Oleh:
Pembimbing:
Dr. dr. Radiyati Umi Partan, SpPD K-R, M.Kes, FINASIM
Penulis
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh :
Mayalisna Prihatiningrum, S.Ked
Nadhira Annisa Putri, S.Ked
Gnanambhikaiy, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................... 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 14
BAB IV ANALISIS KASUS................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 44
iv
5
BAB I
PENDAHULUAN
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan
defek genetik (mutasi) yang disebabkan oleh berkurangnya atau tidak disintesis satu
atau lebih rantai globin pembentuk hemoglobin.1 Thalasemia merupakan penyakit
keturunan, artinya minimal salah satu orang tua harus menjadi karier penyakit
tersebut. Ini disebabkan oleh mutasi genetik atau penghapusan fragmen gen kunci
tertentu.2
Sampai saat ini diketahui bahwa pengobatan definitif yang menyembuhkan secara
total terhadap penyakit Thalassemia belum ditemukan. Terapi suportif dengan
transfusi rutin masih menjadi kendala bagi sebagian besar pasien Thalassemia di
negara-negara dengan keterbatasan ekonomi.4 Mayoritas dari thalasemia mayor
membutuhkan transfusi darah secara teratur dan juga terapi kelasi besi. Meskipun
kelangsungan hidup penderita thalassemia mayor meningkat dan sebagian besar
bertahan sampai dewasa, tetapi kualitas hidup dan harapan hidup masih kurang
optimal.2
6
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn. JBM
b Tanggal Lahir : 16 Mei 1995
c Umur : 25 tahun
d Jenis Kelamin : Laki-laki
e Alamat : Kepulauan Bangka Belitung
f Pekerjaan : Tidak bekerja
g Agama : Islam
h Bangsa : Indonesia
i Suku Bangsa : Sumatera
j MRS : 21 April 2021
k No. RM : 00001098333
Thalassemia sejak 2 tahun lalu oleh dokter. Pasien rutin melakukan transfusi
darah.
Sejak + 3 hari SMRS pasien mengatakan lemas semakin bertambah
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari, pasien hanya berbaring di tempat
tidur. Pusing ada, pucat ada, dan kuning pada mata ada. Mimisan tidak ada, gusi
berdarah tidak ada, lebam-lebam atau bintik merah tidak ada, telinga
berdenging tidak ada. Demam tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada. BAB
dan BAK tidak ada keluhan, Riwayat pernikahan antar keluarga disangkal.
Pasien juga mengaku mengkonsumsi deferasirox, asam folat, vitamin B, dan
tablet kalsium. Pasien dibawa ke RSMH untuk kontrol.
Riwayat Kebiasaan
Pasien mengkonsumsi deferasirox, B1 B6 B12, asam folat dan tablet kalsium.
Merokok dan mengonsumsi minuman keras disangkal.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan tidak ada
9
Riwayat Pengobatan
Pasien sering melakukan transfusi darah berulang, kadang 1,5 bulan atau 2
bulan sekali. Transfusi terakhir PRC 3 kantong 2 bulan yang lalu
Asam Folat 3x1 tab PO
Deferasirox 1x2 tab PO
Vitamin B1 1x1 tab PO
Vitamin B6 1x1 tab PO
Vitamin B12 1x1 tab PO
Tablet kalsium 500 mg 1x1 tab PO
2. Keadaan Spesifik
a. Kepala
Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia (-), facies cooley (+)
b. Mata
10
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor, refleks cahaya (+/+), visus tidak diperiksa, lensa jernih (+)
c. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-)
d. Mulut
Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), sariawan (-), glositis (-), gusi
berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi papil lidah (-), tonsil normal,
faring hiperemis (-)
e. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri
tekan mastoid (-)
f. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar
tiroid (-)
h. Abdomen
Inspeksi : Cembung, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, 5x/menit
Palpasi : Lemas, Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae,
konssitensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul,
nyeri tekan (-), lien teraba di schuffner VI, nyeri
tekan (-) Ginjal tidak teraba, ballottement (-/-), nyeri
tekan (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-)
3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (21-4-2021)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 7.3 (↓) g/dL 13,48-17,40
Eritrosit 3.62 (↓) 104/mm3 4,40-6,30
Leukosit 3.84 (↓) 4,73-10,89
Hematokrit 24 (↓) % 41-51
Trombosit (plt) 111 (↓) 103/uL 170-396
12
• Monosit 7 % 2-8
4. Diagnosis Kerja
- Thalassemia beta-mayor dengan manifestasi hemosiderosis dan anemia
sedang serta ikterus
5. Diagnosis Banding
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia aplastik
- Anemia penyakit kronik
13
6. Tatalaksana
1. Non-Farmakologi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai komplikasi, tatalaksana dan
prognosis thalassemia kepada pasien dan keluarga
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dapat tertular
melalui darah, misalnya hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.
