Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

NSTEMI

Pembimbing:
dr. Rizky Aulia Fanani, Sp. JP, FIHA

Disusun oleh:
Danang Galih Pamungkas
031052110082

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH


SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI 27 FEBRUAI – 5 MEI 2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus yang berjudul:

“NSTEMI”

Yang disusun oleh:


Danang Galih P 031052110082

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing


dr. Rizky Aulia Fanani, Sp. JP, FIHA

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan


Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih

Jakarta, 14 April 2023


Pembimbing

dr. Rizky Aulia Fanani, Sp. JP, FIHA

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME karena atas berkah dan
nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang berjudul
“NSTEMI” tepat pada waktunya. Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu
persyaratan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah
Budhi Asih Jakarta.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis menyelesaikan laporan kasus ini:
1. dr. Rizky Aulia Fanani, Sp. JP, FIHA selaku pembimbing yang telah
memberi masukan dan saran serta memberikan bimbingan dalam
penyusunan laporan kasus ini selama penulis menempuh kepaniteraan
klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Budhi Asih.
2. Teman-teman yang turut memberikan masukan serta saran dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna. Atas semua keterbatasan yang penulis miliki, maka semua saran dan
kritik yang membangun akan penulis terima untuk perbaikan diwaktu yang akan
datang. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Jakarta, 14 April 2023

Danang Galih Pamungkas


03103052120082

3
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………1
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................. 2
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 3
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................................. 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 22
BAB IV DISKUSI .............................................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 57

4
BAB I

PENDAHULUAN

Sebanyak 36 juta orang meninggal setiap tahunnya (63% dari seluruh kematian)
oleh karena Penyakit Tidak Menular (PTM). Secara global, penyakit kardiovaskular
merupakan PTM penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2014).
Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang disebabkan oleh karena gangguan pada
fungsi jantung dan pembuluh darah, salah satunya adalah Sindrom Koroner Akut. Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan penyakit kardiovaskular utama yang memiliki tingkat
mortalitas yang tinggi dan menjadi penyebab kematian utama di seluruh dunia. Bedasarkan
data dari Kemenkes tahun 2013, SKA menempati posisi ke-7 sebagai penyakit tidak
menular tertinggi di Indonesia, dimana terdapat sekitar 1,5% penduduk atau 2.650.340
orang yang terdiagnosis oleh dokter bedasarkan gejala yang mengalami SKA di Indonesia.
Selain itu, diperkirakan kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, terutama
penyakit jantung koroner dan stroke akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian
pada tahun 2030.

SKA dapat disebabkan oleh karena aliran darah di koroner yang terhenti secara
tiba-tiba akibat oklusi yang disebabkan oleh karena pecahnya plak ateroma pada pembuluh
darah koroner, sehingga terjadi gangguan aliran darah ke miokardium yang mengakibatkan
iskemia yang signifikan dan berkelanjutan. Penyakit ini dapat dibagi menjadi tiga bagian
utama yaitu Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST)/ ST Segment
Elevation Myocardial Infarction (STEMI), Infark Miokard Non-Elevasi Segmen ST (IMA-
NEST)/ Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan Angina
pektoris tidak stabil/Unstable Angina Pectoris (UAP), yang ditegakkan melalui anamnesis
dengan gejala nyeri dada tipikal, pemeriksaan elektrokardiogram, dan pemeriksaan
biomarka jantung.

5
BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Tanggal Pemeriksaan :
Pemeriksa : Danang Galih P

2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. T
No. RM : 01247750
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kramatjati
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Masuk RS : 29 Maret 2023

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan pasien di ruang
Aster Timur pada tanggal 01 April 2023 pukul 09.00 WIB
Keluhan utama Nyeri dada sejak 2 jam SMRS
Keluhan Sesak nafas,berdebar-debar, keringat dingin
tambahan

6
Riwayat Penyakit • Pasien datang ke IGD pada tanggal 29
Sekarang Maret 2023 dengan keluhan nyeri dada kiri
sejak 2 jam SMRS dan menjalar ke lengan
kiri sampai ke bagian punggung bagian
kiri. Dada terasa seperti tertindih benda
berat yang dirasakan terus menerus.
keluhan disertai dengan keringat dingin
(diaphoresis), kunang-kunang, serta napas
terasa berat yang membuat pasien merasa
sedikit sesak. Keluhan muncul tiba-tiba
saat pasien beraktivitas, sudah mencoba
istirahat namun tidak membaik. Keluhan
tidak nyaman pada dada kiri pasien sudah
dirasakan sejak kurang lebih 3 hari yang
lalu namun keluhan hilang timbul, durasi
kurang lebih 20 menit dan biasanya
keluhan hilang sendiri, sehingga pasien
belum pernah konsultasi/berobat ke dokter.
Pasien memiliki kebiasaan makan goreng-
gorengan, tidak rutin berolahraga.

Riwayat Penyakit • Riwayat HT terkontrol (+) , DM (-), Sakit Ginjal (-


Dahulu ), penyakit liver (-), stroke (-), alergi (-), asma (-)

Riwayat Penyakit • Ayah pasien memiliki riwayat hipertensi


Keluarga • Saat ini tidak ada anggota keluarga / orang serumah
yang memiliki keluhan sama dengan pasien
• DM (-), penyakit ginjal (-), penyakit liver (-), stroke
(-), alergi (-), asma (-)

7
Riwayat Pasien rutin mengkonsumsi obat darah tinggi
Pengobatan

Riwayat • Tidak terdapat kebiasaan konsumsi alkohol.


Kebiasaan • Pasien jarang berolahraga

Riwayat Alergi Tidak ada riwayat alergi pada pasien.

Sosio-ekonomi: • Pasien adalah pengguna BPJS kelas I

2.3 ANAMNESIS MENURUT SISTEM


Kulit Bisul (-), ikterus (-), keringat malam (-), keringat
dingin (-), sianosis (-), gatal-gatal (-), eritema (-),
terkelupas/skuama (-)

Kepala Trauma (-), sakit kepala (-), nyeri pada sinus (-)

Mata Merah (-), ikterus (-), nyeri (-), diplopia (-), buram (-),
secret (-)

Hidung Berbau (-), secret (-), berdarah (-), trauma (-), nyeri (-),
pilek (-), tersumbat (-), gangguan penciuman (-)

Telinga Nyeri (-), berair (-), tinnitus (-), gangguan pendengaran


(-)
Mulut Berbau (-), bau keton (-), pahit (-), sariawan (-), gusi
berdarah (-), bibir kering (-)

8
Tenggorokkan Nyeri (-), serak (-)

Leher Benjolan (-), nyeri (-)

Thoraks Jantung: nyeri dada (+), rasa tertekan di bagian dada kiri
(+), menjalar (+), berdebar (+)

Paru: sesak napas (+), batuk (-), batuk berdahak (-),


batuk darah (-), orthopnoe (-), PND (-), DOE (-)

Abdomen Kembung (-), mual (-), muntah (-), hematemesis (-),


nyeri ulu hati (-), nyeri kolik (-), perut membesar (-),
mencret (-), tinja berdarah (-), tinja hitam (-)

Saluran Kemih Nyeri BAK (-), poliuria (-), oligouria (-), hematuria (-),
volume urin ( )

Ekstremitas Atas Kulit kering (-), bengkak (-), ulkus (-), nyeri (-),
deformitas (-), sianosis (-), kebas (-)

