Anda di halaman 1dari 45

Laporan Kasus

THALASSEMIA B-MAYOR DENGAN MANIFESTASI


HEMOSIDEROSIS DAN ANEMIA SEDANG SERTA
IKTERUS

Oleh:

Mayalisna Prihatiningrum, S.Ked 04052822022091


Nadhira Annisa Putri, S.Ked 04052822022106
Gnanambhikaiy, S.Ked 04084841820003

Pembimbing:
Dr. dr. Radiyati Umi Partan, SpPD K-R, M.Kes, FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas karunia-Nya


sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Thalassemia
beta-mayor dengan manifestasi hemosiderosis dan anemia sedang serta ikterus”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Radiyati Umi Partan, SpPD
K-R, M.Kes, FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan
selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Mei 2021

Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

THALASSEMIA BETA-MAYOR DENGAN MANIFESTASI


HEMOSIDEROSIS DAN ANEMIA SEDANG SERTA IKTERUS

Oleh :
Mayalisna Prihatiningrum, S.Ked
Nadhira Annisa Putri, S.Ked
Gnanambhikaiy, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, Mei 2021

Dr.dr. Radiyati Umi Partan, SpPD K-R, M.Kes, FINASIM

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................... 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 14
BAB IV ANALISIS KASUS................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 44

iv
5

BAB I
PENDAHULUAN
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang disebabkan
defek genetik (mutasi) yang disebabkan oleh berkurangnya atau tidak disintesis satu
atau lebih rantai globin pembentuk hemoglobin.1 Thalasemia merupakan penyakit
keturunan, artinya minimal salah satu orang tua harus menjadi karier penyakit
tersebut. Ini disebabkan oleh mutasi genetik atau penghapusan fragmen gen kunci
tertentu.2

Thalassemia adalah kelainan monogenetik paling umum di seluruh dunia. Sekitar


20% populasi dunia membawa sifat thalassemia α dan 5,2% populasi membawa
varian gangguan hemoglobin yang signifikan termasuk thalassemia β.3 Prevalensi
terbanyak dijumpai di daerah-daerah seperti Mediterania, Timur Tengah, Asia
4
Selatan, Semenanjung Cina, Asia Tenggara, serta Kepulauan Pasifik. Indonesia
merupakan negara yang berada dalam sabuk thalassemia dengan prevalensi karier
thalasemia mencapai sekitar 3,8% dari seluruh populasi. Berdasarkan data dari
Yayasan Thalassaemia Indonesia, terjadi peningkatan kasus Talasemia yang terus
menerus sejak tahun 2012 (4896) hingga tahun 2018 (8761). Menurut Riskesdas
2007, 8 provinsi dengan prevalensi lebih tinggi dari prevalensi nasional, antara lain
Provinsi Aceh (13,4%), DKI Jakara (12,3%), Sumatera Selatan (5,4%), Gorontalo
(3,1%), Kepulauan Riau (3,0%), Nusa Tenggara Barat (2,6%), Maluku (1,9%), dan
Papua Barat (2,2%).5

Sampai saat ini diketahui bahwa pengobatan definitif yang menyembuhkan secara
total terhadap penyakit Thalassemia belum ditemukan. Terapi suportif dengan
transfusi rutin masih menjadi kendala bagi sebagian besar pasien Thalassemia di
negara-negara dengan keterbatasan ekonomi.4 Mayoritas dari thalasemia mayor
membutuhkan transfusi darah secara teratur dan juga terapi kelasi besi. Meskipun
kelangsungan hidup penderita thalassemia mayor meningkat dan sebagian besar
bertahan sampai dewasa, tetapi kualitas hidup dan harapan hidup masih kurang
optimal.2
6

Penulisan ilmiah ini dibuat karena perjalanan penyakit thalassemia yang


menyebabkan anemia kronis sehingga perlu ada pendekatan mengenai penegakan
diagnosis dan tatalaksana yang efektif, serta menurut Standar Kompetensi Dokter
umum Indonesia thalassemia memiliki kompetensi 3A, artinya lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
hasil pemeriksaan penunjang dan memberikan usulan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya dalam konteks penilaian
kemampuan.6
7

BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn. JBM
b Tanggal Lahir : 16 Mei 1995
c Umur : 25 tahun
d Jenis Kelamin : Laki-laki
e Alamat : Kepulauan Bangka Belitung
f Pekerjaan : Tidak bekerja
g Agama : Islam
h Bangsa : Indonesia
i Suku Bangsa : Sumatera
j MRS : 21 April 2021
k No. RM : 00001098333

A. ANAMNESIS (Autoanamnesis pada tanggal 22 April 2021)


Keluhan utama : Pasien mengeluh badan semakin lemas sejak + 3 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak + 1 minggu SMRS pasien mengeluh badan lemas. Lemas semakin
memberat ketika beraktivitas. Pandangan berkunang ada, pusing tidak ada,
kuning pada mata ada. Mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada, lebam-lebam
atau bintik merah tidak ada, telinga berdenging tidak ada, nyeri pada sendi tidak
ada, nyeri perut tidak ada, nyeri tulang tidak ada. Demam ada, batuk tidak ada,
pilek tidak ada, nafsu makan menurun ada, penurunan berat badan tidak ada.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Muka sembab, konstipasi, kenaikan berat
badan, intoleransi dingin, kulit kering, dan rambut menjadi rapuh tidak ada.
Palpitasi, tremor, dan mudah mengantuk tidak ada. Sesak napas, rasa tidak
nyaman di dada, dan berdebar-debar tidak ada. Baal diarea sekitar mulut
disangkal. Kejang sebelumnya disangkal. Pasien hanya meminum obat
penambah darah yang biasa dikonsumsinya. Pasien telah didiagnosis
8

Thalassemia sejak 2 tahun lalu oleh dokter. Pasien rutin melakukan transfusi
darah.
Sejak + 3 hari SMRS pasien mengatakan lemas semakin bertambah
sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari, pasien hanya berbaring di tempat
tidur. Pusing ada, pucat ada, dan kuning pada mata ada. Mimisan tidak ada, gusi
berdarah tidak ada, lebam-lebam atau bintik merah tidak ada, telinga
berdenging tidak ada. Demam tidak ada, batuk tidak ada, pilek tidak ada. BAB
dan BAK tidak ada keluhan, Riwayat pernikahan antar keluarga disangkal.
Pasien juga mengaku mengkonsumsi deferasirox, asam folat, vitamin B, dan
tablet kalsium. Pasien dibawa ke RSMH untuk kontrol.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat darah tinggi tidak ada
Riwayat kencing manis tidak ada
Riwayat sakit kuning ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat dengan keluhan serupa disangkal
Riwayat penyakit thalassemia disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal

Riwayat Kebiasaan
Pasien mengkonsumsi deferasirox, B1 B6 B12, asam folat dan tablet kalsium.
Merokok dan mengonsumsi minuman keras disangkal.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan tidak ada
9

Riwayat Pengobatan
Pasien sering melakukan transfusi darah berulang, kadang 1,5 bulan atau 2
bulan sekali. Transfusi terakhir PRC 3 kantong 2 bulan yang lalu
Asam Folat 3x1 tab PO
Deferasirox 1x2 tab PO
Vitamin B1 1x1 tab PO
Vitamin B6 1x1 tab PO
Vitamin B12 1x1 tab PO
Tablet kalsium 500 mg 1x1 tab PO

Riwayat pekerjaan dan sosial ekonomi: Pasien merupakan petani karet.


Kesan ekonomi rendah.

B. PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan fisik pada tanggal 22 April 2021)


1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
a. Kesadaran : Compos mentis, GCS 15(E4M6V5)
b. Tekanan darah : 120/70mmHg
c. Heart rate : 80 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
d. Respiratory rate : 18 kali/menit, regular, tipe thoracoabdominal
e. Temperature : 36.8oC
f. Berat badan : 50 kg
g. Tinggi badan : 160 cm
h. IMT : 19,5 kg/m2
i. Status gizi : Normoweight

2. Keadaan Spesifik
a. Kepala
Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia (-), facies cooley (+)

b. Mata
10

Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), pupil
bulat isokor, refleks cahaya (+/+), visus tidak diperiksa, lensa jernih (+)

c. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-)

d. Mulut
Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), sariawan (-), glositis (-), gusi
berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi papil lidah (-), tonsil normal,
faring hiperemis (-)

e. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri
tekan mastoid (-)

f. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-) normal, pembesaran kelenjar
tiroid (-)

g. Thoraks : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)


Paru
• Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
• Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
• Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
• Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
• Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
• Perkusi : Batas jantung atas ICS II
11

Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra


Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis
sinistra
• Auskultasi : BJ I-II normal, regular, murmur (-), gallop (-)

h. Abdomen
Inspeksi : Cembung, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, 5x/menit
Palpasi : Lemas, Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae,
konssitensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul,
nyeri tekan (-), lien teraba di schuffner VI, nyeri
tekan (-) Ginjal tidak teraba, ballottement (-/-), nyeri
tekan (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-)

i. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

j. Ekstremitas : Akral hangat, pucat (+/+), hiperpigmentasi (+),


edema pretibial (-), CRT <2 detik, nyeri (-), bengkak (-).

