ANEMIA APLASTIK
Disusun Oleh:
Yusuf Bhaskara 1710029075
Pembimbing:
dr. Ifransyah Fuadi, Sp.PD
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan kasus dengan judul “Anemia Aplastik”. Dalam kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan
hingga terselesaikannya tugas ini, diantaranya:
1. dr. Ifransyah Fuadi, Sp.PD, selaku Pembimbing selama menulis laporan
kasus
2. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam, terima kasih atas ilmu yang telah
diajarkan kepada kami.
3. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD
AWS/FK UNMUL dan semua pihak yang telah membantu.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.
Penulis
2
Laporan Kasus
Anemia Aplastik
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Dalam
YUSUF BHASKARA
1710029075
Menyetujui,
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... 1
KATA PENGANTAR........................................................................................ 2
DAFTAR ISI ..................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................. 5
BAB 2 LAPORAN KASUS.............................................................................. 7
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 24
BAB 4 PEMBAHASAN.................................................................................... 43
BAB 5 KESIMPULAN..................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 49
4
BAB 1
PENDAHULUAN
5
tahun dapat mencapai 69% sedangkan dengan pengobatan imunosupresif
mencapai 38% (Shadduck, 2015).
1.2 Tujuan
1. Sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menjalani proses pendidikan
di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam.
2. Menambah pemahaman penulis dan pembaca mengenai anemia
aplastik.
6
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 25 Maret 2019, anamnesis dan pemeriksaan
fisik dilakukan pada 27 Maret 2019 pukul 16.00 WITA. Anamnesis yang
dilakukan berupa autoanamnesis.
ANAMNESIS UMUM
Identitas
Nama : Tn. BL
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Paser
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Suku : Toraja
MRS : 25 Maret 2019 jam 16.30 WITA
ANAMNESIS KHUSUS
Keluhan Utama
Badan lemas
7
menggigil, keringat dingin dan mengigau. Saat demam pasien biasanya membeli
sendiri obat penurun demam. Pasien mengatakan setelah minum obat demamnya
akan turun.
Pasien sering mengalami gusi berdarah sejak 1 bulan yang lalu. Gusi
berdarah biasanya dialami setelah pasien menyikat gigi. Perdarahan yang keluar
sedikit-sedikit namun lama berhenti. Tidak ada keluhan perdarahan di bagian
tubuh lain.
2 bulan yang lalu pasien merasa badannya tiba-tiba semakin lemas dan
kemudian pasien pingsan. Saat itu pasien langsung dibawa ke Puskesmas dan
kemudian pasien dirujuk ke RS Tentara Balikpapan. Di RS Tentara Balikpapan
pasien dikatakan mengalami anemia dan dilakukan transfusi darah. Pasien dirawat
inap selama 3 hari dan kemudian diperbolehkan pulang. Setelah pulang pasien
mengatakan keluhan semakin memberat sehingga 2 minggu yang lalu pasien
kembali dibawa ke RS Tentara Balikpapan. Pasien sempat diberikan transfusi
darah lagi dan pasien dirawat inap selama 6 hari. Pasien kemudian dirujuk ke
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD AWS Samarinda untuk penanganan lebih
lanjut.