Ekstremitas Kulit kering (-), bengkak (+/+), nyeri sendi (-),


Bawah deformitas (-), sianosis (-), kebas (-), ulkus (-), nyeri (-)

2.4 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum Kesan sakit: Tampak sakit sedang
Kesadaran E4 M6 V5
Compos Mentis

9
Tanda vital Tekanan Darah: 150/89 mmHg
Nadi: 60x/menit
Pernapasan: 20x/menit
Suhu: 36.0 ºC
SpO2:99 %
Berat Badan 70 kg
Tinggi Badan 167 cm
Indeks Massa 25.09 (Overweight)
Tubuh
STATUS GENERALIS
Kepala Kepala Normosefali, tidak ada deformitas

Rambut Warna hitam, distribusi merata


Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat isokor (+), refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+),
ptosis (-/-), ektropion (-/-), entropion (-/-), mata
cekung (-/-)

Telinga Normotia, deformitas (-), nyeri tekan tragus (-),


liang telinga lapang, serumen (-), hiperemis (-)

Hidung Deformitas (-), deviasi septum (-), krepitasi (-),


liang hidung lapang, konka hiperemis (-),
konka edema (-), sekret (-), pernapasan cuping
hidung (-)

Mulut Mukosa mulut kering (-), bibir kering (-), bibir


sianosis (-), gusi berdarah (- ), gusi bengkak (-),
lidah kotor (-), bercak kemerahan pada mukosa
(-), bercak putih pada mukosa (-)

10
Tenggorokkan Uvula di tengah, arkus faring simetris, tonsil T1/T1,
dinding faring posterior tidak hiperemis, post nasal drip (-)

Leher JVP meningkat (-), pembesaran KGB (-), tiroid membesar (-


), deviasi trakea (-), kaku kuduk (-)
Toraks Paru:
• Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris, retraksi
intercostal (-), pemakaian otot bantu pernafasan (-),
sela iga melebar (-), tipe pernapasan
torakalabdominal, barrel chest (-), benjolan (-), jejas
(-)
• Palpasi: Gerak dinding dada simetris, vocal fremitus
simetris, nyeri tekan (-), benjolan (-)
• Perkusi: Batas paru hepar di linea midclavicularis
kanan sela iga ke-6, batas paru lambung di linea
aksilaris anterior kiri sela iga ke-8
• Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (-/-)

Jantung:
• Inspeksi: Pulsasi iktus cordis tidak terlihat
• Palpasi: iktus cordis tidak teraba
• Perkusi: batas jantung kanan atas di ICS 2 linea
parasternal kanan, batas jantung kiri atas ICS II

parasternalis kiri , batas jantung kiri bawah di ICS V


line midklavikula sinistra, batas jantung kanan bawah
ICS 4 parasternalis sinistra
• Auskultasi: BJ 1 dan II regular, murmur (-), gallop
(-)

11
Abdomen • Inspeksi: Permukaan datar, spider naevi (-), caput
medusae (-), benjolan (-)
• Auskultasi: Bising usus 2-3x/menit, arterial bruit (),
venous hum (-)
• Palpasi: Distensi abdomen (-), supel (+), defans
muscular (-), nyeri tekan di regio epigastrium (-),
ballottement (-), murphy sign (-), hepatomegaly (-),
splenomegaly (-), turgor < 2 detik
• Perkusi: Timpani di 9 regio abdomen, shifting
dullness (-)

Ekstremitas • Ekstremitas Atas: Simetris kanan dan kiri, deformitas


(-/-), akral hangat (+/+), oedem (-/-), clubbing finger
(-/-), ptekie (-/-), jejas (-/-), CRT <2 detik
• Ekstremitas Bawah: Simetris kanan dan kiri,
deformitas (-/-), akral hangat (+/+), oedem tungkai
(-/-), ptekie (-/-), jejas (-/-), CRT <2 detik

Kulit Bisul (-), ikterus (-), sianosis (-), kering (-), eritema (-),
hiperpigmentasi (-), skuama (-)

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium IGD (29/03/2023)


JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
Glukosa Darah Sewaktu 142* mg/dL 70 – 110
Hematologi Rutin (Hb, leukosit, Ht, Trombosit)

Eritrosit (RBC) 4.5 juta/uL 4.4 – 5.9

12
MCH 28.1 pg 26 – 34
MCHC 28.1 g/dL 32 – 36
MCV 81.7 fL 80 – 100
Hematokrit (HCT) 37 % 35 – 47
Hemoglobin (HGB) 12.6 g/dL 13.2 – 17.3
Leukosit (WBC) 8.0 ribu/uL 3.8 – 10.6
RDW 12.0 % < 14
Trombosit (PLT) 382 ribu/uL 150 - 440
Kimia Klinik
Ginjal

Kreatinin 0.82 mg/dL < 1.2


Ureum 31 mg/dL 17 - 49
Elektrolit

Natrium (Na) 141 mmol/L 135 – 155


Kalium 3.9 mmol/L 3.6 – 5.5
Klorida 115* mmol/L 98 - 109
Rapid Antigen SARS CoV-2
Rapid Antigen SARS Negatif Negatif
CoV-2
Troponin I 0.340* Ng/mL <0.020

Laboratorium (30/03/2023)
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
Kimia Klinik

13
Lemak

Kolesterol Total 200 mg/dL < 200


Trigliserida 135 mg/dL < 150
HDL Direk 46 mg/dL >= 40
LDL Direk 127 mg/dL < 100
Ginjal

Asam Urat 6.2 mgl/dL <7

Foto Thorax AP (29/03/2023)

Deskripsi:
• Jantung ukuran kesan membesar
• Aorta elongasi
• Mediastinum superior tidak melebar
• Trakea relatif di tengah
• Kedua hilus tidak menebal
• Corakan bronkovaskular masih baik, tidak tampak infiltrate
• Lengkung diafragma dan sinus kostofrenikus normal
• Tulang-tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak
Kesimpulan:
• Kardiomegali dengan aorta elongasi

14
EKG (29/03/2023)

• Irama : Sinus
• QRS rate : Reguler, 60x/menit
• Aksis : Normoaksis
• P wave : Normal
• PR interval : 0,12 detik
• QRS durasi : 0,12 detik

• RAE / LAE : (-)


• RVH / LVH : LVH (+)
• Q patologis : (-)

• RBBB / LBBB : (-)


• ST Changes : ST Depresi II,III,aVf

Kesan
• NSTEMI

Ekokardiografi tanggal 07/07/2022


• LA dilatasi
LAVI : 42 ml/m2
LVIDd : 5.3 cm
• Fungsi sistolik LV menurun o EF : 48% (teicholz), 49 % (simpson)

15
• LVH (+) LVMI :167 g/m2
• Fungsi sistolik RV baik, TAPSE : 28 mm
• Katup dalam batas normal

2.6 TATALAKSANA Non-medikamentosa


• Diet jantung rendah garam, mudah dicerna, tidak merangsang
Medikamentosa
• Aspilet 1 x 80 mg PO
• Atorvastatin 1 x 40 mg PO
• ISDN 3 x 5 mg PO
• Bisoprolol 1 x 2,5 mg PO
• Brilianta 2 x 90 mg PO
• Lovenox 2 x 0,6 cc