3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (21-4-2021)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 7.3 (↓) g/dL 13,48-17,40
Eritrosit 3.62 (↓) 104/mm3 4,40-6,30
Leukosit 3.84 (↓) 4,73-10,89
Hematokrit 24 (↓) % 41-51
Trombosit (plt) 111 (↓) 103/uL 170-396
12

RDW-CV 31,60 (↑) % 11-15


Hitung Jenis
• Basofil 0 % 0-1
• Eosinofil 2 % 2-6
• Neutrofil 50 % 50-70

• Limfosit 41 (↑) % 20-40

• Monosit 7 % 2-8

Retikulosit 2.21 (↑) % 0,50-1,50


Kimia Klinik
Kalsium (Ca) 8,5 (↓) mg/dL 8,8-10,2
Hati
Bilirubin total 4,40 (↑) mg/dL 0,1-1,0
Bilirubin Direk 1,10 (↑) mg/dL 0-0,2
Bilirubin Indirek 3,30 (↑) mg/dL <0,8
AST/SGOT 68 (↑) U/L 0-38
ALT/SGPT 52 (↑) U/L 0-41
LDH 639 (↑) U/L 240-480
Ginjal
Asam Urat 11,1 (↑) mg/dL < 8,4
Imunoserologi
Ferritin 1146 (↑) ng/mL 21,81-274,66

4. Diagnosis Kerja
- Thalassemia beta-mayor dengan manifestasi hemosiderosis dan anemia
sedang serta ikterus

5. Diagnosis Banding
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia aplastik
- Anemia penyakit kronik
13

- Ikterus et causa hepatitis C


- Ikterus obstruktif

6. Tatalaksana
1. Non-Farmakologi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai komplikasi, tatalaksana dan
prognosis thalassemia kepada pasien dan keluarga
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dapat tertular
melalui darah, misalnya hepatitis B, hepatitis C, dan HIV.
- Transfusi darah PRC 800 cc dengan target Hb 11,5 g/dL

2. Farmakologi
- Asam Folat 3x1 tab PO
- Deferasirox 1x2 tab PO
- Vitamin B1 1x1 tab PO
- Vitamin B6 1x1 tab PO
- Vitamin B12 1x1 tab PO
- Kalsium Karbonat 500 mg 1x1 tab PO

7. Rencana Pemeriksaan
- Test Coombs
- Imunoserologi hepatitis (HbsAg, anti-HCV)
- USG Abdomen

8. Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : dubia ad malam
c. Quo ad sanationam : dubia ad malam
14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Thalasemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis
hemoglobin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai
globin. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai
beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), HbA2 (α2δ2 = 2,5%), dan HbF (α2ƴ2 =
0,5%). Pada umumnya, rantai globin yang disintesis dalam eritrosit thalassemia
secara struktural adalah normal. Pada bentuk thalassemia-α yang berat, terbentuk
hemoglobin hemotetramer abnormal (β4 atau γ4) tetapi komponen polipeptida
globin mempunyai struktur normal. Sebaliknya, sejumlah Hb abnormal juga
menyebabkan perubahan hemotologi mirip thalassemia. 1,7

3.2 Epidemiologi
Berdasarkan data terdapat sekitar 7% populasi dunia sebagai pembawa sifat
thalassemia dengan kematian sekitar 50.000 – 100.000 anak, 80% nya terjadi di
negara berkembang. Indonesia merupakan negara yang berada dalam sabuk
thalassemia dengan prevalensi karier thalassemia mencapai sekitar 3,8% dari
seluruh populasi. Berdasarkan data dari Yayasan Thalassaemia Indonesia, terjadi
peningkatan kasus thalassemia yang terus menerus sejak tahun 2012 (4896) hingga
tahun 2018.3

3.3 Etiologi
Thalassemia disebabkan oleh mutasi pada gen globin dan menurun secara
autosomal resesif yang berarti bahwa kedua orang tua merupakan penderita ataupun
karier yang dapat menurunkan penyakit ini ke generasi selanjutnya. Mutasi atau
delesi terjadi pada gen Hb menghasilkan produksi yang kurang atau tidak adanya
rantai alfa maupun beta. Terdapat lebih dari 200 mutasi yang teridentifikasi sebagai
penyebab thalassemia. Alfa thalassemia disebabkan oleh delesi dari gen alfa-globin,
dan beta thalassemia disebabkan dari mutase titik (point mutation) pada tempat
persambungan dan daerah dari gen beta-globin pada kromosom 11.8
15

3.4 Klasifikasi 7,14


Berdasarkan kelainan klinis, thalassemia terbagi atas tiga pembagian utama
yaitu: thalassemia mayor, thalassemia intermedia, dan thalassemia minor.
Kriteria utama untuk membagi 3 bagian itu berdasarkan gejala, tanda klinis,
awitan kebutuhan transfusi darah yang digunakan untuk terapi suportif pasien
thalassemia.
1. Thalassemia Mayor
Thalassemia mayor adalah bentuk thalassemia yang paling berat yang
disebabkan oleh delesi semua gen globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis
rantai α sama sekali. Gejala thalassemia mayor secara umum muncul pada usia
7 bulan awal pertumbuhan bayi atau setidaknya pada bawah tiga tahun (balita).
Gejala awal adalah keadaan pucat pada kulitnya terlihat pada bagian telapak
tangan, mata bagian kelopak mata sebelah dalam, daerah perut, dan semua
permukaan kulit. Beberapa masalah seperti diare, lemah, serangan demam
berulang, dan pembesaran perut progresif yang disebabkan oleh pembesaran
limpa dan hati dapat menjadi alasan pasien untuk datang ke pelayanan
kesehatan. Gambaran klinis thalassemia ditandai dengan keterlambatan
pertumbuhan, pucat, ikterus, hipotrofi otot, genu valgum, hepatosplenomegali,
ulkus kaki, dan perubahan tulang yang disebabkan oleh perluasan sumsum
tulang. Tulang rangka akan mengalami perubahan struktur terutama pada tulang
panjang, perubahan khas daerah kraniofasial, dahi yang menonjol, depresi dari
jembatan hidung, kecenderungan untuk kenampakan mata mongoloid, dan
hipertrofi maxillae yang cenderung mengekspos gigi atas (tonggos). Gangguan
pertumbuhan dan malnutrisi sering dialami oleh pasien thalassemia mayor.
Komplikasi merupakan penyebab kematian para pasien thalassemia mayor.
Sistem organ yang paling sering menyebabkan gangguan berturut-turut adalah
organ endokrin meliputi gangguan pertumbuhan akibat supresi growth hormon,
pubertas terlambat dan hipogonadism, gangguan fertilitas, diabetes melitus
(DM), sampai dislipidemia. Penyebab kematian paling tinggi pada pasien
thalassemia adalah gangguan jantung termasuk kardiomiopati.
16

2. Thalassemia Intermedia
Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan merepresentasikan suatu
thalassemia-β+. Bentuk silent carrier thalassemia-β tidak menimbulkan
kelainan yang dapat diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi gen
untuk keadaan ini, jika diwariskan bersama-sama dengan gen untuk
thalassemia-β°, menghasilkan sindrom thalassemia intermedia. Seperti
thalassemia mayor, individu dengan thalassemia intermedia terjadi akibat
kelainan pada 2 kromosom yang menurun dari ayah dan ibu. Perbedaan ada
pada jenis gen mutan yang menurun. Individu thalassemia mayor menurun
2 gen mutan bertipe mutan berat, sedangkan pada thalassemia intermedia 2
gen tersebut merupakan kombinasi mutan berat dan ringan, atau mutan
ringan dan mutan ringan. Secara klinis thalassemia intermedia menunjukkan
gejala dan tanda yang sama dengan thalassemia mayor, namun lebih ringan
dari gambaran thalassemia mayor. Penderita mengalami anemia ringan,
nilai eritrosit abnormal, dan elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan
peningkatan jumlah Hb A2, Hb F atau keduanya. Individu dengan ciri (trait)
thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi dan
mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama waktu
yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait thalassemia-β
mempunyai peningkatan Hb-A2. Pasien intermedia tidak rutin dalam
memenuhi transfusi darah nya, terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan
sekali atau bahkan 1 tahun sekali. Pasien thalassemia intermedia ini dapat
cenderung menjadi mayor ketika anemia kronis tidak tertangani dengan baik
dan sudah menyebabkan gangguan organ-organ seperti hati, ginjal,
pankreas, dan limpa.9,10

3. Thalassemia Minor
Thalassemia minor bisa juga disebut sebagai pembawa sifat, traits,
pembawa mutan, atau karier thalassemia. Karier thalassemia tidak
menunjukan gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini bisa dipahami karena
17

abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan salah satu dari dua
kromosom yang dikandungnya, bisa dari ayah atau dari ibu. Satu gen yang
normal masih mampu memberikan kontribusi untuk proses sistem
hematopoiesis yang cukup baik. 9,10
Stadium Thalassemia
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalassemia berdasarkan
jumlah kumulatif transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk
menentukan tingkat gejala yang melibatkan kardiovaskuler dan untuk
memutuskan kapan untuk memulai terapi khelasi pada pasien dengan
thalassemia-β mayor atau intermedia. Pada sistem ini, pasien dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu :
1. Stadium I
Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit
Packed Red Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada
echokardiogram (ECG) hanya ditemukan sedikit penebalan pada
dinding ventrikel kiri dan elektrokardiogram (EKG) dalam 24 jam
normal.
2. Stadium II
Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC
dan memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan dan
dilatasi pada dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial dan
ventricular abnormal pada EKG dalam 24 jam.
3. Stadium III
Gejala berkisar dari palpitasi hingga gagal jantung kongestif,
menurunnya fraksi ejeksi pada ECG. Pada EKG dalam 24 jam
ditemukan pulsasi premature dari atrial dan ventrikular. 9,10

3.5 Patofisiologi
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan
produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin
tertentu (α,β,γ,δ) akan menghentikan sintesis Hb dan menghasilkan
18

ketidakseimbangan dengan terjadinya produksi rantai globin lain yang


normal.7,12,13
Karena dua tipe rantai globin (α dan non-α) berpasangan antara satu sama
lain dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka akan terjadi
produksi berlebihan dari rantai globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai
tersebut di dalam sel menyebabkan sel menjadi tidak stabil dan memudahkan
terjadinya destruksi sel. Ketidakseimbangan ini merupakan suatu tanda khas
pada semua bentuk thalassemia. Karena alasan ini, pada sebagian besar
thalassemia kurang sesuai disebut sebagai hemoglobinopati karena pada tipe
thalassemia tersebut didapatkan rantai globin normal secara struktural dan juga
karena defeknya terbatas pada menurunnya produksi dari rantai globin tertentu.
7,12,13

Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi.


