Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Thalasemia masih kurang dikenal oleh masyarakat. Padahal, di
Indonesia terdapat banyak penderita penyakit kelainan pada darah yang bersifat
diturunkan secara genetik dan banyak terdistribusi di Asia ini. Pencegahan Talasemia pun
sulit dilakukan karena minimnya perhatian masyarakat dan sarana yang dimiliki oleh
tempat pelayanan kesehatan di Indonesia. Beberapa data menunjukan bahwa ada sekitar
seratus ribu orang pembawa sifat Thalasemia yang beresiko diturunkan pada anak meraka
serta data lain yang menemukan bahwa 6-10% penduduk Indonesia merupakan pembawa
gennya. Biaya pengobatannya pun mahal, kerena pasien biasanya membutuhkan tranfusi
darah terus menerus untuk memperpanjang hidupnya. Sedangkan tidak ada kesembuhan
yang sempurna pada penyakit ini dan tidak sempurnanya kesembuhan yang dicapai oleh
penderita Thalasemia membuat kami merasa perlu memberikan perhatian lebih pada
penyakit ini. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk membuat makalah yang berjudul
“Thalasemia”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penyakit thalasemia ?
2. Bagaimana tinjauan asuhan keperawatan thalasemia ?
3. Bagaimana tren isu thalasemia ?
4. Bagaimana pengobatan thalasemia dalam pandangan islam ?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami tentang konsep dasar penyakit thalasemia.
2. Mahasiswa mampu memahami tentang konsep dasar asuhan keperawaatan

thalasemia.

BAB II
PEMBAHASAN

I. Konsep dasar penyakit thalasemia

A. Definisi
Thalasemia adalah suatu penyakit kongential heriditer yang diturunkan secara autosom
berdasarkan kelainan hemoglobin, di mana satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin kurang
atau tidak terbentuk sehingga mengakibatkan terjadinya anemia hemolitik. (Broyles, 1997)
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk
kedalam kelompok homoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis
hemoglobin akibat mutasi didalam atau dekat gen globin . (Sudoyo Haru)

B. Etiologi
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara
resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin. Dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah merah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang
dari 100 hari). Kerusakan tersebut karena Hb yang tidak normal (hemoglobinopati).
Klasifikasi talasemia dibedakan atas : (Patrick Davey)
1. Thalasemia Minor
2. Thalasemia Mayor
3. Thalasemia Intermedia
C. Manifestasi Klinis
1. Thalasemia Minor/ Thalasemia Trait : tampilan klinis normal, splenomegali dan
hepatomegali ditemukan pada sedikit penderita, hyperplasia eritroid stipples ringan
sampai sedang pada sumsum tulang, bentuk hemozigat, anemia ringan, MCV rendah.
Pada penderita yang berpasangan harus diperiksa. Karena karier minor pada kedua
pasangan dapat menghasilkan keturunan dengan talasemia mayor.
Pada anak yang besar sering dijumpai adanya :
- Gizi Buruk.
- Perut Buncit karena Pembesaran linpa dan hati yang mudah diraba.
- Akitivitas tidak aktif karena pembesaran linpa dan hati (Hepatomegali), Linpa
yang besar ini mudah ruptur karena trauma ringan saja
2. Thalasemia Mayor, gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1
tahun, yaitu :
- Anemia simpomatik pada usia 6 -12 bulan, sering dengan turun nya kadar
hemoglobin fetal.
- Anemia mikrositik berat, terdapat sel target dan sel darah merah yang berinti pada
darah perifer, tidak terdapat HbA. Kadar Hb rendah mencapai 3 atau 4 g%.
- Lemah, pucat.
- Pertumbuhan fisik dan perkembangannya terhambat, kurus, penebalan tulang
tengkorak, spelenomegali, ulkus pada kaki, dan gambaran patonomoni “hair on
and”.
- Berat badan kurang.
- Tidak dapat hidup tanpa transfuse.
3. Thalasemia Intermedia
- Anemia mikrositik, bentuk heterozigot.
- Tingkat keparahannya berada diantara thalasemia minor dan mayor.
- Masih memproduksi sejumlah kecil HbA.
- Anemia agak berat 7 - 9 g/dL dan spelenomegali.
- Tidak tergantung pada tranfuse.
Gejalah khas adalah :
1. Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak antara
kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
2. Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering di tranfusi, kulit nya menjadi kelabu
karena penimbunan besi.
D. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi:
- Hb rendah dapat sampai 2-3%, gambaran morfologi eritrosit.
- Retikulosit meningkat
2. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis):
3. Pemeriksaan khusus
- Hb F : 20%-90% Hb total.
- Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.
- Pemeriksaan pedigeri : kedua orang tua pasien thalasemia mayor merupakan trait
(carrier) dengan Hb A2 meningkat < 3,5% Hb total.
4. Pemeriksaan lain :
- Foto Ro tulang kepala : gambaran hear on end, korteks menipis, diploe melebar
dengan trabekula tegak lurus pada korteks.
- Foto tulang pipi dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga
trabekula tanpak jelas.

E. Penatalaksanaan
1. Trapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb diatas 10 g/dl. Tegimen
hipertransfusi ini mempunyai keuntunggan klinis yang nyata kemungkinaan aktifitas
normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik
progresif yang terkait dengan perubahan tulang tulang muka, dan meminimalkan dilatasi
jantung dan osteoporosis.
2. Tranfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah (PRC) biasanya diperlukan setip 4-5
minggu. Uji silang harus dikerjakan untuk mencegah alloimumisasi dan mencegah reaksi
tranfusi. Lebih baik digunakan PRC yang relatif tegar (kurang dari 1 minggu dalam
antikoaglan CPD) walaupun dengan kehati hatian yang tinggi reaksi demam akibat
tranfusi lazim ada. Hal ini dapat minimalkan dengan penggunaan eritrosit yang
direkonsitusi dari darah beku atau penggunaan filter leugkosit, dan dengan pemberian
antipiretik sebelum transfusi. Hemosiderosis adalah akibat terapi tranfusi jangka panjang,
yang dapat dihindari karena setiap 500ml darah membawa kira kira 20mg besi kejaringan
yang tidak dapat diekskrikan secara fisilogis.
3. Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang berperan dalam kematian pada
awal kematian penderita. Hemosiderosis dapat diturunkan atau bahkan cegah dengan
pemberian parenteral obat pengkelasi besi (airon krechelating druks) deferogsamin, yang
membentuk kompleks besi yang dapat di ekskresikan dalam urin. Kadar deferogsamin
darah yang dipertahankan tinggi adalah perlu untuk ekresi besi yang memandai. Obat
yang diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel
kecil (selama tidur, 5 atau 6 malam/minggu) penderita yang menerima regimen ini dapat
mempertahankan kadar feritin serum kerang dari 1000 mg/mL yang benar benar dibawah
nilai toksiks. Komplikasi mematikan siderosis jantung dan hati dengan demikian dapat di
cegah atau secara nyata tertunda. Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron,
telah dibuktikan efektif serupa degan deferogsamin. Karena kekhawatiran terhadap
kemungkinan toksisitas (argeranulositosis, artritis, artralgia) obat tersebut ini tidak
tersedia di Amerika Serikat.
4. Terapi hipertranfusi mencegah spelenomegali masif yang disebabkan oleh eritropoesis
ekstra medular. Namun spelenektomi akhirnya di perlukan karena ukuran organ tersebut
atau karena hiperspelenisme sekunder. Speleknotomi meningkatkan resiko sepsis yang
parah sekali, oleh karena itu operasi harus di lakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan
harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk spelenektomi adalah
meningkatkan kebutuhan tranfusi untuk penunjukan unsur hiperspelenisme. Kebutuhan
tranfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti hiperspelenisme dan
merupakan idikasi untuk mempertimbangkan spelenetomi.
5. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin H, infulensa tipe B,
vaksin poli sakarida pneumokokus diharapkan, dan terapi profikalasis penisilin juga di
anjurkan. Cangkok sumsum tulang (CST) adalah kuratif pada penderita ini dan telah
terbukti keberhasilan yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima
tranfusi sangat banyak, namun prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan
mortalitas dan biasanya hanya digunakan untuk penderita yang mempunyai saudara
kandung yang sehat (tidak terkena) yang histokompatibel.

II. Tinjauan Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Identitas
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Anoreksia, lemah, diare, demam, anemia, ikterus ringan, BB menurun,
perut membuncit, hepatomegali dan splenomegali.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami anemia.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Bisanya salah satu anggota keluarga pernah mengalami penyakit yang
sama.
3. Pengkajian Fisik
a. Penampilan umum
Pucat, tanda nyeri, bentuk tubuh abnormal, dehidrasi
b. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan, perubahan BB, perubahan TB.
c. Kulit dan membran mukosa
Pucat, sianosis, lesi yang sulit sembuh, pigmentasi, koreng pad
tungkai, kulit tangan dan kaki mengelupas
d. Kuku
Cembung, datar, mudah patah
e. Rambut
Tekstur dan pertumbuhan
f. Mata
Edema, kemerahan, perdarahan, ketidak normalan lensa, gangguan
pengelihatan, kebutaan
g. Mulut
Membrane mukosa kemerahan dan luka
h. Lidah
Nyeri, tekstur, warna
i. Perut
Splenomrgali, hepa tomegali, adanya nyeri, sirosis
j. Thorak/dada
Jantung: aritmia, nyeri, murmur
Paru-paru: sesak napas, perubahan suara napas
k. Ekstremitas
Nyeri, kaku, bengkak, edema, perubahan padaa tulang
l. Genitalia
Perubahan pada seks sekunder
4. Pengkajian Umum
 Pertumbuhan yang terhambat
 Anemia kronik
 Kematangan seksual yang tertunda

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen seluler yang
menghantarkan oksigen/nutrisi
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
3. Intolentasi aktivitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen
4. Kecemasan (orang tua) b.d kurang pengetahuan
5. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b.d abnormalitas produksi globin dalam
hemoglobin menyababkan hiperplasi sumsum tulang

