Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

D
DENGAN DIAGNOSA MEDIS THALASEMIA DI RUANG POLI ANAK
BLUD UPT PUSKESMAS PAHANDUT
PALANGKA RAYA

OLEH:
Septama Yoga
(2019.NS.A.07.023)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Seminar kasus ini disusun oleh :


Nama : Septama Yoga
Nim : 2019.NS.A.07.023
Program Studi : Profesi Ners
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Ny.D Dengan Diagnosa Medis
THALASEMIA di Ruang Poli Anak BLUD UPT Puskesmas
Pahandut Palangka Raya.

Telah Melakukan Asuhan Keperawatan sebagai persyaratan untuk


menyelesaikan Praktek Stase Keperawatan Anak pada Program Studi Profesi Ners
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

PEMBIMBING PRAKTIK

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Henry Wiyono, Ners, M.Kep Hesti Warastuty L., S.Kep., Ners


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek
(kurang dari 100 hari) ( Williams, 2015)
Gen thalasemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini merupakan
penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah-
daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika, timur tengah, sub benua
India, dan Asia Tenggara. Dari 3 % sampai 8 % orang Aerika keturunan Itali atau
Yunani dan 0,5% dari kulit hitam Amerika membawa gen untuk thalasemia β.
Dibeberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi mempunyai satu atau
lebih gen thalasemia (Kliegam,2012).
Berdasarkan catatan rekam medik di RS Dr. Moewardi Surakarta
menunjukkan angka kejadian thalasemia pada tahun 2012- 2013 sebanyak 520 orang,
khususnya di ruang Melati II ditemukan pasien dengan thalasemia terutama pada
anak- anak yang berusia 5-14 tahun yaitu sekitar 359 orang.
Dari data diatas latar belakang atau alasan penulis mengambil judul “ Asuhan
Keperawatan Pada An. D dengan Thalasemia di Ruang Melati 2 Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta”
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa Pengertian Thalasemia ?
1.2.2 Apa Etiologi Thalasemia ?
1.2.3. Bagaimana Patofisologi Thalasemia ?
1.2.4. Apa saja Klasifikasi Thalasemia ?
1.2.5. Bagaimana Manifestasi Klinis pada Thalasemia ?
1.2.6. Apa saja Komplikasi pada Thalasemia ?
1.2.7. Apa saja Pemeriksaan Penunjang Pada Thalasemia ?
1.2.8. Bagaimana Penatalaksanaan Thalasemia ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mempelajari dan melaksanakan asuhan keperawatan pada anak pada
anak yang menderita thalasemia
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan Konsep klinis thalasemia
2. Mampu melakukan pengkajian pada anak yang menderita thalasemia
3. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada anak yang menderita thalasemia
4. Mampu membuat intervensi pada anak yang menderita thalasemia
5. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien thalasemia
6. mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada pasien thalasemia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin. dimana
terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit
menjadi pendek (kurang dari 100 hari) (Yuwono, 2012).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif (Arif Manjoer, 2016).
Thalasemia kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang ditandai oleh
penurunan kecepatan sintesis satu rantai polipeptida hemoglobin atau lebih
diklasifikasikan menurut rantai yang terkena (alfa, beta, gamma) ; dua kategori
mayor adalah alfa-dan beta-thalasemia, alfa-t, thalasemia yang disebabkan oleh
penurunan kecepatan sintesis rantai alfa hemoglobin (Kamus Dorlan,2014).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek
(kurang dari 120 hari). Penyebab kerusakan tersebut adalah Hb yang tidak normal
sebagai akibat dari gangguan dalam pembentukan jumlah rantai globin atau struktur
Hb (Nursalam,2015).
Thalasemia merupakan keadaan yang diwarisi, yaitu diwariskan dari keluarga
kepada anak. Kecacatan gen menyebabkan haemoglobin dalam sel darah merah
menjadi tidak normal. Mereka yang mempunyai penyakit Thalasemia tidak dapat
menghasilkan haemoglobin yang mencukupi dalam darah mereka. Haemoglobin
adalah bahagian sel darah merah yang mengangkut oksigen daripada paru-paru
keseluruh tubuh. Semua tisu tubuh manusia memerlukan oksigen. Akibat kekurangan
sel darah merah yang normal akan menyebabkan pesakit kelihatan pucat kerana paras
hemoglobin (Hb) yang rendah (anemia).

