Anda di halaman 1dari 23

Case

Report Session


THALASEMIA

Oleh :

Ajeng Prameyswari Putry 1710312011

Preseptor

dr. Yelli Santriati, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD. PROF. DR. M.A. HANAFIAH SM. BATUSANGKAR
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT dan shalawat
beserta salam untuk Nabi Muhammad SAW, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas Case Report Session yang berjudul “Thalasemia” ini dapat di selesaikan
pada waktu yang ditentukan.
Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. M.A. Hanafiah SM, Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas, Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak
membantu menyusun makalah ini, khususnya kepada dr. Yelli Santriati, Sp.PD, FINASIM
selaku preseptor dan juga kepada rekan-rekan dokter muda.
Dengan demikian, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca
terutama dalam meningkatkan pemahaman tentang Thalasemia. Segala sarandan masukan akan
penulis terima dengan tangan terbuka demi kesempurnaan makalah ini.

Batusangkar, 18 Januari 2023

(Penulis)

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1 Pendahuluan 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Batasan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
1.4 Metode Penulisan 6
BAB 2 Tinjauan Pustaka 7
2.1 Definisi 7
2.2 Epidemiologi 7
2.3 Klasifikasi 8
2.4 Patofisiologi 9
2.5 Manifestasi Klinis 10
2.6 Diagnosis 11
2.7 Tatalaksana 13
2.8 Komplikasi 15
BAB 3 Laporan Kasus 16
BAB 4 Diskusi 20
Daftar Pustaka 22

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Thalassemia adalah sekumpulan heterogenus penyakit akibat dari gangguan

sintesis hemoglobin yang diwarisi secara autosom resesif. Thalassemia juga merupakan

sindroma kelainan darah herediter yang paling sering terjadi didunia, sangat umum di jumpai

disepanjang sabuk thalassemi yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria.

Heterogenitas molekular penyakit tersebut baik carrier thalasemia-a maupun carrier

thalassemia-b sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan pengelompokan populasi sehingga

dapat dijadikan petanda genetik populasi tertentu.1

Sementara itu keberadaan carrier thalassemia-a di Indonesia masih kurang

dicermati walaupun telah dilaporkan bahwa prefalensinya cukup tinggi pada berbagai

populasi di daratan Asia atau Pasific. WHO (1987) memperkirakan ada 13.000-16.000 bayi

thalassemia-a lahir setiap tahun di dunia. Jika mereka bisa mencapai usia dewasa,

diperkirakan ada sekitar 680.000 penderita thalassemia-a di Asia Tenggara. Angka yang

paling banyak disitasi di Indonesia adalah estimasi Wong (1983) yang memperkirakan hanya

ada sekitar 0.5% dari total penduduk Indonesia yang membawa sifat kelainan darah dan angka

ini jauh lebih rendah dari prefalensi carrier thalassemia-b yang diperkirakan mencapai 3.5%.

Namun, banyak peneliti percaya bahwaprefalensi carrier talasemia-a di Indonesia jauh diatas

yang diperkirakan Wong tersebut. Dugaan tersebut juga didukung oleh bukti-bukti bahwa

cukup banyak bayi atau janin hyrop fetalis dan Hb-H yang terjaring di Rumah Sakit- Rumah

Sakit terutama pada mereka yang mempunyai pengaruh kuat unggun gen Mongoloid. Namun

seberapa anak besar prevalensi carrier tersebut pada berbagai populasi di Indonesia belum

pernah dilaporkan secara rinci.2

4
Keberadaan carrier thalassemia-a0 perlu diwaspadai karena pasangan carrier

kelainan darah tersebut mempunyai kemungkinan 25% anak-anaknya akan lahir sebagai bayi