8
Tanda Vital
Tekana Darah : 120/80 mmHg (lengan kanan, berbaring)
Frekuensi Nadi : 80 x/menit regular, isi cukup, kuat angkat
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu Tubuh : 36,7°C (axilla)
SaO2 : 98%
Kepala/leher
Umum
Ekspresi : tidak sakit
Rambut : tidak ada kelainan
Kulit muka : tampak pucat
Mata
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : anemis (+/+)
Sclera : ikterus (-/-)
Pupil : isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
Septum deviasi (-)
Sekret (-)
Nafas cuping hidung (-)
Telinga
Bentuk : normal
Lubang telinga : normal, sekret (-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-/-)
Pendengaran : normal
Mulut
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
9
Gusi : perdarahan (-) Hipertropi (-)
Mukosa : hiperemis (-), pigmentasi (-)
Lidah : makroglosia (-), mikroglosia (-), atrofi papil lidah (-)
Faring : hiperemis (-)
Leher
Umum : simetris, tumor (-)
Kelenjar limfe : membesar (-)
Trakea : di tengah, deviasi (-)
Tiroid : membesar (-)
Thorax
Pulmo:
Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi : Kanan : ICS III parasternal line dekstra
Kiri : ICS V sejajar mid axilla line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : Bentuk flat, kulit normal , sikatriks (-), striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, asites (-)
Palpasi : Soefl (+), nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-) ,
defans muscular (-), turgor kulit normal
10
Ekstremitas:
Superior
Ekstremitas hangat, Edema (-), Eritematosa (-), Sianosis (-), Clubbing finger (-),
Palmar eritema (-), palmar pucat (+) Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
Inferior
Ekstremitas hangat, Edema (-), Eritematosa (-), Sianosis (-), Pedis eritema (-),
Kekuatan otot : Kanan = Kiri (5=5)
11
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
KIMIA KLINIK
Ureum 42,0 mg/dL 19,3 – 49,2 mg/dL
Creatinin 1,0 mg/dL 0,7 – 1,3 mg/dL
ELECTROLYTE
Natrium 140 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Kalium 4,5 mmol/L 3,6 – 5,5 mmol/L
Chloride 103 mmol/L 98 – 108 mmol/L
12
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 6,9 g/dL 14,0 – 18,0 g/dL
Hematokrit 21,8 % 37,0 – 54,0 %
Leukosit 1.380 /µL 4.800 – 10.800 /µL
Trombosit 12.000 /µL 150.000 – 450.000 /µL
Eritrosit 2.650.000 /µL 4.700.000 – 6.100.000 /µL
MCV 87,7 fL 81,0 – 99,0 fL
MCH 27,9 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 31,8 g/dL 33,0 – 37,0 gr/dL
HITUNG JENIS
Basofil # 0,0 0,0 – 0,2 x 103 /µL
Basofil % 1% 0–1%
Eosinofil # 0,00 0,00 – 0,80 x 103 /µL
Eosinofil % 0% 0–7%
Neutrofil # 0,0 1,5 – 7,0 x 103 /µL
Neutrofil % 2% 40 – 74 %
Limfosit # 1,23 1,00 – 3,70 x 103 /µL
Limfosit % 89 % 19 – 48 %
Monosit # 0,11 0,16 – 1,00 x 103 /µL
Monosit % 8% 3–9%
13
HITUNG JENIS
Basofil # 0,0 0,0 – 0,2 x 103 /µL
Basofil % 0% 0–1%
Eosinofil # 0,01 0,00 – 0,80 x 103 /µL
Eosinofil % 0% 0–7%
Neutrofil # 1,4 1,5 – 7,0 x 103 /µL
Neutrofil % 37 % 40 – 74 %
Limfosit # 2,04 1,00 – 3,70 x 103 /µL
Limfosit % 56 % 19 – 48 %
Monosit # 0,25 0,16 – 1,00 x 103 /µL
Monosit % 7% 3–9%
14
Tanggal 15 April 2019 (RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 9,3 g/dL 14,0 – 18,0 g/dL
Hematokrit 28,2 % 37,0 – 54,0 %
Leukosit 9.480 /µL 4.800 – 10.800 /µL
Trombosit 27.000 /µL 150.000 – 450.000 /µL
Eritrosit 3.240.000 /µL 4.700.000 – 6.100.000 /µL
MCV 87,1 fL 81,0 – 99,0 fL
MCH 28,8 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 33,1 g/dL 33,0 – 37,0 gr/dL
HITUNG JENIS
Basofil # 0,1 0,0 – 0,2 x 103 /µL
Basofil % 1% 0–1%
Eosinofil # 0,00 0,00 – 0,80 x 103 /µL
Eosinofil % 0% 0–7%
Neutrofil # 4,9 1,5 – 7,0 x 103 /µL