Reduksi bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama
sekali (complete absence). Sebagai contoh, apabila rantai β hanya sedikit
diproduksi, tipe thalassemia-nya dinamakan sebagai thalassemia-β+, sedangkan
tipe thalassemia-β° menandakan bahwa pada tipe tersebut rantai β tidak
diproduksi sama sekali. Konsekuensi dari gangguan produksi rantai globin
mengakibatkan berkurangnya deposisi Hb pada sel darah merah
(hipokromatik). Defisiensi Hb menyebabkan sel darah merah menjadi lebih
kecil, yang mengarah kegambaran klasik thalassemia yaitu anemia hipokromik
mikrositik. Hal ini berlaku hampir pada semua bentuk anemia yang disebabkan
oleh adanya gangguan produksi dari salah satu atau kedua komponen Hb : heme
atau globin. Namun hal ini tidak terjadi pada silent carrier, karena pada
penderita ini jumlah Hb dan indeks sel darah merah berada dalam batas normal.
7,12,13

Pada tipe trait thalassemia-β yang paling umum, level Hb A2 (δ2/α2)


biasanya meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai
δ oleh rantai α bebas yang eksesif, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan
rantai β adekuat untuk dijadikan pasangan. Gen δ, tidak seperti gen β dan α,
diketahui memiliki keterbatasan fisiologis dalam kemampuannya untuk
19

memproduksi rantai δ yang stabil dengan berpasangan dengan rantai α, rantai δ


memproduksi Hb A2 (kira-kira 2,5-3% dari total Hb). Sebagian dari rantai α
yang berlebihan digunakan untuk membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai α)
akan terpresipitasi di dalam sel, bereaksi dengan membran sel, mengintervensi
divisi sel normal, dan bertindak sebagai benda asing sehingga terjadinya
destruksi dari sel darah merah. Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai
yang berlebihan bervariasi berdasarkan tipe dari rantai itu sendiri (misalnya
toksisitas dari rantai α pada thalassemia-β lebih nyata dibandingkan toksisitas
rantai β pada thalassemia-α).7,12,13
Dalam bentuk yang berat, seperti thalassemia-β mayor atau anemia Cooley,
berlaku patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya substansial yang
berlebihan. Kelebihan rantai α bebas yang signifikan akibat kurangnya rantai β
akan menyebabkan terjadinya pemecahan prekursor sel darah merah di sumsum
tulang (eritropoesis inefektif).7,12,13
Produksi Rantai Globin
Suatu unit rantai globin merupakan komponen utama untuk membentuk Hb
bersama-sama dengan Heme, rantai globin menghasilkan Hb. Dua pasangan
berbeda dari rantai globin akan membentuk struktur tetramer dengan Heme
sebagai intinya. Semua Hb normal dibentuk dari dua rantai globin α (atau mirip-
α) dan dua rantai globin non-α. Bermacam-macam tipe Hb terbentuk,
tergantung dari tipe rantai globin yang membentuknya. Masing-masing tipe Hb
memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengikat oksigen, biasanya
berhubungan dengan kebutuhan oksigen pada tahap-tahap perkembangan yang
berbeda dalam kehidupan manusia.
Pada masa kehidupan embrionik, rantai ζ(rantai mirip-α) berkombinasi
dengan rantai γ membentuk Hb Portland (ζ2γ2) dan dengan rantai ε untuk
membentuk Hb Gower-1 (ζ2ε2). Selanjutnya, ketika rantai α telah diproduksi,
dibentuklah Hb Gower-2, berpasangan dengan rantai ε (α2ε2). Hb Fetal
dibentuk dari α2γ2 dan Hb dewasa primer (Hb A) dibentuk dari α2β2. Hb
fisiologis yang ketiga, Hb A2, dibentuk dari rantai α2δ2. 7,12,13
20

Patofisiologi Seluler
Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah ketidakseimbangan
sintesis rantai globin. Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai
globin yang berlebihan berbedabeda pada tiap tipe thalassemia. Pada
thalassemia-β rantai α yang berlebihantidak mampu membentuk Hb tetramer
terpresipitasi di dalam prekursor sel darah merah dan, dengan berbagai cara
menimbulkan hampir semua gejala yang bermanifestasi pada sindroma
thalassemia-β, situasi ini tidak terjadi pada thalassemia-α.
Rantai globin yang berlebihan pada thalassemia-α adalah rantai γ pada
tahun-tahun pertama kehidupan dan rantai β pada usia yang lebih dewasa.
Rantai-rantai tipe ini relative bersifat larut sehingga mampu membentuk
homotetramer yang, meskipun relatif tidak stabil, mampu tetap bertahan
(viable) dan dapat memproduksi molekul Hb seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H
(β4). Perbedaan dasar pada dua tipe utama ini mempengaruhi perbedaan besar
pada manifestasi klinis dan tingkat keparahan dari penyakit ini.
Rantai α yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat
tidak larut (insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran
sel (mengakibatkan kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya destruksi intramedular dari prekursor sel
darah merah. Sebagai tambahan, sel-sel yang bertahan yang sampai ke sirkulasi
darah perifer dengan intracellular inclusion bodies (rantai yang berlebih) akan
mengalami hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis maupun eritropoesis
inefektif menyebabkan anemia pada penderita dengan thalassemia-β.
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi
dari rantai γ, yang mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai α yang
berlebihan untuk membentuk Hb F, adalah suatu hal yang menguntungkan.
Ikatan dengan sebagian rantai berlebih tidak diragukan lagi dapat mengurangi
gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb tambahan yang memiliki
kemampuan untuk membawa oksigen.
Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia
berat, menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada
21

penderita dengan thalassemia-β. Peningkatan level Hb F akan meningkatkan


afinitas oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia, dimana bersama-sama
dengan anemia berat akan menstimulasi produksi dari eritropoetin. Akibatnya,
ekspansi luas dari massa eritroid yang inefektif akan menyebabkan ekspansi
tulang berat dan deformitas. Baik penyerapan besi dan laju metabolisme akan
meningkat, berkontribusi untuk menambah gejala klinis dan manifestasi
laboratorium dari penyakit ini. Sel darah merah abnormal dalam jumlah besar
akan diproses di limpa, yang bersama-sama dengan adanya hematopoesis
sebagai respon dari anemia yang tidak diterapi, akan menyebabkan
splenomegali masif yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya
hipersplenisme.
Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah
secara teratur, maka ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis
inefektif dapat dicegah atau dikembalikan seperti semula. Memberikan sumber
besi tambahan secara teori hanya akan lebih merugikan pasien. Namun, hal ini
bukanlah masalah yang sebenarnya karena penyerapan besi diregulasi oleh dua
faktor utama : eritropoesis inefektif dan jumlah besi pada penderita yang
bersangkutan. Eritropoesis yang inefektif akan menyebabkan peningkatan
absorpsi besi karena adanya downregulation dari gen HAMP yang
memproduksi hormone hepar yang dinamakan hepcidin, regulator utama pada
absorpsi besi di usus dan resirkulasi besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada
penderita dengan thalassemia intermedia. Dengan pemberian transfusi darah,
eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki, dan terjadi peningkatan jumlah
hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan berkurang dan makrofag akan
mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi
besi menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak
terjadi pada penderita thalassemia-β berat karena diduga faktor plasma
menggantikan mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya produksi hepsidin
sehingga absorpsi besi terus berlangsung meskipun penderita dalam keadaan
iron overload.
22

Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain
bernama ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag
menuju plasma dan menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin
diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini
juga menjelaskan mengapa penderita dengan thalassemia-β yang memiliki
jumlah besi yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan
apakah mereka mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh,
penderita thalassemia-β intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah
memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah dibandngkan dengan penderita yang
mendapatkan transfuse darah secara teratur, meskipun keduanya memiliki
jumlah besi yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan
protein pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada
thalassemia berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma.
Besi ini cukup berbahaya karena memiliki material untuk memproduksi
hidroksil radikal dan akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ, seperti
jantung, kelenjar endokrin, dan hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada
organ-organ tersebut (organ damage).7,12,13

3.6 Diagnosis
Diagnosis thalassemia dibedakan menurut tiga jenis kriteria utama, yaitu
kriteria klinis, kriteria laboratorium, dan kriteria DNA. Diagnosis klinis hanya
fokus pada Thalassemia mayor atau yang bergantung transfusi. Algoritma
penegakan diagnosis Thalassemia dirangkum pada Gambar 1.10
3.1. Diagnosis Klinis
3.1.1. Anamnesis10
Pada anamnesis pasien thalassemia dapat ditemukan
a. Pada thalassemia mayor dengan mutasi yang moderat atau ringan dan
campuran mutasi tipe berat-ringan, usia awitan pucat pada umumnya
didapatkan pada usia yang lebih dewasa seperti usia 3-10 tahun.
23

b. Riwayat transfusi berulang; anemia yang berulang, memerlukan


transfusi berkala. Fasilitas kesehatan perifer yang tidak lengkap,
terkadang melewatkan diagnosis utama thalassemia mayor.
c. Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang. Satu
saudara lain yang terdiagnosis thalassemia dapat menjadi catatan
penting rekam medis.
d. Keluhan perut buncit atau membesar karena hepatosplenomegali,
terutama pada kasus anemia lama yang tidak mendapatkan transfusi.
e. Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat. Hal ini akibat
disturbansi hormon-hormon yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.