2.2 ETIOLOGI
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan
secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai
gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu
ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu
komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang
mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat
thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam
keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia
jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua
kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen
yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat
thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta
dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing
pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa
kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang
berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita
thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu
atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak
mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2015) Penyakit thalassemia adalah penyakit
keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri
yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat
Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak
mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa
sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%)
kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka akan
menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut
kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di
kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal,
atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor
2.3 PATOFISIOLOGI
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb A dengan polipeptida rantai alfa dan
dua rantai beta . Pada beta thalasemia adalah tidak adanya atau kurangnya rantai beta
dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit membawa
oksigen. Adanya suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alfa, tetapi rantai
beta memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin
defective. Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan
disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan
menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan dalam rantai alfa ditemukan pada thalasemia beta dan kelebihan
rantai beta dan gamma ditemukan pada thalasemia alfa. Kelebihan rantai polipeptida
kini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrositik yang
mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alfa dan beta, atau
terdiri dari hemoglobin tak stbil badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis. Produksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow
memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow,
produksi RBC diluar menjadi eritropoetik aktif. Kompensator produksi RBC secara
terus-menerus pada suatu dasar kronik. Dan dengan cepatnya destruksi RBC,
menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau
rapuh.
2.4 WOC THALASEMIA

Penyebab primer : Penyebab sekunder :


- Sintesis Hb A << - Defisiensi asam folat
- Eritropoisis tidak efektif - Hemodelusi
- Destruksi eritrosit intramedular - Destruksi eritrosit oleh s. Retikuloendetelial

Mutasi DNA

Produksi rantai alfa dan beta Hb berkurang

Kelainan pada eritrosit

Pengikatan O2 berkurang

Kompensator meningkat pada rantai A

Rantai B produksi terus menerus

Hb defektif

Ketidak seimbangan polipeptida MK : Resiko infeksi


Eritrsit tidak stabil
Anemia Transfusi darah
Hemolisis
berat berulang
Suplai O2 <<
Hemosiderosis

Ketidakseimbangan suplai O2 v Suplai O2 ke jaringan perifer


Penumpukan besi
dan kebutuhan <<

Hipoksia MK : Ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer
Dyspneu

Pengunaan otot Endokrin Jantung Hepar Limpa Kulit


bantu nafas menjadi
pucat
Tumbang terganggu Gagal Jantung Hepatomegali Splenomegali
Kelelahan

MK : MK : Resiko
MK :
Keterlambatan cidera MK : MK : Kerusakan
intoleransi
pertumbuhan dan Nyeri akut integritas kulit
aktifitas
perkembangan