Hb-Bart’s hydrop fetalis dan akan segera meninggal setelah lahir atau semasa janin. Di

samping itu, jika carrier thalassemia-a0 menikah dengan carrier thalassemia-a+, 25%

keturunannya juga berkemungkinan menderita Hb-H atau secara klinis disebut dengan

thalassemia-a intermedia dan mayor. Sampai saat ini belum ada tindakan kuratif yang

memadai untuk mengatasi thalassemia mayor.3 Cangkok sumsum tulang yang dilakukan

selain tidak bersifat permanen juga mempunyai survival rate yang rendah. Hal ini

membutuhkan biaya yang cukup besar dan harus dilakukan di luar negeri. Terapi gen pada

penderita thalassemia juga hanya dilakukan dalam tingkat penelitian. Anjuran WHO (1984)

terhadap penyakit ini adalah melakukan tranfusi darah secara rutin dengan pemberian agen

pengkelat besi dan pemberian beberapa ajuvan yang bersifat antioksidan.Tindakan ini harus

dilakukan terus menerus seumur hidup dan diperlukan biaya yang cukup besar. Efek

sampingnya juga cukup tinggi jika dilakukan dengan tidak memadai. Salah satu tindakan yang

harus dilakukan adalah tindakan preventif dan kontrol baik berupa tindakan konseling genetik

pra- nikah sebagai pencegah terjadinya kasus baru thalassemia. Tindakan preventif ini hanya

dapat dilakukan jika prevalensi dan jenis mutan pada populasi bersangkutan telah diketahui.4

Diketahui bahwa talasemia ini terbagi atas empat bagian yaitu talasemiaalfa (a)

talasemia b, talasemia d, dan talasemia t.

1.2 Batasan Masalah


Case report ini membahas mengenai Thalasemia.

1.3 Tujuan Penulisan


Case report ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai

Thalasemia.

5
1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan case report ini berupa hasil pemeriksaan pasien,

rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada kasus dan berbagai literatur.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan

pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga

hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang

normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan

terjadilah anemia.5

Thalasemia diturunkan dari orang tua kepada anaknya melalui gen. Jika kedua orang tua

adalah pembawa sifat thalasemia ada kemungkinan 50% anak pembawa sifat thalasemia

(minor) sedangkan 25% menderita thalasemia mayor dan 25% lagi anak akan normal. Namun,

bila salah satu dari orang tua pembawa sifat, dan satunya lagi normal, maka kemungkinan 50%

anak menjadi pembawa sifat thalassemia sedangkan 50% lagi kemungkinan anak akan normal.6

Thalassemia dibedakan menjadi thalasemia alfa jika menurunnya sintesis rantai alfa globin

dan thalasemia beta jika terjadi penurunan sintesis rantai beta globin . Thalasemia dapat terjadi

dari ringan sampai berat. Thalasemia beta diturunkan dari kedua orang tua pembawa thalasemia

dan menunjukan gejala klinis yang paling berat, keadaan ini disebut juga thalasemia mayor.

Penderita thalasemia mayor akan mengalami anemia dikarenakan penghancuran hemoglobin

dan membuat penderita harus menjalani transfusi darah seumur hidup setiap satu bulan sekali.5

2.2 Epidemiologi

Thalasemia menjadi penyakit hemolitik herediter dengan prevalensi dan insidensi paling

tinggi di seluruh dunia. Penyakit ini menjadi salah satu masalah kesehatan yang sangat serius

mengingat ratusan ribu anak meninggal setiap tahunnya. Prevalensi Talasemia terbanyak

dijumpai di daerah-daerah yang disebut sebagai sabuk Talasemia yaitu Mediterania, Timur

7
Tengah, Asia Selatan, Semenanjung Cina, Asia Tenggara, serta Kepulauan Pasifik. Secara

epidemiologi, kelainan genetik ini dikenal sebagai penyakit monogen yang paling umum di

populasi dunia. Talasemia β tersebar di negara sabuk Talasemia dengan frekuensi karier

tertinggi adalah Siprus (14 %), Sardinia (10,3 %), dan Asia Tenggara. Tingginya frekuensi

Talasemia di regio ini berhubungan kuat dengan penyebaran Plasmodium falcifarum. Populasi

yang endemik dengan penyakit malaria, 3 sampai 40 % penduduknya membawa hemoglobin

varian, dengan prevalensi penyakit ini sebesar 0,3 sampai 25 per 1000 kelahiran hidup.