- Transfusi darah PRC 800 cc dengan target Hb 11,5 g/dL
2. Farmakologi
- Asam Folat 3x1 tab PO
- Deferasirox 1x2 tab PO
- Vitamin B1 1x1 tab PO
- Vitamin B6 1x1 tab PO
- Vitamin B12 1x1 tab PO
- Kalsium Karbonat 500 mg 1x1 tab PO
7. Rencana Pemeriksaan
- Test Coombs
- Imunoserologi hepatitis (HbsAg, anti-HCV)
- USG Abdomen
8. Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : dubia ad malam
c. Quo ad sanationam : dubia ad malam
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Thalasemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis
hemoglobin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai
globin. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai
beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), HbA2 (α2δ2 = 2,5%), dan HbF (α2ƴ2 =
0,5%). Pada umumnya, rantai globin yang disintesis dalam eritrosit thalassemia
secara struktural adalah normal. Pada bentuk thalassemia-α yang berat, terbentuk
hemoglobin hemotetramer abnormal (β4 atau γ4) tetapi komponen polipeptida
globin mempunyai struktur normal. Sebaliknya, sejumlah Hb abnormal juga
menyebabkan perubahan hemotologi mirip thalassemia. 1,7
3.2 Epidemiologi
Berdasarkan data terdapat sekitar 7% populasi dunia sebagai pembawa sifat
thalassemia dengan kematian sekitar 50.000 – 100.000 anak, 80% nya terjadi di
negara berkembang. Indonesia merupakan negara yang berada dalam sabuk
thalassemia dengan prevalensi karier thalassemia mencapai sekitar 3,8% dari
seluruh populasi. Berdasarkan data dari Yayasan Thalassaemia Indonesia, terjadi
peningkatan kasus thalassemia yang terus menerus sejak tahun 2012 (4896) hingga
tahun 2018.3
3.3 Etiologi
Thalassemia disebabkan oleh mutasi pada gen globin dan menurun secara
autosomal resesif yang berarti bahwa kedua orang tua merupakan penderita ataupun
karier yang dapat menurunkan penyakit ini ke generasi selanjutnya. Mutasi atau
delesi terjadi pada gen Hb menghasilkan produksi yang kurang atau tidak adanya
rantai alfa maupun beta. Terdapat lebih dari 200 mutasi yang teridentifikasi sebagai
penyebab thalassemia. Alfa thalassemia disebabkan oleh delesi dari gen alfa-globin,
dan beta thalassemia disebabkan dari mutase titik (point mutation) pada tempat
persambungan dan daerah dari gen beta-globin pada kromosom 11.8
15
2. Thalassemia Intermedia
Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan merepresentasikan suatu
thalassemia-β+. Bentuk silent carrier thalassemia-β tidak menimbulkan
kelainan yang dapat diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi gen
untuk keadaan ini, jika diwariskan bersama-sama dengan gen untuk
thalassemia-β°, menghasilkan sindrom thalassemia intermedia. Seperti
thalassemia mayor, individu dengan thalassemia intermedia terjadi akibat
kelainan pada 2 kromosom yang menurun dari ayah dan ibu. Perbedaan ada
pada jenis gen mutan yang menurun. Individu thalassemia mayor menurun
2 gen mutan bertipe mutan berat, sedangkan pada thalassemia intermedia 2
gen tersebut merupakan kombinasi mutan berat dan ringan, atau mutan
ringan dan mutan ringan. Secara klinis thalassemia intermedia menunjukkan
gejala dan tanda yang sama dengan thalassemia mayor, namun lebih ringan
dari gambaran thalassemia mayor. Penderita mengalami anemia ringan,
nilai eritrosit abnormal, dan elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan
peningkatan jumlah Hb A2, Hb F atau keduanya. Individu dengan ciri (trait)
thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi dan
mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama waktu
yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait thalassemia-β
mempunyai peningkatan Hb-A2. Pasien intermedia tidak rutin dalam
memenuhi transfusi darah nya, terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan
sekali atau bahkan 1 tahun sekali. Pasien thalassemia intermedia ini dapat
cenderung menjadi mayor ketika anemia kronis tidak tertangani dengan baik
dan sudah menyebabkan gangguan organ-organ seperti hati, ginjal,
pankreas, dan limpa.9,10
3. Thalassemia Minor
Thalassemia minor bisa juga disebut sebagai pembawa sifat, traits,
pembawa mutan, atau karier thalassemia. Karier thalassemia tidak
menunjukan gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini bisa dipahami karena
17
abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan salah satu dari dua
kromosom yang dikandungnya, bisa dari ayah atau dari ibu. Satu gen yang
normal masih mampu memberikan kontribusi untuk proses sistem
hematopoiesis yang cukup baik. 9,10
Stadium Thalassemia
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalassemia berdasarkan
jumlah kumulatif transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk
menentukan tingkat gejala yang melibatkan kardiovaskuler dan untuk
memutuskan kapan untuk memulai terapi khelasi pada pasien dengan
thalassemia-β mayor atau intermedia. Pada sistem ini, pasien dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu :
1. Stadium I
Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit
Packed Red Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada
echokardiogram (ECG) hanya ditemukan sedikit penebalan pada
dinding ventrikel kiri dan elektrokardiogram (EKG) dalam 24 jam
normal.