C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan hasil criteria Intervensi (NIC)
keperawatan hasil (NOC)
1. Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan b.d 1. Perfusi jaringan: perifer Peripheral sensation
berkurangnya 2. Status sirkulasi management
komponen seluler Kriteria Hasil a. Monitor adanya daerah
yang menghantarkan 1. Klien menunjukan tertentu yang hanya peka
oksigen/nutrisi perfusi jaringan yang terhadap
adekuat yang ditunjukan panas/dingin/tajam/tumpul
dengan terabanya nadi b. Monitor adanya paratase
perifer, kulit kering dan c. Intruksikan keluaarga
hangat, keluaran urin untuk mengobservasi kulit
adekuat, dan tidak ada jika ada lesi atau leserasi
distress pernafasan. d. Monitor kempuan BAB
e. Kolaborasi pemberian
analgetik
2. Ketidakseimbangan NOC Nutrition management
nutrisi : kurang dari 1. Nutritional Status : Food 1. Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh and Fluid Intake makanan
2. Nutritional Status : 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
nutrient intake untuk menetukan jumlah
3. Weight Control kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan
Criteria Hasil 3. Anjurkan pasien untuk
1. Adanya peningkatan BB meningkatkn inteke Fe
sesuai dengan tujuan 4. Berikan substansi gula
2. BB ideal sesuai dengan 5. Anjurkan pasien untuk
tinggi badan meningkatkan potein dan
3. Mampu vitamin C
mengindentifikasi
kebutuhan nutrisi Nutrition management
4. Tidak ada tanda-tanda 1. Monitor BB pasien dalam
malnutrisi batas normal
5. Tidak terjadi penurunan 2. Monitor adana penurunan
berat badan BB
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa di
lakukan
4. Monitor lingkungan selama
makan
5. Monitor kulit kering dan
prubahan pigmentasi
3. Intoleransi aktivitas NOC Aactivity Therapy:
a. Energy conservation a. Kolaborasikan dengan
b. Activity tolerance tenaga Rehabilitas Medik
c. Self care : ADLs dalam merencankan
program terapi yang tepat
Criteria Hasil b. Bantu klien untuk
a. Berpartisipasi dalam mengidentifikasi aktifitas
aktivitas fisik tanpa yang mampu dilakukan
disertai peningkatan c. Bantu untuk mendapatkan
tekanan darah, nadi dan aalat bantu aktivitas seperti
RR kursi roda, krek
b. Mampu melakukan d. Monitor respon fisik,
aktivitas sehari-hari emosi, sosial dan spiritual
(ADLs) secara mandiri
c. Energy psikomotor
d. Sirkulasi status baik
e. Level kelemahan
4. Kecemasan (Orang NOC NIC
tua) b.d kurang
pengetahuan - Kontrol kecemasan Menurunkan cemas
Criteria Hasil Meminimalkan rasa takut,
a. Klien mampu cemas merasa dalam bahaya
mengidentifikasi dan atau ketidaknyamanan
mengungkapkan gejala terhadap sumber yang tidak
cemas diketahui.
b. Mengidentifikasi,
mengungkapkan, dan Aktivitas
menunjukan unuk 1. Gunakan pendekatan
kontrol cemas konsep atraumetik care
c. Menunjukan peningkatan 2. Jangn memberikan
konsentrasi dan akurasi jaminan tentang prognosis
dalam berpikir penyakit
3. Jelaskan semua prosedur
dan dengarkan keluhan
klien
4. Pahami harapan pasien
dalam situasi stress
5. Bersama tim kesehatan,
berikan informasi
mengenai diagnosis,
tindakan prognosis
5. Keterlambatan NOC NIC
pertumbuhan dan 1. Growth and Peningkatan dan
perkembangan development, delayet perkembangan anak dan
2. Nutrition imbalance less remaja
than body 1. Kaji faktor penyebab
Criteria Hasil: gangguan perkembangan
1. Anak berfungsi optimal anak
sesuai dengan 2. Berikan perawtan yang
tingkatanya konsisten
2. Keluarga dan anak 3. Berikan reinforcement
mampu menggunakan positif atas hasil yang
koping terhadap dicapai anak
tantangan karena adanya 4. Ciptakan lingkungan yang
ketidakmampuan aman
3. Keluarga mampu Nutrition management
mendaoatkan sumber- 1. Kaji keadekutan asupan
sumber sarana komunitas nutrisi
4. Status nutrisi seimbang 2. Tentukan makanan yang
5. Berat badan disukai anak
3. Pantau kecenderungan
kenaikan danpenurunan
BB
Nutrition therapy
1. Pantau kesusuainan
perintah diet
2. Kolaborasi dengan ahli
gizi, jumlah kalori dan
jenis nutrisi yang
dibutuhkan
3. Pilih suplemen gizi
4. Dorong asupaan
makanantinggi kalsium

D. Pathway
Kelainan Genetik
- Gangguan rantai peptida
- Kesalahan letak asam amino polipeptida

Rantai β dalam molekul Hb

G3 Eritrosit Mbw O2

Kompensator naik pada rantai α

β produksi terus-menerus

Hb defectife

Ketidakseimbang polipeptida

Eritrosit tidak stabil

Hemolisis Anemia berat

Suplai O2 berkurang
Pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang

Gangguan perfusi dan di suplai dari

jaringan tranfusi
Ketidakseimbangan antara
Suplai O2 dan kebutuhan Fe ber >

Tidak toleransi Kelemahan

terhadap
aktivitas Anoreksia

Nutrisi < dari


kebutuhan
Hemosiderosis

Endokrin Hati Jantung Linpa Kulit

Gagal jantung Warna menjadi abu-abu

Pertumbuhan & Hepatomegali Splenomegali


perkembangan
terganggu
Mual & muntah Nyeri perut membesar

Kecemasan orang
tua
BAB III
TREN ISU THALASEMIA

Temuan Baru Pakar Kesehatan, Obat Talasemia dari Tumbuhan


Talasemia adalah penyakit kelainan sel darah merah. Talasemia alfa adalah kelainan sel darah
merah turunan akibat tidak normalnya sintesis rantai globin alfa. Talasemia alfa berkaitan
dengan stres oksidatif.

Tim peneliti dan pakar dari Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB) mengungkap kemampuan serta aktivitas
antioksidan etanol pada tumbuhan harendong (Melastoma malabatrichum L.). Hasil riset
menunjukan bahwa oksidatif penyakit talasemia berhubungan dengan tingkat kerusakan dari gen
globin alfa. Fakta bahwa harendong bisa digunakan mengobati Talasemia.

Para peneliti tersebut adalah Hafiz Nalfiando, I Made Artika dan Ita Margaretha Nainggolan.
Salah satu peneliti, I Made Artika mengatakan kerusakan oksidatif penyakit talasemia ini
berhubungan dengan tingkat kerusakan dari gen globin alfa. Semakin tinggi kerusakan gen
globin alfa, maka semakin tinggi kerusakan oksidatifnya.

“Hal ini akan menyebabkan stres oksidatif yaitu kondisi senyawa radikal bebas melebihi
kapasitas pertahanan antioksidan plasma. Senyawa radikal ini dapat merusak sel dengan
berinteraksi pada lipid, protein, dan asam nukleat,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Minggu
(29/10).

Aktivitas antioksidan buah harendong dengan hasil ekstrak etanol 70 persen, menunjukkan
harendong memiliki aktivitas antioksidan tertinggi. Ekstrak metanol daun harendong memiliki
aktivitas antioksidan tertinggi. Di samping itu, harendong diklaim mempunyai senyawa aktif
yang dapat digunakan sebagai obat herbal.

Selain dipercaya bisa mengobati talasemia, harendong juga digunakan oleh masyarakat Malaysia
untuk mengobati luka-luka, diabetes, disentri, noda hitam pada wajah, dan sakit gigi. Bahkan
sudah diuji farmakologi untuk antibakteri, antiviral, dan antikoagulan. Akar harendong untuk
obat diare. Masyarakat Bogor, Indonesia menggunakan daun harendong untuk obat kumur.

“Serangkaian penelitian terhadap kandungan fitokimia harendong juga telah dilakukan. Hal ini
menunjukkan bahwa buah mentah dan daun harendong berpotensi sebagai antioksidan,” ujarnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak buah mentah harendong memiliki aktivitas
antioksidan sebesar 6.48 ± 0.75 µg/mL. Aktivitas antioksidan dari buah memberikan pengaruh
terhadap darah penderita talasemia.
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL HARENDONG
(Melastoma malabatrichum L.) DALAM DARAH TALASEMIA α
SECARA IN VITRO