Literatur menyebutkan bahwa dari jumlah tersebut, hanya sekitar 200.000 pasien dengan gejala

klinis Talasemia mayor yang teregistrasi dan memperoleh tatalaksana regular.7

Pada populasi Asia Tenggara dilaporkan bahwa frekuensi karier Hemoglobinopati dan

Talasemia adalah 45,5 % dengan 1,34 anak dari 1000 kelahiran terlahir dengan kondisi klinis.

Thailand memiliki frekuensi karier Talasemia α sebesar sebesar 30-40%, Talasemia β sebesar

1-9 %, dan tertinggi adalah HbE sebesar 50-60%. Skrining pada populasi wanita yang

melakukan perawatan selama kehamilan di Laos menemukan bahwa 2,3 % populasi adalah

karier Talasemia β dan 30,1 % memiliki alel HbE. Pembawa sifat Talasemia di Malaysia

tercatat 3,5-5 % dengan pasien yang melakukan transfusi rutin sebesar 40%.8

2.3 Klasifikasi

Thalasemia dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis hemoglobin yang mengalami

gangguan menjadi Thalasemia alfa dan beta. Sedangkan berdasarkan jumlah gen yang

mengalami gangguan, thalasemia dibagi menjadi:7,8

a. Thasemia minor

Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang sehat namun orang

tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada anak-anaknya. Thalasemia minor sudah ada

sejak lahir dan tetap akan ada sepanjang hidup penderita. Penderita tidak memerlukan tranfusi

8
darah dalam hidupnya.

b. Thalasemia intermedia

Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara Thalasemia mayor dan minor. Penderita ini

mungkin memerlukan tranfusi darah secara berkala, terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan

sekali atau bahkan 1 tahun sekali. Pasien thalasemia intermedia ini dapat cenderung menjadi

mayor ketika anemia kronis tidak tertangani dengan baik dan sudah menyebabkan gangguan

orang seperti hati, ginjal, pankreas, dan limpa.

c. Thalasemia mayor

Thalasemia terjadi apabila kedua orangtua mempunyai sifat pembawa (carrier). Anak dengan

thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan kekurangan darah pada usia 3-18 bulan.

Penderita memerlukan transfusi darah sejak tahun pertama pada usia 6-24 bulan dan kontinyu

seumur hidupnya. Rutinitas transfusi berkisar antara 2 minggu sekali sampai 4 minggu sekali.

Thalasemia mayor biasanya bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama

6 bulan kehidupan. Transfusi darah reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah

kelemahan dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia.

2.4 Patofisiologi

Pada keadaan normal, disintetis hemoglobin A (adult: A1) yang terdiri dari 2 rantai alfa

dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih kurang 95 % dari seluruh hemoglobin. Sisanya

terdiri dari hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan

kadarnya tidak lebih dari 2% pada keadaan normal. Hemoglobin F (foetal) setelah lahir fetus

senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak

lebih dari 4% pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma.

Pada penderita thalasemia satu atau lebih dari satu rantai globin kurang diproduksi sehingga

terdapat kelebihan rantai globin karena tidak ada pasangan dalam proses pembentukan

9
hemoglobin normal orang dewasa (HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan

mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan

eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.9

Pada thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun

sedangkan produksi HbA 2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta

dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha

kompensasi. Eritropoesis di dalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari

nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Masing-

masing HbA yang normal terdiri dari empat rantai globin sebagai rantai polipeptida, dimana

rantai polipeptida tersebut terdiri dari dua rantai polipeptida alfa dan dua rantai polipeptida

beta. Empat rantai tersebut bergabung dengan empat komplek heme untuk membentuk molekul

hemoglobin, pada thalasemia beta sintesis rantai globin beta mengalami kerusakan.