3.1.2. Pemeriksaan Fisik


Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik pada
anak dengan Thalassemia yang bergantung transfusi adalah: 14,15
a. Pucat, dokter harus memeriksa bagian konjungtiva bagian bawah.
b. Sklera tampak ikterik kekuningan akibat bilirubin yang meningkat.
c. Facies Cooley seperti dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata
melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi.
d. Hepatosplenomegali, akibat proses eritropoiesis yang berlebih dan
destruksi sel darah merah pada sistem retikuloendotelial (RES).
e. Gagal tumbuh, periksa dengan mengukur TB dan BB kemudian
bandingkan dengan persentil anak normal lainnya.
f. Gizi kurang, perawakan pendek.
g. Pubertas terlambat akibat gangguan hormon pertumbuhan karena
deposit besi pada jaringan.
h. Hiperpigmentasi kulit, akibat timbunan besi yang berlebih.
3.2. Diagnosis Hematologi
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosis thalassemia
adalah sebagai berikut 15,16
24

3.2.1. Darah Perifer Lengkap 15,16


a. Anemia atau kadar hemoglobin rendah dijumpai pada Thalassemia
mayor cukup berat dengan kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL.
Terkadang pada jenis HbE/Thalassemia, Hb dapat mencapai 8 atau 9
g/dL.
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan
MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapet menyingkirkan
kemungkinan Thalassemia trait dan hemoglobinopati.
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk
skrining pembawa sifat Thalassemia (trait), Thalassemia dß, dan High
Persisten Fetal Hemoglobine (HPFH),
d. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean
corpusculara haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia
mayor biasanya memiliki MCV 50-60 fL dan MCH 12-18 pg.
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada Thalassemia, dan
juga pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih
sedikit dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suspectible to
storage changes). Oleh karena itu pada MCV dan MCH yang sedikit
lebih rendah dari normal, untuk memastikan apakah hal tersebut
disebabkan oleh Talsemia (minor) atau defisiensi besi, maka perlu
dilakukan uji suplementasi besi.

3.2.2. Gambaran Darah Tepi


Uji gambaran darah tepi dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis
hematologi rutin. Pada laboratorium skala Puskesmas teknik ini dapat
membantu klinisi untuk mendiagnosis Thalassemia baik minor maupun mayor.
15,16

a. Pada Thalassemia mayor hampir dapat ditemukan semua jenis kelainan


eritrosit. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit
dan tear-drop), mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan
Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek
25

hemoglobinisasi dan diseritropoiesis). Sedangkan pola hemoglobin pada


elektroforesis, abnormal dengan β thalassemia; bisa normal dengan α
thalassemia.
b. Total hitung dan neutrofil meningkat. Bila telah terjadi hipersplenisme
dapat ditemukan leukopenia, neutropenia, dan trombositopenia.
c. Pada Thalassemia α terutama pada karier dan badan inklusi HbH (heinz
body) dapat ditemukan pada pemeriksaan. Badan iklusi ini terjadi akibat
gambaran hemoglobin yang terdenaturasi atau tidak aktif.
d. Red Cell Distribution Width (RDW). RDW menyatakan variasi ukuran
eritrosit dalam darah. RDW didapatkan pada waktu pemeriksaan
hematologi rutin. Anemia defisiesi besi memiliki RDW yang meningkat
>14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada Thalassemia mayor. Thalassemia
mayor dan intermedia menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi
nilainya.
e. Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien
thalassemia memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan
pada anemia defisiensi besi akan diperoleh hasil yang rendah.

3.2.3. Elektroforesis Hemoglobin


Pada thalassemia beta mayor ditemukan penurunan HbA, peningkatan HbF
dan HbA2. Jika HbA2 >20%, kemungkinan pasien mengalami HbE (jenis
kelainan Hb lain, bukan thalassemia).
26

Gambar 1. Algoritma penegakan diagnosis Thalassemia

3.7 Tatalaksana
Penyakit Thalassemia adalah salah satu penyakit katastropik yang
memerlukan pengelolaan sejak diagnosa ditegakkan. Pengelolaan utama ada pada
kriteria mayor yang secara klinis menunjukkan gejala klinis anemia dan semua
turunan gejala akibat anemia dan ketidakmampuan eritrpoiesis yang efektif.18
27

4.1. Tatalaksana Farmakologis


4.1.1. Terapi Suportif
1. Transfusi Darah
Transfusi wajib diberikan jika Hb<7 mg/dL seteleh pemeriksaan 2 kali
dengan jeda lebih dari 2 minggu, tanpa penyebab lain seperti infeksi, trauma,
penyakti kronis lainnya. Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai
Hb. Bila kadar Hb pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang ditransfusikan berkisar
10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan 5 mL/kg/jam. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau
kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah yang
ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan transfusi dikurangi
hingga 2 mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan. Pemberian diuretik
dapat diindikasikan jika pasien memiliki penyakit jantung.11,18
Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb tetap pada level
9 - 9.5 gr/dL sepanjang waktu. Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah
reguler, maka dibutuhkan suatu studi lengkap untuk keperluan pretransfusi.
Pemeriksaan tersebut meliputi fenotip sel darah merah, vaksinasi hepatitis B (bila
perlu), dan pemeriksaan hepatitis. Darah yang akan ditransfusikan harus rendah
leukosit, 10-15 mL/kg PRC dengan kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu
biasanya merupakan regimen yang adekuat untuk mempertahankan nilai Hb yang
diinginkan. Pertimbangkan pemberikan asetaminofen dan difenhidramin sebelum
transfusi untuk mencegah demam dan reaksi alergi. 11,18
Target Hb setelah transfusi adalah di atas 10 mg/dL namun jangan lebih dari
14 mgdL. Pasien diharapkan melakukan transfusi kembali sebelum Hb drop
dibawah 8 mgdL, artinya bahwa pasien diedukasi untuk kembali melakukan
transfusi dengan Hb pretransfusi tidak kurang dari 9,5 mg/dL. Pemberian darah
dengan Hb pretransfusi di atas 9 mg/dL dapat mencegah eritropoiesis
ekstrameduler, mencegah kerusakan organ, meningkatkan ketahanan tubuh,
menekan kebutuhan darah di masa mendatang, dan mengurangi serapan besi di
saluran cerna. Darah yang digunakan adalah sama dalam jenis ABO dan Rh nya,
tipe leucodepleted yang telah menjalani uji skrining nucleic acid testing (NAT)
28

untuk menghindari infeksi tertularnya penyakit lain. Pasien harus kembali setiap 3
minggu, 4 minggu atau lebih disesuaikan dengan Hb pratransfusi. 11,18
Pada tata kelola transfusi perlu diperhatikan reaksi imunologi seperti reaksi
alergi, reaksi hemolitik akut, dan reaksi yang bersifat lambat. Memastikan
kebutuhan darah sebelum transfusi sesuai dengan jenisnya, penggunaan washed
packed red cells dapat mengurangi reaksi alergi yag ditimbulkan. Jika reaksi alergi
timbul penanganan disesuaikan dengan gejala dan tanda klinisnya seperti
penghentian laju transfusi atau memperlambat, pemberian oksigen, agen
imunosupresan dan steroid. 11,18
2. Terapi Kelasi (Pengikat Besi)
Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat
menunda onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat
mencegah kelainan jantung tersebut. 11,18
Chelating agent yang biasa dipakai adalah DFO yang merupakan kompleks
hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat
penting untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi
negatif (lebih banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak
diserap di usus, maka rute pemberiannya harus melalui parenteral (intravena,
intramuskular, atau subkutan). Dosis total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari
diinfuskan selama 8-12 jam saat pasien tidur selama 5 hari/minggu. 11,18

2. Splenektomi
Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada
pasien dengan thalassemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi
nontoksik (yaitu fungsi penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel
darah merah dan distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu dipertimbangkan
sebelum memutuskan melakukan splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai
penyimpanan untuk besi nontoksik, sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi
tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat membahayakan. Sebaliknya,
splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi hiperaktif menyebabkan
29

penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan demikian meningkatkan
kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi besi.
Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari 200-
250 mL/kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL karena
dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%. Trombosis pasca
splenektomi-dengan frekuensi yang sedikit, adalah komplikasi lain yang dapat
terjadi pasca tindakan operatif. 11,18