Hafiz Nalfiando
Falkutas matematika dan ilmu pengetahuan alam,
Institut Pertanian Bogor 2017
ABSTRAK
HAFIZ NALFIANDO. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Harendong (Melastoma
malabatrichum L.) dalam Darah Talasemia α secara In Vitro. Dibimbing oleh I MADE ARTIKA
dan ITA MARGARETHA NAINGGOLAN.
Talasemia α adalah kelainan sel darah merah turunan akibat tidak normalnya sintesis rantai
globin α. Talasemia α berkaitan dengan stres oksidatif namun belum ada yang menunjukkan
kemampuan antioksidan dari tumbuhan dalam darah talasemia α, seperti tumbuhan harendong
(Melastoma malabatrichum L.). Tujuan penelitian ini menentukan aktivitas antioksidan dari
ekstrak etanol 70% harendong dalam darah talasemia α. Buah mentah dan daun harendong
diekstraksi menggunakan teknik maserasi. Uji fitokimia menunjukkan bahwa golongan flavonoid
tertinggi adalah ekstrak buah mentah harendong dengan total flavonoid
sebesar 234.04 ± 1.95 mg quercetin equivalent/g ekstrak. Ekstrak buah mentah harendong juga
menunjukkan aktivitas antioksidan dan bioaktivitas tertinggi dengan konsentrasi penghambatan
50% sebesar 6.48 ± 0.75 μg/mL dan konsentrasi kematian 50% sebesar 782.41 μg/mL. Aktivitas
antioksidan dalam darah talasemia α diuji menggunakan Cell-based Antioxidant Protection in
erythrocyte dengan hasil ekstrak buah mentah harendong tidak dapat menurunkan stres oksidatif
dalam darah talasemia α (p > 0.05).
Kata kunci: Aktivitas antioksidan, Melastoma malabatrichum L., Stres oksidatif,
Talasemia α
ABSTRACT
HAFIZ NALFIANDO. Antioxidant Activity of Harendong (Melastoma malabatrichum L.)
Ethanolic Extract in α Thalassemia Blood by In Vitro. Supervised by I MADE ARTIKA and
ITA MARGARETHA NAINGGOLAN.
α thalassemia is a derived red blood cell disorders due to the abnormal synthesis of the α globin
chain. α thalassemia is associated with oxidative stress but no one has demonstrated the
antioxidant activity of plants in α thalassemia blood, such as the harendong plants (Melastoma
malabatrichum L.). The objective of this study was to determine the antioxidant activity of
ethanol extract of 70% in α thalassemia blood. The raw fruits and leaves of harendong are
extracted using maceration techniques. Phytochemical tests showed that the highest flavonoids
were the harendong raw fruit extract with total flavonoids of 234.04 ± 1.95 mg quercetin
equivalent/g extract. The harendong raw fruit extract also showed the highest antioxidant activity
and bioactivity with 50% inhibition concentration of
6.48 ± 0.75 μg/mL and 50% lethality concentration of 782.41 μg/mL. Antioxidant activity in α
thalassemia blood was tested using Cell-based Antioxidant Protection in erythrocyte with the
result of harendong raw fruit extract can not reduce oxidative stress in α thalassemia blood (p >
0.05).
Keywords: α thalassemia, Antioxidant activity, Melastoma malabatrichum L.,
Oxidative stress

PENDAHULUAN 30%) dan paling tinggi di Saudi Arabia,


Talasemia adalah kelainan sel darah India, Thailand, Papua Nugini dan
merah turunan akibat tidak normalnya Melanesia (60-80%) (Cheerva 2016).
sintesis rantai globin (Stamatoyannopulos et Setianingsih et al. (2003) melakukan
al. 1994). Talasemia dibedakan menjadi pemeriksaan hematologi dari tiga populasi
talasemia α dan talasemia β berdasarkan di Indonesia yaitu Jawa, Sulawesi Selatan
rantai globin yang mengalami gangguan. dan Sumatera Selatan. Sebanyak 1470
Talasemia α adalah kondisi kurang atau individu diperoleh frekuensi pembawa sifat
tidak terbentuknya rantai globin α (Cheerva talasemia α berat (αo) yaitu 2.6-3.2%
2016). Sebanyak 270 juta pembawa sifat sedangkan talasemia α ringan (α+) yaitu 3.2-
berpotensi mewarisi penyakit talasemia, 11%. Selain itu, sebanyak 32% pasien
tersebar di beberapa negara bagian seperti talasemia yang dirujuk ke klinik genetik
Mediterania (5-10%), Afrika Barat (20- Lembaga Biologi Molekuler Eijkman adalah
penderita talasemia α. Data tersebut 70% buah mentah harendong memiliki
menunjukkan angka penderita talasemia α aktivitas antioksidan tertinggi. Seperti
cukup tinggi. halnya Mamat et al. (2013) yang meneliti
Cheng et al. (2004) menemukan ekstrak metanol daun harendong memiliki
kerusakan oksidatif pada penderita talasemia aktivitas antioksidan tertinggi. Disamping
α dengan menurunnya antioksidan plasma itu, harendong diklaim mempunyai senyawa
dan meningkatnya lipid peroksida dalam aktif yang dapat digunakan sebagai obat
plasma. Kerusakan oksidatif ini herbal. Penggunaan harendong di beberapa
berhubungan dengan tingkat kerusakan dari daerah seperti daun
gen globin α. Semakin tinggi kerusakan gen harendong digunakan oleh masyarakat
globin α maka semakin tinggi kerusakan Malaysia untuk mengobati luka-luka,
oksidatifnya. Hal ini akan menyebabkan diabetes, disentri, noda hitam pada wajah
stres oksidatif yaitu kondisi senyawa radikal dan sakit gigi, bahkan sudah diuji
bebas melebihi kapasitas pertahanan farmakologi untuk antibakteri, antiviral dan
antioksidan plasma. Penyebab stres oksidatif antikoagulan (Ong dan Nordiana 1999), akar
pada penderita talasemia adalah kelebihan harendong untuk obat diare (Lin et al. 2015)
produksi reactive oxygen species (ROS) dan masyarakat Bogor, Indonesia
yang terkatalis besi seperti superoksida, menggunakan daun harendong untuk obat
hydrogen peroksida dan radikal hidroksil. kumur-kumur (Roosita et al. 2008).
Senyawa radikal ini dapat merusak sel Serangkaian penelitian terhadap kandungan
dengan berinteraksi pada lipid, protein dan fitokimia harendong juga telah
asam nukleat (Kalpravidh dan Hatairakhtam dilakukan (Joffry et al. 2012). Hal ini
2012). Qaiser et al. (2015) melakukan menunjukkan bahwa buah mentah dan daun
evaluasi status antioksidan plasma penderita harendong berpotensi sebagai antioksidan.
talasemia dengan hasil yaitu penurunan Akan tetapi belum ada penelitian yang
serum glutathione (GSH) dan peningkatan menunjukkan aktivitas antioksidan dan
katalase, glutathione-S transferase (GST) bioaktivitas dari buah mentah dan daun
dan lipid peroksida. Hal ini menunjukkan harendong dengan pelarut etanol 70%.
status peroksidasi dalam darah talasemia α Kemudian belum ada penelitian yang
disebabkan oleh ROS sehingga menunjukkan aktivitas antioksidan ekstrak
meningkatkan produksi lipid peroksida dan etanol 70% harendong dalam darah
mempersingkat waktu hidup sel darah merah talasemia α.
penderita talasemia α. Tidak mampunya Tujuan penelitian ini adalah
antioksidan plasma untuk menurunkan menentukan aktivitas antioksidan dan
kondisi stres oksidatif tersebut bioaktivitas dari buah mentah dan daun
memungkinkan antioksidan tambahan dari harendong. Kemudian menentukan aktivitas
tumbuhan sehingga dapat menangkal ROS antioksidan tertinggi dari ekstrak etanol 70%
dan mempertahankan sel darah merah harendong dalam darah talasemia α.
talasemia α dari kerusakan oksidatif. Salah Manfaat penelitian ini adalah menambah
satu tumbuhan yang dapat informasi aktivitas antioksidan dari ekstrak
digunakan adalah harendong (Melastoma buah mentah dan ekstrak daun harendong,
memberikan informasi aktivitas antioksidan
malabatrichum L.)
tumbuhan harendong untuk menangkal
Syafitri (2013) menguji aktivitas senyawa radikal bebas dalam darah
antioksidan buah harendong (Melastoma talasemia α, konsentrasi antioksidan yang
affine D.Don) dengan hasil ekstrak etanol
digunakan dan teknik pengujian aktivitas antioksidan dalam darah talasemia α.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2016 hingga Maret 2017. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Penelitian Biokimia FMIPA IPB dan Laboratorium Kelainan Sel
Darah Merah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

Bahan
Bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah 2 kg buah mentah dan 2 kg daun
harendong di daerah Dramaga, Bogor, kertas saring dan etanol 70%. Uji fitokimia, total
flavonoid, uji antioksidan dan uji bioaktivitas digunakan bahan larutan asam sulfat 2 M, eter,
kloroform, pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorf, akuades, FeCl2 1% (v/v),
metanol 30%, etanol 30%, NaNO2 5% (b/v), AlCl3 10% (b/v), NaOH 1 M, asam asetat, H2SO4
pekat, DPPH 0.1 mM, vitamin C p.a. No. 1.00127.0250, telur Artemia salina Leach. dan air laut.
Uji CAPe
digunakan bahan phosphate buffered saline (PBS 1X) mengandung 137 mM NaCl, 2.7 mM KCl,
dan 10 mM PO4 3- dengan pH 7.4, ddH2O, sel darah merah individu normal (N1, N2 dan N3),
talasemia α trait dengan mutasi Cd59 (T1 dan T2) dan penderita talasemia α berat dengan
mutasi delesi satu gen globin α tipe 3.7 kb/Cd59
dan Hb CS/Cd59 (P1 dan P2), dimetil sulfoksida (DMSO) (Sigma Chemical Co.),
Diklorofluoresin diasetat (DCFDA) (Sigma Aldrich) dan H2O2 (Emsure®).

Alat
Alat yang digunakan untuk preparasi dan ekstraksi adalah oven, pengaduk, pengayak 100
mesh, cawan porselen, erlenmeyer 1 L, erlenmeyer 500 mL, pengaduk berputar dan penguap
berputar. Alat yang digunakan untuk uji fitokimia dan penentuan total flavonoid yaitu tabung
reaksi, gelas ukur, spektrofotometer, pipet tetes, neraca analitik dan plat uji. Uji antioksidan
menggunakan alat 96-well microplate dan Microplate Reader (NanoStar). Alat yang digunakan
untuk CAPe adalah vortex, sentrifus, EDTA Vacutainer, syringe DVR-3422 (Thermo), Syringe
filter 0.22 μm No. 190-2520 (Nalgene) dan Spectra Fluoresence Plate Reader (Tecan).
Prosedur Analisis Data
Preparasi Sampel
Sampel segar sebanyak 2 kg buah mentah dan 2 kg daun (posisi daun ketiga dari pucuk)
diambil langsung dari pohon harendong. Semua bahan dibersihkan dari
kotoran dan dicuci hingga bersih. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 50 oC
selama 4-5 hari agar tidak mudah rusak. Sampel yang kering lalu dihaluskan dengan
mesin penggiling dan dipisah dengan ukuran 100 mesh sehingga diperoleh simplisia. Simplisia
kemudian disimpan untuk pengujian selanjutnya.
Penentuan Kadar Air
Kadar air ditentukan berdasarkan Associaton of Official Analytical Chemist (AOAC
2006). Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 30 menit lalu
didiamkan dalam desikator selama 30 menit dan bobot kosong cawan ditimbang. Sebanyak 2 g
serbuk simplisia buah dan daun harendong dimasukkan dalam cawan porselen kemudian
bobotnya ditimbang. Cawan beserta simplisia dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama
3 jam. Setelah itu didiamkan dalam desikator selama 30 menit dan bobot cawan beserta simplisia
ditimbang hingga didapatkan bobot konstan. Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan.
Pembuatan Ekstrak Etanol 70% Buah Mentah dan Daun Harendong
Simplisia buah mentah dan daun harendong diekstrak menggunakan teknik maserasi
modifikasi BPOM RI (2004) dengan perbandingan simplisia:pelarut sebesar 1:10. Sebanyak 100
g simplisia buah mentah dan daun harendong masingmasing dalam 1 L etanol 70% digoyang