2. Stadium II
Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC
dan memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan dan
dilatasi pada dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial dan
ventricular abnormal pada EKG dalam 24 jam.
3. Stadium III
Gejala berkisar dari palpitasi hingga gagal jantung kongestif,
menurunnya fraksi ejeksi pada ECG. Pada EKG dalam 24 jam
ditemukan pulsasi premature dari atrial dan ventrikular. 9,10
3.5 Patofisiologi
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan
produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin
tertentu (α,β,γ,δ) akan menghentikan sintesis Hb dan menghasilkan
18
Patofisiologi Seluler
Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah ketidakseimbangan
sintesis rantai globin. Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai
globin yang berlebihan berbedabeda pada tiap tipe thalassemia. Pada
thalassemia-β rantai α yang berlebihantidak mampu membentuk Hb tetramer
terpresipitasi di dalam prekursor sel darah merah dan, dengan berbagai cara
menimbulkan hampir semua gejala yang bermanifestasi pada sindroma
thalassemia-β, situasi ini tidak terjadi pada thalassemia-α.
Rantai globin yang berlebihan pada thalassemia-α adalah rantai γ pada
tahun-tahun pertama kehidupan dan rantai β pada usia yang lebih dewasa.
Rantai-rantai tipe ini relative bersifat larut sehingga mampu membentuk
homotetramer yang, meskipun relatif tidak stabil, mampu tetap bertahan
(viable) dan dapat memproduksi molekul Hb seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H
(β4). Perbedaan dasar pada dua tipe utama ini mempengaruhi perbedaan besar
pada manifestasi klinis dan tingkat keparahan dari penyakit ini.
Rantai α yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat
tidak larut (insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran
sel (mengakibatkan kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya destruksi intramedular dari prekursor sel
darah merah. Sebagai tambahan, sel-sel yang bertahan yang sampai ke sirkulasi
darah perifer dengan intracellular inclusion bodies (rantai yang berlebih) akan
mengalami hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis maupun eritropoesis
inefektif menyebabkan anemia pada penderita dengan thalassemia-β.
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi
dari rantai γ, yang mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai α yang
berlebihan untuk membentuk Hb F, adalah suatu hal yang menguntungkan.
Ikatan dengan sebagian rantai berlebih tidak diragukan lagi dapat mengurangi
gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb tambahan yang memiliki
kemampuan untuk membawa oksigen.
Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia
berat, menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada
21
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain
bernama ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag
menuju plasma dan menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin
diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini
juga menjelaskan mengapa penderita dengan thalassemia-β yang memiliki
jumlah besi yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan
apakah mereka mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh,
penderita thalassemia-β intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah
memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah dibandngkan dengan penderita yang
mendapatkan transfuse darah secara teratur, meskipun keduanya memiliki
jumlah besi yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan
protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada
thalassemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma.
Besi ini cukup berbahaya karena memiliki material untuk memproduksi
hidroksil radikal dan akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ, seperti
jantung, kelenjar endokrin, dan hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada
organ-organ tersebut (organ damage).7,12,13
3.6 Diagnosis
Diagnosis thalassemia dibedakan menurut tiga jenis kriteria utama, yaitu
kriteria klinis, kriteria laboratorium, dan kriteria DNA. Diagnosis klinis hanya
fokus pada Thalassemia mayor atau yang bergantung transfusi. Algoritma
penegakan diagnosis Thalassemia dirangkum pada Gambar 1.10
3.1. Diagnosis Klinis
3.1.1. Anamnesis10
Pada anamnesis pasien thalassemia dapat ditemukan
a. Pada thalassemia mayor dengan mutasi yang moderat atau ringan dan
campuran mutasi tipe berat-ringan, usia awitan pucat pada umumnya
didapatkan pada usia yang lebih dewasa seperti usia 3-10 tahun.