Eritropoesis menjadi tidak efektif, hanya sebagian kecil eritrosit yang mencapai sirkulasi prifer

dan timbul anemia. Anemia berat yang berhubungan dengan thalasemia beta mayor

menyebabkan ginjal melepaskan erythropoietin yaitu hormon yang menstimulasi bone marrow

untuk menghasilkan lebih banyak sel darah merah, sehingga hematopoesis menjadi tidak

efektif, eritropoesis yang meningkat mengakibatkan hyperplasia dan ekspansi sumsum tulang,

sehingga timbul deformitas pada tulang. Eritropoetin juga merangsang jaringan hematopoiesis

ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul hepatosplenomegali. Efek lain dari anemia

adalah meningkatnya absorbsi besi dari saluran cerna menyebabkan penumpukan besi berkisar

2 - 5 gram pertahun.9

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang dapat dijumpai yaitu anemia. Anemia yang menahun pada

thalasemia disebabkan eritropoesis yang tidak efektif, proses hemolisis dan reduksi sintesa

hemoglobin. Kondisi anemia kronis menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan dan merangsang

10
peningkatan eritropoetin yang berdampak pada ekspansi susunan tulang sehingga pasien

mengalami deformitas tulang, risiko menderita gout dan defisiensi asam folat. Peningkatan

eritropoetin mengakibatkan hempoesis ekstra medular yang menyebabkan terjadinya

splenomegali. Pasien dengan thalasemia juga mengalami perubahan struktur tulang yang

ditandai dengan penampilan wajah khas berupa tulang maxilaris menonjol, dahi yang lebar dan

tulang hidung datar. Pada semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya

bervariasi sebagian besar penderita mengalami beta-thalasemia mayor bisa terjadi

kuning/jaundice dan hepatomegali atau splenomegali.9

2.6 Diagnosis

A. Diagnosis klinis10

1) Anamnesis

a. Pucat kronik atau berlangsung lama, usia awitan terjadi pada awal usia pertumbuhan

yaitu 6 bulan sampai usia 2 tahunan.

b. Riwayat transfusi berulang dikarenakan anemia berulang

c. Riwayat keluarga dengan thalasemia

2) Pemeriksaan fisik

a. Pucat; dapat dijumpai konjungtiva anemis.

b. Sklera ikterik akibat bilirubin yang meningkat

c. Facies Cooley seperti dahi menonjol, jarak kedua mata lemebar, maksila hipertrofi,

maloklusi gigi.

d. Hepatosplenomegali, akibat proses eritropoiesis yang berlebih dan destruksi eritrosit

e. Gagal tumbuh

f. Gizi kurang, perawakan pendek

g. Pubertas terlambat akibat gangguan hormon pertumbuhan karena deposit besi pada

jaringan.

h. Hiperpigmentasi kulit, akibat timbunan besi yang berlebih.


11
B. Diagnosis hematologi

1) Darah perifer lengkap

a. Anemia atau kadar hemoglobin rendah dijumpai pada thalasemia mayor, dengan kadar

hemoglobin mencapai <7 g/dL

b. Mean corpuscular volume (MCV) <80 fL (mikrositik) dan mean corpuscukar

haemoglobin (MCH). Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalasemia, dan

juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit

dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi. Oleh karena itu pada MCV dan MCH yang

sedikit lebih rendah dari normal, untuk memastikan apakah hal tersebut disebabkan oleh

Thalasemia atau defisiensi besi, maka perlu dilakukan uji suplementasi besi.

2) Gambaran darah tepi

a. Pada thalasemia mayor hampir dapat ditemukan semua jenis kelainan eritrosit.

