrik pencegahan ini dilakukan dengan
skrining pasangan yang berisiko memiliki keturunan dengan sindroma talasemia
tersebut. Skrining pertama dilakukan pada ibu hamil, jika positif dilanjutkan pada
pemeriksaan suaminya. Bila keduanya positif dilanjutkan dengan konfirmasi
hemoglobin typing, pada beberapa kasus bahkan memerlukan lanjutan analisa
DNA (Ruangvutilert, 2007).
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi bisa melibatkan janin, ibu ataupun
keduanya. Komplikasi neonatal adalah ikterus, cerebral hemorrhage, dan anomali
janin. Komplikasi kehamilan dan persalinan berbeda untuk wanita dengan
thalassemia dan penyakit sel sabit. Mengenai pasien thalassemia, meskipun terjadi
penurunan kesuburan secara fisiologis, dan penuaan folikel tergantung pada
toksisitas zat besi, fungsi ovarium dipertahankan pada thalassemia yang
bergantung pada transfusi.
Transfusi meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan mencegah
komplikasi seperti stroke dengan mengoreksi anemia dan menurunkan kadar HbS
dalam sirkulasi; oleh karena itu, satu transfusi diberikan. Sebaliknya, pedoman
UK tidak merekomendasikan transfusi profilaksis selama kehamilan (Sharif et al.,
2018 ), tetapi hanya pada wanita dengan riwayat komplikasi seperti pre-eklamsia,
sindrom dada akut, stroke, dan anemia berat, dengan mempertimbangkan data
klinis pasien sabit sebelumnya. Pada masa prakonsepsi, terapi khelasi besi sangat
15

dianjurkan saat menghadapi perkiraan kehamilan, untuk menghindari komplikasi


akibat penyakit jantung (gagal jantung dan aritmia) atau penyakit hati (hepatosis
gravid). Penting bagi wanita untuk memulai kehamilan dengan kadar feritin
rendah untuk menghindari penurunan indeks fungsi sistoliknya.
2.1.11 Skrining Thalasemia
Pelaksanaan program pencegahan talasemia dipilih berdasarkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Besarnya prevalensi kasus talasemia mayor
2. Ketersediaan sumber daya manusia dan alat
3. Pemantapan kualitas (quality control)
4. Tempat-tempat yang telah menjadi pilot project penelitian talasemia.
Edukasi masyarakat merupakan langkah awal dalam program pencegahan
talasemia. Tanpa diawali edukasi masyarakat yang optimal, skrining talasemia
akan menimbulkan keresahan di masyarakat yang mengakibatkan stigmatisasi
terhadap karier atau pasien dan berlanjut pada adanya diskriminasi dalam
mendapatkan pekerjaan serta asuransi kesehatan. Skrining talasemia memiliki
berbagai implikasi terhadap psikososial, etikolegal dan agama di
Indonesia.Strategi dan kebijakan pencegahan yang dibuat harus memerhatikan
berbagai aspek tersebut. Dalam hal ekonomi dan pembiayaan, berbagai studi
menunjukkan bahwa skrining talasemia lebih menguntungkan daripada tidak
dilakukan skrining sama sekali. Biaya pemeriksaan skrining talasemia sekitar 300-
450 ribu rupiah/orang.Jumlah ini tentu jauh lebih murah dibandingkan dengan
biaya penanganan satu orang pasien selama setahun. Jika penanganan seorang
pasien sekitar 300 juta rupiah maka biaya tersebut setara dengan biaya
pemeriksaan skrining talasemia untuk sekitar 750 – 1.000 orang.
Dalam implikasi hasil skrining talasemia terhadap jasa asuransi,
pengalaman di Iran menunjukkan bahwa pihak asuransi justru bersedia
menanggung biaya skrining karena dengan begitu mereka justru terhindar dari
pembiayaan yang lebih besar. Informasi dan pemahaman yang baik dan benar
tentang talasemia pada pihak asuransi tentunya harus diberikan dalam program
pencegahan ini, sehingga individu yang terdeteksi mengidap talasemia (terutama
karier talasemia) tidak ditolak untuk memiliki jaminan asuransi.
16