23
3.7 Tatalaksana
Penyakit Thalassemia adalah salah satu penyakit katastropik yang
memerlukan pengelolaan sejak diagnosa ditegakkan. Pengelolaan utama ada pada
kriteria mayor yang secara klinis menunjukkan gejala klinis anemia dan semua
turunan gejala akibat anemia dan ketidakmampuan eritrpoiesis yang efektif.18
27
untuk menghindari infeksi tertularnya penyakit lain. Pasien harus kembali setiap 3
minggu, 4 minggu atau lebih disesuaikan dengan Hb pratransfusi. 11,18
Pada tata kelola transfusi perlu diperhatikan reaksi imunologi seperti reaksi
alergi, reaksi hemolitik akut, dan reaksi yang bersifat lambat. Memastikan
kebutuhan darah sebelum transfusi sesuai dengan jenisnya, penggunaan washed
packed red cells dapat mengurangi reaksi alergi yag ditimbulkan. Jika reaksi alergi
timbul penanganan disesuaikan dengan gejala dan tanda klinisnya seperti
penghentian laju transfusi atau memperlambat, pemberian oksigen, agen
imunosupresan dan steroid. 11,18
2. Terapi Kelasi (Pengikat Besi)
Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat
menunda onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat
mencegah kelainan jantung tersebut. 11,18
Chelating agent yang biasa dipakai adalah DFO yang merupakan kompleks
hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat
penting untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi
negatif (lebih banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak
diserap di usus, maka rute pemberiannya harus melalui parenteral (intravena,
intramuskular, atau subkutan). Dosis total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari
diinfuskan selama 8-12 jam saat pasien tidur selama 5 hari/minggu. 11,18
2. Splenektomi
Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada
pasien dengan thalassemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi
nontoksik (yaitu fungsi penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel
darah merah dan distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu dipertimbangkan
sebelum memutuskan melakukan splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai
penyimpanan untuk besi nontoksik, sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi
tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat membahayakan. Sebaliknya,
splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi hiperaktif menyebabkan
29
penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan demikian meningkatkan
kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi besi.
Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari 200-
250 mL/kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL karena
dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%. Trombosis pasca
splenektomi-dengan frekuensi yang sedikit, adalah komplikasi lain yang dapat
terjadi pasca tindakan operatif. 11,18
faktor risiko. Seleksi donor sangat penting karena transplantasi mungkin gagal
atau mematikan akibat komplikasi imunologis. Hasil terbaik adalah dengan
saudara kandung yang cocok dengan HLA. Namun, hanya 25% dari pasien
memiliki donor saudara yang cocok dengan HLA, dan dalam studi baru-baru
ini, <52% orang non-Eropa menemukan donor yang tidak terkait yang ternyata
cocok. Allogeneic hematopoietic stem cell transplantation (allo-SCT), saat ini
merupakan satu-satunya terapi transplantasi sumsum tulang yang paling
memungkinkan. Donor dapat berasal dari anggota keluarga atau seseorang yang
tidak terkait dengan pasien. Pasien dengan transplantasi HLA-matched related
allogenic tanpa faktor risiko memiliki tingkat harapan hidup/overall survival
(OS) 93% dan harapan hidup tanpa penyakit/disease-free survival (DFS) 91%.
Pasien dengan 1 atau 2 faktor risiko memiliki OS 87% dan DFS 83%, sedangkan
pasien dengan 3 faktor risiko memiliki OS 79% dan DFS 58%. Risiko kematian
pada transplantasi sekitar 10%.17,19
Saat ini sedang dikembangkan haploidentical transplantation yaitu
transplantasi alogenik dengan melibatkan transplantasi setengah-cocok atau
sebagian-cocok. Keuntungan dari haploidentical transplantation adalah
meningkatkan kemungkinan menemukan donor karena hampir setiap orang
memiliki setidaknya satu kerabat yang haploidentik. Beberapa laporan dari
center cangkok sumsum tulang menggunakan ibu kandung sebagai donor haplo
ini. Kerabat dapat diminta untuk menyumbangkan sel punca jauh lebih cepat
daripada donor sukarela di luar kekerabatan, terutama ketika donor sukarela
tinggal di negara lain, sehingga memungkinkan transplantasi dilakukan dengan
cara yang lebih tepat waktu. Penggunaan Haploidentical stem cell ini
memerlukan serangkaian perlakuan terhadap pengobatan profilaksis, dan
perlakuan stem cell untuk menghindari reaksi imun yang berlebih diantaranya
purifikasi sel CD34+, preparasi Busulfid, Fludarabine, dan tiothepa. 17,19
Saat ini teknik pencangkokan dengan deplesi atau menurunkan secara
efektif T-cell melalui selektif positive sel-sel CD34+, deplesi sel-sel
CD3+/CD19+ , atau deplesi T-cell receptor αβ+ (TCRαβ+)/CD19+, memiliki
peningkatan secara signifikan output dari teknik have haploidentical HCT
31
2. Terapi Gen
Susunan mutasi gen yang dikandung di dalam sel hematopoiesis. Penelitian
tentang gen terapi untuk Thalassemia telah berkembang cukup pesat sejak tahun
1990 an. Pada saat ini terapi gen telah memasuki tahap krusial, dengan
dicobakannya teknik ini pada beberapa pasien. Pendekatan terapi gen pada
Thalassemia adalah dengan melakukan harvesting sumsum tulang dari pasien,
kemudian sel-sel tersebut dilakukan kutlur dan pemeliharaan. Tahap
selanjutnya adalah dengan melakukan insersi gen yang normal ke kultur sel
tersebut dengan menggunakan perantara virus (umumnya adalah lentivirus).