Neutrofil % 52 % 40 – 74 %
Limfosit # 3,91 1,00 – 3,70 x 103 /µL
Limfosit % 41 % 19 – 48 %
Monosit # 0,53 0,16 – 1,00 x 103 /µL
Monosit % 6% 3–9%
Kesan Bisitopenia:
- Anemia normokrom normositer
- Trombositopenia
15
Saran Retikulosit
16
Eritrosit 3,02 juta / mm3
Hematokrit 26 %
MCV 85 fL
MCH 30 pg
MCHC 35 g / dl
Hitung Jenis eos / bas / stab / segmen / lim / mon
0 / 0 / 1 / 42 / 45 / 3
Prolimfosit 7%
EVALUASI DARAH TEPI
Eritrosit Normokrom normositik anisositosis
Gambaran Roulex (+), polikromasi
Leukosit Kesan jumlah normal, limfosit dan prolimfosit ± 48%
Sel blast (-)
Trombosit Kesan jumlah menurun
BONE MARROW PUNCTION (BMP)
Selularitas Normoseluler
Rasio M:E 4:1
Sistem Eritropoiesis Aktivitas menurun
Sistem Granulopoiesis Aktivitas menurun
Sistem Megakariopoiesis Aktivitas menurun
Cadangan Fe Negatif
Pemeriksaan Sitokimia Negatif (dominan)
(Sudan Black/ SBBB)
Lain-lain Tidak terdapat infiltrasi sel-sel asing
KESIMPULAN Gambaran darah tepi dan sumsum tulang menunjukkan suatu
keadaan Anemia Aplastik.
Kemungkinan Limfoma belum dapat disingkirkan, kemungkinan
kelainan gammopati (monoklobnal gammopathy) belum dapat
ditegakkan.
SARAN Elektroforesa protein, bence Jones urin, biopsi lymph node, bone
survey.
2.4 Assesment
Pansitopenia pro evaluasi
17
2.5 Tatalaksana
- IVFD RL 16 tpm
- Transfusi TC 5 kolf
- Transfusi PRC 2 kolf / hari
- Vit B complex 1 x 1 tab
- Asam folat 1 x 1 tab
2.6 Follow Up
TANGGA PEMERIKSAAN ASSESSMENT & PLANNING
L
Selasa S : Badan lemas (+) A : Susp anemia aplastik
26/03/2019
O : CM, TD : 130/80 mmHg, N: P : Terapi :
70x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 36,6oC - IVFD RL 16 tpm
K/L : anemis (+/+), ikterik (-/-), - Transfusi TC 5 kolf
pembesaran KGB (-) - Transfusi PRC 2 kolf / hari
Thoraks : retraksi (-), vesikuler (+/ - Vit B complex 1 x 1 tab
+), rh (-/-), wh (-/-), S1S2 tunggal - Asam folat 1 x 1 tab
reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : soefl, BU (+) kesan
normal, timpani, organomegali (-)
Ext : akral hangat, edema (-/-), kulit
palmar pucat
18
- Inj leukogen 1 amp
- Tx lain lanjut
Senin S : Badan lemas (+), demam (+) A : Susp anemia aplastik
01/04/2019
O : CM, TD : 100/70 mmHg, N: P : Terapi :
80x/mnt, RR: 22x/mnt, T: 38,0oC - Paracetamol 3 x 500 mg
- Transfusi aferesis 1 kolf
Lab 30/03/2019: - Tx lain lanjut
Leu: 2.370
Hb: 8,6
Ht: 26,2
Plt: 18.000
Selasa S : Badan lemas (+), demam (+) A : Susp anemia aplastik
02/04/2019
O : CM, TD : 110/80 mmHg, N: P : Terapi :
80x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 38,2oC - Paracetamol 4 x 500 mg
- Inj levofloxacin 1 x 500 mg
Lab 01/04/2019: - Tx lain lanjut
Leu: 2.550
Hb: 8,0
Ht: 24,5
Plt: 12.000
Kamis S : Badan lemas (+), demam (-) A : Susp anemia aplastik
04/04/2019
O : CM, TD : 130/80 mmHg, N: P : Terapi :
80x/mnt, RR: 22x/mnt, T: 37,2oC - Inj leukogen 1 amp / SC selama 5
hari
- Paracetamol 3 x 500 mg bila
demam
- Tx lain lanjut
Selasa S : Badan lemas (+) A : Susp anemia aplastik
09/04/2019
O : CM, TD : 100/70 mmHg, N: P : Terapi :
19
80x/mnt, RR: 22x/mnt, T: 36,6oC - Transfusi PRC 2 kolf
- Tx lain lanjut
Lab 04/04/2019:
Leu: 1.380
Hb: 6,9
Ht: 21,8
Plt: 12.000
Lab 07/04/2019:
Leu: 3.660
Hb: 7,2
Ht: 22,0
Plt: 28.000
Rabu S : Badan lemas (+) A : Susp anemia aplastik
10/04/2019
O : CM, TD : 100/70 mmHg, N: P : Terapi :
70x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 36,4oC - Transfusi TC 10 kolf
- Asam folat 2 x 1 tab
- Vit B complex 2 x 1 tab
- Tx lain lanjut
Kamis S : Badan lemas (+) A : Susp anemia aplastik
11/04/2019
O : CM, TD : 100/70 mmHg, N: P : Terapi :
70x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 36,4oC - Transfusi TC 10 kolf
- Levofloxacin stop
- Tx lain lanjut
Senin S : Badan lemas (+) A : Susp anemia aplastik
15/04/2019
O : CM, TD : 120/90 mmHg, N: P : Terapi :
90x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 36,6oC - Transfusi aferesis 1 kolf
- Tx lain lanjut
Lab 12/04/2019:
Leu: 4.710
20
Hb: 9,6
Ht: 28,5
Plt: 33.000
Kamis S : Badan lemas (↓) A : Susp anemia aplastik
18/04/2019
O : CM, TD : 100/70 mmHg, N: P : Terapi :
80x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 36,4oC - Tx lanjut
- BMP
Lab 15/04/2019:
Leu: 9.480
Hb: 9,3
Ht: 28,2
Plt: 27.000
HDT 15/04/2019:
Kesan: Bisitopenia:
- Anemia normokrom normositer
- Trombositopenia
Senin S : Badan lemas (↓) A : Susp anemia aplastik
22/04/2019
O : CM, TD : 120/70 mmHg, N: P : Terapi :
80x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 36,6oC - Tx lanjut
- Periksa Bence Jones urine
Lab 18/04/2019:
Leu: 6.580
Hb: 9,0
Ht: 25,7
Plt: 19.000
Rabu S : Badan lemas (↓) A : Anemia aplastik
24/04/2019
O : CM, TD : 120/80 mmHg, N: P : Terapi :
80x/mnt, RR: 20x/mnt, T: 36,4oC - KRS
21
BMP 18/04/2019:
Kesimpulan: Anemia Aplastik
Urinalisa 22/04/2019:
Protein Bence Jones (-)
22
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang (Young &
Maciejewski, 2017). Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah
dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia (Shadduck, 2015). Istilah
anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau
bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan
antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika,
panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik (William, 2013).
3.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar
antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic
Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus
persejuta orang pertahun (Salonder, 2015). Frekuensi tertinggi anemia aplastik
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia
65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana
insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk
di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa
insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas (Shadduck,
2015). Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor
lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan
dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan
insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika (Niazzi & Rafiq, 2011).
23
3.3 Klasifikasi
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
3.4 Etiologi
24
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.
Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti
penyebabnya tidak diketahui. Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi
virus dan dengan penyakit lain (Young & Maciejewski, 2017; Paquette &
Munker, 2007).
3.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana
jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat
sensitif (Young & Maciejewski, 2017). Bila stem sel hematopoiesis yang terkena
maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma
sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Salonder, 2015).
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis
dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi
dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan
sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar
sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi
tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada
dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X).
Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan
2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis
radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan
sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima
transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi
eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik (Hillman, Ault, & Rinder,
2010).
25
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia (Hillman, Ault,
& Rinder, 2010).
3.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada
seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik
adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah
fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik
misalnya mieleran atau nitrosourea (Salonder, 2015).
3.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang
paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah
terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan
tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia
aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada
penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter,
dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi
neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia
dapat terjadi (Young & Maciejewski, 2017; Hillman, Ault, & Rinder, 2010).
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus
dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan
infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi
imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel
dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang (Young &
Maciejewski, 2017).
26
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan
sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia
Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai
oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu
jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan
limpa (Salonder, 2015).
3.5 Patogenesis
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia
aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi
disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang
didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel
oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik
yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel (Paquette &
Munker, 2007).
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik
yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang
langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali)
27
mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien
dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic
sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal
ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi,
contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara).
Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik
dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti
(Paquette & Munker, 2007).
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen
ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis
DNA dan RNA (Paquette & Munker, 2007).
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun
mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan
dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
“Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui
interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram
(apoptosis) (Paquette & Munker, 2007).
28
aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam
atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan (William, 2013).
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan
rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 2). Pada tabel 2
terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang
paling sering dikemukakan (Salonder, 2015).
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 3 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali,
yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis (Salonder, 2015).
29
20
7
Saluran cerna 6
3
16
7
0
30
Gambar 1. Apusan Darah Tepi Anemia Aplastik
31
gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat
kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat
hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum
tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis (Shadduck,
2015; Young, 2011).
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari
30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20%
pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun (Young & Maciejewski, 2017).
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat
bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan
kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang (Shadduck,
2015).
3.8 Diagnosis
32
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia
disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas
sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik (Bakshi, 2018; Smith & Marsh, 2016).
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu
sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma
myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat
membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada
myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya
poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta
sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada
33
anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat
granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus
abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler) (Shadduck, 2015).
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik
yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau
dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga
biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi
(Supandiman, 2003; Linker, 2017).
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy
cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya
splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang (Linker,
2017).
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan
oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas
sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik
(Linker, 2017).
3.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk
menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk
memperbaiki keadaan pasien (Tabel 5) (Shadduck, 2015).
34
kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur)
pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi GCSF.
• Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG,
siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi
sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang
cocok (matched sibling donor ) , faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau
beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling
baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien
yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik
dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih
tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia
aplastik (Salonder, 2015).
35
Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat (Salonder,
2015).
a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa
packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan
pasien dengan penyakit kardiovaskular (Salonder, 2015).
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit
dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit
donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan
pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor
diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung) (Salonder,
2015).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan
tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya.
Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek (Salonder, 2015).
36
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte
globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA).
ATG atau ALG diindikasikan pada (Salonder, 2015):
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan
mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal
dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis (Salonder,
2015).
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik (Salonder,
2015). Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 6 (Paquette &
Munker, 2007).
Tabel 6. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik (Paquette & Munker,
2007)
Dosis test ATG :
- ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila
tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
- Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
- Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
37
- Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG
dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness,
tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih
mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat
kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
38
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-
Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil
akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter.
Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-
faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya
modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif
telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan
pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada
beberapa pasien (Paquette & Munker, 2007; Salonder, 2015).
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin
dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia
aplastk ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat.
Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter
terapi imunosupresif (Shadduck, 2015; Salonder, 2015).
39
transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih
jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali
(Shadduck, 2015).
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat
mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang.
Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection)
karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi (Salonder, 2015).
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow
Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut (Salonder, 2015):
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3
dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
3.11 Prognosis
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit.
Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah
netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik
berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan
respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi
sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara
terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien
mendapatkan transplantasi sumsum tulang (Shadduck, 2015).
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun
dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak
40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan
menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar
11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum
40
transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan
belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi
dalam hal conditioning untuk transplantasi (Shadduck, 2015).
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria,
sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang
pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan
selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif,
hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun (Shadduck, 2015).
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal
yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid
memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat
walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama (Shadduck, 2015).
41
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Keluhan Pasien Anemia Aplastik: Pasien datang ke Poliklinik Penyakit
- Pendarahan (83%) Dalam RSUD Abdul Wahab Sjahranie
- Lemah badan (80%) Samarinda dengan keluhan badan lemas
- Pusing (69%) sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan badan
- Jantung berdebar (36%) lemas dirasakan terus menerus dan semakin
- Demam (33%) memberat. Keluhan tersebut membatasi
- Nafsu makan berkurang (29%) aktivitas pasien dan pasien tidak dapat
- Pucat (26%) bekerja seperti biasa. Keluarga pasien juga
- Sesak nafas (23%) mengatakan wajah pasien tampak pucat
- Penglihatan kabur (19%) sejak 3 bulan yang lalu.
- Telinga berdengung (13%) Pasien juga mengeluhkan demam
hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu.
Demam biasanya timbul tidak menentu
waktunya. Keluhan demam tidak disertai
menggigil, keringat dingin dan mengigau.
Saat demam pasien biasanya membeli
sendiri obat penurun demam. Pasien
mengatakan setelah minum obat demamnya
akan turun.
Pasien sering mengalami gusi
berdarah sejak 1 bulan yang lalu. Gusi
berdarah biasanya dialami setelah pasien
42
menyikat gigi. Perdarahan yang keluar
sedikit-sedikit namun lama berhenti. Tidak
ada keluhan perdarahan di bagian tubuh lain.
43
otot : Kanan = Kiri (5=5)
44
spesimen anemia aplastik ditemukan
gambaran hiposelular.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya
tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik.
4.4 Penatalaksanaan
Teori Kasus
a. Pengobatan Suportif - IVFD RL 16 tpm
Bila terapat keluhan akibat anemia, - Transfusi TC 5 kolf
diberikan transfusi eritrosit berupa packed red - Transfusi PRC 2 kolf / hari
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau - Transfusi aferesis 1 kolf
lebih pada orang tua dan pasien dengan - Vit B complex 1 x 1 tab
penyakit kardiovaskular. Transfusi trombosit - Asam folat 1 x 1 tab
diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar - Inj leukogen 1 amp
trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai - Paracetamol 3 x 500 mg
profilaksis. Pemberian transfusi leukosit - Inj levofloxacin 1 x 500 mg
sebagai profilaksis masih kontroversial dan
tidak dianjurkan karena efek samping yang
lebih parah daripada manfaatnya.
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi
imunosupresif adalah antithymocyte globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG)
dan siklosporin A (CSA). Karena merupakan
produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi
reaksi alergi ringan sampai berat sehingga
selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan
proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi
dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.
45
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus
imunosupresi berulang, pemberian faktor-
faktor pertumbuhan hematopoietik dan
pemberian steroid anabolik.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang
merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki
saudara dengan kecocokan HLA.
46
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Pasien Tn. BL, berusia 56 tahun, datang dengan keluhan badan lemas
sejak 3 bulan SMRS. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah anemia aplastik.
Tatalaksana yang diperoleh pasien adalah IVFD RL, transfusi TC, transfusi PRC,
transfusi aferesis, vit B complex, asam folat, inj leukogen, paracetamol, dan inj
levofloxacin.
Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai
dengan literatur yang ada.
5.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari laporan kasus ini, baik dari
segi diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan
dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.
47
DAFTAR PUSTAKA
Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 5th ed. New
York: Lange McGraw Hill, 2010.
Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill,
2017;510-11.
Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 9th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2015.
Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et
al (eds). Post Graduate Haematology 7th edition. USA: Blackwell
Publishing, 2016;190-206.
William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee
GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 13th ed.
Philadelpia-London: Lee& Febiger, 2013;911-43.
48
Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of
Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw Hill, 2011:617-25.
49