Anisositosis dan poikilositosis yang nyata, mikrositik hipokrom, basophilic stippling, sel

target dan eritrosit berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)

b. Total hitung dan neutrofil meningkat. Bila telah terjadi splenomegali dapat ditemukan

leukopenia, neutropenia, dan trombositopenia.

c. Red Cell Distribution Width (RDW). RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit dalam

darah. RDW didapatkan pada waktu pemeriksaan hematologi rutin. Thalasemia minor

memiliki eritrosit mikrositik yang uniform sehingga tidak/hanya sedikit ditandai dengan

peningkatan RDW. Thalasemia mayor dan intermedia menunjukkan peningkatan RDW

yang tinggi nilainya

d. Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien thalasemia memiliki

aktivitas sumsum tulang yang meningkat.

12
2.7 Tatalaksana

Terapi yang diberikan pada pasien thalassemia disesuaikan dengan patologi

utamanya yaitu pengobatan terhadap anemianya, yaitu:10

1. Transfusi darah

Transfusi wajib diberikan jika Hb <7 g/dL setelah pemeriksaan 2 kali dengan jeda lebih dari 2

minggu, tanpa penyebab lain seperti infeksi, trauma, penyakit kronis lainnya. Volume darah

yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila kadar Hb pratransfusi >6 g/dL, volume darah

yang ditransfusikan berkisar 10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan 5 mL/kg/jam. Jika nilai Hb

<6 g/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah

yang ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan dikurangi hingga 2

mL/kg/jam untuk menghindari kelebihan cairan. Target Hb setelah transfuse adalah di atas 10

mg/dL namun tidak boleh lebih dari 14 mg/dL. Pasien diharapkan melakukan tranfusi kembali

sebelum Hb drop dibawah 8 mgdL. Darah yang digunakan adalah sama dalam jenis ABO dan

Rh nya, tipe leucodepleted yang telah menjalami uji skrining nucleic acid testing untuk

menghindari infeksi tertularnya pernyakit lain. Pasien harus kembali setiap 3-4 minggu atau

lebih disesuaikan dengan Hb pratransfusi.

2. Pemberian kelasi besi

Pemberian transfusi rutin setiap bulan selama hidup dapat menyebabkan penumpukan besi

dalam tubuh. Sifat besi yang tidak bisa dikeluarkan secara alami oleh tubuh harus dibantu

dengan kelator agar bisa diekskresikan ke luar tubuh. Indicator penumpukan besi dalam tubuh

dapat dinilai melalui jumlah kantong darah yang ditranfusikan, kadar serum ferritin (diatas

1.000 mg/mL), transferrin (saturasi >70%), biopsi hati untuk mengukur kadar besi. Ada 3

macam obat utama kelator yaitu Deferoksamin dengan dosis 30-60/kgBB secara subkutan atau

IM. Deferoksamin memiliki waktu paruh singkat sehingga perlu diberikan dengan durasi 8-12

jam/hari, 5-7x/minggu. Efek pengobatan kelasi besi dapat dibantu dengan menggunakan
13
indicator serum ferritin ataupun metode yang lebih valid adalah dengan mengukur LIC (liver

iron concentration). LIC dapat dikatakan baik jika <7.000 ug/g atau ferritin serum antara 1.000-

2.500 ngmL.

3. Suplementasi nutrisi

Nutrisi pasien thalassemia harus diperhatikan mengingat kondisi iron overload akibat transfusi.

Pemberian nutrisi antioksidan diindikasikan untuk semua pasien seperti asupan yang

mengandung kalsium, vitamin D, folat, trace mineral (tembaga, zink, dan selenium) dan

antioksidan (vitamin C dan E). Suplemen vitamin E 10 mg/kg atau 2x200 IU/hari selama 4

minggu dapat meningkatkan kadar Hb dan askorbat plasma. Vitamin C berfungsi untuk

memetabolisme besi dari penyimpanan di intraseluler. Vitamin C dengan dosis tidak lebih dari

2-3 mg/kg/hari diberikan bersama desferoksamin untuk meningkatkan ekskresi besi. Selain itu

asam folat juga direkomendasikan dosis 1-5 mg/kg/hari atau 2x1 mg/hari. Asam folat ini tidak

perlu diberikan jika kadar Hb pertransfusi lebih dari 9 g/dL.