1
dengan kecepatan tetap 130 rpm selama 48 jam. Proses diulang sebanyak 2 kali dengan jenis
dan jumlah pelarut yang sama, kemudian dipekatkan dengan alat penguap berputar pada suhu 40
oC sehingga diperoleh ekstrak buah mentah dan daun harendong.
Uji Fitokimia (Modifikasi Harbone 1987)
Uji Alkaloid. Sebanyak 50 mg ekstrak buah dan daun ditambahkan 5 mL kloroform dan
ditambahkan 3 tetes amonia. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 10 tetes H2SO4
2 M. Fraksi asam diambil dan dibagi ke dalam tiga tabung reaksi kemudian ditambahkan
pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner untuk tiap tabungnya. Adanya alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan putih pada pereksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorf dan
endapan cokelat pada endapan Wagner. Kontrol positif adalah daun tapak dara.
Uji Saponin. Sebanyak 50 mg ekstrak buah dan daun dididihkan dalam 2.5
mL akuades selama 5 menit. Larutan selanjutnya dikocok kuat-kuat. Adanya buih
yang stabil selama 10 menit menunjukkan adanya saponin. Kontrol positif adalah
biji lerak.
Uji Flavonoid. Sebanyak 50 mg ekstrak buah dan daun dimasukkan dalam
tabung reaksi dan ditambah dengan 2.5 mL metanol 30%, kemudian dipanaskan dengan
penangas air selama 5 menit pada suhu 50oC. Filtrat yang terbentuk ditambahkan 3 tetes H2SO4.
Warna merah pada uji ini menunjukkan hasil yang positif. Kontrol positif menggunakan daun
sirih.
Uji Tanin. Sebanyak 50 mg ekstrak buah dan daun dilarutkan dalam 2.5 mL akuades dan
dididihkan selama 5 menit dalam penangas air. Larutan disaring lalu filtrat ditambahkan dengan
5 tetes FeCl3 1% (b/v). Hasil positif ditunjukkan dengan perubahan warna larutan menjadi biru
tua atau hijau kehitaman. Kontrol positif menggunakan daun teh.
Uji Steroid dan Triterpenoid. Sebanyak 50 mg ekstrak buah dan daun
dilarutkan dalam 2.5 mL etanol 30% dan dipanaskan dalam penangas air pada suhu
50 oC dan disaring. Selanjutnya, filtrate diuapkan dan ditambahkan 1 mL eter dan
sebanyak 5 tetes lapisan eter dipindahkan ke dalam plat tetes dan ditambah pereaksi
Lieberman Buchard. Warna merah atau ungu menunjukkan triterpenoid. Warna
hijau atau biru menunjukkan steroid. Kontrol positif menggunakan som jawa.

Pengukuran Total Flavonoid (Modifikasi Kim et al. 2003)


Sebanyak 1 mg ekstrak dilarutkan dalam 10 mL akuades, lalu sebanyak 1.25
mL laurtan ekstrak diambil dan ditambah dengan 75 μL NaNO2 5% (b/v). Kemudian
ditambahkan 75 μL AlCl3 10% (b/v) yang dilarutkan dengan methanol dan diinkubasi selama 5
menit. Setelah inkubasi, ditambahkan 0.5 mL NaOH 1 M dan ditambahkan akuades sehingga
mencapai volume hingga 2.5 mL. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 510 nm dan
dilakukan tiga kali ulangan. Kurva standar dibuat dari kuersetin dengan konsentrasi 10, 20, 30,
40, dan 50 μg/mL. Penentuan total flavonoid dinyatakan dalam mg quercetin equivalent (QE)/g
ekstrak.
Uji Antioksidan dengan DPPH (2,2-diphenil-1-picryl hydrazil) (Aqil et al.
2006)
Larutan DPPH dibuat dengan konsentrasi 0.1 mM dalam metanol. Sebanyak 70 μL
ekstrak buah dan daun harendong dibuat dengan konsentrasi berbeda yaitu 1.25, 2.5, 3.75, 5 dan
6.25 μg/mL, lalu ditambah 70 μL buffer Tris-HCl pH 7, dan ditambah dengan 70 μL DPPH 0.1
mM. Larutan tersebut diinkubasi selama 20
menit, kemudian absorbansinya diukur pada panjang gelombang 517 nm. Kontrol positif
menggunakan vitamin C dengan konsentrasi 1.25, 2.5, 3.75, 5 dan 6.25 μg/mL dalam metanol.
Daya hambat ditentukan sebagai % inhibisi. %inhibisi= Ao-A
Ao×100%
Keterangan : A0 = blanko, A = absorbansi sampel

2
Uji Bioaktivitas dengan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Modifikasi Meyer
et al. 1982)
Pembuatan Larva Udang. Telur udang Artemia salina Leach. dimasukkan
dalam botol kaca dan ditambahkan air laut, kemudian dimasukkan aerator dan
diinkubasi selama 24 jam.
Pembuatan Larutan Stok Uji. Larutan uji dibuat dengan melarutkan
ekstrak buah mentah dan daun harendong dalam air laut. Larutan stok dibuat dengan
konsentrasi 100, 1000, 2000, 5000, dan 10000 μg/mL.
BSLT. Wadah uji ditera dengan air laut sebanyak 5 mL dan ditandai dengan
marker. Sebanyak 1 mL air laut yang berisi A. salina Leach. sebanyak 10 ekor dipipet dan
dimasukkan dalam wadah uji. Lalu ditambahkan ekstrak yang sudah dibuat sebanyak 0.5 mL
sehingga konsentrasi menjadi 10, 100, 200, 500, dan 1000
μg/mL dalam air laut. Kontrol negatif disiapkan dengan perlakuan yang sama tanpa mengandung
ekstrak. Larutan dibiarkan selama 24 jam kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan masih
hidup dari tiap lubang wadah uji dengan tiga kali
pengulangan.

Uji Proteksi Antioksidan dengan Cell-based Antioxidant Protection in


erythrocyte (CAPe) Assay (Honzel et al. 2008; Jensen et al. 2008; Patent US
201302640418A1 )
Preparasi Ekstrak Buah Mentah Harendong. Larutan stok ekstrak buah
mentah harendong dan vitamin C dibuat masing-masing dengan konsentrasi 10
mg/mL dalam PBS 1X. Larutan stok ekstrak buah mentah harendong disentrifugasi
pada 2400 rpm selama 10 menit dan dilakukan filtrasi terhadap supernatan
menggunakan filter selulosa asetat berpori 0.22 μm.
CAPe Assay. Sebanyak 1.5 mL darah utuh pasien talasemia α berat,
talasemia α trait dan normal dalam tabung EDTA disentrifus pada 2400 rpm selama 10 menit.
Kemudian plasma, sel darah putih dan keping darah dibuang sedangkansel darah merah diambil.
Setelah itu sel darah merah dicuci dengan PBS 1X pH 7.4 sebanyak 3 kali. Kemudian sebanyak
100 μL dari sel darah merah talasemia α berat, talasemia α trait dan normal dilarutkan dalam 5
mL PBS 1X untuk pemberian 3 serial konsentrasi ekstrak dari 0.1 sampai 0.016 mg/mL dan
tanpa perlakuan. Seluruh sampel sel darah merah tersebut secara paralel diinkubasi pada suhu
ruang selama 20 menit dalam ruang gelap. Setelah diinkubasi, sel darah merah di cuci
dengan PBS 1X sebanyak 3 kali dengan pencucian pertama dan kedua disentrifus
pada kecepatan 2400 rpm selama 2.5 menit, pencucian ketiga pada kecepatan 2400
rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang kemudian pelet dilisis dengan 80 μL
ddH2O dan diinkubasi selama 5 menit. Setelah itu, sel darah merah yang lisis
dipindahkan sebanyak 70 μL ke dalam 96-well microplate. Larutan stok DCFDA
disiapkan dengan sebanyak 0.06 mg DCFDA dilarutkan dalam 0.2 mL DMSO lalu dikocok
dengan vortex hingga homogen. Sebanyak 50 μL DCFDA (konsentrasi akhir 16.25 μM)
dicampurkan ke dalam 96-well microplate dan diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit
dalam ruang gelap. Setelah itu ditambah 50 μL H2O2 (konsentrasi akhir 0.0004 %) diinkubasi
pada suhu ruang selama 30 menit dalam
ruang gelap. Lalu diukur intensitas fluoresens (IF) menggunakan Spectra
Fluoresence Plate Reader dengan eksitasi pada 485 nm dan emisi 535 nm pada
pengaturan optimal. Aktivitas penghambatan radikal bebas ditentukan dari
penurunan intensitas fluoresens setelah diberi serial konsetrasi.

HASIL
3
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak
Kadar air ditentukan berdasarkan AOAC (2004) dengan prinsip menghitung
banyaknya air yang terkandung dalam simplisia. Gambar 2 menunjukkan kadar air
ekstrak buah mentah harendong lebih rendah dibanding dengan daun sebesar 3.24
± 0.23% dan 4.76 ± 0.39%. Rendemen ekstrak terkoreksi kadar air juga didapatkan
yaitu buah lebih tinggi dibanding dengan daun sebesar 9.5% dan 5.7%. Hal ini
menunjukkan kandungan air yang rendah pada simplisia akan memberikan
rendemen ekstrak lebih tinggi.
Fitokimia
Bahwa pada umumnya ekstrak buah mentah dan ekstrak daun harendong mengandung
alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan triterpenoid namun tidak mengandung steroid. Kandungan
flavonoid ekstrak buah mentah harendong lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak daun
harendong. Sebaliknya kandungan tanin ekstrak daun harendong lebih tinggi dibandingkan
dengan ekstrak buah mentah harendong. Walau demikian kedua ekstrak mengandung tinggi
saponin dan rendah triterpenoid.

Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan ditentukan dari kemampuan menangkal 50% radikal
bebas yang disebut inhibition concentration (IC50) pada ekstrak buah mentah dan daun
harendong dengan kontrol positif yaitu vitamin C. IC50 terendah yaitu ekstrak buah mentah
harendong sebesar 6.48 ± 0.75a μg/mL dan tertinggi yaitu ekstrak daun harendong sebesar 10.95
± 0.13b μg/mL. Hal ini menunjukkan aktivitas antioksidan ekstrak buah mentah harendong lebih
tinggi
dibandingkan dengan ekstrak daun harendong (p > 0.05). Walau demikian kedua ekstrak
tergolong antioksidan yang sangat kuat (IC50 < 50 μg/mL) seperti vitamin C yang memiliki IC50
sebesar 7.27 ± 1.81a μg/mL.
Bioaktivitas
Kemampuan bioaktivitas ekstrak buah mentah dan ekstrak daun harendong
ditentukan dalam lethality concentration (LC50) yaitu konsentrasi untuk mematikan
larva sebesar 50%. Gambar 5 menunjukkan bahwa ekstrak buah mentah harendong
memiliki LC50 (782.41 μg/mL) lebih rendah dibandingkan dengan LC50 ekstrak
daun harendong (1123.48 μg/mL). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan bioaktivitas ekstrak
buah mentah harendong lebih tinggi dibanding dengan ekstrak
daun harendong.
Cell-based Antioxidant Protection in Erythrocyte (CAP-e)
Aktivitas antioksidan dalam sel darah merah ditentukan menggunakan uji
CAPe. Uji ini menggunakan reagen DCFDA yang dapat berfluoresens ketika bereaksi dengan
ROS dalam sel. Parameter yang digunakan berupa intensitas fluoresens (IF). Penurunan IF
menunjukkan penurunan ROS dalam sel. Intensitas flouresens dianalisis dari sel darah merah
normal (N1, N2 dan N3), talasemia α trait (T1 dan T2), serta talasemia α berat (P1 dan P2) yang
diberi serial konsentrasi 0.1 mg/mL, 0.08 mg/mL, dan 0.016 mg/mL baik vitamin C (kontrol
positif) dan ekstrak buah mentah harendong. Kontrol negatif menunjukkan kondisi sel darah
merah ditambah dengan DCFDA dan diinduksi H2O2 sedangkan blanko menunjukkan kondisi sel
darah merah yang hanya ditambah DCFDA.
Hasil yang didapatkan yaitu rerata IF blanko talasemia α trait (T1 dan T2)
lebih tinggi dibandingkan dengan talasemia α berat (P1 dan P2) dan normal (N1,
N2 dan N3). Rerata IF kontrol negatif lebih tinggi dibanding blanko namun
memberikan IF yang berbeda pada masing-masing individu. Hal ini menunjukkan
induksi stres oksidatif oleh H2O2 dapat membuat sel menjadi stres namun respon
yang diberikan berbeda tiap individu.

4
PEMBAHASAN
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak
Kadar air ditentukan dari simplisia buah mentah dan daun harendong
sedangkan rendemen ekstrak ditentukan dari simplisia yang telah diekstrak
terkoreksi kadar air. Hasil penelitian menunjukkan kadar air buah mentah lebih
rendah dibandingkan dengan daun harendong. Akan tetapi rendemen ekstrak buah mentah lebih
tinggi dibanding dengan daun harendong. Syafitri (2013) melakukan
penelitian kadar air dan rendemen ekstrak dari buah mentah dan buah matang
harendong dengan hasil kadar air dan rendemen ekstrak buah mentah lebih rendah
dibandingkan dengan buah matang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
bahwa buah mentah memiliki kadar air yang rendah. Artinya simplisia buah mentah
akan memungkinkan tidak mudah dirusak oleh mikroba. Sesuai dengan ketentuan
standar simplisia dari Depkes (2008) yaitu kurang dari 10%. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa kadar air daun lebih besar dibanding dengan buah mentah
sehingga simplisia daun akan lebih mudah dirusak dibanding buah.
Simplisia ditapis menggunakan pengayak 100 mesh sehingga akan memudahkan paparan
antara pelarut dengan senyawa metabolit sekunder. Teknik
ekstraksi yang digunakan adalah maserasi. Teknik ekstraksi ini memiliki prinsip
perendaman simplisia dalam pelarut dengan perbandingan 1:10. Waktu maserasi
dan perlakuan diputar pada kecepatan 130 rpm akan menambah dan mempercepat
paparan simplisia dengan pelarut. Hasil yang didapatkan yaitu rendemen ekstrak
buah mentah lebih tinggi dibandingkan dengan daun. Artinya senyawa metabolit
sekunder yang terdapat pada buah mentah lebih banyak dibanding daun.
Hubungan antara rendemen ekstrak dengan kadar air dapat dijelaskan bahwa dalam bobot
yang sama, kandungan air dari daun lebih besar dibanding dengan buah mentah. Artinya
kandungan senyawa metabolit di daun akan lebihsedikit dibanding buah mentah sehingga saat
dilakukan ekstraksi dan pemekatan maka rendemen ekstrak buah mentah akan lebih besar
dibanding daun. Sesuai dengan Heldt (2006) yang menjelaskan bahwa air digunakan untuk
proses fotosintesis di daun dan tidak disimpan dalam buah mentah.
Fitokimia
Tumbuhan harendong telah diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) No. 1900/IPH.1.01/If.07/IX2016 dengan nama spesies Melastoma malabatrichum L.
Kandungan fitokimia golongan flavonoid pada buah mentah harendong lebih tinggi
dibandingkan dengan daun harendong namun memiliki kandungan saponin yang sama tinggi
secara kualitatif. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Joffry et al. (2012) yang menunjukkan
daun harendong mengandung flavonoid dan saponin namun penelitian lain oleh Danladi et al.
(2015)
menunjukkan daun harendong mengandung flavonoid dan tidak mengandung saponin. Syafitri
(2013) juga memberikan hasil flavonoid yang tinggi pada buah namun tidak mengandung
saponin. Kemudian hasil penelitian juga menunjukkan buah dan daun harendong mengandung
sedikit alkaloid, tanin, triterpenoid dan tidak mengandung steroid secara kualitatif. Berbeda
dengan penelitian oleh Danladi et al. (2015) yang menunjukkan daun harendong memiliki
steroid namun Joffry et al. (2012) menunjukkan daun harendong tidak mengandung alkaloid.
Hasil penelitian Syafitri (2013) terhadap buah harendong memberikan hasil yang sama terhadap
hasil penelitian yang dilakukan.
Perbedaan hasil fitokimia dengan hasil penelitian sebelumnya disebabkan
oleh jenis pelarut yang digunakan serta kandungan fitokimia pada buah dan daun
harendong. Penelitian ini menggunakan pelarut etanol 70% yaitu campuran antara

5
etanol dan air sehingga mempunyai sifat semipolar. Bandar et al. (2013) merekomendasikan
kondisi optimal ekstraksi dapat digunakan dengan campuran
etanol dan air, kemudian BPOM (2004) menjelaskan bahwa proses ekstraksi untuk
aplikasi obat herbal menggunakan campuran etanol dan air. Pemilihan pelarut ini
diperkuat oleh penelitian Syafitri (2013) yang menunjukkan ekstrak dengan pelarut
etanol 70% dan etanol 96% mengandung senyawa fitokimia yang lebih banyak
kualitasnya dibanding pelarut air secara kualitatif pada buah harendong. Penelitian
lain oleh Awang et al. (2016) memberikan hasil rendemen ekstrak pada daun
harendong terbesar terdapat pada pelarut air, namun kandungan fitokimia seperti
rutin dan kuersetin paling banyak terdapat pada pelarut campuran etanol dan air.
Menurut Awang et al. (2016) pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi memiliki
peranan penting terhadap kandungan fitokimia yang terekstrak.
Penelitian oleh Danladi et al. (2015) menunjukkan bagian daun, bunga,
buah dan batang harendong mengandung fitokimia yang berbeda. Secara umum
senyawa metabolit sekunder tersebar dibeberapa bagian tumbuhan yang dibagi
menjadi empat grup besar yaitu fenolik, terpenoid, pseudo-alkaloid dan alkaloid.
Golongan fenolik disintesis melalui jalur sikimat dalam kloroplas sel tumbuhan.
Salah satu golongan fenolik adalah flavonoid yang terakumulasi di dalam vakuola dan umumnya
dalam bentuk terglikosilasi. Contohnya adalah pigmen warna pada bunga dan buah seperti
antosianin. Golongan fenolik lainnya adalah tanin yang terdapat dibagian batang, buah, daun dan
akar dari tumbuhan (Michal dan Schomburg 2012). Senyawa metabolit sekunder yang umumnya
bersifat polar akan
lebih mudah diekstrak dengan pelarut polar. Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak
senyawa lain seperti protein, asam organik dan gula (Bandar et al. 2013) sehingga pelarut etanol
70% yang digunakan untuk ekstraksi akan berpengaruh terhadap senyawa aktif yang terekstrak.