Malas makan

MK :
Intake nutrisi ketidakseimbangan
<< nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
2.5 KLASIFIKASI
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia
terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu gen β
pada setiap kromosom (total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16 mempunyai
dua gen α pada setiap kromosom (total empat gen α). Oleh karena itu satu protein Hb
mempunyai dua subunit α dan dua subunit β. Secara normal setiap gen globin α
memproduksi hanya separuh dari kuantitas protein yang dihasilkan gen globin β,
menghasilkan produksi subunit protein yang seimbang. Thalassemia terjadi apabila
gen globin gagal, dan produksi protein globin subunit tidak seimbang. Abnormalitas
pada gen globin α akan menyebabkan defek pada seluruh gen, sedangkan
abnormalitas pada gen rantai globin β dapat menyebabkan defek yang menyeluruh
atau parsial (Wiwanitkit, 2017).
Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang mengalami
defek, yaitu Thalassemia α dan Thalassemia β. Pelbagai defek secara delesi dan
nondelesi dapat menyebabkan Thalassemia (Rodak, 2017).
a. Thalassemia α
Oleh karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada kromosom 16,
maka akan terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi gen sering terjadi pada
Thalassemia α maka terminologi untuk Thalassemia α tergantung terhadap delesi
yang terjadi, apakah pada satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen,
kemudian dilihat lokai kedua gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis)
atau berbeda (trans). Delesi pada satu gen α dilabel α+ sedangkan pada dua gen
dilabel αo (Sachdeva, 2016).
1) Delesi satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein α sehingga
secara umum kondisinya kelihatan normal dan perlu pemeriksaan laboratorium
khusus untuk mendeteksinya. Individu tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa
menurunkan kepada anaknya (Wiwanitkit, 2017).
2) Delesi dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik mikrositik dan
anemia ringan. Individu dengan tipe ini biasanya kelihatan dan merasa normal dan
mereka merupakan karier yang bisa menurunkan gen kepada anak (Wiwanitkit, 2017).
3) Delesi 3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering memerlukan
transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai α dan β
menyebabkan akumulasi rantai β di dalam eritrosit menghasilkan generasi Hb yang
abnormal yaitu Hemoglobin H (Hb H/ β4) (Wiwanitkit, 2017).
4) Delesi 4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan biasanya meninggal
di dalam kandungan atau beberapa saat setelah dilahirkan, yang biasanya diakibatkan
oleh hydrop fetalis. Kekurangan empat rantai α menyebabkan kelebihan rantai γ
(diproduksi semasa kehidupan fetal) dan rantai β menghasilkan masing-masing
hemoglobin yang abnormal yaitu Hemoglobin Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap
oksigen sangat tinggi) (Wiwanitkit, 2017) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Sachdeva,
2016).
b. Thalasemia β
Thalassemia β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada kromosom
11 (Rodak, 2007). Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β disebabkan point
mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen, 2006). Penyakit ini diturunkan secara
resesif dan biasanya hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis serta di daerah
dengan prevalensi malaria yang endemik (Wiwanitkit, 2007).
1) Thalassemia βo
Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin β yang dihasilkan. Satu pertiga
penderita Thalassemia mengalami tipe ini.
2) Thalassemia β+
Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai globin β terjadi.
Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin β yang normal dihasilkan pada keadaan
ini.
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu : (NUCLEUS PRECISE,
2014)
a. Thalasemia Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor
merupakan penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam
darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan
anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan
umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi
darah untuk memperpanjang hidupnya. Penderita thalasemia mayor akan tampak
normal saat lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala
anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih
kencang dan facies cooley. Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni
batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang
yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita
thalasemia mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih khusus. Pada
umumnya, penderita thalasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan
pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita
thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering
transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya
penyakit. Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian sering pula si penderita
harus menjalani transfusi darah.
b. Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun
individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau
thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia
minor juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita
thalasemia mayor. Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit
thalasemia mayor dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia,
lemas, loyo dan sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada
sejak lahir dan akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak
memerlukan transfusi darah di sepanjang hidupnya
Secara molekuler talasemia dibedakan atas :
a. Talasemia a (gangguan pembentukan rantai a).
b. Talasemia b (gangguan pembentukan rantai b).
c. Talasemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak gen-nya diduga
berdekatan).
d. Talasemia d (gangguan pembentukan rantai d).
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala lain dari thalasemia yaitu :
a. Thalasemia Mayor
1) Pucat
2) Lemah
3) Anoreksia
4) Sesak napas
5) Peka rangsang
6) Tebalnya tulang kranial
7) Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
8) Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
9) Disritmia
10) Epistaksis
11) Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
12) Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
13) Kadar besi serum tinggi
14) Ikterik
15) Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar dan
datar.
b. Thalasemia Minor
1) Pucat
2) Hitung sel darah merah normal
3) Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah kadar
normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang
2.7 KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi
darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam
darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar,
limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat
tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan.
Kadang kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan
trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung
(Hassan dan Alatas, 2012)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis
hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada
hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Herdata, 2018)
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan
definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan
Thalassemia (Wiwanitkit, 2017).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan
darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna
untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya
resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi
yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang
bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit,
2017). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan
berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi
81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2017).
c. Indeks eritrosit
d. Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik.
Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2017).
e. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter
jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x
(MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi
kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan
Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya
>13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait.
Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia
tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit
normal ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah.
Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb
F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai
80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2%
dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun,
elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2017).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula
membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau
Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan
tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2017).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat
juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2017).
2.9 PENATALAKSANAAN
Menurut (Suriadi, 2013) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi
yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian
deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara subkutan dalam
waktu lebih dari 12 jam.
Splenectomy dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari
tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid),
karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang
sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik
masih dalam tahap penelitian.
1. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin
serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20
kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut
setiap selesai transfusi darah.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi.
Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia
dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan
tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih
berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
3. Suportif
Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dl.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania).
Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup banyak
dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
3.1.2 Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia minor
yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur sekitar
4 – 6 tahun.
3.1.3 Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat
transport.
3.1.4 Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan
yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor. Pertumbuhan
fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan dalam kematangan
seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak
juga dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat
pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
3.1.5 Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
3.1.6 Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah
3.1.7 Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia, maka
anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling pranikah
sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit
yang mungkin disebabkan karena keturunan.
3.1.8 Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila
diduga faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang mungkin
dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis, maka ibu
segera dirujuk ke dokter.
3.1.9 Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
3.1.9.1 Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah aanak
seusianya yang normal.
3.1.9.2 Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas,
yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek
tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar. Mata
dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
3.1.9.3 Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
3.1.9.4 Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan hati
( hepatosplemagali). Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya
kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan
anak-anak lain seusianya.
3.1.9.5 Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan
rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai
tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
3.1.9.6 Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat
transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya
penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
3.2.1 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
3.2.2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2
dan kebutuhan.
3.2.3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien
yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
3.2.4 Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
3.2.5 Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat,
penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
3.2.6 Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
3.3 INTERVENSI
3.3.1 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
- Tidak terjadi palpitasi
- Kulit tidak pucat
- Membran mukosa lembab
- Keluaran urine adekuat
- Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
- Tidak terjadi perubahan tekanan darah
- Orientasi klien baik.
Rencana keperawatan / intervensi :
1) Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran
mukosa, dasar kuku.
2) Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien
dengan hipotensi).
3) Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
4) Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori,
bingung.
5) Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat
sesuai indikasi.
6) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
7) Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
8) Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
3.3.2 Intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara suplai O2
dan kebutuhan.
Kriteria hasil :
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi,
pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas.
2) Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
3) Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
4) Berikan lingkungan yang tenang.
5) Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
6) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
7) Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
8) Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
9) Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
10) Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai
toleransi.
11) Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
3.3.3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi nutrien yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
- Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
- Tidak ada malnutrisi.
Intervensi :
1) Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
2) Observasi dan catat masukan makanan pasien.
3) Timbang BB tiap hari.
4) Beri makanan sedikit tapi sering.
5) Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang
berhubungan.
6) Pertahankan higiene mulut yang baik.
7) Kolaborasi dengan ahli gizi.
8) Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin,
Protein, dll.
9) Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian
Fe tidak dianjurkan.
3.3.4 Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
sirkulasi dan novrologis.
Kriteria hasil :
- Kulit utuh.
Intervensi :
1) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna,
aritema dan ekskoriasi.
2) Ubah posisi secara periodik.
3) Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
3.3.5 Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat:
penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
- Tidak ada demam
- Tidak ada drainage purulen atau eritema
- Ada peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
1) Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
2) Dorong perubahan ambulasi yang sering.
3) Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
4) Pantau dan batasi pengunjung.
5) Pantau tanda-tanda vital.
6) Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
3.4 IMPLEMENTASI
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai rencana
yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat mandiri dan kolaboratif.
Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan
klien.
3.5 EVALAUSI
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dilakuakab
dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya.
Penilaian dalam keperawatan merpakan kegiatan dalam melaksanakan
rencana kegiatan klien sescar optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan

BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN
I. Anamnesa
Pengkajian Tanggal : Selasa 25 Agustus 2020 Pukul 10:00 WIB
1. Identitas pasien
Nama Klien : An. D
TTL : Palangka Raya, 8 Juli 2009 / 11 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Suku : Dayak/Indonesia
Pendidikan : SD
Alamat : Jln. Murjani
Diagnosa medis : Thalasemia
2. Identitas penanggung jawab
Nama Klien : Ny. A
TTL : Palangka Raya, 12 Januari 1987
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Suku : Dayak/Indonesia
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jln. Murjani
Hubungan keluarga : Ibu Klien
3. Keluhan utama
Orang tua anak mengatakan “ anak nya pucat badan terasa lemah dan tidak
beraktivitas dengan normal “
4. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien datang ke RSUD Doris Sylvanus Palangka Raya dengan keluhan
muka pucat dan badan terasa lemah “ orang tua klien mengatakan anak
nya sudah menderita thalasemia b mayor 2 tahun yang lalu. Hasil
pemeriksan lab Hb 5,2 gr/dl leukosit 9200/mmk, trombosit
284.000,segmen 49%. Limfosit 49%, batang 1 %.
b. Riwayat kesehatan lalu
1) Riwayat prenatal : Selama Kehamilan, ibu tidak pernah sakit,
tidak pernah mengalami keguguran. Selama
hamil Ny.A rutin memeriksa kehamilan ke
tenaga kesehatan
2) Riwayat natal : An.D lahir di rumah dengan persalinan
normal yang dibantu oleh tenaga kesehatan
badan 24 kg dan panjang badan 129 cm
3) Riwayat postnatal : Setelah lahir, An.D langsung menangis
spontan, bergerak aktif, tubuh kemerahan dan
tidak mengalami masalah kesehatan.
4) Penyakit sebelumnya : An.D pernah mengalami batuk pilek dan
badan panas sebelumnya sekitar ± 20 hari
yang lalu
5) Imunisasi
Jenis BCG DPT Polio campak Hepatitis TT
Usia 2 bln 2, 3, 4 1,2,3,4 9 bln 2, 3, 4 bln -
bln bln