2.7 RINGKASAN KASUS

Pasien datang ke IGD pada tanggal 29 Maret 2023 dengan keluhan nyeri
dada kiri sejak 2 jam SMRS dan menjalar ke lengan kiri sampai ke bagian punggung
bagian kiri. Dada terasa seperti tertindih benda berat yang dirasakan terus menerus.
keluhan disertai dengan keringat dingin (diaphoresis), kunang-kunang, serta napas
terasa berat yang membuat pasien merasa sedikit sesak. Keluhan muncul tiba-tiba
saat pasien beraktivitas, sudah mencoba istirahat namun tidak membaik. Keluhan
tidak nyaman pada dada kiri pasien sudah dirasakan sejak kurang lebih 3 hari yang
lalu namun keluhan hilang timbul, durasi kurang lebih 20 menit dan biasanya
keluhan hilang sendiri, sehingga pasien belum pernah konsultasi/berobat ke dokter.
Pasien memiliki kebiasaan makan goreng-gorengan, tidak rutin berolahraga.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, dengan
kesadaran kompos mentis. Kesan gizi pasien normal (IMT 25 kg/m2). Tanda vital
didapatkan tekanan darah 150/89 mmHg, suhu 36,0oC, nadi 60 x/menit, SpO2 99%
room air, Pernapasan 20 x/menit. Pada pemeriksaan status generalis dalam batas

16
normal. Pemeriksaan Troponin I meningkat. Pada pemeriksaan EKG didapatkan
ST depresi dan pada foto thorax didapatkan kardiomegali.

2.8 DAFTAR MASALAH


• NSTEMI
• Hiperglikemi

2.9 ANALISIS MASALAH


No. Masalah Pengkajian Rencana Diagnosis Rencana Terapi
Masalah

17
1. NSTEMI Atas dasar • Foto thorax Non-farmakologi
Anamnesis • Darah • Tirah baring
Keluhan nyeri lengkap, • Aspilet 1 x
dada hitung jenis 80 mg PO
memberat dan • Atorvastatin
• Ureum,
seperti di 1 x 40 mg
tekan serta kreatinin
PO
menjalar lebih • Elektrolit
dari 20 mnt, • ISDN 3 x 5
disertai • Troponin I mg PO
berdebar • Profil lipid • Bisoprolol 1
debar, mual, • Ekokardiografi x 2,5 mg PO
keringat • Brilianta 2 x
• EKG
dingin 90 mg PO
• GDS
• Riwayat HT • Lovenox 2 x
• Riwayat 0,6 cc
kebiasaan
makan
berlemak
Pemeriksaan fisik
:
• JVP
meningkat, (-
)pitting edema
(-/-), ronkhi
basah halus
paru
(-/-)

18
• Auskultasi : BJ
I dan II regular,
gallop (-),
murmur (-)
Pemeriksaan
penunjang :

• EKG : ST
Depresi
• Rontgen thorax :
kesan
kardiomegali
dengan aorta
• Troponin I :
0.340

19
2. Hiperglikemi Atas dasar • DM Diet rendah gula
Pemeriksaan
penunjang
• Peningkatan
kadar GDS
(142
mg/dL)

2.10 FOLLOW UP
Hari ke- 3, Tanggal: 01/04/2023
S • Sesak (-)
• Nyeri dada (-)

O KU : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos Mentis
TD : 138 / 78 mmHg
HR : 76 x/menit
RR : 20 x/menit
T: 36,5 °C
SpO2 : 99 %
UO : 1400cc
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
Pulmo: SNV (+/+) rh (-/-) wh (-/-)
Cor: BJ S1S2 reguler, murmur (-), gallop(-), JVP (-)
Abdomen: supel, BU+, NT (-)
Ekstremitas : pitting oedem ekstremitas bawah (-/-)

A NSTEMI early PCI

20
P • Aspilet 1 x 80 mg PO
• Atorvastatin 1 x 40 mg PO
• ISDN 3 x 5 mg PO
• Bisoprolol 1 x 2,5 mg PO
• Brilianta 2 x 90 mg PO
• Amlodipine 1 x 5 mg PO
• Spironolactone 1 x 25 mg PO

21
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Sindrom koroner akut (SKA) adalah trombosis akut yang


disebabkan oleh plak koroner aterosklerotik yang pecah atau terkikis,
dengan atau tanpa vasokonstriksi bersamaan, menyebabkan pengurangan
aliran darah yang tiba -tiba dan kritis. Presentasi klinis SKA itu luas, dari
cardiac arrest, electrical atau haemodynamic instability dengan
cardiogenic shock (CS) karena iskemia yang berlangsung atau komplikasi
mekanis seperti regurgitasi mitral yang berat, hingga pasien sudah bebas
nyeri lagi pada saat datang. Gejala utama yang menjadi dugaan SKA adalah
ketidaknyamanan dada akut yang digambarkan sebagai nyeri, tekanan,
sesak, dan rasa terbakar.5
3.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit kardiovaskular menyebabkan sepertiga kematian secara
global, dimana sindrom koroner akut menyumbang lebih dari 8.1 juta
kematian per tahun.3 Di Amerika Serikat, prevalensi penyakit jantung
koroner sebanyak 15.5 juta populasi. American Heart Association (AHA)
mengestimasikan bahwa terdapat serangan jantung setiap 41 detik.1 Sindrom
koroner akut menyebabkan sekitar sepertiga dari semua kematian pada
orang yang berusia lebih dari 35 tahun. Sindrom koroner akut merupakan
penyebab kematian kedua (12.9%) setelah stroke (21.1%) dan diikuti
diabetes (6,7%).4

Selain angka mortalitas yang tinggi, episode sindrom koroner akut


juga meningkatkan morbiditas dan sekitar 30% pasien bisa mengalami
serangan berulang dan dirawat kembali dalam waktu 6 bulan ari data IMA-
EST yang diterima dua tahun menunjukkan bahwa 2.433 pasien (38,5%)
didiagnosis dengan IMA-EST, sedangkan 3.880 pasien (61,9%)
dikategorikan sebagai APTS-IMA-NEST.5

22
3.3 ETIOLOGI

Lebih dari 90% SKA terjadi akibat rupture plak aterosklerotik yang
diikuti agregasi platelet dan formasi thrombus intrakoroner. Trombus
intrakoroner tersebut mengakibatkan obstruksi berat hingga oklusi total
intrakoroner. Bentuk manifestasi SKA seperti gangguan alirah darah
tergantung dari beratnya obstruksi koroner yang terjadi. Trombus pada SKA
dibentuk akibat interaksi antara plak aterosklerotik, endotel koroner, platelet
yang bersirkulasi, dan tonus vasomotor dinding pembuluh darah yang
dinamis yang melebihi mekanisme antitrombotik alami.2
Sebanyak 10% SKA terjadi akibat factor nonaterosklerotik namun
jarang sekali terjadi. Penyebab SKA lain, selain formasi thrombus harus
dicurigai jika SKA terjadi pada pasien muda atau seseorang tanpa factor
fisiko penyakit jantung koroner. Sebagai contoh, emboli koroner dari katup
mekanik atau katup jantung yang terinfeksi dapat terlepas ke sirkulasi
koroner, inflamasi dari vasculitis akut dapat menyebabkan oklusi koroner,
atau pasien dengan kelainan jaringan ikat, atau Wanita peripartum, dapat
secara jarang mengalami diseksi arteri koroner spontan (robekan di dinding
pembuluh darah yang dapat mengarah ke oklusi). Spasme koroner berat
yang sementara terkadang dapat mengurangi suplai darah miokard dan
menyebabkan UAP atau infark.2