Total Flavonoid
Pengujian total flavonoid pada penelitian ini menggunakan satuan mg QE/g
ekstrak. Nilai ini memberikan banyaknya miligram ekuivalen kuersetin dalam gram
ekstrak buah dan daun harendong. Penelitian oleh Danladi et al. (2015) memberikan hasil yang
berbeda yaitu total flavonoid buah lebih rendah dibanding daun dengan nilai secara berurutan
18.94 ± 1.93 mgQE/g dan 60.29 ± 3.3 mgQE/g. Danladi et al. (2015) dalam penelitian lain
menunjukkan total flavonoid daun tertinggi di beberapa lokasi yaitu 102.92 ± 12.77 mgQE/g.
Hasil yang berbeda juga ditunjukkan oleh Alnajar et al. (2012) yaitu total flavonoid ekstrak
etanol daun sebesar 85.8 ± 0.009 mg/g. Kemudian Syafitri (2013) menunjukkan total flavonoid
ekstrak buah sebesar 225.50 ± 12.63 mgCE/g pada pelarut etanol 96%.
Perbedaan hasil penelitian yang dilakukan dengan penelitian lainya karena pelarut, lokasi
pengambilan sampel, serta perbedaan yang terkandung dalam buah dan daun harendong.
Penelitian oleh Danladi et al. (2015) menggunakan pelarut metanol, teknik maserasi dan diambil
dari Malaysia. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa di lokasi yang berbeda akan memberikan
hasil total flavonoid yang berbeda. Hasil penelitian tersebut dapat juga dimungkinkan pada
spesies yang sama jika diekstrak dengan etanol akan menghasilkan total flavonoid lebih banyak
dibanding metanol. Hal ini karena masing-masing pelarut mempunyai indeks kepolaran yang
berbeda sehingga senyawa golongan flavonoid yang terekstrak akan berbeda juga. Indeks
kepolaran metanol lebih besar dibanding etanol karena metanol hanya memiliki satu karbon dan
satu gugus hidroksil, sedangkan etanol memiliki dua karbon dan satu gugus hidroksil. Semakin
banyak atom karbon yang dimiliki maka tingkat kepolaran akan semakin menurun atau semakin
nonpolar.
Sehingga metanol akan lebih banyak menarik senyawa yang bersifat polar pada
ekstrak, artinya senyawa selain metabolit sekunder yang bersifat polar akan

6
terekstrak juga.
Pelarut etanol bersifat semipolar atau kepolarannya lebih rendah dibanding
metanol sehingga dapat mengekstrak senyawa yang semipolar juga. Campuran
etanol dan air dapat memberi dampak terhadap senyawa yang terekstrak. Campuran etanol dan
air dimungkinkan dapat mengestrak senyawa golongan flavonoid lebih pekat dibanding metanol,
hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Danladi et al. (2015). Sementara itu,
penelitian lain menunjukkan total flavonoid untuk pelarut etanol juga memberikan hasil yang
berbeda jika spesies yang digunakan berbeda. Hal ini terlihat pada perbandingan hasil penelitian
yang telah dilakukan dengan penelitian oleh Syafitri (2013) yang menggunakan buah mentah
dari Melastoma affine D.Don.
Total flavonoid antara buah mentah dan daun harendong dalam penelitian ini memberikan
perbedaan yang cukup besar. Dimungkinkan karena distribusi flavonoid berbeda untuk tiap
bagian dari tumbuhan. Flavonoid adalah salah satu kelompok metabolit sekunder terbesar.
Biosintesis untuk menghasilkan senyawa flavonoid melalui jalur sikimat dan jalur poliketida.
Sumbernya adalah Malonil -KoA dan 4-Kumaroil-KoA. Kalkon sintase akan menjadi katalis 3
molekul malonil- KoA dan menghilangkan 3 CO2 menjadi naringenin kalkon, yaitu bahan dasar
pembentukan flavan untuk semua jenis flavonoid. Kemudian flavonoid akan terakumulasi di
vakuola sel dalam bentuk terglikosilasi. Contohnya adalah antosianin, yaitu senyawa yang
memberi warna pada bunga dan buah. Selain itu, flavonoid juga terdapat pada sel mesofil sebagi
pelindungan terhadap sinar UV. Akan tetapi secara penyebarannya golongan flavonoid akan
banyak terdistribusi dibagian buah dan bunga dibanding daun sebagai pemberi warna seperti
apel, ceri, blueberry, anggur dan termasuk buah harendong yang berwarna ungu kemerahan
(Michal dan Schomburg 2012). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan
kandungan total flavonoid buah mentah lebih tinggi dibandung daun harendong.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan kandungan
flavonoid buah lebih rendah dibanding dengan daun. Hasil ini dapat dijelaskan dari
sampel buah yang digunakan dalam penelitian. Penelitian oleh Syafitri (2013)
menunjukkan total flavonoid buah mentah lebih tinggi dalam dua pelarut yaitu
pelarut etanol 96% dan etanol 70% dibanding buah matang. Hal ini disebabkan
buah matang mengandung flavonoid yang terglikosilasi sedangkan buah mentah
belum. Adanya kandungan gula menyebabkan total flavonoid lebih rendah. Oleh karena itu
penelitian dengan total flavonoid buah lebih rendah dari daun
dimungkinkan menggunakan buah matang.

Aktivitas Antioksidan
Kemampuan penghambatan radikal bebas dari suatu bahan alam dapat menggunakan uji
DPPH. Uji ini menggunakan radikal bebas yang stabil yaitu DPPH. Prinsip uji DPPH yaitu
donor hidrogen oleh bahan alam kepada DPPH
sehingga menjadi bentuk DPPH tereduksi. Akibat reaksi ini warna violet DPPH
akan berubah menjadi kuning. Perubahan warna ini diukur pada panjang gelombang
510 nm sehingga dapat ditentukan kemampuan ekstrak dalam menangkal radikal bebas dalam
bentuk IC50 (Molyneux 2004). Worlstad et al. (1990) menjelaskan
bahwa kemampuan antioksidan di kelompokan menjadi sangat kuat (IC50 <50
μg/mL), kuat (IC50 50-100 μg/mL), menengah (IC50 100-150 μg/mL), lemah (IC50150-200
μg/mL) dan sangat lemah (IC50 > 200 μg/mL). Berdasarkan referensi ini, kemampuan antioksidan
buah dan daun termasuk sangat kuat. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan kontrol (Vitamin C), buah mentah harendong memiliki kemampuan yang
sama terhadap kontrol, sedangkan daun harendong tidak (p >0.05).
Penelitian yang dilakukan oleh Danladi et al. (2015) menunjukkan hasil IC50
buah lebih rendah dibanding daun sebesar 152 μg/mL untuk buah dan 280 μg/mL

7
untuk daun. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan, maka hal
ini menunjukkan kesesuaian bahwa kemampuan buah dalam menghambat radikal bebas lebih
tinggi dibanding dengan daun harendong. Berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Danladi et al. (2015) terhadap daun harendong menunjukkan
IC50 terendah dari beberapa lokasi yaitu 1.4 μg/mL, lebih rendah dibanding IC50
buah dalam penelitian sebelumnya. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Syafitri
(2013) menujukkan IC50 dari buah mentah sebesar 0.01 μg/mL.
Perbedaan hasil penelitian dengan yang telah dilakukan sebelumnya
dimungkinkan karena teknik pengujian. Molyneux (2004) menjelaskan bahwa
dalam pengujian DPPH perlu mempertimbangkan tentang volume reaksi,
konsentrasi reagen, pelarut dan pH dan waktu reaksi. Volume reaksi yang terlalu
kecil akan mengurangi keakuratan dalam volume tersebut karena sedikit volume
yang kurang atau bertambah akan merubah konsentrasi reaksi. Jika absorbansi
masih memungkinkan berarti volume yang digunakan masih termasuk akurat.
Pelarut yang biasa digunakan adalah metanol atau etanol namun penggunaan
pelarut lain seperti air atau aseton akan memberikan nilai yang rendah pada
kemampuan reduksi. Begitu juga dengan pH reaksi yaitu sekitar 5 – 6.5 walau belum begitu jelas
pengaruh pH terhadap sistem reaksi. Menurut Molyneux (2004)
konsentrasi reagen DPPH yang optimal adalah 100 μM. Jika disimpan dalam
bentuk stok maka kemampuan bersifat radikal menurun 2-4% per minggu. Waktu
reaksi yang direkomendasi adalah 30 menit, walaupun dari beberapa prosedur
menggunakan 5 menit (Lebeau et al. 2000) dan10 menit (Schwarz et al. 2001).
Selain pertimbangan dalam hal teknis, kandungan dominan dari buah dan
daun harendong juga berbeda. Susanti et al. (2008) melakukan isolasi senyawa aktif
pada daun harendong yang mengandung α-amyrin, kuersetin, kuersitrin dan
kaempferol-3-O-β-glukosida. Bahkan setelah dilakukan uji DPPH terhadap
senyawa tersebut menunjukkan IC50 dari kuersetin lebih rendah dibanding vitamin
C dan vitamin E. Hal ini menunjukkan bahwa peran antioksidan dalam daun
harendong dimungkinkan adalah kuersetin. Singh et al. (2014) melaporkan bahwa
kandungan yang berperan sebagai antioksidan dalam buah harendong yaitu
sianidin-3-glukosida dan sianidin-3,5-diglukosida. Kedua senyawa tersebut
merupakan golongan antosianin yang memberikan warna ungu kemerahan pada
buah harendong. Senyawa tersebut stabil pada pH asam dan suhu 30-100 oC (Sayuti
et al. 2015). Penelitian oleh Syafitri (2013) juga menunjukkan buah mentah lebih
tinggi kemampuan dalam menangkal ROS karena senyawa metabolit tidak dalam
bentuk terglikosilasi. Hal ini dijelaskan oleh Khnken dan Heinonen (2003) bahwa
kemampuan antioksidan seperti antosianidin secara umum lebih tinggi dibanding
bentuk terglikosilasinya yaitu antosianin. Gula yang berikatan pada kerangka
antosianin terdapat pada karbon ke 3, 5, 7 dan dominan terdapat pada 3’ dan 5’ di cincin B.
Sedangkan kemampuan antioksidan terdapat di cincin B dari kerangka tersebut sehingga akan
menganggu deprotonisasi saat bereaksi dengan ROS.
Bioaktivitas
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah alternatif pengujian untuk
mengamati toksisitas dari suatu ekstrak bahan alam (Meyer et al. 1982). Pengujian
ini menggunakan Artemia salina Leach. sebagai objek uji yang dipaparkan oleh
serial konsentrasi ekstrak. Hamidi et al. (2014) memberikan penjelasan keuntungan
BSLT yaitu cepat karena cukup 24 jam untuk terpapar oleh ekstrak, sederhana, tidak
memerlukan teknik aseptik, murah dan derajat pengulangan yang tinggi
(Vanhaecke et al. 1981). Selain itu, pengujian BSLT juga mempertimbangkan yaitu standarisasi
eksperimen berdasarkan temperatur, salinitas, aerasi, cahaya dan pH