4. Splenektomi

Splenektomi adalah tindakan insisif untuk memotong spleen atau limpa dari tubuh.

Splenektomi tidak akan menjadi tidak akan menjadi alternative ketika transfuse rutin dapat

dilakukan sejak usia dini dan berlangsung secara adekuat. Tindakan ini diindikasikan untuk

keadaan seperti kebutuhan transfuse meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC/kg/tahun

atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya, hipersplenisme, leukopenia dan

trombositopenia.

14
2.8 Komplikasi

a. Komplikasi pada jantung

Penumpukan besi merupakan faktor utama yang berkontribusi terjadinya kelainan pada jantung.

Penyakit jantung pada penderita thalassemia mungkin bermanifestasi sebagai kardiomiopati,

gagal jantung, hipertensi pulmonal, arrithmia, disfungsi sistolik atau diastolic, efusi pericardial,

miokarditis atau pericarditis, gagal jantung kiri.11

b. Komplikasi endokrin

Umumnya komplikasi yang terjadi yaitu hypogonadotropic hipogonadisme. Pituari anterior

adalah bagian yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang akan mengganggu sekresi

hormonal antara lain disfungsi gonad. Perkembangan seksual mengalami keterlambatan,

biasanya pada anak perempuan akan mengalami amenorrhea.

Selama masa anak-anak pertumbuhan bisa dipengaruhi oleh kondisi anemia dan masalah

endokrin. Masalah tersebut mengurangi pertumbuhan yang harusnya cepat dan progresif

menjadi terhambat sehingga postur anak menjadi pendek.11

c. Komplikasi metabolik

Kelainan yang sering ditemukan pada pasien adalah rendahnya masa tulang yang disebabkan

oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi, disfungsi multiendokrin dan defisiensi vitamin D,

kalsium dan zinc.11

d. Komplikasi hepar

Setelah dua tahun dari pemberian transfusi yang pertama kali pembentukan kolagen dan fibrosis

terjadi sebagai dampak dari adanya penimbunan besi yang berlebih. Penyakit hati lain yang

sering muncul yaitu hepatomegaly dan penurunan konsentrasi albumin.11

15
BAB 3

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.F
No MR : 003475
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 20 tahun
Nama Ibu Kandung : Ny. R
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Sungai Tarab
Tanggal Masuk : 10 Januari 2023
Tanggal Pemeriksaan : 13 Januari 2023

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki, 20 tahun datang ke RSUD pada tanggal 10 Januari 2023, dengan
keluhan :
Keluhan Utama:
Pasien lemah dan pucat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
• Lemah dan pucat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
• Pasien sudah dikenal dengan thalasemia sejak usia 2 tahun 6 bulan.
• Awalnya pasien terlihat pucat pada usia 2 tahun sehingga pasien dibawa ke rumah sakit untuk
dilakukan pemeriksaan, setelah dilakukan pemeriksaan, pasien di diagnosis dengan thalassemia.
• Pasien sudah mendapatkan transfusi rutin. Awalnya transfusi dilakukan 1x/bulan, namun pada
kurun waktu 1 tahun ini transfusi dilakukan 1x/3 minggu. Saat ini pasien mendapatkan transfusi
sebanyak 4 unit PRC.
• Perut pasien membesar sejak 10 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu:

• Riwayat Thalassemia sejak usia 2 tahun 6 bulan


• Riwayat rutin transfusi 1x/bulan
16
• Riwayat alergi makanan dan obat tidak ada
• Riwayat Diabetes Melitus tidak ada
• Riwayat Hipertensi tidak ada

Riwayat Pengobatan

Pasien sebelumnya sudah rutin transfusi darah 1x/bulan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga dengan keluhan/penyakit yang sama.

PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 kali/menit, regular, kuat
Frekuensi Napas : 20 kali/menit, tipe pernapasan abdominothorakal
Suhu : 360C

Pemeriksaan Sistemik
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), pigmentasi normal, ikterus (-), sianosis (-), telapak
tangan dan kaki pucat (-), pertumbuhan rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula, supraklavikula,
infraklavikula, aksila, inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepal, simetris, deformasi (-), rambut hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+).
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum tidak deviasi dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (-), sekret (-).

