Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEPERAWATAN DEWASA SISTEM ENDOKRIN, IMUNOLOGI,


PECERNAAN, PERKEMBANGAN DAN REPRODUKSI PRIA

GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN (GRAVES)

Dosen Pengampu : Ns. Sarwan, S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :

Kelas 4B Keperawatan

Kelompok 3

Windy S. Abdullah : 2101043

Windy Dilla Apriliani : 2101039

Defila Mamonto : 2101030

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MANADO

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam atas
segala karunia dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Makalah yang berjudul “Gangguan Sistem Endokrin (Graves)” disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Endokrin, Imunologi,
Percernaan, Perkembangan dan Reproduksi Pria.

Meski telah disusun secara maksimal oleh penulis, akan tetapi penulis sebagai
manusia biasa sangat menyadari bahwa makalah ini sangat banyak kekurangannya dan masih
jauh dari kata sempurna. Karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.

Besar harapan penulis makalah ini dapat menjadi inspirasi atau sarana pembantu.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat
dan pelajaran dari makalah ini.

Manado, 16 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelenjar tiroid mempertahankan tingkat metabolisme diberbagai jaringan agar
optimal sehingga mereka berfungsi normal. Hormone tiroid merangsang konsumsi
oksigen pada sebagian besar sel di tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak
dan karbohidrat serta penting untuk pertumbuhan dan pematangan normal. Kelenjar
tiroid tidak essensial bagi kehidupan, tetapi ketiadaannya menyebabkan perlambatan
perkembangan mental dan fisik, berkurangnya daya tahan terhadap dingin, serta pada
anak-anak timbul retardasi mental dan kecebolan. Sebaliknya, sekresi tiroid yang
berlebihan menyebabkan badan menjadi kurus, gelisah, takikardi, tremor dan
kelebihan pembentukan panas. Fungsi tiroid diatur oleh hormone perangsang tiroid
(Thyroid Stimulating Hormon = TSH) dari hipofisis anterior. Sebaliknya, sekresi
hormone tropic ini sebagian diatur oleh umpan balik inhibitorik langsung kadar
hormone tiroid yang tinggi pada hipofisis serta hipotalamus dan sebagian lagi melalui
mekanisme neural yang bekerja melalui hipotalamus. Dengan cara ini, perubahan-
perubahan pada lingkungan internal dan eksternal menyebabkan penyesuaian
kecepatan sekresi tiroid.
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering
ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling
mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hyperplasia difus), tirotoksikosis
(hipersekresi kelenjar tiroid / hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta
disertai dermopati, merkipun jarang.
Pathogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Namun demikian, di duga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya resiko menderita
penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan
ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibody terhadap
reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone – Receptor Antibody / TSHR-Ab)
dengan kadar bervariasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit Graves?
2. Apa etiologi penyakit Graves?
3. Apa pathogenesis penyakit Graves?
4. Apa gejala dan tanda penyakit Graves?
5. Apa komplikasi penyakit Graves?
6. Apa pengobatan penyakit Graves?
7. Apa pencegahan penyakit Graves?
8. Apa faktor resiko penyakit Graves?
9. Apa patofisiologi penyakit Graves?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit Graves
2. Untuk mengetahui etiologi penyakit Graves
3. Untuk mengetahui patogenesis penyakit Graves
4. Untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit Graves
5. Untuk mengetahui komplikasi penyakit Graves
6. Untuk mengetahui pengobatan penyakit Graves
7. Untuk mengetahui pencegahan penyakit Graves
8. Untuk mengetahui faktor resiko penyakit Graves
9. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Graves
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering
hipertiroidime adalah suatu penyakit atonium yang biasanya ditandai oleh produksi
otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit
Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus
yaitu pembesaran kelenjar tiroid / struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata
menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.
Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang menyebabkan tubuh
menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan (hipertiroidisme). Penyakit ini dapat
menimbulkan beragam gejala, di antaranya jantung berdebar, penurunan berat badan,
serta tangan gemetar.
Kelenjar tiroid bertugas untuk memproduksi hormon yang mengatur beberapa
fungsi tubuh, seperti sistem saraf, perkembangan otak, serta suhu tubuh. Pada
penderita penyakit Graves, kelenjar tiroid memproduksi hormon lebih banyak dari
yang dibutuhkan.
Jika tidak ditangani dengan tepat, berlebihnya produksi hormon tiroid dapat
menimbulkan gangguan serius pada jantung, otot, siklus menstruasi, mata, dan kulit.
Meskipun banyak gangguan lain yang dapat menyebabkan hipertiroidisme, penyakit
Graves merupakan penyebab paling umum dari kondisi tersebut.
Penyakit Graves paling sering terjadi pada wanita dan orang yang berusia
kurang dari 40 tahun. Namun, pada dasarnya penyakit ini bisa dialami oleh siapa saja.
2.2 Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi
genetic yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat
dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita Graves,
ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih
banyak pada wanita dibanding pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka
kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.
Penyakit Graves atau Graves’ disease terjadi akibat gangguan pada fungsi
sistem kekebalan tubuh. Pada kondisi normal, sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk
melindungi tubuh dari organisme asing penyebab penyakit, seperti virus dan bakteri.
Akan tetapi, pada penderita penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh justru
menghasilkan antibodi TSI (thyroid-stimulating immunoglobulins), yang menyerang
kelenjar tiroid, sehingga memicu kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid dalam
jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan tubuh.
Kendati demikian, belum diketahui secara pasti penyebab sistem kekebalan
tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang kelenjar tiroid. Namun, beberapa faktor
di bawah ini diketahui dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit
Graves:
 Berjenis kelamin wanita
 Berusia 20–40 tahun
 Memiliki riwayat penyakit Graves dalam keluarga
 Menderita penyakit autoimun lainnya, seperti rheumatoid arthritis atau
diabetes tipe 1
 Mengalami stress
 Baru melahirkan dalam rentang 1 tahun
 Pernah mengalami infeksi mononucleosis
 Memiliki kebiasaan merokok
2.3 Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen
yang berada di dalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B
untuk mensistensis antibody terhadap antigen tersebut. Antibody yang disintesis akan
bereaksi dengan reseptor TSH didalam membrane sel tiroid sehingga akan
merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibody didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor
penting dalam pathogenesis terjadi hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada
penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping
itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kilo Dalton pada permukaan membrane
sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan
kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves. Sel-sel tiroid
mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh
pengaruh sitokin (seperti interferon gamma)akan mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MCH kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen
pada limfosit T.
Faktor genetic berperan penting dalam proses otoimun, antara lain, HLA-B8
dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-
B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam pathogenesis
penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid
manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga
sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil garam
negative Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitica kronis, diduga
mempunyai reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibody terhadap
Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada
membrane sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan
yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang
bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya
penyakit tiroid otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam
pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T
suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stress juga
diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini
belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibody sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan
dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan
tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan
myositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis
dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
di dalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans.
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin,
seperti takikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperraktivitas katekolamin,
terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor
katekolamin didalam otot jantung.
2.4 Gejala dan Tanda
Penyakit Graves dapat menimbulkan gejala yang bervariasi. Gejala umumnya
muncul ringan di awal atau bahkan tidak terlihat, lalu secara bertahap berkembang
menjadi semakin parah. Beberapa gejalanya adalah:
o Pembesaran kelenjar tiroid (penyakit gondok)
o Tremor pada tangan atau jari tangan
o Jantung berdebar (palpitasi jantung) atau jantung berdetak tidak beraturan (aritmia)
o Perubahan pada siklus menstruasi, termasuk telat haid
o Disfungsi ereksi
o Kehilangan berat badan tanpa kehilangan nafsu makan
o Suasana hati mudah berubah
o Penurunan gairah seksual
o Sulit tidur (insomnia)
o Diare
o Rambut rontok
o Mudah Lelah
o Mudah berkeringat
o Sensitif terhadap udara panas
Selain beberapa gejala di atas, sekitar 30% penderita penyakit Graves atau
Graves’ disease mengalami sejumlah gejala khas, yaitu Graves’ ophtalmopathy dan
Graves’ dermopathy.
Gejala Graves’ ophtalmopathy terjadi akibat peradangan atau gangguan pada
sistem imun, yang memengaruhi otot dan jaringan di sekitar mata. Gejala-gejalanya
antara lain:
o Mata menonjol (eksoftalmus)
o Mata kering
o Tekanan atau rasa sakit pada mata
o Kelopak mata membengkak
o Mata memerah
o Sensitif terhadap cahaya
o Penglihatan ganda
o Kehilangan penglihatan
Graves’ dermopathy lebih jarang ditemukan. Gejalanya adalah kulit yang
memerah dan menebal seperti kulit jeruk. Graves’ dermopathy paling sering terjadi
pada area tulang kering dan di punggung kaki.
Pada penyakit graves terdapat 2 kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hyperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormone tiroid
yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme
dan aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh Lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun
walaupun napsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta
atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit local yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% - 80%
pasien ditandai dengan mata melotot, fissure palpebra melebar, kedipan berkurang, lid
lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan
konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri
tunggal hipertiroidisme, goiter difus, eksoftalmus. Perubahan pada mata (oftalmopati
Graves) , menurut the American Thyroid Association (NOSPECS) diklasifikasikan
sebagai berikut :