Dalam hal etikolegal dan agama, masalah tindak lanjut hasil diagnosis
pranatal janin yang terdiagnosis mengidap talasemia mayor memerlukan diskusi
yang intensif dengan pakar hukum, pakar etik dan rohaniawan dari berbagai
agama. Undang-Undang Kesehatan tahun 2009 pasal 75 memperbolehkan
pengakhiran kehamilan (aborsi) berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang
terdeteksi sejak usia dini kehamilan baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau
janin yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan maupun yang
tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan.
Pengakhiran kehamilan tersebut hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pratindakan dan diakhiri dengan konseling setelah
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Namun
undang-undang mensyaratkan tindakan pengakhiran tersebut hanya boleh
dilakukan pada usia kurang dari 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir
dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan serta memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri dengan seizin
ibu hamil dan suami yang bersangkutan. Batas penentuan usia kehamilan kurang
dari 6 minggu tentunya cukup menyulitkan karena diagnosis pranatal talasemia
baru bisa dilakukan setelah usia gestasi 10 minggu.Meskipun begitu, bila
kehamilan dengan bayi talasemia mayor dipertahankan, diagnosis pranatal
bermanfaat bagi pasangan suami istri sebagai bahan pertimbangan pilihan
reproduksi berikutnya.
Untuk jangka pendek, edukasi berupa konseling dan pemberian informasi
dilakukan pada populasi yang menjadi sasaran skrining. Sementara rencana jangka
panjangnya, edukasi ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan
(awareness) masyarakat terhadap penyakit talasemia dengan memasukkan materi
tentang talasemia kedalam kurikulum pendidikan tingkat sekolah menengah,
penyebaran informasi melalui media massa, jaringan internet, brosur dan
pamphlet serta menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati hari talasemia
sedunia yang melibatkan seluruh komponen masyarakat.
Target populasi yang akan di skrining, yaitu:
17

1. Anggota keluarga dari pasien talasemia mayor, talasemia intermedia, dan karier
talasemia (skrining retrospektif).
2. Ibu hamil dan pasangannya saat pemeriksaan antenatal (skrining antenatal).
Pada kehamilan, skrining utama ditujukan pada ibu hamil saat pertama kali
kunjungan. Jika ibu merupakan pengidap atau karier talasemia, maka skrining
kemudian dilanjutkan pada ayah janin dengan teknik yang sama. Jika ayah
janin normal maka skrining janin (pranatal diagnosis) tidak disarankan.Jika
ayah janin merupakan pengidap atau karier talasemia maka disarankan
melakukan konseling genetik dan jika diperlukan skrining pada janin (pranatal
diagnosis).
3. Pasangan yang berencana memiliki anak (skrining prakonsepsi).
4. Pasangan yang akan menikah (skrining pramarital).
Konseling terdiri dari informasi medis, informasi masalah genetika, dan
langkah atau tindak lanjut hasil skrining.Konseling tersedia mulai skrining level II
dan level diatasnya, yaitu setelah diagnosis talasemia dapat ditegakkan.
a. Informed Consent berisi penjelasan tentang talasemia, manfaat dan implikasi
skrining serta tanda persetujuan dari calon yang akan dilakukan skrining.
b. Konselor adalah orang yang sudah mendapatkan pelatihan serta mendapatkan
sertifikat melakukan konseling, bisa dokter/tenaga kesehatan lain sesuai
dengan kompetensi dirinya.
Hasil skrining tiap individu berupa data laboratorium dan keadaan
klinisnya yang sudah divalidasi dan diverifikasi, diregistrasi oleh badan registrasi
nasional melalui Rumah Sakit Pendidikan setempat. Individu yang mengidap gen
talasemia kemudian dipantau perkembangan kesehatan, status marital dan
reproduksinya.
Alur diagnostik dapat dimulai dengan pemeriksaan nilai MCV dan MCH
yang diikuti dengan elektroforesis hemoglobin secara otomatis yang menghasilkan
kadar HbA2, HbF dan Hb varian. Pada pasien defisiensi besi dengan mikrositik
hipokrom disertai kadar feritin < 12,0 μg/dL atau saturasi transferin < 5% perlu
diberikan terapi suplementasi besi. Bila pada pemeriksaan kadar hemoglobin
setelah 2 minggu menunjukkan peningkatan, terapi besi diteruskan dan
elektroforesis hemoglobin perlu diulang kembali setelah 3 bulan.
18
19