Hasil insersi gen normal tersebut kemudian dilakukan transfusi kembali melalui
jalur Intra Vena kepada pasien. Pada pasien sebelum dilakukan transfusi
kembali dilakukan terapi untuk mengontrol efek immunologi yang dapat terjadi.
Penggunaan material lentivirus atau LTRs dapat mengakibatkan aktivasi respon
imun, sehingga perlu upaya untuk menghalangi timbulnya reaksi tersebut.
Perlakuan LTRs sebelum dimanfaatkan untuk insersi gen normal diantaranya
adalah inserti mutagenesis dan proto-oncogene activation.17
yang mereka alami. Penyandang kadang merasa takut dan tidak percaya diri
untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.16,24
Gangguan psikologis juga dapat mengena pada kedua orangtuanya. Stigma
masyarakat yang menganggap negatif penyakit keturunan dapat berakibat pada
rasa penyesalan, dan menarik diri dari lingkungan. Pada keadaan tersebut,
lingkungan harus mendukung perkembangan emosional dan psikologis pasien
thalassemia dengan berupaya menciptakan kondisi yang apa adanya, tidak ada
bullying/perundungan, keistimewaan ataupun restriksi. Kondisi psikis dapat
ditingkatkan dengan memberikan ruang kebebasan, rasa senasib
sepenenggungan, dan penguatan bersama dalam sebuah wadah penyandang,
rekreasi bersama dan kegiatan lain yang meningkatkan rasa kepercayaan diri.
Kepercayaan diri yang meningkat dapat berefek pada pengobatan dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya.20
besi. Selain itu asam folat juga direkomendasikan dosis 1-5 mg/kg/hari atau 2x1
mg/hari. Asam folat ini tidak perlu diberikan jika kadar Hb pretransfusi lebih dari
9 g/dL.11
3.8 Komplikasi7,11
1. Pemantauan komplikasi
Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi
pada organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ
endokrin. Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi,
khususnya hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi
seperti kelebihan darah atau transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan
gagal jantung, dan dapat terjadi reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan
darah yang diberikan. Kelebihan besi yang telah terjadi dalam jaringan
tubuh sangat sulit diatasi karena hanya sedikit kelator besi yang dapat
mengikat kelebihan besi dalam jaringan dan memerlukan waktu yang lama
untuk dapat mengembalikan kadar besi tubuh ke tingkat yang aman. 7,11
3. Komplikasi Endokrin
Komplikasi endokrin meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek,
pubertas terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus,
osteoporosis, osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan
infertilitas. 7,11
Perawakan pendek umumnya sudah dapat ditentukan sejak usia
sekitar 10 tahun, karena pada usia tersebut kelenjar pituitari amat sensitif
terhadap toksisitas besi. Penggunaan desferoksamin sebelum usia 10 tahun
terbukti secara signifikan memberikan luaran yang lebih baik untuk
perkembangan seksual. Pengukuran berat badan, tinggi badan, tinggi duduk
dilakukan setiap kali kunjungan. Kecepatan pertumbuhan yang menurun
sekitar usia 8 hingga 12 tahun dipertimbangkan kemungkinan akibat
toksisitas besi atau akibat defisiensi hormon pertumbuhan. 7,11
Pubertas dikatakan terlambat jika tidak terdapatnya tanda-tanda seks
sekunder (pembesaran payudara) pada anak perempuan setelah usia 13
tahun, atau tidak bertambahnya volume testis menjadi ≥ 4ml pada anak
lelaki setelah usia 14 tahun. Pemeriksaan status pubertas secara klinis
dilakukan dengan menggunakan skala maturitas Tanner, dan sebaiknya
dilakukan secara berkala 1 kali setahun mulai usia ≥10 tahun. Jika terdapat
adanya tanda pubertas terlambat sebaiknya langsung di rujuk ke divisi
endokrin untuk dievaluasi dan diberikan tata laksana lebih lanjut. Diabetes
36
melitus didiagnosis apabila pemeriksaan gula darah puasa >126 mg/dL dan
pemeriksaan toleransi glukosa 2 jam post-prandial >200 mg/dL.
Pemeriksaan toleransi glukosa oral 2 jam post-prandial >140 dan <200
mg/dL mengindikasikan intoleransi glukosa. 7,11
Insufisiensi adrenal pada thalassemia relatif lebih jarang terjadi.