Gambar 1. Penyebab infark miokard2

23
3.4 KLASIFIKASI

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom
Koroner Akut dibagi menjadi:2
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segment elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung.2
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi
dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan
(Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI
dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah
Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung
terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard
Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat
secara bermakna.2

24
Tabel 2. Perbedaan UAP, NSTEMI, dan STEMI

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal)


atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika
ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24
jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.2

3.5 FAKTOR RISIKO

Faktor risiko sindrom koroner akut yang paling umum adalah


merokok, hipertensi, diabetes mellitus, hipelipidemia, jenis kelamin laki-
laki, inaktivitas fisik, obesitas, dan pola diet yang tidak baik.1 Berikut
adalah faktor risiko sindrom koroner akut :6

25
Tabel 3. Faktor Risiko yang dapar dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi

- Usia : Risiko penyakit jantung koroner meningkat sesuai usia. Usia 40-60
tahun mengalami peningkatan risiko karena proses degeneratif dari
pembuluh darah. Proses degeratif juga menurunkan kontraktilitas jantung
dan membuat pembuluh darah lebih kaku yang meningkatkan risiko
pembentukan plak atherosklerotik yang mengarah ke penyakit jantung
koroner.
- Jenis Kelamin : Sebagian besar sindrom koroner akut mengenai laki-laki.
Didalam sebuah studi prevalensi laki-laki yang mengalami sindrom koroner
akut sebanyak 73 % dengan rasio laki-laki dibandingkan wanita sebanyak
2.7:1. Sebuah studi menyatakan bahwa terdapat faktor endogen estrogen
yang menghambat pembentukan aterosklerosis pada perempuan produktif.
Estrogen memiliki manfaat dan menghambat pembentukan plak
aterosklerosis, vasodilatasi, regulasi tekanan darah, efek antioksidan dan
menurunkan risiko penyakit jantung koroner.
- Hipertensi : Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang
berkontribusi pada sindrom koroner akut, dimana menyebabkan stress
oksidatif dan mekanik pada dinding pembuluh darah. Hipertensi
menyebabkan kerusakan endotel dan pembentukan plak aterosklerotik. Jika
tidak terkontrol, hipertensi bisa menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri
karena peningkatan beban jantung.

26
- Dislipidemia : Dislipidemia merupakan faktor risiko yang paling sering
kedua terhadap penyakit jantung. Insidensi penyakit jantung koroner
berkolerasi terhadap kadar LDL dan berbanding terbalik dengan kadar
HDL. Kadar LDL yang tinggi akan menyebabkan penebalan dinding
pembuluh darah melalui pembentukan plak aterosklerotik. Sebuah studi
menyatakan bahwa orang dengan kadar LDL yang tinggi memiliki risiko 3
kali lebih tinggi mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan orang
dengan kadar LDL yang normal.
- Diabetes Mellitus : Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko
penyakit jantung koroner. Diabetes mellitus menyebabkan jaringan
mengalami proses degenerasi dan disfungsi endotel dengan onset yang lebih
cepat. Proses ini menyebabkan penebalan dari kapiler dan pembuluh darah
koroner, dan kadar gula yang tinggi menyebabkan adhesi glukosa pada
dinding pembuluh darah yang jika terjadi terus menerus menyebabkan
kerusakan pada pembuluh darah. Pembuluh darah yang rusak menyebabkan
penumpukan lipid dan pembentukan plak aterosklerotik yang mengarah ke
penyakit jantung koroner. Orang dengan diabetes mellitus memiliki risiko
2-4 kali lebih tinggi mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan
orang tanpa diabetes mellitus.
- Merokok : Sebuah studi menyatakan bahwa orang dengan usia lebih dari
45 tahun dan perokok mengalami risiko 2.4 kali lebih besar mengalami
penyakit jantung dibandingkan dengan bukan perokok. Merokok memiliki
korelasi dengan disfungsi endotel, proses inflamasi, modifikasi lipid,
perubahan faktor anti trombotik dan pro trombotik. Merokok dapat
menginduksi aterogenesis melalui efek langsung pada dinding pembuluh
darah, dimana karbon dioksida pada rokok menyebabkan hipoksia arteri dan
nikotin dapat menyebabkan reaksi trombotik dan glikoprotein pada rokok
dapat menyebabkan hipersensitivitas pada dinding pembuluh darah.

27
3.6 PATOFISIOLOGI

Aterosklerosis adalah penyebab paling umum penyakit arteri,


karotis, dan arteri perifer, tetapi aterosklerosis sendiri jarang berakibat fatal.
Manifestasi aterosklerosis yang mengancam jiwa, seperti ACS biasanya
disebabkan oleh trombosis akut di atas plak aterosklerotik yang pecah atau
terkikis, dengan atau tanpa vasokonstriksi bersamaan, mengakibatkan
gangguan aliran darah yang tiba tiba dan berat. Jarang, ACS mungkin
memiliki etiologi non-aterosklerotik seperti arteritis, trauma, diseksi,
tromboemboli, anomali kongenital, penyalahgunaan kokain, atau
komplikasi kateterisasi jantung.7
Dalam serangkaian besar studi otopsi, ditemukan menemukan
bahwa hiperplasia intima juga ada bahkan pada bayi dan diidentifikasi lima
jenis lesi yang ada pada kelompok pasien usia lanjut yang berurutan yang
mewakili tahap perkembangan. Sekelompok pasien lanjut usia,
menunjukkan bahwa tipe ini mewakili tahap perkembangan.Proses
pembentukan lesi atherosklerotik antara lain:7
- Type I: Endothelial Damage
Aterosklerosis dimulai dengan perubahan fungsional pada sel endotel tanpa
perubahan morfologi yang besar. Endotelium menjadi lebih 'berpori' dan
'lengket', lipid menumpuk, dan monosit melekat pada membran dalam.
- Type II : Fatty Streak
Saat makrofag yang berasal dari monosit melepaskan produk inflamasi, sel
otot polos bermigrasi ke dalam lesi dan mulai berproliferasi, dan kapsul
mulai mengelilingi lesi.
- Type III & IV: Preatheroma & Atheroma
Seiring waktu, akan terbentuk lipid core pada lapisan muskuloelastik.
Kemudian lipid ekstraseluler akan menggangu fungsi koherensi otot polos
intima. Lipid core akan membesar dan mengganggu otot polos
- Type V: Fibroatheroma

28
Terbentuk fibrious cap. Lesi akan mengandung inti lipid / lipid core dengan
dibungkus oleh lapisan tebal dari jaringan ikat fibrosa atau dengan kapsul
tipis yang bisa lepas yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus dan
poliferasi sel otot polos ekstensif. Apabila thrombus kecil akan
berkontribusi dalam pembentukan plaque atherosklerotik. Apabila
thrombus besar akan menutupi lumen dan menyebabkan acute coronary
syndrome.

