Anda di halaman 1dari 25

REFERAT METABOLIK-ENDOKRIN

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN GRAVES DISEASE

Oleh :

Abdul Rasyid

Sari Dewi Apriana

Sarah Attauhidah

Pembimbing :

dr. N Soebijanto, Sp.PD-KEMD,MM,FINASIM

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2016

1
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah referat ini dengan judul Diagnosis dan Penatalaksanaan Graves Diease telah
diterima dan disetujui pada tanggal 17 Februari 2016 sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan kepanitraan klinik stase Ilmu Penyakit Dalam di RSUP Fatmawati, Jakarta.

Jakarta, 17 Februari 2016

dr. N Soebijanto, Sp.PD KEMD

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas nikmat dan
rahmat-Nya yang tak terhingga kami dapat menyelesaikan makalah referat ini. Terimakasih
banyak kepada pembimbing kami dr. N Soebijanto, Sp.PD KEMD atas kesempatan dan
bimbingan yang telah diberikan kepada kami, serta dukungan orangtua dan teman-teman
yang turut mensupport sehingga referat ini dapat kami selesaikan. Besar harapan kami
mudah-mudahan makalah referat ini dapat bermanfaat bagi kita untuk memahami dan dapat
menerapkannya dalam kehidupan kita sebagai seorang tenaga medis dalam mendiagnosis dan
memberikan penatalaksanaan kepada pasien Graves disease sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup masayarakat Indonesia dimasa yang akan datang.

Jika dalam penulisan makalah referat ini terdapat hal-hal yang kurang, kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Jakarta,17 Februari 2016

Tim Penulis

3
DAFTAR ISI

Lembar pengesahan...........................................................................................................2

Kata Pengantar...................................................................................................................3

Daftar Isi.............................................................................................................................4

BAB I. Pendahuluan..........................................................................................................5

BAB II. Tinjauan Pustaka................................................................................................9

Daftar Pustaka.................................................................................................................25

4
BAB I

PENDAHULUAN

Graves Disease berasal dari dari nama Robert J. Graves, MD tahun 1830, adalah
penyakit autoimun yng ditandai dengan hipertiroid yang ditemukan dalam sirkulasi darah.
Graves disease lazimnya juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk
pembesaran kelenjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam.1
Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksiosis (hipertiroid) yang paling sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada
wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah
struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis dan serin disertai oftalmopati, serta
dermopati, meskipun jarang dijumpai.2
Faktor resiko terjadinya penyakit Graves disebabkan oleh faktor genetik dan
lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya
resiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya penyakit Graves
dikelompokkan kedalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi
terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab)
dengan kadar yang bervariasi.2,3
Diantara pasien yang hipertiroid ditemukan sekitar 60% - 80% merupakan penyakit
Graves, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insiden tiap tahun pada
wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7 % per 1000. Tertinggi pada usia 40-60 tahun.
Angka kejadian penyakit Graves 1/5-1/10 pada lelaki maupun perempuan, dan tidak umum
didapatkan pada anak-anak. Prevalensi penyakit Graves sama pada orang kulit putih dan Asia
dan lebih rendah pada orang kulit hitam.4

1.1 Defenisi Graves Disease

Penyakit Graves (goiter difusa toksik) merupakan penyebab tersering


hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun yang biasanya ditandai oleh produksi
autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves
memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu
pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftalmopati (eksoftalmus) dan kadan kadanng
dengan dermopati.5

5
1.2 Etiologi Graves Disease

Penyakit Graves merupakan suatu penyakit autoimun yaitu saat tubuh menghasilkan
antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini
dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini disebabkan
oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga
merangsang tiroid sintesis dan sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid ( menyebabkan
gondok membesar difus).3

Saat ini identifikasi adanya antibodi IgG sebagai thyroid stimulating antibodies pada
penderita penyakit Graves yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada sel tiroid
yang menginduksi sintesa dan peleasan hormon tiroid. Penyakit inimempunyai predisposisi
geneti yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan
penderita penyakit yag sama. Sekittar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves,
ditemukan autoantibodi didalamnya. 3,5

Faktor-faktor resiko antara lain: faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, radiasi tiroid eksternal, Chorionic Gonadothropin Hormon.5

1.3 Patofisiogi Graves Disease

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen


yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan
dan fungsi sel tiroid dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.
Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.3

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita
dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.3

6
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.3

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan


antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblas, otot-otot bola mata, dan jaringan tiroid. Sitokin
yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblas dan miositis orbita,
sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.3,5

7
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikan.3

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin,


seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin
didalam otot jantung.3

Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan
dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula peningkatan
produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan
perifer.3

Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan,


proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini
berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui mekanisme transport asam amino
dan elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel
dan peningkatan proses-proses intraseluler.3,5

Gambar 2 . TSH dan kelenjar tiroid orang sehat dan penderita Graves Disease

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis Graves Disease

Graves Disease adalah penyakit autoimun yag ditandai dengan hipertiroid, difus
goiter, opthalmopathy, dan dermopathy. Hipertiroid karena Graves Disease bisa ditegakkan
diagnosis melalui manifestasi klinis dan laboraturium.6

Gejala dan tanda

Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gabaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keluhan mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar,
tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan
menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan
srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal
yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%
sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit Graves antara lain adalah tri
tunggal hipertitoidisme, goiter difus, dan eksoftalmus.7,8

Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid


Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):

Tidak ada gejala dan tanda


Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction, stare , lid lag)
Perubahan jaringan lunak orbita
Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel Exophthalmometer)
Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
Perubahan pada kornea (keratitis)
Kebutaan (kerusakan nervus optikus

9
2.1 Diagnosis

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit


dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena
timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa
salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian
pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol, yaitu: nervositas, kelelahan
atau kelemahan otot-otot, penurunan berat badan sedangkan nafsu makan baik, diare atau
sering buang air besar, intoleransi terhadap udara panas, keringat berlebihan, perubahan
pola menstruasi, tremor, berdebar-debar, penonjolan mata dan leher.9

Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu: seorang penderita
tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata, telapak
tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang
cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks achilles.9

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perhatikan beberapa komponen
berikut:
Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler
Jumlah: uninodusa atau multinodusa
Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal
Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya
ikut bergerak
Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

Palpasi
Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:
Perluasan dan tepi
Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak
dapat diraba trakea dan kelenjarnya
Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

10
Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus
Limfonodi dan jaringan sekitarnya

Auskultasi
Tes Khusus
Pumbertons sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah

Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan
meletakkan sehelai kertas di atas tangan

Oftalmopati

11
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk hormon
tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks wayne atau indeks new castle sangat
membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolisme basal (BMR), bila
hasil BMR 30, sangat mungkin bahwa seseorang menderita hipertiroid.3

12
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon tiroid (thyroid
function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index. Adapun
pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain: pemeriksaan
antibodi tiroid yang meliputi antitiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH
serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan
sidikan tiroid (thyroid scanning). Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan
diagnosis penyakit Graves, yakni: adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan otoimun, di samping itu pada
penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial; kemudian dikonfirmasi dengan
pemeriksaan antibodi tiroid.3

13
2.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboraturium

Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit
Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit
Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau
pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas.3
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon
tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid
tinggi, maka produksi TSH akan menurun.3
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH dimembran sel
folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
14
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan
produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan
kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut
TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05
mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).2,3

Pemeriksaan Radiologi

1. Foto Polos Leher Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada


trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang
membesar.
2. Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium
berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.
3. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama
pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium
4. CT Scan Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari
tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada
penyempitan, deviasi dan invasi).
5. MRI Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid)
6. Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi.

Pemeriksaan Jarum Halus

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus.


Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun keganasan.

15
2.1 Penatalaksanaan Graves Disease

2.1.1 Tatalaksana Farmakologi

Adapun antithyroid drugs (ATDs) disarankan pada pasien dengan kondisi di bawah
ini:

Pasien yang memiliki kemungkinan besar remisi pada penyakitnya (terutama


pasien wanita dengan penyakit yang masih ringan, pembesaran tiroid yang
masih kecil, dan memiliki TRAb yang negatif/bertiter rendah)
Pasien manula yang memiliki resiko tinggi untuk menjalankan operasi atau
memiliki keterbatasan
Pasien di rumah perawatan atau fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki
keterbatasan untuk mengikuti pengobatan radiasi
Pasien dengan riwayat operasi atau radiasi di leher
Pasien dengan moderate-severe Gravess Ophtalmopathy (GO)

Kontraindikasi pemakaian obat antitiroid ialah pemakaian obat antitiroid jangka


panjang dan adanya reaksi berlebih pada obat antitiroid. Terdapat 2 kelas obat antitiroid yang
tersedia, yaitu thiouracil (propilthiouracil/PTU) dan imidazole (methimazole/MMI,
carbimazole, dan thiamazole).

PTU sangat disarankan sebagai obat pilihan antitiroid pada kehamilan trimester
pertama, thyroid crisis, dan pasien dengan riwayat alergi atau intoleransi terhadap obat
antitiroid, serta pasien hipertiroid yang tidak dapat melakukan terapi radioaktif atau operasi.

Kombinasi obat antitiroid dengan dosis rendah levotiroksin (hormone replacement


therapy) kini sudah tidak direkomendasikan. Adapun dosis PTU ialah cukup tinggi, dimulai
dari 100-200 mg sebanyak 3 kali sehari, tergantung dari keparahan penyakitnya. Setelah
melihat klinisnya kembali, serta menunjukkan fungsi tiroid yang kembali normal, dosis
maintenance PTU menjadi 50 mg sebanyak 2-3x sehari, bahkan memungkinkan untuk 1 kali
sehari.

Sama seperti PTU, dosis MMI juga cukup tinggi, dimulai dari 10-20 mg per hari dan
dosis maintenance 5-10 mg per hari.

16
Penilaian serum T4 bebas sebaiknya di observasi selama 4 minggu setelah inisiasi
terapi hingga level eutiroid dapat tercapai dengan dosis minimal. Sekali pasien menjadi
eutiroid, observasi laboratorium dan evaluasi klinis tetap berjalan selama interval 2-3 bulan.
Sebelum menginisasi terapi antitiroid juga sebaiknya melakukan pemeriksaan darah lengkap,
termasuk hitung jenis sel darah putih, bilirubin, dan transaminase.

Pada kehamilan, PTU dan MMI merupakan terapi antitiroid pilihan. PTU sebaikanya
dimulai ketika kehamilan memasuki trimester pertama. Sedangkan MMI sebaiknya diberikan
setelah trimester pertama. Dosis yang direkomendasikan untuk PTU ialah 100-450 mg
sebanyak 3 kali sehari, tergantung pada gejala dan hasil tes fungsi tiroid. Dosis MMU dapat
diberikan sebanyak 10-20 mg per hari. Dosis keduanya sebaiknya diberikan serendah
mungkin.

Terapi kombinasi antitiroid dan levotiroksin (hormone replacement therapy)


sebaiknya tidak diberikan pada saat kehamilan. Namun jika pasien sebelum hamil
mendapatkan terapi tersebut, maka saat hamil terapi yang diberikan cukup obat antitiroid
saja.

Pemakaian -adrenergik bloker, seperti propranolol sebanyak 10-40 mg sebanyak 4


kali sehari juga direkomendasikan untuk pengobatan gejala hiperadrenergik yang muncul
pada hipertiroid, tetapi sebaiknya langsung dihentikan ketika gejala membaik atau satu
minggu awal terapi.

Monitoring terapi antitiroid pada kehamilan sebaiknya dilakukan setiap 2 minggu.


Dosis mulai diturunkan jika terdapat perbaikan dari gejala dan tanda-tanda hipertiroid (berat
badan naik dan frekuensi nadi normal) dan T4 bebas. Sekali target remisi T4 bebas tercapai,
tes fungsi tiroid tetap dilakukan setiap 2-4 minggu untuk benar-benar memastikannya.

Pasien yang sudah terdeteksi eutiroid dengan dosis obat antitiroid yang minimal,
memiliki penurunan gejala, rendah/tidak terdeteksinya titer TRAb, dan mengecilnya goiter
memungkinkan untuk dihentikannya obat antitiroid saat 4-8 minggu akhir kehamilan.
Penghentian pengobatan sebelum minggu ke-32 kehamilan tidak direkomendasikan karena
memiliki kemungkinan tinggi hipertiroid yang berulang.

Pada pasien yang menyusui, penggunaan PTU ataupun MMU keduanya diekskresi
di air susu dengan konsentrasi yang sedikit. Namun karena PTU lebih berpotensial

17
menyebabkan nekrosis hepatik baik pada ibu atau anaknya, terapi MMI lebih dipilih pada ibu
menyusui.10

Mekanisme Kerja

Pertama, propiltiourasil bekerja dengan cara menghambat proses inkorporasi yodium


pada residu tirosil dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan residu iodotirosil
menjadi iodotironin. Cara kerjanya dengan menghambat enzim peroksidase sehingga oksidasi
ion yodida dan gugus iodotirosil terganggu.

Propiltiourasil (PTU) juga menghambat deiodinasi tiroksin menjadi triiodotironin di


jaringan perifer, sedangkan metimazol (MMI) tidak memiliki efek ini.

Kedua, pada pasien yang mengkonsumsi obat antitiroid, konsentrasi dari serum
antibody antitirotropin-reseptor akan menurun sepanjang waktu pengobatan, termasuk
beberapa molekul imunologi yang penting, seperti intracellular adhesion molecule 1, soluble
interleukin-2, dan interleukin-6 receptors. Pada beberapa referensi, terdapat bukti bahwa obat
antitiroid juga menstimulasi apoptosis dari intrathroidal lymphocytes, seperti penurunan
ekspresi HLA kelas II. Selain itu, obat antitiroid juga meningkatkan jumlah suppressor T
cells di sirkulasi, natural killer cells, dan activated intrathyroidal T cells.11

Farmakokinetik

Propiltiourasil dan metimazol dibedakan dari ikatannya dengan serum protein. Di


dalam tubuh, metimazol dapat bebas di serum, sedangkan 80-90% dari PTU berikatan dengan
albumin.12 Keduanya juga didistribusi ke seluruh jaringan tubuh dan diekskresi melalui urin
dan air susu ibu, tetapi tidak melalui tinja. PTU pada dosis 100 mg mempunyai masa kerja 6-
8 jam, sedangkan MMI pada dosis 30-40 mg bekerja selama kira-kira 24 jam. Dengan dosis
di atas, keadaan eutiroid biasanya tercapai dalam waktu 12 minggu. Setelah ini tercapai, dosis
perlu dikurangi, tetapi terapi sebaiknya jangan dihentikan. Perbedaan farmakokinetik PTU
dan MMI sebagai berikut:

18
Tabel.1

Farmakokinetik Propiltiourasil Metimazol


(PTU)

Ikatan protein plasma 75% -

Waktu paruh 75 menit 4-6 jam

Volume distribusi 20 L 40 L

Metabolisme pada Normal Menurun


gangguan hati

Metabolisme pada Normal Normal


gangguan ginjal

Dosis 1-4 kali/hari 1-2 kali/hari

Daya tembus sawar Rendah Rendah


plasenta

Jumlah yang disekresikan Sedikit Sedikit


dalam ASI

Efek Samping

Propiltiourasil dan metimazol jarang sekali menimbulkan efek samping dan bila
timbul biasanya mempunyai gambaran yang sama. Frekuensi keduanya rata-rata 3% untuk
PTU dan 7% untuk MMI. Agranulositosis akibat PTU hanya timbul dengan frekuensi 0,44%
dan dengan MMI hanya 0,12%. Meski jarang, agranulositosis merupakan efek samping
serius. Untuk MMI efek samping ini merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek
samping ini bersifat tergantung dosis (dose-dependent), sedangkan untuk PTU tidak
tergantung dosis. Reaksi yang paling sering timbul antara lain purpura dan papular rash yang
terkadang hilang sendiri. Gejala lain yang jarang sekali timbul antara lain nyeri dan kaku
sendi, terutama pada tangan dan pergelangan. Reaksi demam obat, hepatitis, dan nefritis
dapat terjadi pada penggunaan PTU dosis tinggi.13

19
Berikut adalah tabel kesimpulan obat yang biasa digunakan pada pasien hipertiroid14

2.1.1 Tatalaksana Non Farmakologi

Selain pemberian obat anti-tiroid, Graves Disease juga dapat ditangani secara non-
farmakologi, tentunya dengan indikasi tertentu. Penatalaksanaanya yaitu melalui terapi
radioiodin dan bedah dengan perubahan diet dan gaya hidup.

20
1. Radioiodin
Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk mengancurkan sel-sel tiroid
secara progresif . Dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama atau kedua, terutama
pada pasien yang mengalami relapse setelah pengobatan dengan obat anti-tiroid. Terapi ini
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.

Indikasi Kontraindikasi Efek Samping

1. Terkontraindikasi 1. Wanita hamil 1. Post-treatment


pemberian obat dan menyusui hypothyroid
anti-tiroid 2. Kecurigaan atau 2. Nyeri pada leher
2. Pasien dengan ditemukannya yang transien
komorbiditas kanker tiroid 3. Ruam
untuk terapi 3. Pasien yang kemerahan pada
operatif tidak mampu leher
3. Pasien dengan mematuhi 4. Radiation
riwayat operasi aturan radiation thyroiditis (1%)
pada leher safety 5. Kemungkinan
sebelumnya 4. Wanita dengan eksaserbasi
rencana Graves
kehamilan 4-6 Ophtalmopathy
bulan kemudian
5. Severe Graves
Ophtalmopathy

Sebelum melalui terapi radioiodin, pasien harus melalui tahap persiapan terlebih
dahulu, terutama pada pasien yang memiliki gajala tirotoksikosis yang belum tertangani dan
masih memiliki kadar FT4 yang meningkat 2-3 kali lipat dari nilai normal. Persiapan yang
dilakukan adalah :

Premedikasi dengan obat golongan Beta-blocker, yaitu propranolol


Premedikasi dengan obat anti-tiroid (metimazol) : premedikasi dihentikan 3-5 hari
sebelum terapi radioiodin, dan dimulai lagi 3-7 hari setelahnya. Dosis diturukan
perlahan dalam 4-6 minggu seiring dengan normalisasi fungsi tiroid.

21
Terapi lain untuk menangani komorbiditas/penyulit yang ada
Tes kehamilan jika diperlukan
Pembatasan diet yodium : pasien harus membatasi asupan yodium, minimal 7 hari
sebelum memulai terapi.

Setelah terapi selesai, perlu dilakukan Follow up pada 1-2 bulan pasca terapi dengan
memeriksa kadar FT4 dan TSH. Jika pasien masih mengalami tirotoksikosis, perlu dilakukan
pemeriksaan berkala setiap 4-6 bulan. Sebagian besar pasien menunjukan normalisasi pada
pemeriksaan fungsi tiroid dan penurunan gejala pada 4-8 minggu setelah terapi. Terdapat
kemungkinan terjadi hipotiroid pada 1-6 bulan kemudian dan perlu dilakukan pemeriksaan
fungsi tiroid, gejala, dan pemeriksaan fisik untuk menentukan waktu untuk memulai terapi
pengganti hormon tiroid. Pemberian obat dimulai dari dosis terkecil dan dapat ditingkatkan
secara perlahan hingga tercapai eutiroid dan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid secara
berkala dalam jangka panjang. Pada pemeriksaan laboratorium, kadar TSH biasanya masih
rendah pada beberapa bulan pertama sehingga perlu diperiksa kadar FT4 dan T3. Jika dalam
6 bulan pasien masih hipertiroid, maka disarankan untuk terapi radioiodin ulang.

2. Bedah (Tiroidektomi)

Tindakan bedah dapat juga dipertimbangkan pada pasien yang mengalami


kekambuhan setelah pengobatan dengan obat anti tiroid.

Indikasi Kontraindikasi Efek Samping

1. Pasien dengan 1. Pasien dengan 1. Hipotiroid pasca


gejala kompresi komorbid : seperti operasi
2. Pembesaran tiroid penyakit 2. Paralisis laring
yang masif kardiopulmonal, (<1%, sementara
3. Kecurigaan atau dankanker stadium atau permanen)
ditemukannya akhir. 3. Hipokalemia (<2%,
keganasan pada 2. Kehamilan sementara atau
tiroid trimester 1 dan 3 permanen)
4. Pasien dengan
kadar TRAb yang
tinggi

22
5. Graves
Ophtalmopathy
yang parah
6. Wanita dengan
rencana hamil lebih
dari 4-6 bulan
kemudian.

Beberapa persiapan pra-operasi perlu dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya


krisis tiroid saat dilakukan operasi, seperti akibat stress saat operasi dan anastesi.

1. Premedikasi dengan metimazol hingga tercapai eutiroid


2. Premedikasi dengan Beta-blocker unutk mengurangi gejala tirotoksikosis
3. Premedikasi dengan Potassium iodide 57 tetes (0.250.35 mL) melalui
solusio lugol (8 mg iodide/ drop) tiga kali sehari, dengan dicamur air minum 10 hari sebelum
operasi untuk mengurangi aliran darah pada tiroid dan perdarahan saat tiroidektomi

Tiroidektomi memiliki tingkat keberhasilan dalam oengibatan yang tinggi dengan


kemungkinan resiko efek samping yang kecil. Tiroidektomi sebagian dan tiroidektomi total
memiliki kemungkinan rekurensi hipertiroid yang berbenda. Pada tiroidektomi total,
kemugkinan rekurensi 0%. Sedangkan pada tiroidektomi sebagian, kemungkinan rekurensi
mencapai 8%. Rekurensi hipertiroid dapat terjadi dalam 5 tahun setelahnya. Setelah
tiroidektomi selesai, disarankan unutk memeriksa kadar kalsium dan hormon paratiroid 6 dan
12 jam pasca operasi untuk mengatahui kemungkinan terjadinya hipokalsemia. Pada pasien
dengan kadar kalsium serum 7,8 mg/dL atau lebih dan asimptomatik, pasien dapat pulang
tanpa terapi tambahan. Jika kadar PTH < 10-15, dengan atau tanpa gejala hipokalsemia, maka
pasien membutuhkan suplemen kalsium dan kalsitriol.

Pasien yang mengalami gejala hipokalsemia yang berat dan tidak respon terhadap
terapi oral, dapat diberikan kalsium glukonas intravena. Selama penanganan hipokalsemia,
kadar PTH serum untuk mengevaluasi adanya hipokalsemia persisten dan hipoparatiroid
permanen. Suplemen yang bisa digunakan adalah kalsium karbonat dengan dosis 1250-
2500/hari, 4 kali sehari. Dosis dikurangi 1000 mg tiap 4 hari. Kalsitriol dapat dimulai dengan
dosis 0,5 mcg/hari selama 1-2 minggu dan dapat disesuaikan dengan kadar kalsium serum.

23
Pasien disarankan kontrol kembali 1-2 minggu setelah pasien dipulangkan. Selain itu, pasien
perlu diberi L-thyroxine 1,7 mcg/Kg dan pemeriksaan kadar TSH pada 6-8 minggu pasca-
operasi.

3. Diet dan perubahan gaya hidup

Pada Graves Disease, perlu ditekankan adanya diet khusus untuk mengurangi
dampak penyakit terhadap nutrisi pasien, yaitu memperbanyak makanan yang mengandung
kalsium, dan sayuran yang bersifat goitrogen seperti brokoli. Makanan yang mengandung
vitamin D, seperti salmon, telur, dan jamur. Makanan yang tinggi protein juga dibutuhkan
jika terdapat penurunan berat badan dan masa otot. Konsumsi lemak juga diperluka
secukupnya, yaitu asam lemak omega 3 seperti pada ikan. Hindari makanan yang
mengandung kafein karena dapat memperberat gejala hipertiroid. Pasien tidak dianjurkan
melakukan aktivitas fisik yang sangat berat seperti olahraga dengan intensitas tinggi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
2. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 5
3. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli
2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 18.
4. Weetman P. A., Gravess Disease. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2000.
5. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.
Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 2151
6. Yeung, Sai Ching Jim. 2014. Graves Diseases. http://emedicine.medscape.com/
article/120619-overview#showall Diunduh pada 28 januari 2016.
7. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 630
8. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 1058, 1070 1080
9. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007: Hal 220-281
10. The Indonesian Society of Endocrinology, Indonesian Clinical Practice Guidelines for
Hyperthyroidism. 2012.
11. Cooper, David. Antithyroid Drugs. N Engl J Med 2005;352:905-17.
12. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
13. Reid, Jeri & Wheeler, Stephen. Hyperthyroidsm: Diagnosis and Treatment. Kentucky:
American Academy of Family Physician; 2005.
14. Stockigt, Jim. Assessment of Thyroid Function: Towards an Integrated Laboratory -
Clinical Approach. Australia: Clin Biochem; 2003.
15. Rebecca SB et al. Hyperthyroidism And Other Causes Of Thyrotoxicosis :
Management Guideline Of The American Thyroid Association and American
Association Of Clinical Endocrinologist. 2011
16. Graves Disease. National Endocrine and Metabolic Diseases.
http://endocrine.niddk.nih.gov/pubs/Graves. May 2008

25

Anda mungkin juga menyukai