c. Riwayat kesehatan keluarga


Ny.A mengatakan dalam keluarganya ada keluarga yang mengalami
thalasemia dan sesak nafas yang di alami anaknya dan tidak riwayat
penyakit keturunan seperti jantung, hipertensi, Diabetes meilitus, dan
tidak ada penyakit menular seperti hipertensi, dan TB paru.

d. Susunan genogram 3 (tiga) generasi

Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Klien
: Hubungan Keluarga
: Satu Rumah

II. Pemeriksaan fisik


1. Keadaan umum : Kesadaran Compos Menthis, Klien tampak lemah,
An.D terlihat rewel
2. Tanda vital
Tekanan darah : - .mmhg
Nadi : 85 x/mnt
Suhu : 36, 8 ˚C
Respirasi : 26 x/mnt
3. Kepala dan wajah
a. Ubun-ubun
Menutup ( ) Ya ( ) Tidak
Keadaan () cembung ( ) cekung ( )
lain,lain…
Kelainan ( ) Hidrocefalus ( ) Microcephalus
Lain-lain : Tidak ada
b. Rambut
Warna : Hitam, Pendek
Keadaan : Rontok ( ) Ya ()
Tidak
Mudah dicabut ( ) Ya ()
Tidak
Kusam ( ) Ya ()
Tidak
Lain-lain : Tidak ada

c. Kepala
Keadaan kulit kepala : Bersih
Peradangan/benjolan : ( ) Ada, sebutkan…………………
() Tidak………………………….
Lain-lain : Tidak ada
d. Mata
Bentuk : () simetris ( ) tidak
Conjungtiva : Merah Muda
Skelera : Putih
Reflek pupil : Pupil mengecil bila diberikan rangsangan
cahaya.
Oedem Palpebra : ( ) Ya ( ) tidak
Ketajaman penglihatan : An. D dapat melihat gambar dan benda yang
ditunjukan kepadanya
Lain-lain : Tidak ada
e. Telinga
Bentuk : () Simetris ( ) tidak
Serumen/secret : ( ) Ada () tidak
Peradangan : ( ) Ada ( ) tidak
Ketajaman pendengaran: An. D dapat membedakan namanya di panggil.
Lain-lain : Tidak ada
f. Hidung
Bentuk : () Simetris ( ) tidak
Serumen/secret : ( ) Ada ( ) tidak
Pasase udara : ( ) terpasang O2….. liter () tidak
Fungsi penciuman : Baik, An. D dapat membedakan aroma parfum
dan minyak kayu putih
Lain-lain : Tidak ada
g. Mulut
Bibir : intak ( ) ya () tidak
Stanosis ( ) ya () tidak
Keadaan ( ) kering () lembab
Palatum : () keras ( ) lunak
h. Gigi
Carries : ( ) ya, sebutkan…............ () tidak
Jumlah gigi : 16
Lain-lain : Tidak Ada