17
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), nyeri tekan processus mastoideus (-),
pendengaran baik.
Mulut
Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), bau
pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak ada, kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada simetris.
Paru-paru
Inspeksi : Dada simetris sisi kanan dan kiri, pergerakan dada sisi kanan dan kiri sama
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Paru kanan sonor dan paru kiri sonor
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial RIC V LMCS
Perkusi : batas atas RIC II, batas jantung kanan linea parasternalis dextra, batas
jantung kiri RIC V linea midclavikula sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : perut tampak membesar (+)
Palpasi : lien teraba (+) di garis schuffner 5 (S5)
Perkusi : pekak, shifting dullness (-)
Auskultasi : BU (+) normal

Alat kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Ekstremitas atas : nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal,
telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), eritema palmaris (-), sianosis(-)

18
Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), gerakan terbatas, edema (-) pada kedua tungkai, jaringan parut(-),
pigmentasi normal, jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), akral pucat (-), sianosis (-)

Pemeriksaan Rumple Leed : (-).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (10/01/2023)

Hemoglobin 6.3 g/dL

Hematokrit 17.8%

Leukosit 4.780/mm3

Trombosit 103.000/mm3

MCV 76.4 fL

MCH 27.0 pg

RDW 19.1 %

Diagnosis Kerja
• Thalasemia mayor
Rencana Terapi
• IVFD NaCl 0.9%
• Transfusi PRC 4 unit

Prognosis

• Quo ad functionam : Bonam



• Quo ad vitam : Bonam

• Quo ad sanationam : Bonam

19
BAB 4

DISKUSI

Pasien laki-laku usia 20 tahun datang dengan keluhan utama lemah dan pucat sejak

1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien sudah dikenal dengan thalasemia sejak usia

2.5 tahun. Awalnya pasien terlihat pucat pada usia 2 tahun sehingga pasien dibawa ke

rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan, setelah dilakukan pemeriksaan, pasien di

diagnosis dengan thalasemia. Pasien sudah mendapatkan transfusi rutin. Awalnya

transfusi dilakukan 1x/bulan, namun pada kurun waktu 1 tahun ini transfusi dilakukan

1x/3 minggu, dan saat ini pasien mendapatkan trasfusi 4 unit PRC. Keluarga pasien tidak

ada yang mengalami keluhan yang sama.

Pada pemeriksaan fisik umum, pasien tampak sakit sedang, kesadarn komposmentis

kooperatif, TD 100/70 mmHg, nadi 90 kali/menit, suhu 36oC, nafas 20x/menit,

konjungtiva anemis, dan sklera ikterik.

Pada pemeriksaan fisik toraks terlihat bentuk dada normal, pergerakan dinding dada

simetris. Pemeriksaan paru ditemukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi dalam

batas normal. Pada pemeriksaan fisik jantung ditemukan iktus kordis tidak terlihat,

palpasi ictus cordis teraba 1 jari medial RIC V LMCS. Perkusi dalam batas normal.

Auskultasi: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan saat inspeksi abdomen tampak membesar.

Pada palpasi lien teraba (+) di garis schuffner 5 (S5). Perkusi pekak. Auskultasi bising

usus normal. Alat kelamin tidak diperiksa. Pada ekstremitas didapatkan akral hangat,

dan tidak ada edema.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, trombositopenia,

hematokrit menurun, dan MCV menurun.

20
Pada anamnesis pasien menyatakan telah melakukan transfusi rutin sejak usia 2.5

tahun karena didiagnosis menderita Talasemia Mayor. Talasemia Mayor merupakan

penyakit yang bersifat genetik. Pada keluarga pasien tidak ditemukan adanya gejala

serupa yang dapat menunjukkan bahwa anggota keluarga pasien juga memiliki

Talasemia Mayor. Hal tersebut berarti kedua orang tua pasien memiliki gen pembawa

Thalasemia atau disebut karier Talasemia.