8
yang ideal. Bahkan dibeberapa studi menunjukkan pengaruh pelarut yang
digunakan menjadi krusial karena akan memungkinkan bersifat toksik terhadap A.
salina Leach. Desain eksperimen juga memerlukan kontrol negatif untuk
menunjukkan bahwa selama pengerjaan tidak terkontaminasi atau tergganggu oleh
senyawa lain.
Hasil menunjukkaan LC50 buah lebih rendah dibanding daun. Artinya buah
akan bersifat toksik dan membunuh 50% populasi jika dipaparkan pada konsentrasi
782.41 μg/mL, sedangan buah pada konsentrasi 1123.48 μg/mL dengan uji Probit. Berdasarkan
indeks toksisitas oleh Meyer, ektrak dengan LC50 < 1000 μg/mL maka disebut toksik, sedangkan
ekstrak dengan LC50 > 1000 μg/mL maka disebut tidak toksik sehingga bisa disimpulkan esktrak
buah toksik sedangkan daun tidak toksik. Selain itu, Clarkson et al. (2004) menjelaskan kriteria
toksisitas menjadi tidak toksik (LC50 > 1000 μg/mL), toksiksitas rendah (LC50 500-1000 μg/mL),
toksisitas
menengah (LC50 100-500 μg/mL) dan sangat toksik (LC50 < 100 μg/mL) sehingga ekstrak buah
mentah harendong termasuk dalam toksisitas rendah. Penerapan BSLT digunakan untuk
pengujian awal terhadap kemampuan farmakologi dan bioaktivitas dari suatu bahan alam
(Vidotto et al. 2013). Meskipun tidak berhubungan langsung dengan kemampuan antioksidan
tetapi BSLT dapat menunjukkan bahwa bahan alam dengan sitotoksisitas LC50 < 1000 μg/mL
memiliki potensi sebagai antioksidan. Oleh karena itu, buah mentah harendong mempunyai
kemampuan farmakologi dan bioaktivitas yang lebih tinggi disbanding dengan daun harendong
sehingga prospek kedepan untuk pengobatan bias dikembangkan dari buah mentah harendong.
Cell Based Antioxidant Protection in Erythrocyte (CAPe)
Uji CAPe digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan yang mampu masuk ke
dalam sel. Uji ini telah mendapat U.S. Patent Application Ser. No.
12/740,776 untuk menentukan aktivitas antioksidan dari suatu bahan alam
menggunakan sel darah merah. Uji ini juga dapat menentukan kemampuan
antioksidan yang dapat masuk dan menghambat radikal bebas dalam sel darah
merah. Prinsip pengujian yaitu menentukan IF dari pemberian serial konsentrasi
ekstrak untuk menangkal senyawa radikal bebas dalam sel darah merah menggunakan penanda
fluoresens. Intensitas flouresens diukur menggunakan spectrafluor plate reader sebagai respon
terhadap aktivitas penghambatan senyawa radikal (Jensen dan Falls 2013).
Individu dikelompokkan menjadi 3 kondisi yaitu normal (N1, N2 dan N3),
talasemia α trait (T1 dan T2) dan talasemia α berat (P1 dan P2). Kondisi ini berdasarkan tingkat
kerusakan mutasi gen globin α bahwa semakin banyak mutasi menyebabkan semakin tinggi
kerusakan oksidatif. Darah individu dalam EDTA dipisahkan dari sel darah putih, trombosit dan
plasma sehingga didapatkan sel darah merah dengan konsentrasi 107 sel/mL dan disimpan selama
3 hari pada 4 oC. Uji ini menggunakan vitamin C sebagai kontrol positif. Teknik pengujian ini
dikondisikan sama sehingga hanya dipengaruhi dari kemampuan aktivitas antioksidan oleh
vitamin C dan ekstrak buah mentah harendong.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian vitamin C dan ekstrak buah
mentah harendong pada setiap serial konsentrasi tidak dapat menurunkan stres
oksidatif pada semua individu. Terlihat dari IF setiap serial konsentrasi lebih tinggi
dari kontrol negatif sehingga tidak dapat menurunkan senyawa radikal bebas dalam
darah. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Tingginya
konsentrasi vitamin C dan ekstrak buah menyebabkan efek balik dari antioksidan
menjadi prooksidan. Prooksidan merupakan senyawa yang dapat menginduksi stres
oksidatif baik dengan cara menghasilkan ROS atau menghambat sistem antioksidan. Telah
dilaporkan bahwa beberapa golongan flavonoid dapat bertindak sebagai prooksidan, termasuk
juga vitamin C pada konsentrasi yang tinggi (Rahal et al. 2014). Kemampuan antioksidan dan
prooksidan pada flavonoid tergantung dari strukturnya. Semakin banyak gugus OH bebas maka

9
tingkat prooksidan akan semakin besar. Selain itu, terdapatnya glikosilasi pada atom C3 dari
flavonoid dengan gula akan membuat modifikasi pada struktur gugus OH sehingga
menginaktivasi sifat prooksidan. Ekstrak buah yang digunakan mengandung total flavonoid yang
cukup tinggi dengan golongan antosianin. Struktur antosianin memiliki 2 gugus OH dan tidak
terglikosilasi karena berasal dari buah mentah (Syafitri 2013). Sehingga akan mengaktivasi sifat
prooksidan dari flavonoid
tersebut dan terdapatnya gugus OH akan membuat peluang sifat prooksidan
semakin besar.
Vitamin C akan bersifat antioksidan dan prooksidan masing-masing sebesar
30-100 mg/kg berat badan dan 1000 mg/kg berat badan. Vitamin C dalam konsentrasi besar akan
bereaksi dengan ROS membentuk semidehidro atau asam dehidroaskorbat (DHA). DHA akan
diregenerasi oleh enzim antioksidan yang
terdapat di sel (semidehidroaskorbat reduktase) kembali menjadi vitamin C yang
fungsional. Saat kelebihan ion logam, vitamin C akan mereduksi logam tersebut
dan teroksidasi menjadi DHA. Selama proses ini akan terbentuk hidrogen peroksida
kemudian bereaksi dengan logam tereduksi membentuk radikal hidroksil melalui
reaksi Fenton (Rahal et al. 2014). Akibatnya akan semakin banyak ROS yang
terbentuk dan menyebabkan intensitas fluoresens yang tinggi.
Blanko menunjukkan kondisi aktual oksidatif dari individu atau batas
bawah terhadap perlakuan yang diberikan. Rerata IF blanko yang berbeda menunjukkan tingkat
oksidatif tiap individu yang berbeda. Cheng et al. (2005)
menjelaskan bahwa semakin banyak mutasi pada globin α maka tingkat oksidatif
akan semakin tinggi. Seharusnya IF dari P1 dan P2 lebih tinggi dibanding dengan
T1 dan T1 disusul N1, N2 dan N3. Perbedaan ini dimungkinkan karena perbedaan metabolisme
masing-masing individu yang dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal seperti nutrisi,
konsumsi vitamin, gaya hidup dan lingkungan. Jika diurutkan IF dari tertinggi hingga terendah
(T2> T1> P2> N2>P 1> N1> N3) maka kondisinya berbeda dengan teori. Talasemia α berat
adalah individu yang memiliki mutasi dan memerlukan transfusi darah tidak reguler. Mutasi
tersebut akan menyebabkan stres oksidatif akibat terdapatnya globin yang tidak berikatan dan
tumpukan dari ion besi. Talasemia α trait adalah individu yang memiliki mutasi namun tidak
transfusi. Hal ini karena produksi hemoglobin masih mencukupi untuk mengangkut oksigen
sehingga tidak membutuhkan transfusi namun terdapatnya mutasi akan membentuk rantai globin
yang tidak berpasangan dan produksi senyawa radikal bebas. Individu normal adalah individu
yang tidak memiliki mutasi dan tidak transfusi. Sehingga kondisinya dalam keadaan produksi
senyawa radikal bebas rendah dan produksi hemoglobin normal.
Rahal et al. (2014) menjelaskan bahwa nutrisi dan pekerjaan dapat
mempengaruhi kondisi stres oksidatif seseorang. Nutrisi memiliki peranan penting
dalam stres oksidatif secara eksternal termasuk tipe, kualitas dan keseimbangan
nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak serta makro dan mikronutrien.
Berbagai macam zat yang diangkut dalam sel darah merah menyebabkan 1-2%
oxyHb (Fe2+) dalam hemoglobin teroksidasi menjadi metHb (Fe3+) sehingga menginduksi
pembentukan senyawa radikal melalui reaksi Fenton. Pekerjaan dan
gaya hidup juga memberi pengaruh terhadap stress oksidatif seperi produksi ROS
dan Reatcive Nitrogen Species (RNS) saat kontraksi dan relaksasi otot. Semakin
berat beban suatu pekerjaan maka akan meningkatkan produksi ROS dalam tubuh.
Secara biokimia, stres oksidatif akan terjadi ketika proses homeostasis gagal dan
produksi ROS lebih besar dari kapasitas antioksidan alami dalam tubuh sehingga
menyebabkan kerusakan DNA, protein dan peroksidasi lipid. Nutrisi dan pekerjaan yang berbeda
dari tiap individu akan mempengaruhi tingkat oksidatif dalam darah. Meskipun seperti itu, secara
umum dapat dilihat bahwa individu normal memiliki kondisi oksidatif lebih rendah dibanding