4.1.2 Terapi Definitif


Penyebab utama dari pasien thalassemia adalah gangguan mutasi gen yang
ada dan dibawa oleh setiap sel, termasuk sel-sel dalam sistem eritropoiesis.
Transfusi adalah terapi suportif untuk menunjang kehidupan akibat kekurangan
hemoglobin. Satu satunya jalan definitf adalah mengganti gen-gen mutan dalam
sel-sel progenitor eritrosit menjadi normal kembali. Beberapa alternatif terpai
definitif yang sudah dilaksanakan dan dalam tahap penelitian adalah cangkok
sumsum tulang (Bone marrow transplantation-BMT) dan terapi gen (genetic
therapy). 17,19
1. Bone marrow transplantation-BMT
BMT atau cangkok sumsum tulang adalah terapi yang memungkinkan
penyandang Thalassemia tidak memerlukan transfusi rutin. Nama lain dari
teknik ini adalah hematopoietic stem cell transplantation/HSCT atau HCT. Pada
teknik ini dilakukan dengan melakukan penggantian sumsum tulang dari
pendonor kepada pasien Thalassemia. Transplantasi ini memerlukan
pengawasan dan pemilihan yang ketat semenjak perencanaan, pelaksanaan, dan
post transplantasi. Pasien Thalassemia diklasifikasikan sebelum pelaksanaan
HCT sebagai pasien Kelas 1, 2 atau 3 berdasarkan faktor risiko yang
mempengaruhi hasil setelah HCT. Faktor-faktor risiko ini termasuk diantaranya
adalah usia pasien- semakin muda >5 tahun lebih baik, kecukupan kelasi besi,
ada atau tidak adanya fibrosis hati, ada atau tidak adanya hepatomegali. Kelas
1 adalah mereka yang tidak memiliki faktor risiko; kelas 2, mereka yang
memiliki 1 atau 2 faktor risiko; dan kelas 3 adalah mereka yang memiliki semua
30

faktor risiko. Seleksi donor sangat penting karena transplantasi mungkin gagal
atau mematikan akibat komplikasi imunologis. Hasil terbaik adalah dengan
saudara kandung yang cocok dengan HLA. Namun, hanya 25% dari pasien
memiliki donor saudara yang cocok dengan HLA, dan dalam studi baru-baru
ini, <52% orang non-Eropa menemukan donor yang tidak terkait yang ternyata
cocok. Allogeneic hematopoietic stem cell transplantation (allo-SCT), saat ini
merupakan satu-satunya terapi transplantasi sumsum tulang yang paling
memungkinkan. Donor dapat berasal dari anggota keluarga atau seseorang yang
tidak terkait dengan pasien. Pasien dengan transplantasi HLA-matched related
allogenic tanpa faktor risiko memiliki tingkat harapan hidup/overall survival
(OS) 93% dan harapan hidup tanpa penyakit/disease-free survival (DFS) 91%.
Pasien dengan 1 atau 2 faktor risiko memiliki OS 87% dan DFS 83%, sedangkan
pasien dengan 3 faktor risiko memiliki OS 79% dan DFS 58%. Risiko kematian
pada transplantasi sekitar 10%.17,19
Saat ini sedang dikembangkan haploidentical transplantation yaitu
transplantasi alogenik dengan melibatkan transplantasi setengah-cocok atau
sebagian-cocok. Keuntungan dari haploidentical transplantation adalah
meningkatkan kemungkinan menemukan donor karena hampir setiap orang
memiliki setidaknya satu kerabat yang haploidentik. Beberapa laporan dari
center cangkok sumsum tulang menggunakan ibu kandung sebagai donor haplo
ini. Kerabat dapat diminta untuk menyumbangkan sel punca jauh lebih cepat
daripada donor sukarela di luar kekerabatan, terutama ketika donor sukarela
tinggal di negara lain, sehingga memungkinkan transplantasi dilakukan dengan
cara yang lebih tepat waktu. Penggunaan Haploidentical stem cell ini
memerlukan serangkaian perlakuan terhadap pengobatan profilaksis, dan
perlakuan stem cell untuk menghindari reaksi imun yang berlebih diantaranya
purifikasi sel CD34+, preparasi Busulfid, Fludarabine, dan tiothepa. 17,19
Saat ini teknik pencangkokan dengan deplesi atau menurunkan secara
efektif T-cell melalui selektif positive sel-sel CD34+, deplesi sel-sel
CD3+/CD19+ , atau deplesi T-cell receptor αβ+ (TCRαβ+)/CD19+, memiliki
peningkatan secara signifikan output dari teknik have haploidentical HCT
31

(haplo-HCT). Beberapa pusat cangkok sumsum tulang tengah meningkatkan


keberhasilan pasien dari Haplo-HCT dengan metode manipulasi baru yaitu
menghilangkan limposit T αβ+ sambil meretensi limposit γδ, sel-sel natural
killer (NK) , dan aksesoris sel-sel lainnya. 17,19

2. Terapi Gen
Susunan mutasi gen yang dikandung di dalam sel hematopoiesis. Penelitian
tentang gen terapi untuk Thalassemia telah berkembang cukup pesat sejak tahun
1990 an. Pada saat ini terapi gen telah memasuki tahap krusial, dengan
dicobakannya teknik ini pada beberapa pasien. Pendekatan terapi gen pada
Thalassemia adalah dengan melakukan harvesting sumsum tulang dari pasien,
kemudian sel-sel tersebut dilakukan kutlur dan pemeliharaan. Tahap
selanjutnya adalah dengan melakukan insersi gen yang normal ke kultur sel
tersebut dengan menggunakan perantara virus (umumnya adalah lentivirus).
Hasil insersi gen normal tersebut kemudian dilakukan transfusi kembali melalui
jalur Intra Vena kepada pasien. Pada pasien sebelum dilakukan transfusi
kembali dilakukan terapi untuk mengontrol efek immunologi yang dapat terjadi.
Penggunaan material lentivirus atau LTRs dapat mengakibatkan aktivasi respon
imun, sehingga perlu upaya untuk menghalangi timbulnya reaksi tersebut.
Perlakuan LTRs sebelum dimanfaatkan untuk insersi gen normal diantaranya
adalah inserti mutagenesis dan proto-oncogene activation.17

4.2 Tatalaksana Non-Farmakologis


Gangguan psikologis sangat dekat dengan kehidupan para penyandang
thalassemia. Rasa trauma sering terjadi akibat tindakan transfusi rutin yang
terkadang tidak langsung dapat berhasil, perlu diinjeksi berkali-kali untuk
mencari akses pembuluh darah. Pada remaja dan dewasa muda, terutama pada
usia sekolah, pasien thalassemia dapat mengalami gangguan kepercayaan diri,
stres, depresi akibat perlakuan lingkungan yang tidak seperti mereka harapkan.
Beberapa kasus dapat mengakibatkan penarikan diri dari lingkungan. Gangguan
psikologis juga muncul pada kehidupan reproduksi mereka mengingat kondisi
32

yang mereka alami. Penyandang kadang merasa takut dan tidak percaya diri
untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.16,24
Gangguan psikologis juga dapat mengena pada kedua orangtuanya. Stigma
masyarakat yang menganggap negatif penyakit keturunan dapat berakibat pada
rasa penyesalan, dan menarik diri dari lingkungan. Pada keadaan tersebut,
lingkungan harus mendukung perkembangan emosional dan psikologis pasien
thalassemia dengan berupaya menciptakan kondisi yang apa adanya, tidak ada
bullying/perundungan, keistimewaan ataupun restriksi. Kondisi psikis dapat
ditingkatkan dengan memberikan ruang kebebasan, rasa senasib
sepenenggungan, dan penguatan bersama dalam sebuah wadah penyandang,
rekreasi bersama dan kegiatan lain yang meningkatkan rasa kepercayaan diri.
Kepercayaan diri yang meningkat dapat berefek pada pengobatan dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya.20

4.2.1 Suplementasi Nutrisi


Pasien thalassemia mengalami berbagai kondisi metablisme akibat
gangguan anemia dan bisa mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Nutrisi pasien Thalassemia harus diperhatikan mengingat kondisi
iron overload akibat transfusi. Pemberian nutrisi antioksidan diindikasikan untuk
semua pasien seperti asupan yang mengandung kalsium, vitamin D, folat, trace
mineral (kuprum/ tembaga, zink, dan selenium), dan antioksidan (vitamin C dan E).
Suplementasi vitamin D yang direkomendasikan adalah 50.000 IU sekali seminggu
pada pasien dengan kadar 25-hidroksi vitamin D di bawah 20 ng/dL. Rokok dan
alkohol harus dihindari oleh pasien-pasien thalassemia karena dapat menyebabkan
osteoporosis, gangguan besi, dan mengganggu metabolisme hati. Makanan yang
mengandung besi harus dihindari atau dijaga dengan ketat seperti jeroan, hati,
daging yang berwarna merah. Suplementasi vitamin E 10 mg/kg atau 2x200 IU/hari
selama 4 minggu dipercaya dapat meningkatkan kadar Hb dan askorbat plasma.
Vitamin C berfungsi untuk memetabolisme besi dari penyimpanan di intraselular
dan secara efektif meningkatkan kerja DFO. Vitamin C dengan dosis tidak lebih
dari 2-3 mg/kg/hari diberikan bersama desferoksamin untuk meningkatkan ekskresi
33

besi. Selain itu asam folat juga direkomendasikan dosis 1-5 mg/kg/hari atau 2x1
mg/hari. Asam folat ini tidak perlu diberikan jika kadar Hb pretransfusi lebih dari
9 g/dL.11

