Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

KONJUNGTIVITIS GONORE
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD KRT Sedjonegoro Wonosobo

Disusun oleh :

Rendy Kurniawan

20120310155

Dokter Pembimbing :

dr. M. Faisal Luthfi, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2017
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

KONJUNGTIVITIS GONORE

Telah dipresentasikan pada tanggal :

4 Januari 2018

Oleh :

RENDY KURNIAWAN

20120310155

Disetujui oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Mata

RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo

dr. M. Faisal Luthfi, Sp.M


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul:

“KONJUNGTIVITIS GONORE”

Penulis meyakini bahwa referat ini tidak akan dapat tersusun tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. M. Faisal Luthfi, Sp.PM. selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik


bagian Ilmu Penyakit Mata di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang
telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal
sampai selesainya penulisan referat ini.
2. Seluruh tenaga medis dan karyawan di poli mata RSUD KRT Setjonegoro
Wonosobo yang telah berkenan membantu dalam proses berjalannya
Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Mata.
3. Keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan.

Semoga pengalaman dalam membuat referat ini dapat memberikan hikmah


bagi semua pihak. Mengingat penyusunan referat ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan
berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan referat selanjutnya.

Wonosobo, Januari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................5
PENDAHULUAN..................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................7
2.1. Definisi....................................................................................................................7
2.4. Etiologi....................................................................................................................8
2.5. Patofisiologi............................................................................................................9
BAB III...............................................................................................................................25
KESIMPULAN....................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................26

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gonore merupakan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae) dan mempunyai
1
insidens yang tinggi diantara penyakit menular seksual yang lain ,
penyakit ini tersebar di seluruh dunia secara endemik, termasuk di
Indonesia. Manifestasi klinis dari penyakit ini adalah servisitis, uretritis,
proktitis, dan konjungtivitis. Gonore lebih mudah ditularkan dari laki-laki
3
kepada wanita.

Diperkirakan terdapat lebih dari 150 juta kasus gonore di dunia setiap
tahunnya (Hakim, 2009). Insidensi gonore lebih tinggi di negara
berkembang daripada negara maju. Namun, walaupun di Amerika Serikat
insidensi menurun secara signifikan, tetapi masih ada 325.000 kasus baru
3
di tahun 2006.

Pada tahun 2007, dinas kesehatan provinsi Bali mencatat sebanyak


4971 kasus IMS. Di Kota Denpasar pada tahun 2006 terdapat 3488 kasus
IMS, dan kecamatan Denpasar Selatan adalah kecamatan di Denpasar
4
dengan kasus IMS terbanyak (Dinas Kesehatan Kota Denpasar, 2007).
Salah satu manifestasi klinis infeksi gonore yaitu konjungtivitis, penyakit
ini dapat terjadi pada bayi yang baru lahir dari ibu yang menderita
servisitis gonore atau pada orang dewasa, infeksi terjadi karena penularan
pada konjungtiva melalui tangan dan alat-alat. 1

Konjungtivitis gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat


yang disertai dengan sekret purulen. Konjungtivis gonore disebabkan oleh
bakteriNeisseria gonorrhoeae. Konjungtivitis gonore merupakan penyakit

5
menular seksual yang dapat ditularkan secara langsung dari transmisi
genital-mata, kontak genital-tangan-mata, atau tansmisi ibu-neonatus
1-3
selama persalinan.

Gambaran klinis konjungtivitis gonore pada bayi dan anak ditemukan


kelainan bilateral dengan sekret kuning kental, sekret dapat bersifat serous
tetapi kemudian menjadi kuning kental dan purulen. Kelopak mata
membengkak, sukar dibuka dan terdapat pseudomembran pada
konjungtiva tarsal. Konjungtiva bulbi merah, kemotik, dan tebal. Pada
orang dewasa gambaran klinisnya mirip dengan konjungtivitis gonore
pada bayi dan anak, tetapi mempunyai perbedaan, yaitu sekret purulen
2
yang tidak begitu kental.

Diagnosis pasti konjungtivitis gonore, yaitu pemeriksaan sekret dengan


pewarnaan metilen biru dimana akan terlihat diplokok di dalam sel
leukosit. Dengan pewarnaan Gram akan terdapat sel intraselular atau
2
ekstraselular dengan sifat Gram negatif.