4. Leher dan tengorokan


Bentuk : Simetris
Reflek menelan : Baik
Pembesaran tonsil : Tidak ada
Pembesaran vena jugularis: ; Tidak ada
Benjolan : Tidak ada
Peradangan : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
5. Dada
Bentuk : () simetris ( ) tidak
Retraksi dada : ( ) ada () tidak
Bunyi nafas : Vesikuler
Tipe pernafasan : Perut dan Dada
Bunyi jantung : Lup Dup
Iktus cordis : Tidak nampak
Bunyi tambahan : Tidak ada
Nyeri dada : Tidak ada
Keadaan payudara : Klien Laki-laki
Lain-lain : Tidak ada
6. Punggung
Bentuk : ( ) simetris ( ) tidak
Peradangan : ( ) ada, sebutkan………….
Benjolan : ( ) ada, sebutkan…………
Lain-lain : Tidak ada
7. Abdomen
Bentuk : () simetris ( ) tidak
Bising usus : 7x/ menit
Asites : ( ) ada () tidak
Massa : ( ) ada, sebutkan……..
Hepatomegali : ( ) ada () tidak
Spenomegali : ( ) ada () tidak
Nyeri : ( ) ada, sebutkan………………….
Lain-lain : Tidak Ada
8. Ektremitas
Pergerakan/ tonus otot : An. D dapat bergerak bebas dan dengan
kekuatan penuh
Oedem : ( ) ada, sebutkan () tidak
Sianosis : ( ) ada, sebutkan () tidak
Clubbing finger : ( ) ada () tidak
Keadaan kulit/turgor : Setelah dicubit kulit kembali selama 2 detik
Lain-lain : Kekuatan otot 3 3
3 3
Dengan skala ADL 2
Masalah Keperawatan : Intoleransi Aktivitas

9. Genetalia
a. Laki-laki
Kebersihan : Bersih
Keadaan testis : () lengkap ( ) tidak
Hipospadia : ( ) ada ( ) tidak
Epispadia : ( ) ada ( ) tidak
Lain-lain : Tidak ada
b. Perempuan
Kebersihan :
Keadaan labia : ( ) lengkap ( ) tidak
Peradangan/ benjolan :
Menorhage :
Usia :
Siklus :
Lain-lain :

III. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


1. Gizi : BB : 24 Kg PB : 129 cm saat sakit, An.D
dirumah makan 3 kali sehari dengan porsi ½,
nafsu makan menurun, jenis makanan yang
dikonsumsi bubur, lauk pauk sayur dan susu,
An.D rutin minum obat cacing enam bulan
sekali dan mengikuti posyando anak yang ada
dilingkungannya.
2. Kemandirian dalam bergaul : An. D Begaul dengan anak yang tinggal
disekitar tempat tinggalnya
3. Motorik halus : An. D Dapat menggambil benda kecil
menggunakan jempol dan kelingking
4. Motorik kasar : An. D sudah melemparkan bola dan
menendang bola
5. Kognitif dan bahasa : An. D dapat berbicara mamah papah
6. Psikososial : An. D dapat bergaul dengan baik di
lingkungan

IV. Pola Aktifitas sehari-hari


No Pola kebiasaan Sebelum sakit Saat sakit
1 Nutrisi
a. Frekuensi 3x / Hari 1 porsi 3x / Hari 1 porsi
b. Nafsu Menurun Menurun
makan/selera Nasi, sayur, buah, lauk Nasi, sayur, buah,
c. Jenis makanan lauk
2 Eliminasi
a. BAB
Frekuensi 1x 1x
Konsistensi Padat Padat
b. BAK
Frekuensi 5-7x/hari 4-5x/hari
Konsistensi Jernih Kuning Jernih
3 Istirahat/tidur
a. Siang/ jam ±1 Jam ±2 Jam
b. Malam/ jam ±10 Jam ±8 Jam

4 Personal hygiene
a. Mandi 2x / hari 2x / hari
b. Oral hygiene 2x / hari 2x / hari

V. Data penunjang
Klien di rujuk ke poli anak

Palangka Raya, 26 Agustus 2020


Mahasiswa,

( Septama Yoga )

ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF
DAN DATA KEMUNGKINAN
MASALAH
OBYEKTIF PENYEBAB

Ds : Thalasemia Intoleransi Aktivitas


Orang tua klien
mengatakan badan anak Ketidakseimbangan suplai
nya terasa lemah O2 dan kebutuhan
Do :
- Klien tampak lemah Hipoksia
- Kebutuhan ADL
dibantu keluarga Dsypneu
- Skala ADL 4
Penggunaan otot bantu
nafas