Gambar 3. Perkembangan atherosklerotik

Plak sering berkembang di lokasi tegangan geser tinggi dan osilasi


tinggi, seperti dinding luar bifurkasi koroner, dinding bagian dalam segmen
arteri melengkung dan proksimal ke persimpangan miokard. Pengamatan
ini menunjukkan bahwa lesi tipe 1 adalah hasil dari kerusakan minimal
kronis pada endotelium, terutama karena gangguan aliran darah. Faktor
sekunder seperti merokok, hiperlipidemia, infeksi, dan amina vasoaktif
meningkatkan proses ini.7

29
3.7 GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis diagnosis ACS harus dipertimbangkan pada semua


pasien dengan gejala iskemia. Tanda dan gejala klinis iskemia meliputi
berbagai kombinasi nyeri dada, nyeri ekstremitas atas, ketidaknyamanan
mandibula atau perut bagian atas, dispnea, berkeringat, mual, kelelahan, atau
sinkop. Nyeri dan ketidaknyamanan yang terkait dengan ACS dapat terjadi
selama aktivitas fisik atau saat istirahat dan seringkali menyebar daripada
terlokalisir. Nyeri menjalar ke lengan kiri, bahu kanan, atau kedua lengan
lebih terkait dengan MI, seperti nyeri yang berhubungan dengan berkeringat;
gejala ini tidak spesifik untuk MI dan tidak ada pada semua pasien dengan
ACS. Gejala ACS yang atipikal dapat terjadi pada kelompok pasien tertentu
seperti wanita, lansia, penderita diabetes atau pada periode pasca operasi.
Dalam situasi ini, ACS dapat disertai dengan palpitasi, henti jantung, atau
presentasi klinis tanpa gejala.1,14

Nyeri dada diklasifikasikan sebagai nyeri dada tipikal dan atipikal.


Nyeri dada yang berhubungan dengan iskemia biasanya termasuk nyeri dada
atau perasaan tidak nyaman pada dada substernal yang diprovokasi oleh
aktivitas atau stress emosional. Nyeri dada harus dinilai berdasarkan kualitas
nyeri, lokasi, radiasi, faktor memperberat dan memperingan. Berikut adalah
gambaran nyeri dada apabila curiga kearah iskemia1,14

30
Gambar 4. Indeks nyeri curiga iskemia

3.8 DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Pada anamnesis harus dibedakan antara nyeri dada tipikal atau


atipikal. Angina tipikal berupa rasa tertekan/ berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermitten (beberapa menit)
atau persisten (> 20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai dengan
diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan sinkop. Nyeri dada atipikal sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran anginal tipikal, gangguan pencernaan, sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Nyeri
dada atipikal ini sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau
usia lanjut (> 75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,
atau demensia.2
Selain itu perlu dicari faktor risiko yang berkaitan seperti riwayat
penyakit jantung koroner, jenis kelamin, umur, dan penyakit penyerta.
Presentasi klinik IMA-NEST dan APTS pada umumnya berupa :2

31
• Angina tipikal persisten selama lebih dari 20 menit (80 %)
• Angina awitan baru (de novo) kelas II klasifikasi CCS (20 %)
• Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo) menjadi makin sering, lebih lama atay menjadi makin berat
minimal kelas III klasifikasi CCS
• Angina pasca Infark miokard yaitu angina yang terjadi dalam 2
minggu setelah infark miokard.
Diagnosis sindrom koroner akut menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut
ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :2
• Pria
• Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non-koroner
• Diketahui mempunyai penyakit jantung koroner atas dasar pernah
mengalami infark miokard, bedah pintas koroner atau IKP
• Mempunyai faktor risiko : umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus


iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regusrgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3),
ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kacurigaan
terhadap sindrom koroner akut. Pericardial friction rub karena pericarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang, dan regusgitasi katup aorta akibat disesksi
aorta, penumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding
sindrom koroner akut.2

32
c. Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi (EKG)

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak


medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG
sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG
awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau
pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien
IMA-NEST dan APTS antara lain: 2

• Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai


denganelevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)

• Gelombang Q yang menetap

• Non-diagnostik

• Normal

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan


kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat
iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel
kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan
pemasangan sadapan tambahan.Pada pasien STEMI gambaran EKG dapat
normal pada lebih dari 30 % pasien dimana abnormalitas termasuk depresi
segmen ST, elevasi segmen ST sementara, dan perubahan gelombang T.2

Catatan apabila pada EKG didapatkan hasil yang normal tidak


mengeksklusikan suatu ACS: Risiko untuk terjadinya AMI sekitar 4% pada
pasien dengan riwayat CAD dan 2% pada pasien tanpa riwayat penyakit.
Pasien dengan EKG normal atau mendekati normal memiliki prognosis
yang lebih baik dibandingkan pasien dengan EKG abnormal. Elevasi

33
segmen ST difusa dan PR segmen depresi mensugestikan adanya
pericarditis. Takikardi dengan deviasi aksis ke kanan, RBBB, inversi
gelombang T pada lead V1 – V4 dan gelombang S pada lead I, dan inversi
Q & T wave pada lead III, mengsugestikan adanya PE.10

Depresi segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥ 2 mm di


beberapa sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau
NSTEMI (tingkat peluang tinggi). Jika pada pemeriksaan EKG didapatkan
elevasi segmen ST maka harus segera dilakukan tatalaksana STEMI. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non- diagnostik, sementara
angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian
(rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan
kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan
angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk
dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.2

Tabel 4. Nilai Ambang Diagnostik Elevasi Segmen ST

Tabel 5. Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG

34
Tabel 6. Korelasi tempat oklusi koroner

Pemeriksaan Biomarka Jantung

Pemeriksaan troponin I/T atau kreatinin-kinase-MB (CK-MB)


adalah biomarka nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk
diagnosis infark miokard. Troponin I/T mempunyai sensitivitas dan
spesivitas lebih tinggi dari CK-MB. Dalam keadaan nekrosis miokard,
pemeriksaan CK-MB atau Troponin I/T menunjukkan kadar normal dalam
4-6 jam setelah awitan sindrom koroner akut sehingga dilakukan
pemeriksaa ulang 6-12jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar trponin
pada pasien IMA meningkat didalam darah perifer 3-4 jam setelah awitan
infark dan menetap sampai 2 minggu. Apabila pemeriksaan troponin tidak
tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan CKMB yang akan meningkat dalam
waktu 4-6 jam, mencapai puncaknya pada 12 jam, dan menetap sampai 2
hari.2

35
Gambar 5. Biomarka Jantung

Pemeriksaan troponin sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral


dan lebih sensitif. Beberapa kondisi lain yang menyebabkan cedera miosit
jantung dan terdapat kenaikan dari troponin. Hal ini terdapat pada
takiaritmia, gagal jantung, hipertensi emergensi, penyakit kritis,
miokarditis, sindrom Takotsubo, dan penyakit katup jantung.11 Karena
sensitivitas dan spesivitas yang tinggi, kadar troponin dapat digunakan
untuk algoritma “rule in rule out” untuk menentukan tatalaksana pasien :

36
Gambar 6. Algoritma diagnosis ACS “rule out” “rule in”

Pemeriksaan Non-Invasif

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat


memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk
menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari
dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat
iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta,
kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat
darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkinbagi pasien
tersangka SKA.2 Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas
sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK
obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan
marka jantung yang negatif. Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat
digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien

37
dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak meyakinkan.2

Pemeriksaan Invasif (Angiografi koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan


dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk
tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding
yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri
sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala
atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan
abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan
identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas
antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang
kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.2

Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium selain biomarka jantung harus dikumpulkan di


ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status
elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.2

Pemeriksaan Foto Polos Thorax

Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk membuat diagnosis banding,


identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

3.9. Diagnosis Banding

38
Berikut adalah beberapa kondisi yang harus diwaspadai sebagai
diagnosis banding sindrom koroner akut karena potensial mengancam
nyawa seperti diseksi aorta, emboli paru, dan pneumothoraks. Berikut
adalah diagnosis banding dari sindrom koroner akut : (11)

Tabel 7. Diagnosis Banding Sindrom Koroner Akut (11)

Tabel 8. Penyebab umum nyeri dada akut 10

3.10 Stratifikasi Risiko

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi


untuk SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI

39
(Thrombolysis In Myocardial Infarction), dan GRACE (Global Registry of
Acute Coronary Events) sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk
stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with
Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk
menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting
untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi
risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya
(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI. 2

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel


yang masing- masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain
adalah usia ≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi
segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang
telah lalu, peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari
terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan
variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko
rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah
(risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko
kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi
untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA
termasuk UAP/NSTEMI. 2

40
Tabel 9. Skor TIMI

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi


risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam
30 hari. Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam
klasifikasi GRACE. 2

Tabel 10. Kelas Killip

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI,


sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa
mungkin. Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko
perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE
bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju
denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular
sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik. Dalam skor
CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap

41
berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang
tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.
Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai
tingkat risiko perdarahan.2

Tabel 11. Skor CRUSADE

42
3.11 TATALAKSANA

Gambar 7. Algoritma Penanganan SKA

A. Tatalaksana Umum

Tatalaksana awal saat pasien tiba di IGD2

1. Tirah baring

2. Pengukuran saturasi Oksigen perifer, pemberian Oksigen


diindikasikanp ada pasien dengan hipoksemua (SaO2 < 90 % atau PaO2 <
60 mmHg)

3. Aspirin 160-320 mg, dimana aspirin tidak bersalut lebih terpilih


mengingat absorbsi sublingual (dibawah lidah lebih cepat).

43
4. Pemberian penghambat reseptor adenosin difosfat (ADP), dosis
awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2x 90 mg/hari kecuali pasien STEMI direncanakan reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik. Untuk Clopidogrel dosis awal adalah 300
mg dilanjutkan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang
direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)

5. Nitrogliserin (NTG) spray atau tablet sublingual untuk pasien


dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat.
Pemberian dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali.

6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit,


bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis.

Tatalaksana UAP/ APTS dan NSTEMI/ IMA-NEST

Gambar 8. Mekanisme Kerja obat11

44
1. Penyekat beta

Keuntungan utama terapi terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya


konsumsi oksigen miokardium. Obat ini direkomendasikan untuk UAP dan
NSTEMI, terutama jika ada hipertensi dan/atau takikardia. Sebaiknya diberikan
dalam 24 jam pertama. Tetap diberikan pada pasien pengobatan penyekat beta
kronis yang datang dengan SKA kecuali bila termasuk klasifikasi Killip lebih dari
sama dengan III. 2

Tabel 12 .Penyekat beta untuk terapi IMA2

2. Nitrat

Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efek lain adalah dilatasi pembuluh darah koroner
baik normal maupun yang mengakami aterosklerosis. Dapat digunakan pada fase
akut baik secara oral maupun intravena. Pemberian diindikasikan pada iskemia
persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP atau NSTEMI.
Nitrat tidak diberikan kepada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
> 30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat <50 kali permenit, takikardia
tanpa gejala gagal janttung atau infark ventrikel kanan. Nitrat juga tidak boleh
diberikan kepada psien yang telah mengosumsi penghambat fosfodiesterase seperti
sidenafil (24 jam), tadalafil (48 jam).2

45
Tabel 13. Jenis dan obat nitrat untuk terapi IMA2

3. Penyekat Kanal Kalsium (Calcium Channel Blockers/CCBs)

Nifedipine dana amlodipine mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada nodus SA atau AV. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner
yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.2

Tabel 14. Dosis CCB

4. Antiplatelet

1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanpa kontraindikasi


dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap
harinya untuk jangka panjang.

46
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontraindikasi
seperti risiko perdarahan berlebih.

3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan


bersamaDAPT(dualantiplatelettherapy :aspirindanpenghambatreseptor
ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran
cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam
faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi
bersama dengan antikoagulan atau steroid.

4. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko


kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin)
dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian
ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel
(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan).

5. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa


menggunakan ticagrelor, dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari. Pemberian dosis loasing clopidogrel 600 mg
(atau dosis loading 300 mg diikuti tambahan 300 mg saat IKP)
direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi
invasif.

6. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor


ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.

7. Tidak disarankan pemberian aspirin bersama OAINS (penghambat


COX-2 selektif dan NSAID non-selektif).

47
Tabel 15. Jenis dan dosis antiplatelet

5. Penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa

Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein


IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan
perdarahan Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan
pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya
peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah.2

6. Antikoagulan

1. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet


secepat mungkin.

2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan


iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.

3. Fondaparinux secara keseluruhan memiliki profil keamanan


berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg
setiap hari secara subkutan. Dapat diberikan tambahan bolus UFH (85 IU/kg
diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk yang mendapatkan penghambat
reseptor GP IIb/IIIa) saat IKP.

4. Enoxaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien


dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinux tidak tersedia.

5. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinux atau enoxaparin
tidak tersedia.

48
Tabel 16. Jenis dam obat antikoagulan

7. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel


meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.

2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika


terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat
mungkin dan dipilih target INR terendah yang masih efektif.

3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel,


terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR
2- 2,5 lebih terpilih.

8. Inhibitor ACE ( Angiotensin Converting Enzyme) dan penghambat reseptor


angiotensin

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi


remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%, pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, atau penyaki ginjal kronik (PGK), penghambat ACE
diindikasikan penggunaan untuk jangka panjang, kecuali terdapat kontraindikasi.2

49
Tabel 17. Dosis ACE untuk IMA

8. Statin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan


modifikasi diet, inhibitor hydroksimethilglutari-koenzim A reduktase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontraindikasi.

Gambar 18. Jenis obat statin intensitas tinggi

Tatalaksana pada populasi khusus

1. Diabetes melitus : Kurang lebih 20-30% pasien NSTEMI diketahui


menderita diabetes, dan kurang lebih 20-30% menderita diabetes yang
tidak terdiagnosis, atau toleransi glukosa terganggu. Semua pasien
NSTEMI perlu diperiksa adanya diabetes, dan apabila diketahui riwayat
diabetes atau hiperglikemia, kadar gula darah perlu diawasi. Kadar gula
darah perlu dijaga dari hiperglikemia (>180-200 mg/dL) dan
hipoglikemia (<90 mg/dL) Pemberian antitrombotik pada pasien
diabetes serupa dengan pasien non-diabetik. Pembedahan CABG lebih
disarankan dibandingkan dengan IKP untuk pasien diabetik dengan lesi
di batang utama dan/atau penyakit multipembuluh yang lanjut.2

2. Usia lanjut : Pasien dengan usia lanjut (>75 tahun) sering memiliki
presentasi yang atipikal, sehingga perlu diinvestigasi untuk NSTEMI
meskipun tingkat kecurigaan rendah.(12) Pemilihan pengobatan untuk
pasien lanjut usia dibuat dengan mempertimbangkan perkiraan harapan
hidup, komorbiditas, kualitas kehidupan, serta keinginan dan pilihan
pasien. Pemilihan dan dosis obat-obat antitrombotik perlu disesuaikan
untuk mencegah kejadian efek samping.2

50
3. Jenis kelamin : Meskipun demikian, wanita yang datang dengan
NSTEMI biasanya berusia lebih lanjut dan lebih sering menderita
diabetes, hipertensi, gagal jantung, dan berbagai komorbiditas lainnya,
serta sering menampilkan gejala atipikal seperti dispnea atau gejala
gagal jantung. Prognosis NSTEMI pada pria dan wanita serupa kecuali
pada usia lanjut, di mana wanita memiliki prognosis lebih baik daripada
pria. Untuk perdarahan, wanita dengan NSTEMI memiliki risiko yang
lebih tinggi.2

4. Penyakit ginjal kronik : Disfungsi ginjal ditemukan pada 30-40%


pasien NSTEMI. Fungsi ginjal sebaiknya dievaluasi pada semua pasien
dengan risiko PGK sebagai eGFR dengan rumus MDRD karena
mengikutsertakan etnis dan jenis kelamin dalam penghitungannya.
Dosis pengobatan perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal. Untuk
clopidogrel, tidak ada informasi untuk pasien dengan disfungsi ginjal,
sementara dosis ticagrelor tidak dipengaruhi fungsi ginjal (namun tidak
diketahui untuk pasien dialisis). Fondaparinux merupakan obat pilihan
untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal moderat (klirens kreatinin
30- 60 mL/menit) namun diindikasikontrakan pada gagal ginjal berat
(klirens kreatinin <20 mL/menit). Penurunan dosis enoksaparin perlu
dilakukan pada gagal ginjal berat (klirens kreatinin <30 mL/menit)
menjadi 1 mg/kg sekali sehari.2

5. Anemia : Sindrom koroner aku yang disertai anemia dikaitkan dengan


prognosis yang buruk untuk kematian akibat kejadian kardiovaskular,
infark miokard atau iskemia rekuren. Anemia yang menetap atau
memburuk berhubungan dengan mortalitas atau kejadian gagal ginjal
yang meningkat setelah perawatan rumah sakit. Hemoglobin baseline
yang rendah merupakan penenda independen risiko iskemia dan
kejadian perdarahan sehingga pengukuran hemoglobin disarankan
untuk stratifikasi risiko. Tranfusi darah hanya disarankan untuk kasus-

51
kasus status hemodinamik yang terganggu atau Hb< 8 g/dL atau Ht< 25
%. 2

3.11 PROGNOSIS
Sindrom koroner akut dikaitkan dengan angka mortalitas yang
tinggi. Mortalitas saat hospitalisasi biasanya berkaitan dengan variasi usia.
Pasien STEMI biasanya berusia lebih muda, dan memiliki komorbiditas
lebih sedikit sedangkan pasien NSTEMI biasanya berusia lebih tua dan
memiliki penyakit jantung koroner yang lebih kompleks. Prognosis juga
dipengaruhi oleh tatalaksana. PCI secara urgensi biasanya dikaitkan dengan
angka mortalitas di rumah sakit yang tinggi. Gagal jantung sebagai
komplikasi juga berkaitan dengan angka mortalitas yang tinggi dan
morbiditas serta penurunan kualitas hidup. Perempuan memiliki prognosis
jangka panjang yang lebih buruk dibandingkan laki-laki.12

52
BAB IV
DISKUSI

Pasien datang ke IGD pada tanggal 29 Maret 2023 dengan keluhan nyeri
dada kiri sejak 2 jam SMRS dan menjalar ke lengan kiri sampai ke bagian punggung
bagian kiri. Dada terasa seperti tertindih benda berat yang dirasakan terus menerus.
keluhan disertai dengan keringat dingin (diaphoresis), kunang-kunang, serta napas
terasa berat yang membuat pasien merasa sedikit sesak. Keluhan muncul tiba-tiba
saat pasien beraktivitas, sudah mencoba istirahat namun tidak membaik. Keluhan
tidak nyaman pada dada kiri pasien sudah dirasakan sejak kurang lebih 3 hari yang
lalu namun keluhan hilang timbul, durasi kurang lebih 20 menit dan biasanya
keluhan hilang sendiri, sehingga pasien belum pernah konsultasi/berobat ke dokter.
Pasien memiliki kebiasaan makan goreng-gorengan, tidak rutin berolahraga.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, dengan
kesadaran kompos mentis. Kesan gizi pasien normal (IMT 25 kg/m2). Tanda vital
didapatkan tekanan darah 150/89 mmHg, suhu 36,0oC, nadi 60 x/menit, SpO2 99%
room air, Pernapasan 20 x/menit. Pada pemeriksaan status generalis dalam batas
normal. Pemeriksaan Troponin I meningkat. Pada pemeriksaan EKG didapatkan
ST depresi dan pada foto thorax didapatkan kardiomegali.
Pasien pada kasus ini datang dengan keluhan nyeri pada bagian dada dengan
karakteristik seperti tertekan benda berat. Nyeri tersebut menjalar ke lengan kiri dan
punggung bagian kiri. Nyeri tersebut muncul setelah pasien beraktivitas , nyeri
tersebut tidak hilang saat pasien beristirahat. Dari data tersebut, kita dapat
menentukan diagnosis pasien tersebut sebagai NSTEMI. Sesuai teori, NSTEMI
adalah gejala dari penyakit jantung iskemik yang berupa rasa nyeri pada dada,
dengan rasa tertekan, ditimpa benda berat dan terasa panas di daerah perikardium,
sternal, atau substernum dada. Nyeri tersebut dapat menjalar ke leher, dagu, bahu,
dan punggung. Pasien pada kasus ini mempunyai keluhan-keluhan tersebut. Selain
itu, NSTEMI biasanya disertai dengan keluhan tambahan seperti mual, muntah,
fatik, diaforesis, sesak nafas dan pingsan. Pasien juga mengalami diaphoresis,
kunang-kunang seperti mau pingsan serta sesak pada saat nyeri dada berlangsung.

53
Dari keluhan tersebut, diagnosis bandingnya adalah STEMI dan NSTEMI (Non-
ST-Elevation Myocardial Infarction).
Angina pektoris tidak stabil / NSTEMI didefinisikan sebagai angina
pektoris (atau ekuivalen rasa tidak nyaman didada tipe iskemik) dengan satu
diantara tampilan klinis: (1) terjadi saat istirahat (atau aktivitas minimal) dan
biasanya berlangsung lebih dari 20 menit (jika tidak ada penggunaan nitrat atau
analgetik); (2) nyeri hebat dan biasanya nyerinya jelas; atau (3) biasanya lambat
laun bertambah berat (misalnya nyeri yang membangunkan pasien dari tidur atau
yang semakin parah, terus-menerus atau lebih sering dari sebelumnya).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan EKG dimana sangat penting baik untuk
diagnosis NSTEMI. Pada NSTEMI terdapat abnormalitas EKG, seperti pada EKG
pasien ini. Rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan timbul
kembali. Pemeriksaan marka jantung pada kasus pasien, didapatkan troponin I
meniingkat . Ini sesuai dengan diagnosis NSTEMI karena perbedaan NSTEMI dan
Unstable angina pektoris dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang
ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan
adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung
terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI).
Sedangkan pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara
bermakna. Pemeriksaan troponin I meingkat pada kasus pasien, hasil pemeriksaan
ini dapat di konfirmasi karena keluhan pasien sudah lebih dari 2 jam. Hal ini sesuai
literatur yaitu pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam
waktu 2 hingga 4 jam. Dari pemeriksaan keduanya, diagnosis banding UAP dapat
disingkirkan.
Tatalaksana awal pada pasien saat di IGD yaitu stabilisasi terlebih dahulu
dengan pemberian terapi O2 NK 3 lpm karena pada pasien terdapat keluhan sesak
dan Spo2 menunjukkan 96%. Untuk pengobatan secara simptomatik, obat
isosorbide dinitrat (ISDN) diberikan secara sublingual, dengan dosis 5 mg untuk

54
meredakan nyeri dada. ISDN merupakan obat golongan nitrat dan bekerja sebagai
vasodilator. Obat ini menyebabkan dilatasi dari pembuluh darah agar darah dapat
mengalir lebih mudah, sehingga dapat mengatasi rasa nyeri dada. Namun,
penggunaan ISDN harus dilakukan evaluasi dan pemeriksaan tekanan darah, karena
efek dari vasodilator tersebut dapat menyebabkan hipotensi. Pasien juga diberikan
PO brilinta 2 tab. brilinta merupakan obat yang dapat menghambat agregasi platelet
(antiagregasi trombosit) yang merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina
tak stabil maupun infark tanpa elevasi segemen ST. Pasien diberikan PO Aspilet 2
tab, pemberian obat antiplatelet diindikasikan pada pasien SKA. Aspirin wajib
diberikan pada semua pasien tanpa kontraindikasi dan tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (PERKI, 2018). Mekanisme kerja obat aspirin yaitu
mengurangi agregasi platelet dengan cara menghambat enzim COX-1 dan COX-2
secara irreversibel di prostaglandin synthesis pathway (PGH2). Dalam dosis rendah
(75–150 mg) hanya dapat menginhibisi enzim COX-1 sehingga diperlukan dosis
tinggi atau Loading pada fase awal untuk menginhibisi enzim COX-2.
Setelah pasien stabil, pasien direncanakan untuk rawat inap dengan
pemantauan di CVCU dan direncanakan PCI. Saat di ruang perawatan, diberikan
terapi tambahan yaitu Inj. Arixtra 1 x 2,5 mg selama 5 hari. Arixtra adalah obat
yang mengandung Fondaparinux sodium yang masuk ke dalam golongan agen
antitrombotik senyawa penghambat agregasi/penggumpalan trombosit.
Fondaparinux adalah alternatif terapi pada pasien UA/NSTEMI karena rendahnya
risiko perdarahan dan direkomendasikan terutama untuk pasien dengan risiko tinggi
perdarahan. Statin berperan dalam mengurangi konsentrasi lipoprotein aterogenik
yang bersirkulasi sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kejadian
kardiovaskular. Statin dapat diberikan secara langsung tanpa melihat kadar LDL
maupun diet pada pasien dan direkomendasikan dimulai sedini mungkin. Pada
pasien ini diberikan obat statin berupa atorvastatin 1 x 40 mg. Obat golongan
benzodiazepine diazepam 1 x 5 mg juga diberikan kepada pasien sebagai anti-
ansietas dimana sekitar 50% pasien mengalami kecemasan oleh karena nyeri dada
dan SKA yang dapat mengancam nyawa. Melalui pengurangan kecemasan juga
diyakini dapat berperan dalam efek kardiovaskular baik secara langsung maupun

55
tidak langsung seperti vasodilatasi, anti-iskemik, anti-aritmia, inhibisi trombosit,
dan menurunkan kadar katekolamin. Secara keseluruhan, penatalaksanaan yang
dilakukan terhadap pasien sudah sesuai dengan teori dan konsensus.
Dalam menentukan prognosis pada pasien SKA dapat menggunakan
berbagai perhitungan stratifikasi risiko. Pada pasien ini didapatkan skoring Killip I,
TIMI 1, GRACE 75. Stratifikasi risiko kelas killip ditentukan melalui indikator
klinis gagal jantung pada pasien sebagai komplikasi yang disebabkan oleh infark
miokard akut dan dapat memperkirakan mortalitas pasien dalam 30 hari. Killip juga
digunakan sebagai variabel dalam klasifikasi GRACE (PERKI, 2018). Pada pasien
didapatkan skor Killip I yang memiliki bahwa pasien mempunyai persentase
mortalitas sebesar 6% dalam 30 hari pasca infark miokard akut. Sedangkan skor
GRACE ditujukan untuk memperkirakan mortalitas pasien saat dirawat di rumah
sakit dan 6 bulan pasca keluar dari rumah sakit (PERKI, 2018). Pada pasien
ditemukan bahwa skor GRACE 75 yang dimana pasien memiliki persentase
mortalitas di rumah sakit sebesar <2% dan mortalitas <2% dalam 6 bulan setelah
keluar rumah sakit.

56
DAFTAR PUSTAKA
1. Singh, Anumeha. Museedi Abdulrahman. Acute Coronary Syndrome.
StatPearls. 2022
2. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat.
PERKI. 2018
3. Wilder J, Sabatine MS, Lily LS. Acute Coronary Syndromes. In: Lily LS,
editor. Pathophysiology of Heart Disease, Baltimore, MD: Wolters Kluwer
Health; 2016.
4. alapanawa U, Kumarasiri PVR, Jayawickreme KP, et al. Epidemiology and
risk factors of patients with types of acute coronary syndrome presenting to a
tertiary care hospital in Sri Lanka. BMC Cardiovasc Disord.
2019.Dec;19(1):229.
5. SUHARDI, Feryandi Limanto; SHUJUAN, Sri. SINDROMA KORONER
AKUT AKIBAT HIPOKSIA: SEBUAH LAPORAN KASUS. Jurnal Medika
Hutama, 2021,
2.02 Januari: 642-646.
6. Yuniadi Y, Hermanto DY, Rahajoe AU. Buku ajar kardiovaskular. Sagung
seto. 2017
7. QOTHI, Ikhsanuddin; FUADI, Muhamad Robi’ul; SUBAGJO, Agus. Profile
of Major Risk Factors in Acute Coronary Syndrome (ACS) at Pusat Pelayanan
Jantung Terpadu (PPJT) Dr. Soetomo Public Hospital Surabaya Between the
Period of January-December 2019. Cardiovascular and Cardiometabolic
Journal (CCJ), 2021, 2.2: 59-72.
8. Camm AJ, Luscher TF. The ESC Textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd
edition. ESC. 2019
9. Crea F, Libby P. Acute Coronary Syndromes: The way forward from
mechanisms to precision treatment. CirculationAHAJournal. 2017; 136: 1155
– 1166
10. WRITING COMMITTEE MEMBERS, et al. 2021
AHA/ACC/ASE/CHEST/SAEM/SCCT/SCMR guideline for the evaluation
and diagnosis of chest pain: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Joint Committee on Clinical Practice
Guidelines. Journal of the American College of Cardiology, 2021, 78.22: e187-
e285.
11. Braunwald E. Braunwald’s Heart Disease: a textbook of cardiovascular
medicine. Philadelphia. Elsevier. 2015
12. COLLET, Jean-Philippe, et al. 2020 ESC Guidelines for the management of
acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation: the Task Force for the management of acute coronary
syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation of
the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal, 2021,
42.14: 1289- 1367.
13. YE, Fan, et al. Assessing prognosis of acute coronary syndrome in recent
clinical trials: a systematic review. Clinical Medicine & Research, 2019, 17.1-
2: 11-19.

57

Anda mungkin juga menyukai