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Talasemia merupakan defek genetik yang disebabkan oleh penurunan
kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih rantai globin α atau
β ataupun rantai globin lainnya sehingga terjadi delesi total atau parsial gen globin
dan substitusi, delesi atau insersi nukleotida.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua
orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkanmaka orang tersebut hanya
menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit
ini.Terdapat banyak varian talasemia namun yang tersering adalah talasemia α
dan β.
Program pencegahan talasemia harus dilakukan untuk mengurangi jumlah
pasien talasemia di Indonesia karena dari sisi biaya pencegahan talasemia
membutuhkan lebih sedikit biaya daripada terapi pasien talasemia, sementara
dari sisi pasien talasemia akan menyebabkan tumbuh kembang tidak optimal.
3.2 Saran
Pemahaman lebih lanjut mengenai skrinning kehamilan dengan talasemia
dan penanganannya serta mempelajari faktor prediktor terjadinya talasemia untuk
menghindari komplikasi pada ibu dan bayi.
20

DAFTAR PUSTAKA
Cao A, Galanello R. Beta- thalassemia. Genet Med. 2010 Feb;12(2):61-
76
Cao, A., & Kan, Y. W. The prevention of thalassemia. Cold Spring Harbor
perspectives in medicine, 3(2); 2013, a011775.
Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR, Greene MF. Creasy
& Resnik’s Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition.
New York: Elsevier; 2014.
Dewi, S. Karakteristik Thalasemia yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum
Pusat H, Adam Malik Medan. USU; 2009
Fibach E, Rachmilewitz EA. Pathophysiology and treatment of patients
with beta-thalassemia - an update. F1000Res. 2017 Dec 20;6:2156
Hafen BB, Sharma S. Oxygen Saturation. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; August 12, 2021.
Hooffbrand AV, Pettit JE. Essential Haematology 3nd ed. Blackwell
Science Ltd. 1995 : 94-120.
Jameel T, Baig M, Ahmed I, Hussain MB, Alkhamaly MBD. Differentiation of
beta thalassemia trait from iron deficiency anemia by hematological
indices. Pak J Med Sci. 2017;33(3):665-9
Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kemenkes RI; 2019
Sumoastro S, Maloveny A: Talasemia Pada Kehamilan. In WL. Purwita, Alwi
Idrus, Setiati Siti, Mansjoer Arif, Ranitya Rian, Editors : Penyakit- Penyakit
Pada Kehamilan Peran Seorang Internis. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2008 : 203-220
Nassar AH, Usta IM, Rechdan JB, Koussa S, Inati A, et al. (2006) Pregnancy in
patients with beta-thalassemia intermedia: outcome of mothers and
newborns. Am J Hematol 81: 499-502.
Nienhuis AW, Nathan DG. Pathophysiology and Clinical
Manifestations of the β- Thalassemias. Cold Spring Harb Perspect Med.
2012;2(12):a011726
21

Prawira V, Hendrianingtyas M. HUBUNGAN FERITIN DAN JUMLAH


LEUKOSIT DENGAN KADAR TSH PADA PASIEN TALASEMIA
DENGAN TRANSFUSI. Media Medika Muda [Online]. 2019 Sep;3(1).
Origa R. β-Thalassemia. Genet Med. 2017 Jun;19(6):609-619
Rachmilewitz EA, Giardina PJ. How I treat thalassemia. Blood Journal. 2011;
118(13): 3479-86.
Royale college of obstetricians & gynecologists (RCOG).
Management of Beta Thalassaemia in Pregnancy. RCOG. 2014; 66: 1-
17.
Rimoin DL, Pyeritz RE, Korf I. Emery and Rimoin’s. Essential Medical
Genetics. New York: Elsevier; 2013
Ruangvutilert P. Thalassemia is a Preventable Gen Disease. Siriraj
Med J. 2007; 59: 330-3
Rujito, L. Talasemia Genetika Dasar dan Pengelolaan Terkini. Semarang:
UNSOED; 2019
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Sumoastro S, Maloveny A: Talasemia Pada Kehamilan. In WL. Purwita, Alwi
Idrus, Setiati Siti, Mansjoer Arif, Ranitya Rian, Editors: Penyakit- Penyakit
Pada Kehamilan Peran Seorang Internis. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2008 : 203-220
Suresh, S., Gandhi, A., Malhotra, N., Malhotra, J., Gupta, N., Bora, N.Diagnosis
and Management of Fetal Anemia. (eds) Principles of Critical Care in
Obstetrics. Springer, New Delhi. 2016.
Weather Dj, Clegg JB. The Thalasemia Syndrome 4nd ed. Blackwell Scientific.
England: Oxford University; 2001: 100-110.

Anda mungkin juga menyukai