4.2.2 Pemberian Kelasi Besi


Kelasi besi adalah kebutuhan utama kedua yang mengiringi transfusi darah
yang dilakukan. Pemberian transfusi rutin setiap bulan selama hidup dapat
menyebabkan penumpukan besi dalam tubuh. Sifat besi yang tidak bisa dikeluarkan
secara alami oleh tubuh harus dibantu dengan kelator agar bisa diekskresikan ke
luar tubuh. Indikator penumpukan besi dalam tubuh dapat dinilai melalui jumlah
kantong darah yang ditransfusikan, kadar serum feritin, transferin, biopsi hati untuk
mengukur kadar besi, mengukur besi melalui MRI, dan feritometer. Jika transfusi
darah sudah dilakukan sebanyak >10 kali, maka kadar besi secara umum sudah
meningkat diambang normal, zat kelator dapat diadministrasikan. Parameter lain
adalah kadar serum feritin di atas 1000 ng/mL, dan atau saturasi transferin ≥ 70 %.11
Ada 3 macam obat utama kelator yaitu Deferoksamin dengan nama dagang
Desferal, Deferiprone dengan merek Feriprox dengan konsumsi minum tablet, dan
Deferasirox (Exjade) dengan tablet berbentuk everfescen. Dosis deferoxsamin
adalah 30-60 /kgBB secara subcutan atau intramusculer. Deferoksamin memiliki
waktu paruh singkat sehingga perlu diberikan dengan durasi 8-12 jam per hari, 5-7
kali per minggu. Desferoksamin tidak disarankan pada pasien anak di bawah usia 2
tahun karena risiko toksisitas yang lebih tinggi. Deferiprone atau Feriprox, dosis
yang diberikan adalah 75-100 mg/kg per hari, dibagi dalam 3 dosis, diberikan per
oral sesudah makan. Efek pengobatan kelasi besi dapat dipantau dengan
menggunakan indikator serum feritin ataupun metode yang lebih valid adalah
dengan mengkur LIC (liver Iron Concentration). LIC dapat dikatakan baik jika
<7000 ug/g berat kering hati atau Feritin serum antara 1000-2500 ngmL. Pemberian
kelasi besi harus dimonitor kemungkinan- kemungkinan komplikasi atau efek
sampingnya. Efek samping ini bersifat individual diantaranya adalah : Gangguan
audiologi (telinga), katarak, gangguan pertumbuhan, reaksi alergi. Keluhan tersebut
34

terjadi pada obat Deferoksamin. Obat Deferiprone dan Deferasirox dapat


menyebabkan neutropenia, gangguan gastrointestinal, dan gangguan ginjal. 11

3.8 Komplikasi7,11
1. Pemantauan komplikasi
Komplikasi pengobatan (akibat transfusi) yaitu penumpukan besi
pada organ jantung (kardiomiopati), hemosiderosis hati, paru, dan organ
endokrin. Transmisi berbagai virus melalui transfusi juga dapat terjadi,
khususnya hepatitis B, hepatitis C, malaria, dan HIV. Risiko saat transfusi
seperti kelebihan darah atau transfusi yang terlalu cepat dapat menimbulkan
gagal jantung, dan dapat terjadi reaksi hemolitik akibat ketidakcocokan
darah yang diberikan. Kelebihan besi yang telah terjadi dalam jaringan
tubuh sangat sulit diatasi karena hanya sedikit kelator besi yang dapat
mengikat kelebihan besi dalam jaringan dan memerlukan waktu yang lama
untuk dapat mengembalikan kadar besi tubuh ke tingkat yang aman. 7,11

2. Komplikasi pada jantung


Pemeriksaan untuk membantu mendeteksi komplikasi pada jantung
meliputi pemeriksaan profil besi, EKG, ekokardiografi, dan MRI T2*.
Penanganan jantung dilakukan bersama dengan divisi kardiologi anak.
Komplikasi ini timbul terutama pada pasien dengan kadar feritin serum di
bawah 2500 μg/L, namun pemeriksaan feritin serum sesungguhnya tidak
sensitif untuk menilai kelebihan besi dan kardiomiopati.42 Gagal jantung,
aritmia, dan kematian mendadak masih dapat timbul pada pasien
asimptomatik dengan kadar feritin dibawah 2500 μg/L. Komplikasi pada
jantung masih reversibel dengan pemberian kelasi besi yang intensif. 7,11
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang relatif
mudah, murah, dan dapat dilakukan untuk memonitor fungsi jantung secara
rutin. Pemeriksaan ini dapat menilai fungsi sistolik jantung dengan
mengukur fraksi ejeksi dengan mengukur tinggi gelombang E, A dan rasio
E/A serta mengukur volume ventrikel. 7,11
35

Tatalaksana komplikasi jantung adalah dengan pemberian kelasi


besi secara intensif dengan menaikkan dosis, pemakaian obat anti-gagal
jantung, dan antiaritmia. Transfusi dilakukan dengan kecepatan yang lebih
lambat, target Hb pratransfusi sekitar 10 g/dL, dan selama transfusi perlu
memperhatikan tanda-tanda overload cairan. Siderosis jantung simtomatik
memerlukan desferoksamin intravena kontinu dengan dosis 50-60
mg/kg/hari. Terapi kombinasi menggunakan deferipron 75 mg/kg/hari
ditambah dengan desferoksamin 40-50 mg/kg/hari sekurangnya 5 kali
perminggu dapat pula menjadi pilihan. 7,11

3. Komplikasi Endokrin
Komplikasi endokrin meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek,
pubertas terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus,
osteoporosis, osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan
infertilitas. 7,11
Perawakan pendek umumnya sudah dapat ditentukan sejak usia
sekitar 10 tahun, karena pada usia tersebut kelenjar pituitari amat sensitif
terhadap toksisitas besi. Penggunaan desferoksamin sebelum usia 10 tahun
terbukti secara signifikan memberikan luaran yang lebih baik untuk
perkembangan seksual. Pengukuran berat badan, tinggi badan, tinggi duduk
dilakukan setiap kali kunjungan. Kecepatan pertumbuhan yang menurun
sekitar usia 8 hingga 12 tahun dipertimbangkan kemungkinan akibat
toksisitas besi atau akibat defisiensi hormon pertumbuhan. 7,11
Pubertas dikatakan terlambat jika tidak terdapatnya tanda-tanda seks
sekunder (pembesaran payudara) pada anak perempuan setelah usia 13
tahun, atau tidak bertambahnya volume testis menjadi ≥ 4ml pada anak
lelaki setelah usia 14 tahun. Pemeriksaan status pubertas secara klinis
dilakukan dengan menggunakan skala maturitas Tanner, dan sebaiknya
dilakukan secara berkala 1 kali setahun mulai usia ≥10 tahun. Jika terdapat
adanya tanda pubertas terlambat sebaiknya langsung di rujuk ke divisi
endokrin untuk dievaluasi dan diberikan tata laksana lebih lanjut. Diabetes
36

melitus didiagnosis apabila pemeriksaan gula darah puasa >126 mg/dL dan
pemeriksaan toleransi glukosa 2 jam post-prandial >200 mg/dL.
Pemeriksaan toleransi glukosa oral 2 jam post-prandial >140 dan <200
mg/dL mengindikasikan intoleransi glukosa. 7,11
Insufisiensi adrenal pada thalassemia relatif lebih jarang terjadi.
Gejalanya tidak terlalu khas dan dapat menyerupai keluhan yang umum
terjadi pada thalassemia seperti astenia, kelemahan otot, artralgia, dan
penurunan berat badan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai
fungsi adrenal adalah pemeriksan kadar basal serum kortisol, respon
kortisol yang distimulasi oleh ACTH atau insulin. 7,11

4. Komplikasi pada hati


Komplikasi hati umum terjadi pada thalassemia karena risiko tinggi
transmisi virus dari transfusi darah, toksisitas besi pada parenkim hati,
sistem bilier, dan toksisitas obat kelasi besi. Data Pusat Thalassemia (2009)
menyebutkan komplikasi infeksi merupakan penyebab kematian kedua
terbanyak (34%) setelah gagal jantung, terutama infeksi akibat virus
hepatitis. 7,11
Fungsi hati perlu dipantau secara berkala, dan kadar besi di hati
dijaga dalam batas aman sehingga tidak terjadi kerusakan hati progresif.
Perlu dilakukan penyesuaian dosis obat kelasi besi apabila sudah terjadi
penurunan fungsi hati. Transmisi virus hepatitis diminimalisasi dengan
memberikan darah yang sudah diskrining. Terapi yang paling baik untuk
saat ini adalah kombinasi antara PEG-interferon alfa dan ribavirin. Durasi
pengobatan ditentukan berdasarkan genotip HCV dan hasil dari viral load.
Kombinasi terapi ini dapat menyebabkan hemolisis dan kebutuhan transfusi
meningkat, sehingga diperlukan pemberian kelasi besi secara intensif
setelah selesai pengobatan. Tidak terdapat data yang mendukung bagaimana
efek yang ditimbulkan akibat penggunaan deferipron atau deferasiroks
bersama dengan penggunaan antivirus tersebut. 7,11
37