Gejala dan tanda Talasemia Mayor yang dapat ditemukan pada pasien yaitu

badan lemah, di mana pasien menyatakan badan sering lemas dan mudah lelah saat

beraktivitas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis dan juga sclera

kekuningan (ikterik) yang sering dijumpai pada pasien Talasemia Mayor. Pada pasien

juga dijumpai adanya pembesaran limpa atau splenomegali yang dapat dipalpasi pada

Scuffner V akibat hiperaktivitas dari limpa itu sendiri dalam menghancurkan sel-sel

darah. Splenomegali apabila dalam jangka waktu yang lama dapat memperparah anemia

yang dialami oleh pasien, serta menyebabkan leukopenia serta trombositopenia. Pada

pemeriksaan penunjang didapatkan hemoglobin rendah, leukopenia, trombositopenia,

hematokrit menurun, dan MCV menurun.

Dalam kasus ini, pasien diberikan tatalaksana berupa transfusi darah PRC 4

unit. Pasien dengan transfusi darah rutin sejak usia 2.5 tahun sehingga sekarang telah

mencapai usia 20 tahun. Jika terapi tersebut rutin dilanjutkan dengan pengawasan kadar

Hemoglobin dan besi yang ketat tiap bulannya, maka berdasarkan literatur pasien dapat

mencapai angka harapan hidup hingga usia di atas 50 tahun.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Lie-Injo LE, Cai SP, Wahidijat I, Moeslichan S, Lim ML, Evangelista L, Doherty M,

Kan YW. Β-thalassemia mutations in Indonesia and their linkage to β haplotypes.

American journal of human genetics. 1989;45(6):971–975.

2. Rujito L, Basalamah M, Mulatsih S, Abdul Salam M. Sofro (2015) Molecular Scanning

of β-Thalassemia in the Southern Region of Central Java, Indonesia; a Step Towards a

Local Prevention Program, Hemoglobin, 39:5, 330-333

3. Setianingsih I., Harahap A., Nainggolan I.M. (2003) Alpha Thalassaemia in Indonesia:

Phenotypes and Molecular Defects. In: Marzuki S., Verhoef J., Snippe H. (eds) Tropical

Diseases. Advances in Experimental Medicine and Biology, vol 531. Springer, Boston,

MA

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Pencegahan Thalassemia (Hasil

Kajian Health Technology Assesment tahun 2009). Jakarta.

5. Muncie HL. Beta Thalassemia. National Organization for Rare Disorder. 2019.

Available at: https://rarediseases.org/rare-diseases/thalassemia-major.

6. Nigam N, Nigam S, Agarwal M, Singh PK. β-Thalassemia: From Clinical

Symptoms to the Management. Int J Contemp Med Res. 2017;4(5):2454–7379.

7. Rund D. Thalassemia 2016: Modern medicine battles an ancient disease. Am J

Hematol. 2016;91(1):15–21.

8. Cappellini MD, Cohen A, Eleftheriou A, et al. (2008). Guidelines for the Clinical

Management of Thalassaemia [Internet]. 2nd Revised edition. Nicosia (CY):

Thalassaemia International Federation; 2008. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK173968/

22
9. Thalassaemia International Federation. (2014). Guidelines For The Management Of

Transfusion Dependent Thalassaemia (TDT). Cyprus. Thalassaemia International

Federation Publisher.

10. Bollig C, Schell LK, Rücker G, Allert R, Motschall E, Niemeyer CM, Bassler D,

Meerpohl JJ. (2017). Deferasirox for managing iron overload in people with

thalassaemia. Cochrane Database Systematic Review.

11. Nigam N, Nigam S, Agarwal M, Singh PK. β-Thalassemia: From Clinical

Symptoms to the Management. Int J Contemp Med Res. 2017;4(5):2454–7379.

23

Anda mungkin juga menyukai