10
trait dan pasien sehingga dapat dikatakan selain nutrisi dan pekerjaan, terdapatnya mutasi pada
globin α menyebabkan
peningkatan pada produksi ROS.
Kontrol negatif merupakan individu yang diberi induksi stres oksidatif. Hasil yang
didapatkan adalah berbeda nyata pada taraf (p > 0.05) tiap individu dengan masing-masing N1e,
N2b,c,d, N3a, T1d,e, T2a,b, P1a,b dan P2b,c,d. Jika diurutkan IF dari tertinggi ke terendah yaitu
N1>T1>P2>N2>P1>T2>N3. Hasil ini
membuktikan bahwa pemberian induksi stres oksidatif H2O2 dalam uji berhasil
dilakukan karena mempunyai IF lebih tinggi dibanding blanko, namun memberikan
respon yang berbeda tiap individu. Voskou et al. (2015) menjelaskan bahwa
terdapatnya rantai globin α bebas yang tidak fungsional akan mengakibatkan terjadinya oksidasi
denaturasi hemoglobin. Proses ini memproduksi ROS dan ion
besi melalui reaksi Fenton sehingga menyebabkan stres oksidatif. Oleh karena itu, saat pasien
diinduksi stres oksidatif akan memberikan tingkat oksidatif terbesar
dibanding trait dan normal. Hasil yang berbeda didapatkan yaitu tingkat stres
oksidatif normal lebih tinggi dibanding dengan trait dan pasien. Hal ini karena
ketersediaan dan kompensasi total antioksidan dalam sel darah merah yang berbeda tiap individu
dan tingkat keparahan secara klinis. Mekanisme antioksidan alami
dalam sel darah merah dapat dilakukan oleh beberapa proses enzimatis seperti
superoksida dismutase, katalase, glutation transferase dan tioredoksin reduktase.
Penelitian stres oksidatif menggunakan parameter malondialdehyde (MDA) dan
superoxide dismutase (SOD) telah dilakukan oleh Nainggolan (2014).
Penelitian tersebut menggunakan 6 pasien talasemia α dengan genotipe yang sama
(delesi 3.7 kb/Cd59). Hasil penelitian memperlihatkan konsentrasi MDA pada
kelompok pasien lebih dari 7 kali lipat dibanding normal, sedangkan konsentrasi
SOD pada pasien hampir 3 kali lipat dibanding normal. Berdasarkan penelitian ini dapat
diketahui bahwa beban stres oksidatif yang meningkat pada pasien talasemia memicu
antioksidan endogen meningkat tetapi tidak cukup untuk meredam efek radikal bebas yang
terjadi. Oleh karena itu, penelitian antioksidan dari ekstrak harendong dengan konsentrasi yang
digunakan pada penelitian ini kemungkinan
masih belum cukup memberi efek yang signifikan dalam mengatasi stres oksidatif
pada pasien talasemia α yang diperiksa.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Ekstrak etanol 70% dari buah dan daun harendong berhasil dilakukan
dengan aktivitas antioksidan buah mentah lebih baik dibanding daun sebesar 6.48
± 0.75 μg/mL. Aktivitas antioksidan dari buah tidak memberikan pengaruh
terhadap darah penderita talasemia α. Pemberian serial konsentrasi ekstrak buah yang digunakan
dalam penelitian ini menimbulkan efek prooksidan pada normal,
trait dan talasemia α.
Saran
Perlu dilakukannya uji antioksidan menggunakan ekstrak buah harendong
dengan konsentrasi yang lebih rendah dan juga menggunakan antioksidan dari
sumber bahan alam lainnya agar ditemukan kemampuan aktivitas antioksidan yang
lebih baik dalam menangkal stres oksidatif tidak saja pada penderita talasemia α
melainkan pada talasemia β juga. Jumlah pasien talasemia yang digunakan sebaiknya lebih
banyak dengan genotipe yang lebih homogen.

11
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Associaton of Official Analytical Chemist. 2006. Official methods of
Analysis.Wahington DC( US): Associaton of Official Analytical Chemist.
Aqil F, Ahmad I, Murkovic M. 2002. The detection of radical scavenging
compounds in crude extract of Borage (Borago offivials L.) by using online
HPLC-DPPH method. J Biochem Biophys Methods. 53:1-3.
Awang MA, Aziz R, Sarmidi MR, Abdulllah LC, Yong PK, Musa NF. 2016.
Comparison of different solvents on the extraction of Melastoma malabatrichum
leaves using soxhlet extraction method. Der Pharmacia Lettre. 8(17):153-157.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004.
Ekstrak Tumbuhan Indonesia Vol. 2. Jakrata(ID): BPOM.
Bandar H, Hijzi A, Rammal H, Hachem A, Saad Z, Badran B. 2012. Techniques
for the extraction of bioactive compounds from Lebanese Urtica dioca.
American Journal of Phytomedicine and Clinical Therapeutics. 1(6):507-513.
Chang C, yang M, Wen H, Chern J. 2004. Estimation of total falvonoid content in
propolis by two complementary colorimetric methods. J. Food Drug Anal.
10:178-182.
Cheerva AC. 2016. Alpha Thalassemia. MedScpae. http://emedicine.medscpae.com
(17 Agustus 2016).
Clarkson C, Maharaj VJ, Crouch NR, Grace OM, Pillay P, Matsabisa MG,
Bhagwandin N, Smith PJ, Folb PI. 2004. In vitro antiplasmodial activity of
medicinal plants native to or naturalized in South Africa. J. Ethnopharm. 92:177-
191.
Danladi S, Wan-Azemin A, Sani YN, Mohd KS, Us MR, Manshor SM, Dharmaraj
S. 2015. Phytochemical screening, antioxidant potential and cytotoxic activity
of Melastoma malabatrichum Linn. From different locations. International
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 7(7): 408-413.
Danladi S, Wan-Azemin A, Sani YN, Mohd KS, Us MR, Manshor SM, Dharmaraj
S. 2015. Phytochemical screening, total phenolic and total flavonoid content and
antioxidant activity of different parts of Melastoma malabatrichum. Junral
Teknologi. 77(2): 63-68.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta(ID):
Depkes RI.

12
BAB IV
DALAM PANDANGAN ISLAM

INJAUAN THIBBUN NABAWI


1. Pengertian Thibbun Nabawi
Thibbun Nabawi” adalah tata cara pengobatan Rasulullah Shallallahu'Alaihi waSallam.
Thibbun Nabawi meliputi banyak hal, diantaranya adalah, madu, jintan hitam, air mawar, cuka
buah, air zam-zam, kurma, tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis makanan dan minuman yang
menyehatkan lainnya
2. Konsep Pengobatan
Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan dari bin Jubair, dari ibnu Abbas, dari Nabi
SAW :“Kesembuhan itu ada 3 dengan meminum madu (bisyur-bata’asala) syatan pisau
bekam(syurthotamihjam), dan dengan besi yang panas ( kaytanaar) dan aku melarang ummatku
melakukan pengobatan dengan besi panas.”“Gunakanlah 2 penyembuhan, Al-qur’an dan Madu.”
(HR.Attabrani dari Abu Hurairah).
Masih banyak dalil shahih yang menjelaskan pengobatan Nabawi.
Hukum dasar buah herendong sebenarnya halal dikonsumsi selama memenuhi unsur kehalalan
dan tayib meskipun pada zaman Nabi belum melakukan pengobatan dengan bauh herendong.
Ketentuan itu termaktub dalam ayat, “Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).

Surat An-Nahl Ayat 69

13
‫س‬ َ َّ ‫منْكُاِّل لث‬
ْ ‫م َراتِفَا‬ ِ ‫مكُلِي‬ َّ ُ ‫ختَلِفٌث‬
ْ ‫م‬ُ ٌ ‫اش َراب‬ َ َ‫منْبُطُونِه‬ ِ ‫ج‬ُ ‫خ ُر‬ْ َ‫ي‬
ۗ ‫اس‬ ‫لن‬ِ ‫ل‬ ‫ء‬
ٌ ‫َا‬
‫ف‬ ‫ش‬ ‫يه‬ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ان‬‫و‬ ْ ‫ل‬َ ‫لُكيسبلَربكذُلُاًل ۚ أ‬
ِ َّ ِ ِ ُ َِ ُ ِ ِّ َ ُ ُ ِ
َ ‫ميَتَفَك َّ ُرو‬
‫ن‬ ٍ ْ‫ةلِقَو‬ ً َ ‫فيذَٰلِكَآَل ي‬ِ َّ ‫إِن‬
Arab-Latin: ṡummakulīmingkulliṡ-ṡamarātifaslukīsubularabbikiżululā, yakhruju mim
buṭụnihāsyarābummukhtalifunalwānuhụfīhisyifā`ullin-nās,
innafīżālikala`āyatalliqaumiyyatafakkarụn

“ Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.”
Tumbuhan yang diciptakan Allah ternyata lebih berkhasiat ya di banding dengan
pengobatan medis yang diciptakan oleh manusia, seperti kemoterapi. Berbagai tumbuh-
tumbuhan memang telah diciptakan Allah untu manusia. Sekarang tinggal kita sebagai manusia
yang telah diberi akal untuk mengolah dan mempergunakan khasiat alam itu yang begitu luar
biasa untuk kesehatan manusia.

14
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembeluh darah merah sehingga umur eritrosit menjadi pendek
(kurang dari 100 hari).
Asuhan keperawatan thalasemia yaitu meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
dan intervensi. Pada pengkajian meliputi identitas klien, riwayat penyakit klien, dan
pemeriksaan fisik. Ada 5 diagnosa keperawatan pada penyakit thalasemia yaitu
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, intoleransi aktivitas, kecemasan (orang tua), Keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan. Pada intervensi disesuaikan dengan diagnosa yang akan
digunakan.

B. Saran
Diharapkan laporan ini dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai
penyakit thalasemia dan bagaimana pendokumentasian asuhan keperawatan thalasemia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, Hardhi dan Amin Huda Nurarif. 2013. Aplikasi Asuhan Keperwatan Berdasarkan
Diagnosa Medis NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediaAction

Kusuma, Hardhi dan Amin Huda Nurarif. 2015. Aplikasi Asuhan Keperwatan Berdasarkan
Diagnosa Medis NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : MediaAction

Majory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: definition dan classification 2001-2002,
NANDA,

16
17

Anda mungkin juga menyukai