Gejalanya tidak terlalu khas dan dapat menyerupai keluhan yang umum
terjadi pada thalassemia seperti astenia, kelemahan otot, artralgia, dan
penurunan berat badan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai
fungsi adrenal adalah pemeriksan kadar basal serum kortisol, respon
kortisol yang distimulasi oleh ACTH atau insulin. 7,11
Pada pasien dengan atau tanpa hepatitis, kadar besi hati harus dapat
dijaga dalam kadar aman yaitu 2-7 mg/g berat kering pada pemeriksaan
MRI, sedangkan biopsi hati dilakukan untuk menentukan staging kerusakan
hati. 7,11
6. Komplikasi infeksi
Infeksi pada kondisi kelebihan besi
Kondisi kelebihan besi dapat meningkatkan risiko infeksi pada pasien
thalassemia, walaupun mekanismenya sampai sekarang belum terjelaskan.
Namun demikian, beberapa organisme terbukti lebih patogenik dalam kondisi
kelebihan besi, misalnya Klebsiella sp, Escherichia coli, Streptococcus
pneumonia, Pseudomonas aeroginosa, Legionella pneumophila, dan Listeria
monocytogenes. Hal ini mungkin terjadi karena pasien thalassemia dengan
kelebihan besi mengalami penurunan fungsi fagositosis dibandingkan individu
normal. 7,11
Penggunaan kelasi besi yang mengandung siderofor alami, yaitu
desferoksamin, juga dapat meningkatkan virulensi kuman tertentu. Kuman
Yersinia enterocolitica memiliki reseptor pada membran luarnya yang mampu
berikatan dengan desferoksamin dan menggunakannya sebagai sumber besi.
Jamur Mucormycosis juga dilaporkan berhubungan dengan infeksi pada pasien
dialisis yang menggunakan desferoksamin namun laporannya masih sporadik.
7,11
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
Individu dengan trait Thalassemia memiliki angka harapan hidup normal.
Individu dengan Thalassemia beta mayor memiliki rerata usia 17 tahun dan
biasanya meninggal pada usia 30 tahun. Kematian sebagian besar disebabkan
oleh komplikasi jantung dan kelebihan besi. Prognosis dari pasien Thalassemia
mayor sangat bergantung pada kepatuhan pasien terhadap tatalaksana jangka
panjang seperti transfusi dan terapi kelasi.11,12
39
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang dengan keluhan badan yang semakin lemas. Badan lemas
memiliki berbagai diagnosis banding berdasarkan sistem organ yang terlibat, antara
lain hematologi, metabolik, kardiovaskular ,paru, dan infeksi. Permasalahan pada
sistem hematologi akan dijumpai gejala umum dan khusus. Gejala umum meliputi
sindrom anemia yang akan muncul pada setiap anemia apapun penyebabnya
(mudah lelah, mata berkunang, mual, sesak napas, dan telinga berdenging) dan
gejala khusus untuk masing-masing jenis anemia, seperti anemia hemolitik (ikterus
dan hepatosplenomegali) dan thalasemia mayor (deformitas tulang). Pada sistem
metabolik, misalnya hipotiroid dapat disertai gejala muka sembab, konstipasi,
kenaikan berat badan, intoleransi dingin, kulit kering, dan rambut menjadi rapuh.
sementara pada hipoglikemia didapatkan palpitasi, tremor, penurunan kesadaran
yang disertai kadar glukosa darah yang rendah. Gejala sesak napas, rasa tidak
nyaman pada dada, berdebar-debar dapat menunjukkan gejala yang disebabkan
rendah perfusi darah pada gangguan sistem kardiovaskular. Gejala lainnya seperti
demam, mual muntah, dan nyeri dapat dipertimbangkan sebagai suatu infeksi.
Selain itu badan lemas dapat juga disebabkan oleh kondisi dehidrasi, nutrisi kurang,
obat-obatan, serta psikiatrik.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dalam kasus ini
memiliki gejala sindrom anemia, wajah facies cooley, konjungtiva dan palmar
pucat, sklera ikterik, hiperpigmentasi kulit, distensi abdomen, dan
hepatosplenomegali. Temuan klinis tersebut mengarah pada masalah sistem
hematologi, yaitu anemia. Ikterus merupakan perubahan warna kulit, sklera mata
atau jaringan lainnya (membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan
oleh peningkatan kadar bilirubin. Secara patofisiologi, penyebab ikterus dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu fase prehepatik (pembentukan bilirubin,
transport plasma, dan obat-obatan), fase intrahepatic (liver uptake dan konjugasi),
dan fase pascahepatik (ekskresi bilirubin). Berdasarkan data hasil anamnesis,
penyebab ikterik pada pasien ini kemungkinan merupakan fase prehepatik. Hal ini
40
berdasarkan gambaran klinis berupa warna kulit kuning pucat, warna urin teh tua
dan feses seperti dempul yang disangkal. Namun, anamnesis dan pemeriksaan fisik
belum dapat menyingkirkan penyebab intrahepatic dan pascahepatik karena
memerlukan pemeriksaan penunjang.