Pada pasien dengan atau tanpa hepatitis, kadar besi hati harus dapat
dijaga dalam kadar aman yaitu 2-7 mg/g berat kering pada pemeriksaan
MRI, sedangkan biopsi hati dilakukan untuk menentukan staging kerusakan
hati. 7,11

5. Komplikasi pada sistem muskuloskeletal


Thalassemia dapat menyebabkan komplikasi pada tulang, sehingga
diperlukan identifikasi dini dan penanganan yang tepat. Umumnya
komplikasi tulang lebih banyak karena transfusi yang tidak adekuat, efek
samping kelasi besi, diet rendah kalsium, vitamin D, dan rikets. Osteopenia
dan osteoporosis merupakan komplikasi tulang tersering pada thalassemia.
Etiologi berkurangnya densitas tulang bersifat multifaktorial, yaitu anemia
yang menyebabkan eksapansi sumsum tulang, usia pasien, lama penyakit,
penyakit hati kronik, defisiensi vitamin B, hipogonadisme, hipotiroid, dan
komplikasi endokrin lainnya.7,11
Pasien yang tidak mendapatkan transfusi secara adekuat akan
mengalami deformitas tulang terutama pada tulang kepala dan tulang wajah,
maloklusi gigi, dan sinusitis rekuren (akibat drainase inadekuat).7,11
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
kadar kalsium, fosfat, alkalin fosfatase, dan 25-hidroksi vitamin D darah.
Pemeriksaan pencitraan seperti MRI tulang belakang dan bone mineral
density (BMD) dapat dilakukan untuk pasien dengan keluhan nyeri tulang.
7,11

Transfusi darah adekuat serta diet cukup vitamin D dan kalsium;


suplemen kalsium diberikan 500-1000 mg/hari, dimulai sejak usia 12 tahun.
Suplementasi vitamin D diberikan 400-800 unit/hari bagi pasien dengan
kadar vitamin D yang rendah atau berisiko mengalami defisiensi vitamin D.
Osteoporosis umumnya terjadi pada usia 16 tahun dan dapat diterapi dengan
bifosfonat. Pemeriksaan densitas tulang panggul dan tulang belakang
dilakukan setiap 18-24 bulan, atau lebih cepat apabila ditemukan gejala.7,11
38

6. Komplikasi infeksi
Infeksi pada kondisi kelebihan besi
Kondisi kelebihan besi dapat meningkatkan risiko infeksi pada pasien
thalassemia, walaupun mekanismenya sampai sekarang belum terjelaskan.
Namun demikian, beberapa organisme terbukti lebih patogenik dalam kondisi
kelebihan besi, misalnya Klebsiella sp, Escherichia coli, Streptococcus
pneumonia, Pseudomonas aeroginosa, Legionella pneumophila, dan Listeria
monocytogenes. Hal ini mungkin terjadi karena pasien thalassemia dengan
kelebihan besi mengalami penurunan fungsi fagositosis dibandingkan individu
normal. 7,11
Penggunaan kelasi besi yang mengandung siderofor alami, yaitu
desferoksamin, juga dapat meningkatkan virulensi kuman tertentu. Kuman
Yersinia enterocolitica memiliki reseptor pada membran luarnya yang mampu
berikatan dengan desferoksamin dan menggunakannya sebagai sumber besi.
Jamur Mucormycosis juga dilaporkan berhubungan dengan infeksi pada pasien
dialisis yang menggunakan desferoksamin namun laporannya masih sporadik.
7,11

3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
Individu dengan trait Thalassemia memiliki angka harapan hidup normal.
Individu dengan Thalassemia beta mayor memiliki rerata usia 17 tahun dan
biasanya meninggal pada usia 30 tahun. Kematian sebagian besar disebabkan
oleh komplikasi jantung dan kelebihan besi. Prognosis dari pasien Thalassemia
mayor sangat bergantung pada kepatuhan pasien terhadap tatalaksana jangka
panjang seperti transfusi dan terapi kelasi.11,12
39

BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang dengan keluhan badan yang semakin lemas. Badan lemas
memiliki berbagai diagnosis banding berdasarkan sistem organ yang terlibat, antara
lain hematologi, metabolik, kardiovaskular ,paru, dan infeksi. Permasalahan pada
sistem hematologi akan dijumpai gejala umum dan khusus. Gejala umum meliputi
sindrom anemia yang akan muncul pada setiap anemia apapun penyebabnya
(mudah lelah, mata berkunang, mual, sesak napas, dan telinga berdenging) dan
gejala khusus untuk masing-masing jenis anemia, seperti anemia hemolitik (ikterus
dan hepatosplenomegali) dan thalasemia mayor (deformitas tulang). Pada sistem
metabolik, misalnya hipotiroid dapat disertai gejala muka sembab, konstipasi,
kenaikan berat badan, intoleransi dingin, kulit kering, dan rambut menjadi rapuh.
sementara pada hipoglikemia didapatkan palpitasi, tremor, penurunan kesadaran
yang disertai kadar glukosa darah yang rendah. Gejala sesak napas, rasa tidak
nyaman pada dada, berdebar-debar dapat menunjukkan gejala yang disebabkan
rendah perfusi darah pada gangguan sistem kardiovaskular. Gejala lainnya seperti
demam, mual muntah, dan nyeri dapat dipertimbangkan sebagai suatu infeksi.
Selain itu badan lemas dapat juga disebabkan oleh kondisi dehidrasi, nutrisi kurang,
obat-obatan, serta psikiatrik.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dalam kasus ini
memiliki gejala sindrom anemia, wajah facies cooley, konjungtiva dan palmar
pucat, sklera ikterik, hiperpigmentasi kulit, distensi abdomen, dan
hepatosplenomegali. Temuan klinis tersebut mengarah pada masalah sistem
hematologi, yaitu anemia. Ikterus merupakan perubahan warna kulit, sklera mata
atau jaringan lainnya (membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan
oleh peningkatan kadar bilirubin. Secara patofisiologi, penyebab ikterus dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu fase prehepatik (pembentukan bilirubin,
transport plasma, dan obat-obatan), fase intrahepatic (liver uptake dan konjugasi),
dan fase pascahepatik (ekskresi bilirubin). Berdasarkan data hasil anamnesis,
penyebab ikterik pada pasien ini kemungkinan merupakan fase prehepatik. Hal ini
40

berdasarkan gambaran klinis berupa warna kulit kuning pucat, warna urin teh tua
dan feses seperti dempul yang disangkal. Namun, anamnesis dan pemeriksaan fisik
belum dapat menyingkirkan penyebab intrahepatic dan pascahepatik karena
memerlukan pemeriksaan penunjang.
Hepatomegali dan splenomegali dapat disebabkan karena infeksi (malaria,
hepatitis, atau leptopirosis), hipertensi portal (sirosis hati), neoplastik (limfoma,
leukemia, atau myeloproliferative disorder), inflamasi, maupun penyakit hemolitik
(thalassemia). Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini mengarah pada
thalassemia sehingga kemungkinan hepatosplenomegali disebabkan oleh
eritropoiesis ekstramedullar. Pada thalassemia terjadi gangguan pada sintesis rantai
alfa atau beta globin yang menyebabkan distribusi O2 teganggu. Ginjal akan
merespon dengan mensekresi eritropoietin yang akan memicu terjadinya
eritropoiesis. Kebutuhan tubuh akan oksigen meningkat, sementara eritropoiesis di
sumsum tulang tidak cukup. Hal ini akan memicu eritropoiesis ekstramedullar,
yaitu di spleen dan hati. Beban kerja spleen dan hati yang meningkat serta makrofag
berproliferasi dan bekerja untuk proses hemolisis menyebabkan terjadi
hepatomegali dan splenomegali.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh data hemoglobin sebesar 7,3
g/dL, MCV 67,4 fL, MCH 20 pg, MCHC 30 g/dL, retikulosit 2,21%, ferritin 1146
ng/ml, bilirubin total 4,40 mg/dL, bilirubin direk 1,10, bilirubin indirek 3,30 mg/dL,
SGOT 68 U/L, dan SGPT 52 U/L. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien
mengalami anemia mikrositik hipokrom sehingga kemungkinan diagnosis antara
lain anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronik, thalassemia dan anemia
sideroblastic. Kadar ferritin yang menyingkirkan diagnosis lain dan menyisakan
diagnosis banding sementara thalassemia dan anemia sideoblastik. Adanya riwayat
diagnosis thalassemia beta mayor sejak 2 tahun lalu dan riwayat transfusi rutin
membantu menegakkan diagnosis thalassemia. Riwayat transfusi berulang
kemungkinan berhubungan dengan perangsangan aloantibodi (antibodi isomun)
yang juga dapat menyebabkan proses hemolisis. Hasil ini didukung dengan temuan
retikulosit yang meningkat. Namun, untuk memastikan proses hemolisis dibuuhkan
pemeriksaan test Coombs. Apabila test Coombs (+) artinya terdapat anemia
41