Pengobatan untuk konjungtivitis gonore, ialah pasien dirawat dan


diberi antibiotik sistemik dan dapat juga diberikan secara topikal. Pada
pasien yang resisten terhadap penisillin dapat diberikan ceftriaxone.
Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin generasi 3. Salep
eritromisin, basitrasin, gentamisin, dan ciprofloksasin direkomendasikan
untuk terapi topikal.Irigasi mata dengan normal salin setiap 30-60 menit
untuk membuang debris, sel inflamasi dan protease.Pengobatan dihentikan
bila pada pemeriksaan mikroskopik yang dibuat setiap hari menghasilkan
1,2
3 kali berturut-turut hasil negatif.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya
inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput
bening yang menutupi bagian berwarna putih padamata dan permukaan
bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai
dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan
biasanya menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis Konjungtivitis dapat
3
hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan .Pada
literatur lain disebutkan inflamasi konjungtiva atau konjungtivitis
didefinisikan sebagai hiperemi pada konjungtiva yang kadang disertai
6
dengan sekret atau discharge cair, mukoid, mukopurulen, atau purulen .

Konjungtivitis dapat mengenai pada usia bayi maupun dewasa.


Konjungtivitis pada bayi baru lahir, bisa mendapatkan infeksi gonokokus
pada konjungtiva dari ibunya ketikamelewati jalan lahir. Karena itu setiap
bayi baru lahir mendapatkan tetes mata (biasanya perak nitrat, povidin
iodin) atau salep antibiotik (misalnya eritromisin) untuk membunuh
bakteri yang bisa menyebabkan konjungtivitis gonokokal. Pada usia
dewasa bisamendapatkan konjungtivitis melalui hubungan seksual
(misalnya jika cairan semen yangterinfeksi masuk ke dalam mata).
Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12
sampai 48 jam setelah infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika
tidak diobati bisa terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan
kebutaan. Untuk mengatasi konjungtivitis gonokokal bisa diberikan tablet,
3
suntikan maupun tetes mata yang mengandung antibiotik .

7
Pada referat ini akan dibahas lebih dalam mengenai konjungtivitis
Gonore. Konjungtivitis Gonore merupakan radang konjungtiva akut dan
hebat yang disertai sekret purulen, yaitu Adult purulent conjungtivitis pada
dewasa, Opthalmia neonatorum pada bayi berusia 1-3 hari, dan
3
conjungtivitis gonore infantum pada bayi berusia lebih dari 10 hari .

2.4. Etiologi
Konjungtivitis Gonore kebanyakan mengenai orang dewasa
terutama laki-laki, organisme utama yang menyebabkan penyakit ini
adalah Gonococcus, namun terkadang pada beberapa kasus kuman yang
ditemukan adalah Staphylococcus aureus atau Pneumococcus.6

Konjungtivis gonore disebabkan oleh kuman Neisseria


gonorrhoeae. Gonokok merupakan kuman yang sangat pathogen, virulen,
dan bersifat invasiv sehingga reaksi radang terhadap kuman ini snagat
berat. 6

Ada beberapa etiologi pada konjungtivitis secara umum, yaitu :

1. Konjungtivitis infeksi : bakteri, klamidia, viral, fungi, rickettsia,


spirochetal, protozoa, parasit

2. Konjungtivitis Alergika

3. Konjungtivitis Irritattive

4. Keratokonjungtivitis disertai dengan penyakit kulit dan membrane


mukosa

5. Konjungtiva traumatika

6. Keratokonjungtivitis karena penyebab yang tidak diketahui6

8
2.5. Patofisiologi
Konjungtiva adalah lapisan mukosa yang membentuk lapisan
terluar mata. Iritasi apapun pada mata dapat menyebabkan pembuluh darah
dikonjungtiva berdilatasi. Iritasi yang terjadi ketika mata terinfeksi
menyebabkan mata memproduksi lebih banyak air mata. Sel darah putih
dan mukus yang tampak di konjungtiva ini terlihat sebagai discharge yang
tebal kuning kehijauan.Perjalanan penyakit pada orang dewasa secara
umum, terdiri atas 3 stadium: 7

1. Infiltratif

2. Supuratif atau purulenta

3. Konvalesen (penyembuhan)

1. Stadium Infiltratif

Berlangsung 3–4 hari, ditemukan kelopak dan konjungtiva yang


kaku disertai rasa sakit pada perabaan. Kelopak mata membengkak dan
kaku sehingga sukar dibuka. Terdapat pseudomembran pada konjungtiva

9
tarsal superior sedang konjungtiva bulbi merah, kemotik, dan menebal.
Pada orang dewasa selaput konjungtiva lebih bengkak dan lebih menonjol.
Pada orang dewasa terdapat perasaan sakit pada mata yang dapat disertai
dengan tanda-tanda infeksi umum. Pada umumnya menyerang satu mata
terlebih dahulu dan biasanya kelainan ini pada laki-laki didahului pada
mata kanannya. Pada umumnya kelainan ini menyerang satu mata terlebih
dahulu dan biasanya kelainan ini pada laki-laki didahului pada mata
kanannya. 7

2. Stadium supuratif atau purulenta

Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat lagi. Palpebra


masih bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang. Blefarospasme masih
ada. Sekret campur darah, keluar terus menerus. Pada bayi biasanya mengenai
kedua mata dengan dengan sekret kuning kental, terdapat pseudomembran
yang merupakan kondensi fibrin pada permukaan konjungtiva. Kalau palpebra
dibuka, yang khas adalah sekret akan keluar dengan mendadak. Oleh karena
itu harus hati-hati bila membuka palpebra, jangan sampai sekret mengenai
mata pemeriksa.7

3. Stadium Konvalesen (penyembuhan)

Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala tidak begitu hebat lagi. Palpebra


sedikit bengkak, konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltratif. Konjungtiva
bulbi terdapat injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik. Sekret jauh
berkurang. Pada neonatus infeksi konjungtiva terjadi pada saat Bila tidak
diobati, biasanya tidak tercapai stadium III, tanpa penyulit, meskipun ada yang
mengatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan spontan. 7

Klasifikasi menurut umur :

1. Kurang dari 3 hari : Oftalmia gonoroika neonatorum

2. Lebih dari 3 hari : Oftalmia gonoroika infantum

10
3. Anak kecil : Oftalmia gonoroika yuvenilis

4. Orang dewasa : Oftalmia gonoroika adultum

Pada bayi dan anak ditemukan kelainan bilateral dengan sekret


kuning kental, sekret dapat bersifat serous tetapi kemudian menjadi kuning
kental dan purulen. Kelopak mata membengkak, sukar dibuka dan terdapat
pseudomembran pada konjungtiva tarsal. Konjungtiva bulbi merah,
kemotik, dan tebal. 7

Pada orang dewasa gambaran klinis meskipun mirip dengan


oftalmia neonatorum tetapi mempunyai beberapa perbedaan, yaitu sekret
purulen yang tidak begitu kental. Selaput konjungtiva terkena lebih berat
dan menjadi lebih menonjol, tampak berupa hipertrofi papiler yang besar.
Konjungtiva bulbi superior paling sering mengalami infeksi karena pada
konjungtiva bulbi superior tertutup oleh palpebra dan suhunya sama dengan
suhu tubuh yang mengakibatkan bakteri akan lebih mudah berkembang
biak. Pada orang dewasa infeksi ini dapat terjadi berminggu-minggu.7

Konjuctivitis purulen dewasa

Terdapat 3 stage

Stage of infiltration. Fase ini berakhir dalam 4-5 hari dan dicirikan sbb:

a. Bola mata lemah dan nyeri

b. Konjunctiva merah terang

c. Palpebra bengkak dan tegang

d. Discharge berair atau sanguinous

e. Pembesaran kelenjar limfe pre-aurikula

11
1. Stage of blenorrhoea. Fase ini dimulai paa har ke5, berakhir dalam
beberapa hari dan dicirikan sbb:

a. Purulen yang jelas, discharge yang tebal, mengalir ke pipi

b. Gejala lain meningkat, kecuali tegangan palpebra menurun

2. Stage of slow healing. Selama fase ini, nyeri dan bengkak menurun.
Konjunctiva masih merah, lunak dan menebal. Discharge mulai
5
berkurang secara perlahan

Penularan vertikal dari ibu merupakan rute penularan ke bayi.


Kedua orang tua , bagaimanapun, harus diskrining untuk infeksi STD.
Sebenarnya permukaan okular dilengkapi dengan fitur anatomi dan
fungsional unik yang mencegah infeksi bakteri di mata sehat , baik pada
bayi dan orang dewasa . Imunoglobulin , lisozim , complement  , dan
beberapa enzim antibakteri dapat ditemukan di air mata. “Tear   Film”
yang terus menerus didaur ulang menciptakan lingkungan yang
membuatnya sangat sulit untuk bakteri dapat berkembang. Pada dasarnya,
sulit untuk teradinya invasi oleh N.gonorrhea. Sayangnya, bakteri dapat
invasi pada saat fungsi barier rusak . Selain itu exotoxins bakteri seperti
yang ditemukan di Streptococcus dan spesies Staphylococcus dapat
5
menyebabkan nekrosis .

Patologi konjungtivitis neonatal juga dipengaruhi oleh anatomi


jaringan konjungtiva pada bayi baru lahir. Peradangan konjungtiva dapat
menyebabkan pelebaran pembuluh darah, chemosis, dan sekresi
berlebihan. Reaksi ini cenderung lebih serius karena sebagai berikut:
kurangnya kekebalan, adanya jaringan limfoid di konjungtiva, dan tidak
5
adanya air mata saat lahir .

12
Sel-sel fimbriated melekat pada epitel membran mukosa yang
intact. Berkapasitas untuk menyerang mukosa membran atau kulit yang
mengalami abrasi. Perlekatan terhadap epitel mukosa, diikuti dengan
penetrasi ke dalam dan multiplikai sebelum melewati sel epitel mukosa.
Setelah invasie, infeksi terjadi pada lapisan sub- epitel. Hal tersebut diatas
dimungkinkan oleh karena N. Gonorhea memiliki kapsul antiphagocytic
seperti permukaan dengan muatan negatif , dan hanya fimbriated (piliated)
sel (yang dikenal sebagai jenis koloni T1 & T2) yang virulen. Sifat
antiphagocytic  disebabkan oleh protein membran luar (sebelumnya
Protein I, II, III &), Por (protein Porin) mencegah fusi phagolysosome atau
fagositosis dan dengan demikian mempertahankan kelangsungan hidup
intraseluler. Opa (protein opacity) memediasi pernempelan kuat ke sel
5
epitel dan invasi selanjutnya ke dalam . sel. Dan Rmp (reduction-
modifiable protein ) melindungi antigen permukaan dari antibodi
bakterisidal (Por protein, LOS).

2.6. Manifestasi klinis


Pada bayi dan anak ditemukan kelainan bilateral dengan sekret
kuning kental, sekret dapat bersifat serous tetapi kemudian menjadi kuning
kental dan purulen. Kelopak mata membengkak, sukar dibuka dan terdapat

13
pseudomembran pada konjungtiva tarsal. Konjungtiva bulbi merah,
kemotik, dan tebal. 6

Pada orang dewasa gambaran klinis meskipun mirip dengan


oftalmia neonatorum tetapi mempunyai beberapa perbedaan, yaitu sekret
purulen yang tidak begitu kental. Selaput konjungtiva terkena lebih berat
dan menjadi lebih menonjol, tampak berupa hipertrofi papiler yang besar.
Konjungtiva bulbi superior paling sering mengalami infeksi karena pada
konjungtiva bulbi superior tertutup oleh palpebra dan suhunya sama
dengan suhu tubuh yang mengakibatkan bakteri akan lebih mudah
berkembang biak. Pada orang dewasa infeksi ini dapat terjadi berminggu-
minggu. 6

2.7. Diagnosis
Untuk diagnosis pasti konjungtivitis gonore dilakukan pemeriksaan
secret denga pewarnaan Metilen Biru yang akan menunjukkan Diplokok di
dalam sel leukosit. Dengan pewarnaan Gram terlihat Diplokok Gram
negatif intra dan ekstraseluler. Pemeriksaan sensitivitas dilakukan pada
agar darah dan coklat. 7

Diagnosis detegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan

5
bakteorologis

3. Acute, profuse, conjunctival discharge

4. Sign

a. Bengkak pada palpebra mata yang parah dan lunak

b. Intense conjuctiva hiperemi, chemosis, profuse purulent discharge

c. Terbentuknya pseudomembran

14
d. Lymphadenopathy

e. Ulcerasi peripheral kornea

f. Ulcerasi meluas ke central

g. Perforasi dan endophthalmitis

5. Laboratorium

0 Pewarnaan gram , menunjukan : gram negative,


diplococcus “kidney-shapped”

1 Culture di media coklat atau Thayer-Martin medium

2.8. Diagnosis banding


 Konjungtivitis Angular

Konjungtivitis angular terutama didapatkan didaerah kantus


interpalpebra, disertai ekskoriasi kulit disekitar daerah meradang.
Konjungtivitis angular disebabkan basil moraxella axenfeld. Pada
konjungtivitis angular terdapat sekret mukopurulen dan pasien sering
mengedip. Pengobatan yang sering diberikan adalah tetrasiklin atau
basitrasin. Dapat juga diberi sulfas zincii yang bekerja mencegah
proteolisis. Dapat memberikan penyulit blefaritis. 8

 Konjungtivitis mukopurulen

Konjungtivitis mukopurulen merupakan konjungtivitis dengan


gejala umum konjungtivitis kataral mukoid. Penyebabnya adalah
staphylococcus atau basil koch weeks. Terdapat hiperemia konjungtiva
dengan sekret berlendir yang mengakibatkan kedua kelopak melekat

15
terutama pada waktu bangun pagi. Sering ada keluhan seperti adanya halo
(gambaran pelangi). 8

Gejala penyakit terberat terjadi pada hari ketiga dan bila tidak
diobati akan berjalan kronis. Dapat timbul adalah ulkus kataral marginal
pada kornea atau keratitis superfisial. 8

Pengobatan dengan membersihkan konjungtiva dan antibiotic yang


sesuai. Penyulit yang dapat timbul adalah tukak kataral marginal pada
kornea atau keratitis superfisial. 8

 Konjungtivitis karena trauma kimia akibat toksik atau reaksi alergi dari
silver nitrate atau antibiotic topikal yang diberikan sesaat setelah bayi lahir
.

 Konjungtivitis viral, termasuk keratokonjungtivitis HSV

 Obstruksi duktus nasolakrimalis

2.9. Penatalaksanaan
Pengobatan dimulai bila terlihat pada pewarnaan Gram negatif
diplokok batang intraseluler dan sangat dicurigai konjungtivitis gonore.

Pasien dirawat dan diberi antibiotik sistemik dan dapat juga diberikan
secara topikal. Pada pasien yang resisten terhadap penisillin dapat
diberikan cefriakson. Ceftriakson merupakan golongan sefalosporin
generasi 3. Konjungtivitis gonokokus tanpa ulkus kornea diberikan injeksi
ceftriakson 1g intramuskular. Pasien dengan ulkus kornea diobati dengan
intravena ceftriakson 1g setiap 12 jam untuk 3 hari. Salep eritromisin,
basitranin, gentamisin, dan ciprofloksasin direkomendasikan untk terapi
topikal.

Irigasi normal salin setiap 30-60 menit untuk membuang debris, sel

16
inflamasi dan protease.

Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksan mikroskopik yang


dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif.

Pengobatan dilakukan bila ditemukan diplokokus batang


intraseluler pada pewarnaan gram dan sangat dicurigai konjungtivitis
Gonore. Pasien harus dirawat dan di isolasi serta diberikan pengobatan
dengan sebaik-baiknya. Prinsip manajemen dan follow – up pada
1
konjungtivitis Gonore :

a. Konsul pada pediatri

b. Berikan pengobatan secara sistemik dengan ceftriaxone atau cefotaxime


untuk mencegah komplikasi arthritis, meningitis, maupun sepsis

c. Pengobatan topical dengan bacitracin atau penicillin

d. Lakukan irigasi sesring mungkin untuk membersihkan secret

e. Lakukan follow up dan monitor hingga konjungtivitis benar-benar


1,2
sembuh

6
Pengobatan Konjungtivitis Gonore dibagi menjadi dua yaitu :

o Terapi Profilaksis

o Terapi Kuratif

Terapi Profilaksis 

1. Evaluasi antenatalPemeriksaan menyeluruh pada ibu dan dilakukan


pengobatan jika dicurigai adanya infeksi genital.

17
2. Evaluasi Natal

Merupakan evaluasi yang paling penting, karena infeksi konjungtivitis


Gonore terjadi saat proses melahirkan

Proses persalinan harus dilakukan dalam keadaan yang steril atau


aseptic

Kelopak mata bayi baru lahir yang dalam kondid=si tertutup harus
selalu dibersihkan dengan steril dan dalam kondisi kering

3. Evaluasi Postnatal

Berikan salep mata Tetrasiklin 1 % atau Erhytromycin 0,5 % atau


solutio Silver Nitrate 1 % (Crede’s Method) pada kedua mata bayi segera
setelah persalinan

Berikan injeksi Ceftriaxone 50 mg/kg IM atau IV (maksimal 125 mg)


6
pada bayi lahir dari ibu penderita gonorrhea yang tidak di terapi .

Terapi Kuratif 

Sebelum dilakukan terapi harus dikonfirmasi infeksi yang terjadi


dengan pemeriksaan sitologi dan kultur swab dengan uji sensitivitas. Jika
hasilnya didapatkan adanya infeksi gonococcal maka dilakukan :

Terapi Topikal :

 Irigasi dengan menggunakan larutan saline (saline lavage) hingga


bersih dari sekret

 Berikan salep mata Bacitracin 4 kali/hari, karena pada banyak


kasus terjadi resistensi terhadap terapi topical dengan
menggunakan Penicillin. Namun pada kasus dengan uji sensitivitas

18
didapatkan sensitif terhadap Penicillin, maka dapat diberikan tetes
mata Penicillin 5000 – 10000 unit /ml, diberikan setiap lima menit
selama 30 menit.

 Jika infeksi mengenai bagian kornea maka diberikan salep mata


Atrophine Sulphate

Terapi Sistemik :Neonatus dengan Gonococcal Opthalmia harus diterapi


selama 7 hari dengan salah satu dari regimen pengobatan berikut :

a. Ceftriaxone 75 – 100 mg/kg/hari IV atau IM 4 kali/hari

b. Cefotaxime 100 – 150 mg/kg/hari IV atau IM, setiap 12 jam

c. Ciprofloxacin 10 – 20 mg/kg/hari atau Norfloxacin 10 mg/kg/hari

d. Jika dari hasil uji sensitivitas didapatkan sensitive terhadap Penicillin


maka dapat diberikan crystalline benzyl penicillin G 50000 unit untuk
neonatus aterm dan dengan berat normal. Untuk neonatus preterm atau
6
BBLR diberikan 20000 unit secara IM 2 kali/hari selama 3 hari .

Pengobatan   konjungtivitis   Gonore   dibagi   berdasarkan   ada   atau   tidaknya


 
penyulit pada kornea, yaitu 3,4 : 

1. Gonore tanpa penyulit pada kornea

Topikal : Sebelum diberikan salep atau tetes mata, secret harus dibersihkan
terlebih dahulu dengan larutan saline setiap 15 menit Salep mata
Tetracycline HCl 1 %, Basitrasin, atau Ciprofloxacin 0,3 % diberikan
minimal 6 kali sehari pada neonatus dan diberikan sedikitnya tiap 2 jam
sekali pada penderita dewasa, dilanjutkan 5 kali hingga terjadi resolusi.
Dapat pula dengan pemberian Penisilin tetes mata dalam bentuk larutan
Penisilin G 10000 – 20000 unit/ml setiap menit selama 30 menit.

19
Dilanjutkan pemberian salep mata penisilin setiap 1 jam selama 3 hari.

Sistemik :Pada orang dewasa diberikan Penisilin G 4,8 juta IU IM dalam


dosis tunggal ditambah dengan probenecid 1 gram peroral, atau Ampicillin
dosis tunggal 3,5 gram peroral. Pada neonatus dan anak- anak, injeksi
Penicillin diberikan dengan dosis 50.000-100.000 IU/kgBB. Bila penderita
telah resisten atau tidak tahan dengan obat-obatan derivat Penicillin bisa
diberikan Cefriakson 25-50 mg/Kg x 1 dosis, Thiamphenicol 3,5 gram
dosis tunggal, atau Tetracycline 1,5 gram dosis initial dilanjutkan dengan 4
kali 500 mg/hari selama 4 hari. Setiap hari sekret diperiksa dengan
mikroskop untuk mengetahui apakah masih ditemukan diplokokus dalam
secret. Pengobatan dihentikan jika pada pemeriksaan mikroskopis yang
dilakukan 3 kali berturut-turut negatif. Apabila ada komplikasi kornea,
maka biasanya sembuh setelah 5 hari. Apabila ada komplikasi kornea,
konjungtivitis gonore sembuh lebih lama.

2. Gonore dengan penyulit pada kornea.

a. Topikal : 

Dapat dimulai dengan salep mata Basitrasin setiap jam, di samping


itu diberikan juga Penisillin subkonjungtiva (kecuali pada anak-anak).
Pengobatan topikal lainnya adalah Ciprofloxacin 0,3% dengan cara
pemberian sebagai berikut :

 Hari I : 1-2 tetes, setiap 15 menit selama 6 jam, selanjutnya


diberikan 2 tetes setiap 30 menit.

 Hari II : 2 tetes tiap 1 jam

 Hari III-XIV : 2 tetes tiap 4 jam

 Obat-obat topikal lain yang dapat diberikan ialah


Vancomycin, Cephaloridin, Gentamycin, Tobramycin,

20
Carbenicillin dan Polymyxin B.

b. Sistemik : 

Pengobatan sistemik diberikan seperti pada Gonore tanpa penyulit


(ulkus kornea). Selain obat-obat spesifik untuk Neisseria gonorrhoe dapat
diberikan siklopegik (Scopolamin 0,25 %) 2-3 kali setiap hari untuk
menghilangkan nyeri karena spasme siliar dan mencegah sinekia. Apabila
ada bahaya perforasi yang mengancam (descemetocele) dapat dilakukan
operasi flap konjungtiva “partial conjunctiva bridge flap”.

Literatur lain menyebutkan pengobatan konjungtivitis gonokokal


terdiri dari Penisilin G 100.000 Unit / kg/hari selama 1 minggu. N.
Gonorrhea  isolat yang resisten terhadap penisilin banyak di daerah
perkotaan di Amerika Serikat. Di Afrika, tingkat produksi pencillinase
N.Gonorrhea kisaran 18-57% dan banyak bagian lain dunia (50% sampai
60%). Karena itu generasi ketiga cephalosporin digunakan selama 7 hari di
daerah di mana memproduksi pencillinase strain endemik. Sebuah dosis
tunggal ceftriaxone 50 mg/kg sebagai dosis tunggal (maksimum 125 mg)
adalah sangat efektif dan direkomendasikan oleh pedoman WHO. Obat
alternatif meliputi spectinomycin 25 mg/kg (maksimum 75 mg) sebagai
satu dosis dan kanamycin IM 25 mg/kg (maksimum 75 mg). Ibu yang
terinfeksi juga harus diobati dengan ceftriaxone dosis tunggal (25-50
mg/kg). Mata bayi harus sering dialiri dengan normal saline untuk
menghilangkan kotoran.

Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksan mikroskopik yang


dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif. Pada pasien
yang resisten terhadap penicillin dapat diberikan cefriaksone atau
Azithromycin (Zithromax) dosis tinggi.

Terapi dengan pemberian kortikosteroid baik topikal maupun


sistemik sangat tidak disarankan bahkan termasuk kontraindikasi pada

21
konjungtivitis Gonore. Karena kortikosteroid memiliki efek samping
utama yaitu menekan fungsi imunitas individu terutama pada bayi yang
perkembangan sistem imunnya belum sempurna dapat mengakibatkan
infeksi sekunder dikemudian hari jika kortikosteroid diberikan dalam dosis
yang besar ataupun jangka panjang. Faktor yang lain kortikosteroid dapat
menyebabkan penipisan dari lapisan kornea sehingga dapat mempercepat
terjadinya komplikasi ulkus kornea akibat N.gonorrhea. Selain itu
penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan rebound
phenomenon  yang makin memperparah inflamasi setelah penghentian
penggunaan kortikosteroid.

Pemeriksaan Penunjang 

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan sediaan


langsung sekret dengan pewarnaan gram atau Giemsa untuk mengetahui
kuman penyebab dan uji sensitivitas untuk perencanaan pengobatan.

Untuk diagnosis pasti konjungtivitis gonore dilakukan pemeriksaan


sekret dengan pewarnaan metilen biru, diambil dari sekret atau kerokan
konjungtiva , yang diulaskan pada gelas objek, dikeringkan dan diwarnai
dengan metilen biru 1% selama 1 – 2 menit. Setelah dibilas dengan air,
dikeringkan dan diperiksa di bawah mikroskop. Pada pemeriksaan dapat
dilihat diplokok yang intraseluler sel epitel dan lekosit, disamping
diplokok ekstraseluler yang menandakan bahwa proses sudah berjalan
menahun. Morfologi dari gonokok sama dengan meningokok, untuk
membedakannya dilakukan tes maltose, dimana gonokok memberikan test
maltose (-). Sedang meningokok test maltose (+).

Bila pada anak didapatkan gonokok (+), maka kedua orang tua
harus diperiksa. Jika pada orang tuanya ditemukan gonokok, maka harus
3,4,7,9
segera diobati.

22
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi adalah tukak kornea marginal terutama
bagian atas, yang dimulai dengan infiltrat, kemudian menjadi ulkus. Bisa
terjadi pada stadium 1 dan 2, dimana terdapat blefarospasme dengan
pembentukan sekret yang banyak. Sehingga sekret menumpuk dibawah
konjungtiva palpebra superior, ditambah lagi kuman gonokok mempunyai
enzim proteolitik yang merusak kornea dan hidupnya intraseluler,
sehingga dapat menimbulkan keratitis tanpa didahului kerusakan epitel
kornea. 7


Ulkus kornea marginal di bagian atas, dimulai dengan infiltrate,
kemudian pecah menjadi ulkus. Ulkus ini mudah perforasi akibat
adanya daya lisis kuman gonococcal (enzim proteolitik). Ulkus
kornea marginal dapat terjadi pada stadium I atau II.


Blefarospasme akibat pembentukan sekret yang banyak.


Keratitis yang terjadi tanpa didahului kerusakan epitel kornea
akibat penumpukan sekret dibawah konjungtiva palpebra yang
merusak kornea.


Ulkus yang mengalami perforasi dapat menyebabkan terjadinya
endoftalmitis, panoftalmitis, dan dapat berakhir dengan kebutaan
total.


Pada dewasa disebabkan infeksi sendiri dengan penyulit keratitis,
3,4
ulkus kornea, arthritis, meningitis, dan sepsis.

2.11. Prognosis

23
Konjungtivitis bakteri yang disebabkan oleh mikroorganisme bila
tidak diobati akan sembuh sendiri dalam waktu 2 minggu. Dengan
pengobatan biasanya akan sembuh dalam 1-3 hari.

Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis yang cukup,


Gonore akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan
terlambat atau kurang intensif maka kesembuhan mungkin dapat disertai
dengan sikatriks kornea dan penurunan tajam pengelihatan yang menetap
3,4
atau bahkan terjadi kebutaan .

2.12. Pencegahan
1. Skrining dan terapi pada perempuan hamil dengan penyakit menular
seksual.9

2. Secara klasik diberikan obat tetes mata AgNO3 1% Segera sesudah lahir
(harus diperhatikan bahwa konsentrasi AgNO3 tidak melebihi 1%).9

3. Cara lain yang lebih aman adalah pembersihan mata dengan solusio
borisi dan pemberian kloramfenikol salep mata.9

4. Operasi caesar direkomendasikan bila si ibu mempunyai lesi herpes


aktif saat melahirkan.9

5. Antibiotik, diberikan intravena, bisa diberikan pada neonatus yang lahir


dari ibu dengan gonore yang tidak diterapi.9

24
BAB III
KESIMPULAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


melapisi bagian posterior palpebra (konjungtiva palpebra) dan bagian anterior
sklera (konjungtiva bulbi). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (Mucocutaneus  junction) dan dengan epitel kornea di limbus. Infeksi
pada konjungtiva dapat menyebabkan terjadinya mata merah atau pink eye  yang
menimbulkan berbagai komplikasi.

Konjungtivitis Gonore merupakan radang konjungtiva akut dan hebat yang


disertai sekret purulen, yaitu Adult purulent conjungtivitis pada dewasa,
Opthalmia neonatorum pada bayi berusia 1-3 hari, dan conjungtivitis gonore
infantum pada bayi berusia lebih dari 10 hari. Konjungtivitis Gonore kebanyakan
mengenai orang dewasa terutama laki-laki, organisme utama yang menyebabkan
penyakit ini adalah Gonococcus, namun terkadang pada beberapa kasus kuman
yang ditemukan adalah Staphylococcus aureus atau Pneumococcus.
Konjungtivitis Gonore menular melalui kontak genital ke mata. Diagnosis
detegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan bakteorologis. Pada
pewarnaan gram menunjukan gram negative, diplococcus “kidney-shapped”.
Pengobatan dilakukan bila ditemukan diplokokus batang intraseluler pada
pewarnaan gram dan sangat dicurigai konjungtivitis Gonore.

Pasien harus dirawat dan di isolasi serta diberikan pengobatan dengan


sebaik-baiknya. Pengobatan dibagi menjadi terapi profilaksis dan terapi kuratif.
Hasil pengobatan lebih baik bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis
yang cukup, Gonore akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan diberikan
terlambat atau kurang intensif maka kesembuhan mungkin dapat disertai dengan
sikatriks kornea dan penurunan tajam pengelihatan yang menetap atau bahkan

25
terjadi kebutaan. Skrining dan terapi pada perempuan hamil dengan penyakit
menular seksual dapat mencegah terjadinya konjungtivitis Gonore.

DAFTAR PUSTAKA

1. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2011-2013. Practicing


Ophthalmologists Curriculum, Cornea / External Diseases, The Eye MD
Association

2. Americans Academy of Ophthalmology (AAO). 2011. Preferred Practice


Pattern, Conjunctivitis Limited Revision, The Eye MD Association

3. Ilyas, S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia

4. Hammscherlang, M. Clamidial   and   Gonoccocal   Infection   In   Infant


Children. http://cid.oxfordjournals.org. Accessed 6 January 2017.

th
5. Kanski, J. 2007. Clinical Ophthalmology a Systemic Approach. 6 ed.
Elsevier Ltd.

6. Khurana, AK. 2007. Diseases of the Conjunctiva. In: Comprehensive


Opthalmology Fourth Edition. New Delhi : New Age International
Publishers

7. Matejcek A, Goldman RD. Treatment and Prevention of Ophtamia


Neonatrum. Le Médecin de famille canadien. 2013;59;1187-90

8. Vaughan, DG et   al. 2003. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology


Sixteenth Edition. Mc Graw-Hill

9. Feder RS, McLeod ST, Dunn SP, et al. 2013. Conjunctivitis. In: American
Academy of Ophtalmology. http://www.aao.org/ppp. Accessed 6 January

26
2017.

27

Anda mungkin juga menyukai