Hepatomegali dan splenomegali dapat disebabkan karena infeksi (malaria,
hepatitis, atau leptopirosis), hipertensi portal (sirosis hati), neoplastik (limfoma,
leukemia, atau myeloproliferative disorder), inflamasi, maupun penyakit hemolitik
(thalassemia). Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini mengarah pada
thalassemia sehingga kemungkinan hepatosplenomegali disebabkan oleh
eritropoiesis ekstramedullar. Pada thalassemia terjadi gangguan pada sintesis rantai
alfa atau beta globin yang menyebabkan distribusi O2 teganggu. Ginjal akan
merespon dengan mensekresi eritropoietin yang akan memicu terjadinya
eritropoiesis. Kebutuhan tubuh akan oksigen meningkat, sementara eritropoiesis di
sumsum tulang tidak cukup. Hal ini akan memicu eritropoiesis ekstramedullar,
yaitu di spleen dan hati. Beban kerja spleen dan hati yang meningkat serta makrofag
berproliferasi dan bekerja untuk proses hemolisis menyebabkan terjadi
hepatomegali dan splenomegali.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh data hemoglobin sebesar 7,3
g/dL, MCV 67,4 fL, MCH 20 pg, MCHC 30 g/dL, retikulosit 2,21%, ferritin 1146
ng/ml, bilirubin total 4,40 mg/dL, bilirubin direk 1,10, bilirubin indirek 3,30 mg/dL,
SGOT 68 U/L, dan SGPT 52 U/L. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien
mengalami anemia mikrositik hipokrom sehingga kemungkinan diagnosis antara
lain anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronik, thalassemia dan anemia
sideroblastic. Kadar ferritin yang menyingkirkan diagnosis lain dan menyisakan
diagnosis banding sementara thalassemia dan anemia sideoblastik. Adanya riwayat
diagnosis thalassemia beta mayor sejak 2 tahun lalu dan riwayat transfusi rutin
membantu menegakkan diagnosis thalassemia. Riwayat transfusi berulang
kemungkinan berhubungan dengan perangsangan aloantibodi (antibodi isomun)
yang juga dapat menyebabkan proses hemolisis. Hasil ini didukung dengan temuan
retikulosit yang meningkat. Namun, untuk memastikan proses hemolisis dibuuhkan
pemeriksaan test Coombs. Apabila test Coombs (+) artinya terdapat anemia
41
hemolitik autoimun pada pasien. Selain itu transfusi darah berulang pada pasien
thalassemia beta mayor dapat menyebabkan penumpukan besi di berbagai organ
(hemosiderosis), terutama di hati yang dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Hasil laboratorium fungsi hati pasien ini menunjukkan adanya peningkatan. Hal
yang harus dipertimbangkan pada pasien thalassemia yang rutin melakukan
transfusi berulang adalah risiko tertular penyakit infeksi melalui jarum suntikan,
seperti hepatitis (HbsAg dan ani-HCV). Pada pasien ini masih akan direncanakan
pemeriksaan ini untuk mendiagnosis banding ikterik disebabkan oleh hepatitis.
Kadar bilirubin total, bilirubin indirek, dan bilirubin direk meningkat menunjukkan
bawah kemungkinan ikterik bukan berasal dari prehepatic, tetapi intrahepatic
(infeksi hepatitis) dan posthepatik (pada kondisi obstruksi pada saluran empedu).
Dalam membedakan dua penyebab tersebut diperlukan pemeriksaan imunoserologi
hepatitis dan USG abdomen ataupun MRI untuk kemungkinan penyakit hati difus
seperti sirosis hepatis. Adanya trombositopenia pada pasien ini berkaitan dengan
pembesaran spleen dan hati. Limpa yang membesar menjebak (trapping) trombosit
dan mencegahnya bersirkulasi dalam aliran darah. Hasilnya adalah penurunan
trombosit yang bersirkulasi (trombositopenia). Selain itu pada kasus didapatkan
enzim SGPT dan SGOT pasien meningkat menunjukan adanya gangguan fungsi
hati, salah satu fungsi hati yaitu mengatur mekanisme pembekuan darah yang dapat
menyebabkan penurunan produksi trombopoetin di hati sehingga terjadi
trombositopenia. Pada pasien ini juga ditemukan peningkatan kadar laktat
dehydrogenase (LDH). Hal ini disebabkan karena adanya hemolisis, di mana isi
intraseluler (seperti LDH) dilepaskan ke dalam sirkulasi. LDH intraseluler yang
mengindikasikan kerusakan jaringan lokal yang disebabkan oleh radikal bebas atau
kekurangan oksigen atau trauma. Peningkatan aktivitas LDH seluler mencerminkan
pergeseran menuju metabolisme anaerob dan peningkatan glikolisis dalam
sitoplasma sel. Thalasemia yang disertai dengan tingkat turnover yang tinggi.
Dalam kondisi dengan kerusakan jaringan dan pergantian sel yang cepat, LDH
serum dapat meningkat, dan distribusi isoenzim biasanya mencerminkan kerusakan
organ dan sel. Data ini mulai menunjukkan bahwa peningkatan LDH mungkin
merupakan penanda terkait hemolitik dengan thalasemia. Selain itu pada pasien ini
42
banyak digunakan dan harus dimimun dengan makanan. Prognosis pada pasien ini
secara vitam adalah dubia ad bonam namun untuk functionam dan sanationam
adalah dubia ad malam.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter
7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
2. Bajwa H, Basit H. Thalassemia. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2021
3. Li CK. New trend in the epidemiology of thalassaemia. Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol [Internet]. 2017;39:16–26. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2016.10.013
4. Rujito L. Talasemia: Genetik Dasar dan Pengelolaan Terkini. Cetakan Kesatu.
Univesitas Jenderal Soedirman. 2019. 1-4.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hari Talasemia Sedunia 2019:
Putuskan Mata Rantai Talasemia Mayor. 2019. Diakses melalui
http://p2ptm.kemkes.go.id/ pada 27 April 2021
6. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.Edisi ke-
2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.
7. Bajwa H, Basit H. Thalassemia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020 Jan. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545151/
8. Jalil T, Yousafzai YM, Rashid I, Ahmed S, Ali A, Fatima S, Ahmed J. 2019.
Mutational Analysis Of Beta Thalassaemia By Multiplex Arms-Pcr In Khyber
Pakhtunkhwa, Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad, 31(1):98-103.
9. Ghosh K, Colah R, Manglani M, Choudhry VP, Verma I, Madan N, Saxena R,
Jain D, Marwaha N, Das R, Mohanty D, Choudhary R, Agarwal S, Ghosh M,
Ross C. 2014. Guidelines for screening, diagnosis and management of
hemoglobinopathies. Indian Journal Human Genetics; 20(2):101-19.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/MENKES/PER/VI/201 tentang
Petunjuk Teknis Jaminan Pelayanan Pengobatan Thalassaemia. Jakarta.
11. Origa R. 2017. β-Thalassemia. Genetics in Medicine. 19 (1). Page 609–619.
45
12. Jones E, Pasricha SR, Allen A, Evans P, Fisher CA, Wray K, Premawardhena
A, Bandara D, Perera A, Webster C, Sturges P, Olivieri NF, St Pierre T,
Armitage AE, Porter JB, Weatherall DJ, Drakesmith H. 2015. Hepcidin is
suppressed by erythropoiesis in hemoglobin E β-thalassemia and β-thalassemia
trait. Blood. (5):873-80. 10 nya enot
13. Benz, E.J. Disorder of Hemoglobin in: Longo, D.L. 2016. Harrison’s
Hematology and Oncology 3rd Edition. New York: McGraw Hill Education.
Page 90-94.
14. Hoffbrand, A.V. Genetic Disorders of Hemoglobin in: Hoffbrand, A.V., P.
Vyas, E. Campo, T. Haferlach, K. Gomez. 2019. Color Atlas of Clinical
Hematology 5th Edition. Philadelphia: Elsevier. Page 106-129.
15. Jameson et al. 2018. Disorder of Hemoglobin: Edward J. Benz Jr, Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 20 th Edition. USA: The McGrawHill
Companies, Inc.
16. Crippa S, Rossella V, Aprile A, Silvestri L, Rivis S, Scaramuzza S, Pirroni S,
Avanzini MA, Basso-Ricci L, Hernandez RJ, Zecca M, Marktel S, Ciceri F,
Aiuti A, Ferrari G, Bernardo ME. 2019. Bone marrow stromal cells from β-
thalassemia patients have impaired hematopoietic supportive capacity. Journal
of Clinical Investigation. 129(4):1566-1580.
17. Cappellini MD, Cohen A, Eleftheriou A. 2008. Guidelines for the Clinical
Management of Thalassaemia [Internet]. 2nd Revised edition. Nicosia (CY):
Thalassemia International Federation.
18. Asada N, Takeishi S, Frenette PS. (2017). Complexity of bone marrow
hematopoietic stem cell niche. International Journal of Hematology.
2017;106(1):45–54. doi: 10.1007/s12185-017-2262-9.
19. Rujito L, Mulyanto J.(2019. Adopting Mass Thalassemia Prevention Program
in Indonesia: a proposal. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia 10 (1), 1-
4.
20. Bajwa H, Basit H. Thalassemia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020 Jan. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545151/