Kelelahan

Intoleeransi Aktivitas

PRIORITAS MASALAH
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai dengan klien
tampak lemah ADL dibantu keluarga skala ADL 2.
RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : An. D


Ruang Rawat : Puskesmas Pahandut

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional


Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan 2x OTEK : 1) Untuk mengetahui keadaan umum
berhubungan dengan kunjungan, di harapkan
O : Observasi nilai HGB klien klien
kelemahan klien dapat melakukan
aktivitas dengan kriteria T : Bantu klien jika memerlukan bantuan 2) Mmpermudah klien dalam aktivitasnya
hasil:
E : Edukasi klien untuk tirah baring 3) Agar klien dapat beristirahat
1) Klien tidak merasa
lemas K : Kolaborasi dalam pemberian terapi 4) Untuk memulihkan kondisi klien
2) Nilai Hb dalam batas non medikamentosa
normal
11-16 g/dL
3) Klien dapat beraktivitas
secara mandiri
4) Skala ADL Meningkat
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Tanda
Hari/Tanggal tangan dan
Implementasi Evaluasi (SOAP)
Jam Nama
Perawat
Rabu, 26 Agustus 1) Mengobservasi nilai HGB klien S: Pasien mengatakan “masih merasa lemas”
2020 10:00 Wib 2) Memberikan bantuan kepada klien O:
- Klien tampak terbariang lemas
3) Memberikan edukasi klien untuk tirah baring
- HGB : 7,7 g/dl
4) Melakukan kolaborasi dalam pemberian terapi - Klien tampak bersih dan rapi
non medikamentosa yaitu tirah baring
A: Masalah teratasi sebagian Septama Yoga
P: Lanjutkan intervensi
1) Observasi nilai HGB klien
2) Kolaborasi dalam pemberian terapi non
medikamentosa yaitu tirah baring
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Setelah membahas keseluruhan asuhan keperawatan pada An.D dengan
Thalasemia pada bab ini akan disampaikan simpulan sebagai berikut :
Pada tahap pengkajian sampai pemeriksaan fisik ditemukan masalah
keperawatan yaitu Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai
dengan klien tampak lemah ADL dibantu keluarga skala ADL 2.
Pada tahap perencanaan dibuat prioritas masalah keperawatan tindakan,
tujuan dan waktu secara spesifik sesuai dengan waktu yang diberikan. Pada
diagnosa intoleransi aktivitas semua rencana tindakan keperawatan sudah
dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Pada tahap pelaksanaan semua tindakan keperawatan dapat dilakukan
dengan rencana dan diagnosa semua pelaksanaan sudah dilakukan sesuai kondisi
dan kebutuhan klien.
Pada tahap evaluasi diagnosa keperawatan didapatkan belum teratasi
sebagian, hal ini karena faktor pendukung dari klien dan perawat ruangan.
5.2 Saran
5.2.1 Untuk Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat bermanfaat bagi Mahasiswa/i juga diharapkan secara
aktif untuk membaca dan meningkatkan keterampilan serta menguasai
kasus yang diambil untuk mendapatkan hasil asuhan keperawatan yang
komprehensif.
5.2.2 Untuk Puskemas
Diharapkan perawat dapat memberikan informasi secara langsung kepada
klien dan keluarga tentang tindakan keperawatan. Perawat juga diharapkan dapat
bekerja sama dengan keluarga dalam memonitor perkembangan klien. Perawat
juga diharapkan agar dapat lebih melengkapi format pengkajian dan
pendokumentasian keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Manjoer. (2016). Kapita Selekta Kedokteran Jilid II, FKUI : Jakarta.

Kamus Dorlan. (2014). Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Kliegman Behrman. (2015). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15, Alih Bahasa
Indonesia, A.Samik Wahab. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC

Ngastiyah. (2017). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Rodak. (2017). Perawatan Anak Sakit , Edisi I, Setiawan EGC : Jakarta

Sachdeva. (2016). Thalassemia Information. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran


EGC

Wiwanitkit. (2017). Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I. PT Fajar Interpratama :


Jakarta.

Yuwono. (2015). Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I. FKUI : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai