Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

PENYAKIT HIPERTIROID

Disusun oleh:
Danang Galih Pamungkas
031052110082

Pembimbing:
dr. Afifah Iskandar, Sp. PD

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 27 FEBRUARI - 5 MEI 2023
JAKARTA

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul:


PENYAKIT HIPERTIROID

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih
Periode 27 Februari – 5 Mei 2023

Jakarta, Maret 2023


Pembimbing,

dr. Afifah Iskandar, Sp. PD

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan kasih dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Penyakit
Hipertiroid”. Penulis menyadari bahwa referat ini tidak mungkin terselesaikan
tanpa adanya dukungan, bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak
selama penyusunan laporan kasus ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Afifah Iskandar, Sp.PD selaku dokter pembimbing yang telah
memberikan waktu, ilmu dan bimbingannya dalam penyelesaian laporan kasus ini,
rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Budhi Asih, dan
seluruh pihak yang turut serta berperan memberikan masukan dalam proses
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari dan memohon maaf apabila masih ditemukan banyak
kekurangan dalam penyusunan referat ini. Penulis berharap agar referat ini dapat
memberikan manfaat bagi seluruh pembaca.

Jakarta, Maret 2023

Danang Galih Pamungkas


031052110082

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6
2.1.1 Definisi ................................................................................................ 6
2.1.2 Etiologi ................................................................................................ 6
2.1.3 Epidemiologi ....................................................................................... 7
2.1.4 Patofisiologi ........................................................................................ 9
2.1.4.1 Graves’ Disease ............................................................................. 10
2.1.4.2 Toxic Goitre .................................................................................. 11
2.1.5 Diagnosis ........................................................................................... 12
2.1.6 Penatatalaksanaan ............................................................................. 15
2.1.7 Komplikasi ........................................................................................ 18
2.1.8 Prognosis ........................................................................................... 20
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tiroid merupakan kelenjar yang kontribusi dalam pengaturan metabolism,


pertumbuhan, and manajemen dari konsentrasi kadar elektrolit serum. Dapat
beberapa banyak proses yang dapat mengakibatkan kondisi tirotoksikosis, untuk
endogen: kondisi proses inflamasi (tiroiditis), auoimun (Graves’ disease), ataupun
mutase DNA alhasil kekurangan kadar intake iodine seperti dalam toxic goitre.
Kondisi tersebut akan menganggukan proses fisiologis tiroid sehingga akan
menggangu proses metabolisme dasar di badan. Gejala tirotoksikosis dari
hipertiroid dapat muncul dalam beberapa tipe presentasi klinis: dari yang tidak ada
gejala atau gejala minim (apathetic), gejala overt (seperti rasa cemas/gelisah,
tremor, jantung berdebar-debar, intoleransi panas), atau dalam bentuk komplikasi
(thyroid storm) yang dapat mengancam jiwa.
Prevalensi penyakit hipertirodisime diantara 0.2%-1.3% di bagian dunia
yang diklasifikasikan cukup intake iodine. Pada America dan Eropa yang
merupakan daerah mencukupi dalam intake iodine, prevalensi penyakit hipertiroid
pada tahun 2016 sekitar 0.5%-0.7%. Peneliti di Cina menemukan pada tahun 2014
prevalensi hipertiroid sekitar 1,3% pada daerah yang kurang intake iodine,
disbanding 1,0% pada daerah yang cukup intake iodine. Menurut Riskesdas 2013,
prevalensi penyakit hipertiroid di Indonesia adalah 0,6% pada Wanita, 0,2% pada
pria, dengan prevalensi pada usia 15-24 0,4%, usia 25-34 tahun 0,3%, dan di atas
35 tahun 0,5%.
Dengan diagnosis dan penatalaksanaan cepat dan tepat, serta dengan
kepatuhan pasien dalam minum obat untuk penyakit hipertiroid. Bila sesuai,
komplikasi dapat dihindari. Oleh karena itu, penting untuk dokter umum yang
merupakan posisi primary care untuk mengenali etiologi, gejala penyakit,
penatalaksanaan yang tepat untuk menurunkan resiko komplikasi dan
meningkatkan prognosis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi
Penyakit hipertiroid atau hipertiroidisme adalah kondisi klinis yang
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi hormon tiroid dalam jaringan akibat
peningkatan sintesis hormon oleh kelenjar tiroid berupa peningkatan pelepasan
hormon tiroid endogen atau sumber ekstratiroidal (eksogen).
Penyebab paling umum dari hipertioroidisme adalah penyakit Graves,
toksik gondok multinodular, dan adenoma toksik. Penyebab lain yang juga dapat
dijumpai adalah tiroiditis, kemudian penyebab yang jarang antara lain penyakit
trofoblastik, pemakaian berlebihan yodium ataupun obat hormon tiroid, obat
amiodaron dan hiperskresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH).
Diantara berbagai penyebab hipertiroid diatas, pembentukan dan pelepasan
hormon tiroid berlebih akan menyebabkan peningkatan berlebih kadar hormon
pada serum (atau dikenalkan sebagai kondisi tirotoksikosis), sehingga ini dapat
meningkatkan laju metabolisme tubuh.

2.1.2 Etiologi
Etiologi yang mendasari hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa,
secara umum hipertiroidisme dibagi menjadi primer, sekunder, dan extra-thyroidal.
Secara menyeluruh yang paling banyak ditemukan adalah Graves’ Disease, toxic
adenoma, dan multinodular goiter. Graves’ disease merupakan penyebab utama
hipertiroidisme karena sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh
Graves’ Disease.
Graves disease dapat terjadi dari mekanisme autoimun dimana antibodi
stimulasikan reseptor TSH yang meningkatkan kadar hormone tiroid dalam serum
sehingga bila terdapat riwayat gangguan autoimmune akan dapat presipitasi
pembentukan penyakit Graves. Toxic multinodular goiter (atau Toxic adenoma bila
hanya satu nodule) merupakan etiologi kedua paling umum untuk hipertiroidisme
dan akan lebih tampak pada pasien tua yang tinggal di area dengan defisiensi iodine,

6
yang akan mengakibatkan replikasi sel clonogenic terus menerus sehingga
menyebabkan mutasi pada reseptor TSH. Penyakit hipertiroid, selain yang sudah
tersebut yang merupakan penyakit hipertiroid primer, dapat diakibatkan oleh factor
sekunder (sentral) seperti dalam penyakit TSH secreting pituitary adenoma atau
resistansi pituitary ke hormone tiroid, sehingga akan terjadi sekresi TSH tidak
sesuai.

Gambar 1. Etiologi hipertiroid

2.1.3 Epidemiologi
Prevalensi penyakit hipertirodisime diantara 0.2%-1.3% di bagian dunia
yang diklasifikasikan cukup intake iodine. Pada America dan Eropa yang
merupakan daerah mencukupi dalam intake iodine, prevalensi penyakit hipertiroid
pada tahun 2016 sekitar 0.5%-0.7%. Peneliti di Cina menemukan pada tahun 2014
prevalensi hipertiroid sekitar 1,3% pada daerah yang kurang intake iodine,
disbanding 1,0% pada daerah yang cukup intake iodine.
Epidemiologi hipertiroid dapat dijabarkan etiologinya menjadi beberapa
phenotip klinis sesuai dengan etiologi tirotoksikosis. Graves disease membentuk
sekitar 70-80% hipertiroid dari pasien bila di dalam daerah yang mencukupi intake
iodine, dan sekitar 50% bila dalam daerah dengan defisiensi iodine, dan lebih

7
mempengaruhi perempuan dibanding lelaki (8:1) dan lebih banyak pada rentang
usia 30-50 tahun. Toxic Nodular disease lebih banyak pada individu yang lanjut
usia dan tinggal di area yang kurang intake iodine, dan juga lebih umum pada
perempuan. Pada area dengan low intake iodine, toxic multinodular goitre memiliki
insidensi 18 kasus per 100,000 per tahun, dibanding 1,5 kasus per 100,000 per tahun
bila pada area cukup intake iodine.
Epidemiologi dari fenotip klinis juga akan berbeda sesuai dengan kondisi
geografis dan genetic, pada Afrika bagian sub-Sahara terdapat predisposisi untuk
pembentukan komplikasi kardiovaskular yang dapat terjadi karena factor genetik
atau pun faktor sosioekonomi yang dapat meningkatkan beban komplikasi
kardiovaskular. Pada populasi Asia, resiko untuk terjadinya Graves
ophthalmopathy enam kali lipat dibanding dengan populasi Barat, serta dengan
insidensi lebih tinggi untuk paralisis periodic di Cina dan Jepang (2%) dibanding
populasi Barat (0,2%)

Gambar 2. Prevalensi hipertiroid di dunia.

Menurut Riskesdas 2013, prevalensi penyakit hipertiroid di Indonesa adalah


0,6% pada Wanita, 0,2% pada pria, dengan prevalensi pada usia 15-24 0,4%, usia
25-34 tahun 0,3%, dan di atas 35 tahun 0,5%.

8
2.1.4 Patofisiologi
Produksi dan pelepasan hormon tiroid diregulasikan oleh sistem umpan
balik yang melibatkan hipotalamus, kelenjar pituitary, dan kelenjar tiroid.
Hipotalamus akan melepaskan TRH (thyroid releasing hormone) yang akan
stimulasikan kelenjar pituitary untuk melepaskan TSH, yang akan stimulasikan
tiroid untuk melepaskan T4 dan T3, dan akan inhibisikan TRH dan TSH. Proses
inti tergantung pada iodine, yang akan diproseskan setelah iodide dimasukkan ke
sel dan menjadi iodine, yang setelah itu akan mengikat ke tiroglobulin dan
membentuk monoiodotyrosine dan diiodotyrosine, sehingga pada akhir akan diikat
untuk produksi T4 dan T3. T3 lebih aktif dipakai dalam metabolism, dan biasanya
dibentuk di perifer setelah dikonversi dari T4 ke T3.
Di serum, hormone tiroid biasanya terikat ke protein dan inaktif, tetapi bila
ada proses yang meningkatkan tiroid bebas di serum, proses tersebut meningkatkan
potensi untuk tirotoksikosis. Peningkatan T3 dan free T4 akan menghasil menjadi
berbagai ragam gejala klinis, dapat muncul asimptomatis pada pasien subklinis, dan
juga bisa mengancam nyawa dalam bentuk thyroid storm.
Pada pasien usia muda lebih terdapat gejala stimulasi simpatis, seperti
ansietas, kegelisahan, dan tremor, dibanding pasien tua yang gejalanya lebih
mengarah ke depresi, kelemahan, dan penurunan berat badan yang diketahui
sebagai apathetic hyperthyroidism. Pasien dapat datang dengan kehilangan berat
badan meskipun banyak makan, intoleransi panas, atau keringat berlebihan, tampak
gelisah atau ansietas sebagai gejala constitutional. Pada kepala, leher, dan sistem
THT, dapat muncul goiter atau leher membesar, pembengkakakan palpebra,
kemerahan, dan penglihatan ganda. Pada sistem paru dan jantung, dapat muncul
dyspneu dan palpitasi.

9
Gambar 3. Patofisiologi hipertiroid primer

2.1.4.1 Graves’ Disease


Graves disesase merupakan kondisi autoimun dimana antibody
menyerang reseptor TSH, yang mengakibatkan stimulasi yang tidak
terinhibisi pada kelenjar tiroid. Karena tidak terdapat inhibisi, produksi
hormone T4 dan T3 tersebut akan terus menerus meningkat, sehingga akan
terjadi hyperplasia dari kelenjar tiroid dan peningkatan iodinisasi dari
thyroglobulin.

10
Gambar 4. Patofisiologi Graves Disease

2.1.4.2 Toxic Goitre


Toxic goitre, dalam bentuk multinodular ataupun nodular, terjadi
karena terdapat pelepasan hormone tiroid yang tidak diperlukan dari beberapa
nodule (bila multinodular) atau satu nodule (bila nodular) yang bersifat
otonom dan hiperfungsi sehingga produksi surplus dari hormone tiroid.
Kedua bentuk goitre ini lebih umum di wilayah dengan defisiensi iodine,
seperti pada negara dunia ketiga, ataupun populasi dengan intake buruk/diet
tidak baik (lansia). Gejala biasanya ringan sedang, dan terdapat peningkatan
dikit hormone tiroid diatas normal.

11
Gambar 5. Patofisiologi Toxic Goitre

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme dapat diteggakan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Presentasi klinis dari penyakit
hipertiroid cukup banyak, dari asimptomatis sehingga kondisi thyroid storm. Pada
anamnesis fokuskan dalam mencari tanda dan gejala dari hipertiroidisme dapat
yang dapat bermanifestasi seperti penurunan berat badan meskipun nafsu makan
meningkat, keluhan gejala adrenergic seperti palpitasi, gugup, tremor, dyspnea,
kelelahan, diare atau peningkatan motilitas GI, kelemahan otot, intoleransi panas,
dan diaphoresis. Tanda dan gejala tersebut menandakan paparan hormon tiroid ke
jaringan perifer mencerminkan keadaan hipermetabolik.
Pada pemeriksaan fisik, selain hipertiroid sendiri yang bersifat immobile,
dan bisa terdapat nodule dan dapat terdengan bruit, dapat ditemukan takikardia,
nadi irregular (bila AF), vitiligo pada pasien Graves’, pitting edema ataupun ascites,
peningkatan JVP yang mrupakan tanda-tanda gagal jantung, kulit hangat lembab,

12
dan opthalmopathy, yaitu merupakan kumpulan gejala khas ke Graves’ disease dan
dapat meliputi: eksoftalmus, diplopia, penglihatan buram, injeksi konjunctiva.
Dari gejala klinis dan anamnesis tersebut, bila tidak dapat melakukan
pemeriksaan lab, dapat menggunakan Indeks Diagnostik Wayne yang diguna
sebagai acuan untuk diagnosis secara klinis. Jika skor total lebih dari 19, dapat
dinyatakan hipertiroid, 11-19 ragu ragu, kurang dari 11 kesimpulan tidak dalam
keaadan hipertiroid.

Gambar 6. Indeks Diagnostik Wayne

Untuk penegakan yang pasti, perlu dilanjut dengan pemeriksaan penunjang


laboratorium yang memeriksakan hormone TSH dan kadar T4/T3 dalam serum.
TSH yang ditekan biasanya <0.1mlU/ml, TSH rendah diantara 0.1-0.4mlU/ml.
Untuk membedakan antara bedanya tipe hipertiroid, perlu dilakukan pemeriksaan
iodine uptake dan scan. Pada Graves, akan terlihat TSH rendah, FT4 dan FT3 tinggi,
serta dengan bentuk uptake iodine homogen, dibanding dengan TMNG atau Toxic
adenoma yang memiliki bentuk uptake iodine yang nodular. Bila terdapat
kontraindikasi untuk uptake iodine radioaktif, juga bisa melakukan USG dengan
Doppler flow untuk memeriksakan tipe hipertiroid.

13
Gambar 7. Screening awal kelainan tiroid menggunakan pemeriksaan TSH

Pemeriksan radiologi seperti USG leher atau USG tiroid akan menampilkan
pembesaran difus pada kasus Grave’s disease, dan nodul pada kasus toksik
adenoma dan toksik multinodular goitre. Pemeriksaan seperti CT scan atau MRI
dilakukan sesuai indikasi untuk menyingkirkan diagnosis diferensial, misalnya
pada dugaan TSH-secreting pituitary adenoma, struma ovarium, penyakit
trofoblastik, dan germ cell tumor.

14
Gambar 8. Alur Pemeriksaan Lab Hipertiroid

2.1.6 Penatatalaksanaan
Penatalaksaanan hipertiroid bisa menggunakan obat anti tiroid (OAT),
pengobatan iodine radioaktif, atau pembedahan. Tujuan utama pengobatan adalah
untuk mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk
mencapai remisi

15
Medikamentosa (Obat Antitiroid)
Obat antitiroid yang digunakan adalah propylthiouracil, carbimazole, dan
methimazole. Mekanisme kerja golongan obat ini adalah menghambat oksidasi dan
organifikasi iodine melalui inhibisi enzim tiroid peroksidase dan menghambat
proses coupling iodotirosin menjadi T4 dan T3. Khusus propylthiouracil
mempunyai keuntungan lainnya yakni mampu mengurangi konversi T4 menjadi T3
di jaringan perifer
Obat tersebut dapat diberikan dengan dua cara, dengan metode:
a. Metode Titrasi
Dengan memberikan dosis awal methimazole/carbimazole 20-40mg
hari sekali sehari, atau PTU 300-600mg/hari tiga kali sehari. OAT
diberikan sehingga tercapai eutiroid, lalu akan direndahkan secara
bertahap sehingga terakhir melanjut dengan dosis pemeliharaan rendah,
biasanya 2.5mg methimazole atau 100mg PTU per hari tetapi dosis yang
tepat akan diatur sesuai kadar FT4.
b. Metode block-supplement
Pengobatan akan dilanjutkan dengan menambahkan I-tiroksin sebanyak
100-150mcg/hari yang bertujuan untuk menurunkan risiko kekambuhan
hipertiroid. Eutiroid akan dicapai dalam 4-12 minggu biasanya,
pengobatan akan dilanjut selama 12-24 bulan untuk memantaui
kekambuhan dan fungsi.
Efek samping ringan terapi antitiroid adalah pruritus, artralgia dan
gangguan ringan saluran pencernaan. Sedangkan efek samping serius pada terapi
ini adalah agranulositosis, hepatitis, dan vaskulitis.
Pada pasien juga dapat diberikan pengobatan adjuvant seperti beta-blocker
dengan tujuan mengurangi gejala perifer sebagai OAT perifer untuk menghambat
konversi T4 menjadi T3, serta dengan obat sedative/tranquilizer sebagain penenang
pasien yang bersifat gelisah.
Pasien akan di folowup setiap 4-6 minggu sekali untuk memantau fungsi
tiroid dengan melihat kadar FT4, bila itu sudah normal akan dipantau fungsi TSH
dengan jangka waktu yang sama (bila T3 toksikosis yang dipantau adalah T3/FT3).

16
Terapi Ablasi Radioaktif Iodine
Terapi ablasi radioaktif iodine bisa digunakan sebagai terapi pilihan
pertama untuk penatalaksanaan Grave’s disease, toksik adenoma, dan toksik
multinodular goitre.Kontraindikasi absolut terapi ini adalah kehamilan, menyusui,
sedang program hamil, ketidakmampuan untuk mematuhi rekomendasi keamanan
radiasi, dan pada kasus active moderate-to-severe or sight-threatening Graves’
orbitopathy.
Dosis optimal terapi radioaktif iodine menggunakan pendekatan dosis tetap
dan dosis kalkulasi sesuai data tes radioaktif iodine uptake. Sejumlah penelitian
menemukan tidak ada perubahan signifikan pada hasil terapi dengan dua
pendekatan tersebut. Pada umumnya, dosis tetap 10-15mCi digunakan untuk
Grave’s disease sedangkan 10-20 mCi untuk toksik nodular goitre.
Efek samping akibat terapi radioaktif adalah memperburukGraves
orbitopathydan menimbulkan tiroiditis akut. Tiroiditis akut akibat terapi radioaktif
hanya bersifat sementara dan cukup diterapi dengan obat anti inflamasi,
steroid, dan beta adrenergik bloker.

Pembedahan (Tiroidektomi)
Hingga saat ini, tiroidektomi merupakan terapi paling sukses dalam
mengobati hipertiroid akibat Grave’s disease dan toksik nodular goitre. Teknik
near-total atau total thyroidectomy merupakan prosedur pilihan sesuai rekomendasi
pedoman klinis.
Tiroidektomi disarankan bagi pasien-pasien dengan karakteristik seperti
ukuran goitre yang besar, low uptake of radioactive iodine, atau kombinasi
keduanya. Tiroidektomi juga disarankan pada pasien suspek kanker tiroid, dan
moderate-to-severe Graves orbitopathy. Kontraindikasi terapi ini adalah
kehamilan. Efek samping tiroidektomi meliputi hipokalsemia akibat terangkatnya
kelenjar paratiroid dan cedera pada recurrent laryngeal.
Setelah tiroidektomi total, pasien harus memulai penggantian LT4 dengan
dosis 1,4-2,2 g/kg/hari. Penyesuaian dosis LT4 harus didasarkan pada usia pasien,
sesuai dengan rekomendasi yang biasa untuk pasien dengan hipotiroidisme.

17
Namun, pada pasien yang menjalani tiroidektomi parsial, pengobatan dengan LT4
harus diterapkan setelah terjadinya hipotiroidisme dan bukan pencegahan terhadap
kekambuhan struma, karena manfaat ini belum dikonfirmasi dalam penelitian acak.

2.1.7 Komplikasi
Fibrilasi atrial merupakan komplikasi paling umum dari hipertiroid,
diperkirakan prevalensi komplikasi ini di pasien overt hyperthyroid sekitar 10-25%.
Patofisiologi sebenarnya tidak diketahui secara penuh, tetapi diketahui bahwa
hormone T3 dan T4 dapat mempengaruhi otot jantung dan pembuluh darah.
Hormon tersebut akan mempengaruhi proses kontraksi sel jantung, serta dengan
mempengaruhi membrane plasma yang akan menggangu dengan proses pertukaran
ion. Ini akan menggangu aktifitas listrik sehingga akan terjadi fibrilasi atrial.
Bila tidak teratasi, kondisi penyakit hipertiroid dapat mengakibatkan
hipertiroid lebih berat yaitu badai tiroid/ Thyroid storm. Diagnosis dapat dilakukan
dengan Burch-Wartofsky score, tatalaksana sesuai dengan penyakit hipertiroid
(thionamide dan PTU, serta obat adjuvant dan simptomatis untuk mengatasi kondisi
pasien).

18
Gambar 9. Burch-Wartofsky Score untuk Diagnosis Thyroid Storm

19
2.1.8 Prognosis
Prognosis penyakit hipertiroid tergantung kepatuhan minum obat pasien,
tetapi secara garis lebar prognosis baik untuk Graves dan TMNG/toxic adenoma
dikarenakan keberhasilan baik dari terapi definitif, Pada hipertiroidisme akibat
penyakit graves, remisi dicapai oleh 30%-60% pasien dalam 12-18 bulan setelah
pengobatan. Risiko relaps lebih tinggi pada pasien usia muda, laki-laki, perokok,
hipertiroidisme berat, dan memiliki struma besar. Tingat remisi terapi radioiodin
adalah 60-70%. Pasien dengan tiroidektomi total tidak memiliki risiko relaps.

20
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit hipertiroid merupakan salah satu bentuk tirotoksikosis yang


disebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar
tiroid..Etiologi dari hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa, secara umum
hipertiroidisme dibagi menjadi primer, sekunder, dan extra-thyroidal.
Diagnosis hipertiroidisme dapat diteggakan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Presentasi klinis dari penyakit
hipertiroid cukup banyak, dari asimptomatis sehingga kondisi thyroid storm. Pada
umumnya pasien akan mengeluhkan gejala adrenergic seperti palpitasi, gugup,
tremor, dyspnea, kelelahan, diare atau peningkatan motilitas GI, kelemahan otot,
intoleransi panas, dan diaphoresis. Tanda dan gejala tersebut menandakan paparan
hormon tiroid ke jaringan perifer mencerminkan keadaan hipermetabolik.
Penatalaksanaan pasien hipertiroid dapat medikamentosa dan non
medikamentosa sesuai indikasi, Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah
untuk mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk
mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi
bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat.
Dengan diagnosis dan penatalaksanaan cepat dan tepat, serta dengan
kepatuhan pasien dalam minum obat untuk penyakit hipertiroid maka komplikasi
dapat dihindari. Dengan penatalaksanaan yang tepat, hipertiroidisme akibat
penyakit graves remisi dicapai oleh 30%-60% pasien dalam 12-18 bulan setelah
pengobatan. Namun terdapat risiko relaps pada beberapa kelompok pasien. Oleh
karena itu, penting untuk dokter umum yang merupakan posisi primary care untuk
mengenali etiologi, gejala penyakit, penatalaksanaan yang tepat untuk menurunkan
resiko komplikasi, dan meningkatkan remisi serta prognosis.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kravets I. Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment [Internet]. American


Family Physician. 2016 [cited 18 May 2022]. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2016/0301/p363.html
2. Pedoman Pengelolaan Penyakit Hipertiroid. 1st ed. Jakarta: PERKENI; 2017.
3. Reddy V, Taha W, Kundumadam S, Khan M. Atrial fibrillation and
hyperthyroidism: A literature review. Indian Heart Journal. 2017;69(4):545-
550.
4. Shahid MA, Ashraf MA, Sharma S. Physiology, Thyroid Hormone. In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK500006/
5. Taylor P, Albrecht D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus J, Dayan C et al.
Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism. Nature Reviews
Endocrinology. 2018;14(5):301-316.
6. Baldini E, Odorisio T, Sorrenti S, Catania A, Tartaglia F, Carbotta G et al.
Vitiligo and Autoimmune Thyroid Disorders. Frontiers in Endocrinology.
2017;8.
7. Devereaux D, Tewelde S. Hyperthyroidism and Thyrotoxicosis. Emergency
Medicine Clinics of North America. 2014;32(2):277-292.
8. Ertek S, Cicero A. State of the art paper Hyperthyroidism and cardiovascular
complications: a narrative review on the basis of pathophysiology. Archives of
Medical Science. 2013;5:944-952.
9. Loscalzo J, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J. Harrison's
Principles of Internal Medicine. 19th ed. McGraw-Hill; 2015.
10. Taylor PN, Albrecht D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus JH, Dayan CM,
Okosieme OE. Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism.
Nat Rev Endocrinol. 2018 May;14(5):301-316. doi: 10.1038/nrendo.2018.18.
Epub 2018 Mar 23. PMID: 29569622.
11. Heidenreich P, Bozkurt B, Aguilar D, Allen L, Byun J, Colvin M et al. 2022
AHA/ACC/HFSA Guideline for the Management of Heart Failure: A Report

22
of the American College of Cardiology/American Heart Association Joint
Committee on Clinical Practice Guidelines. Circulation. 2022;145(18).
12. McDonagh T, Metra M, Adamo M, Gardner R, Baumbach A, Böhm M et al.
2021 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure. European Heart Journal. 2021;42(36):3599-3726.
13. Mathew P, Rawla P. Hyperthyroidism. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537053/
14. Lee ES, Kim JH, Na DG, et al. Hyperfunction thyroid nodules: their risk for
becoming or being associated with thyroid cancers.Korean J Radiol.
2013;14(4):643-652. doi:10.3348/kjr.2013.14.4.643
15. Knobel M. which is the ideal Treatment for Benign Diffuse and Multinodular
Non-Toxic Goiters? Front. Endrocrinol, 2016;7(48):1-8. doi:
10.3389/fendo.2016.00048
16. Fischli S, Von Wyl V, Trummler M, et al. Iron metabolism in patients with
Graves' hyperthyroidism. Clin Endocrinol (Oxf). 2017;87(5):609-616.
doi:10.1111/cen.13450

23

Anda mungkin juga menyukai