hemolitik autoimun pada pasien. Selain itu transfusi darah berulang pada pasien
thalassemia beta mayor dapat menyebabkan penumpukan besi di berbagai organ
(hemosiderosis), terutama di hati yang dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Hasil laboratorium fungsi hati pasien ini menunjukkan adanya peningkatan. Hal
yang harus dipertimbangkan pada pasien thalassemia yang rutin melakukan
transfusi berulang adalah risiko tertular penyakit infeksi melalui jarum suntikan,
seperti hepatitis (HbsAg dan ani-HCV). Pada pasien ini masih akan direncanakan
pemeriksaan ini untuk mendiagnosis banding ikterik disebabkan oleh hepatitis.
Kadar bilirubin total, bilirubin indirek, dan bilirubin direk meningkat menunjukkan
bawah kemungkinan ikterik bukan berasal dari prehepatic, tetapi intrahepatic
(infeksi hepatitis) dan posthepatik (pada kondisi obstruksi pada saluran empedu).
Dalam membedakan dua penyebab tersebut diperlukan pemeriksaan imunoserologi
hepatitis dan USG abdomen ataupun MRI untuk kemungkinan penyakit hati difus
seperti sirosis hepatis. Adanya trombositopenia pada pasien ini berkaitan dengan
pembesaran spleen dan hati. Limpa yang membesar menjebak (trapping) trombosit
dan mencegahnya bersirkulasi dalam aliran darah. Hasilnya adalah penurunan
trombosit yang bersirkulasi (trombositopenia). Selain itu pada kasus didapatkan
enzim SGPT dan SGOT pasien meningkat menunjukan adanya gangguan fungsi
hati, salah satu fungsi hati yaitu mengatur mekanisme pembekuan darah yang dapat
menyebabkan penurunan produksi trombopoetin di hati sehingga terjadi
trombositopenia. Pada pasien ini juga ditemukan peningkatan kadar laktat
dehydrogenase (LDH). Hal ini disebabkan karena adanya hemolisis, di mana isi
intraseluler (seperti LDH) dilepaskan ke dalam sirkulasi. LDH intraseluler yang
mengindikasikan kerusakan jaringan lokal yang disebabkan oleh radikal bebas atau
kekurangan oksigen atau trauma. Peningkatan aktivitas LDH seluler mencerminkan
pergeseran menuju metabolisme anaerob dan peningkatan glikolisis dalam
sitoplasma sel. Thalasemia yang disertai dengan tingkat turnover yang tinggi.
Dalam kondisi dengan kerusakan jaringan dan pergantian sel yang cepat, LDH
serum dapat meningkat, dan distribusi isoenzim biasanya mencerminkan kerusakan
organ dan sel. Data ini mulai menunjukkan bahwa peningkatan LDH mungkin
merupakan penanda terkait hemolitik dengan thalasemia. Selain itu pada pasien ini
42

diperoleh hasil penurunan kadar kalsium. Penurunan tersebut berkaitan dengan


riwayat transfusi berulang. Pada penyandang thalassemia, feritin tinggi bersumber
dari transfusi berulang dan absorbsi besi usus yang meningkat sebagai respons
terhadap hipoksia serta eritropoesis yang tidak efektif.dimana kadar feritin tinggi
akibat transfusi berulang menyebabkan kerusakan calcium sensing receptor pada
sel paratiroid dan kerusakan sel hati. Terjadi kegagalan stimulasi sekresi hormon
paratiroid dan pembentukan 25(OH)D3 sehingga absorbsi kalsium terhambat,
terjadi hipokalsemia. Peningktakan kadar asam urat berkaitan dengan tingkat (turn
over) pengantian sel yang tinggi karena hemolisis kronis dan eritropoiesis yang
tidak efektif dan karena itu maka memicu terjadinya hiperuricemia yang dapat
simptomatik atau asimptomatik.
Pendekatan diagnosis thalassemia meliputi anamnesis (gejala sistemik,
abdomen, musculoskeletal, riwayat keluarga, usia awal penyakit, dan pertumbuhan
pasien), pemeriksaan fisik (pucat, icterus, hepatosplenomegal, deformitas skeletal,
hiperpigmentasi), laboratorium darah dan sediaan apus, elektroforesis hemoglobin,
serta penentuan HbA2 dan HbF. Pasien pada kasus ini adalah seorang laki-laki
berusia 21 tahun yang memiliki gejala dan temuan klinis yang mengarah pada
thalassemia serta terdapat riwayat didiagnosis thalassemia beta mayor/ hemoglobin
E (HbE) sejak 2 tahun yang lalu. Thalassemia beta mayor merupakan jenis
thalassemia dengan prevalensi cukup tinggi di Asia tenggara dan bergantung
transfusi darah.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi pemberian transfusi darah secara
rutin, pemberian kelasi besi, dan preparat kalsium dan asam folat. Pemberian kelasi
besi dimulai dengan dosis awal 20-30 mg/kg/hari atau 1000-1500 mg/hari sehingga
pasien diberikan tablet deferasirox sebanyak 2 tablet/hari yang dikonsumsi sebelum
makan. Pada pasien ini belum ditemukan gejala dan tanda hipokalsemia, seperti
kejang, penurunan kesadaran, spasme otot, baal di daerah perioral/kesemutan,
Chvostek positif atau Trousseau positif, atau spasme karpopedal, serta nilai
laboratorium hipoklasemia ringan sehingga terapi awal yang diindikasikan adalah
preparat oral 1-2 gram elemental kalsium per hari. Kalsium karbonat (40% kalsium
elemental), atau kalsium sitrat (21% kalsium elemental) adalah kalsium yang paling
43

banyak digunakan dan harus dimimun dengan makanan. Prognosis pada pasien ini
secara vitam adalah dubia ad bonam namun untuk functionam dan sanationam
adalah dubia ad malam.
44

DAFTAR PUSTAKA
1. Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Chapter
7. Fifth Edition. Elsevier. 2011: 168-99.
2. Bajwa H, Basit H. Thalassemia. Dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2021
3. Li CK. New trend in the epidemiology of thalassaemia. Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol [Internet]. 2017;39:16–26. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2016.10.013
4. Rujito L. Talasemia: Genetik Dasar dan Pengelolaan Terkini. Cetakan Kesatu.
Univesitas Jenderal Soedirman. 2019. 1-4.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hari Talasemia Sedunia 2019:
Putuskan Mata Rantai Talasemia Mayor. 2019. Diakses melalui
http://p2ptm.kemkes.go.id/ pada 27 April 2021
6. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.Edisi ke-
2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.
7. Bajwa H, Basit H. Thalassemia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020 Jan. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545151/
8. Jalil T, Yousafzai YM, Rashid I, Ahmed S, Ali A, Fatima S, Ahmed J. 2019.
Mutational Analysis Of Beta Thalassaemia By Multiplex Arms-Pcr In Khyber
Pakhtunkhwa, Pakistan. J Ayub Med Coll Abbottabad, 31(1):98-103.
9. Ghosh K, Colah R, Manglani M, Choudhry VP, Verma I, Madan N, Saxena R,
Jain D, Marwaha N, Das R, Mohanty D, Choudhary R, Agarwal S, Ghosh M,
Ross C. 2014. Guidelines for screening, diagnosis and management of
hemoglobinopathies. Indian Journal Human Genetics; 20(2):101-19.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/MENKES/PER/VI/201 tentang
Petunjuk Teknis Jaminan Pelayanan Pengobatan Thalassaemia. Jakarta.
11. Origa R. 2017. β-Thalassemia. Genetics in Medicine. 19 (1). Page 609–619.
45

12. Jones E, Pasricha SR, Allen A, Evans P, Fisher CA, Wray K, Premawardhena
A, Bandara D, Perera A, Webster C, Sturges P, Olivieri NF, St Pierre T,
Armitage AE, Porter JB, Weatherall DJ, Drakesmith H. 2015. Hepcidin is
suppressed by erythropoiesis in hemoglobin E β-thalassemia and β-thalassemia
trait. Blood. (5):873-80. 10 nya enot
13. Benz, E.J. Disorder of Hemoglobin in: Longo, D.L. 2016. Harrison’s
Hematology and Oncology 3rd Edition. New York: McGraw Hill Education.
Page 90-94.
14. Hoffbrand, A.V. Genetic Disorders of Hemoglobin in: Hoffbrand, A.V., P.
Vyas, E. Campo, T. Haferlach, K. Gomez. 2019. Color Atlas of Clinical
Hematology 5th Edition. Philadelphia: Elsevier. Page 106-129.
15. Jameson et al. 2018. Disorder of Hemoglobin: Edward J. Benz Jr, Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 20 th Edition. USA: The McGrawHill
Companies, Inc.
16. Crippa S, Rossella V, Aprile A, Silvestri L, Rivis S, Scaramuzza S, Pirroni S,
Avanzini MA, Basso-Ricci L, Hernandez RJ, Zecca M, Marktel S, Ciceri F,
Aiuti A, Ferrari G, Bernardo ME. 2019. Bone marrow stromal cells from β-
thalassemia patients have impaired hematopoietic supportive capacity. Journal
of Clinical Investigation. 129(4):1566-1580.
17. Cappellini MD, Cohen A, Eleftheriou A. 2008. Guidelines for the Clinical
Management of Thalassaemia [Internet]. 2nd Revised edition. Nicosia (CY):
Thalassemia International Federation.
18. Asada N, Takeishi S, Frenette PS. (2017). Complexity of bone marrow
hematopoietic stem cell niche. International Journal of Hematology.
2017;106(1):45–54. doi: 10.1007/s12185-017-2262-9.
19. Rujito L, Mulyanto J.(2019. Adopting Mass Thalassemia Prevention Program
in Indonesia: a proposal. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia 10 (1), 1-
4.
20. Bajwa H, Basit H. Thalassemia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020 Jan. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545151/

Anda mungkin juga menyukai