Kelas uraian
0 : tidak ada gejala dan tanda
1 : hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction, stare, lid lag)
2 : oerubahan jaringan lunak orbita
3 : proptosis (dapat dideteksi dengan hertel exphthalmometer)
4 : keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 : perubahan pada kornea (keratitis)
6 : kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya
diobati secara adekuat.
Pada kelas 2-6 terjadi proses infiltrative pada otot-otot jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan luank orbita disertai edema periorbita,
kongesti, dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan hertel
exphthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltrative terutama
pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola
mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran
dalam menggerakkan bola mata ke samping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis
(penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga
dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi di bagian
posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan
antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hyperkinesia, diare, berkeringat banyak,
tidak tahan panas, dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama
penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi
peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan
adanya palpitasi, dyspnea d’effort, tremor, nervous, dan penurunana berat badan. Pada
neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relative jarang ditemukan,
diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien
dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada
ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan
ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan.
2.5 Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala
tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
 Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
 Terapi yodium radioaktif
 Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati
secara adekuat
 Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi
akut, alergi obat yang berat atau infark miokard

Manifestasi klinis dari kristal tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat
dan respon adrenergic yang hebat yaitu meliputi :

 Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38 derajat celcius sampai


mencapai 41 derajat celcius disertai dengan flushing dan hyperhidrosis
 Takikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung
 Gejala-gejala neurologic seperti agitasi, gelisah, derilium, sampai koma
 Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah, diare, dan icterus

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan
hormone tiroid. Namun, beberapa penelitian menunjukan bahwa kadar T4 dan T3
didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Juga tidak ada bukti yang
kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi triiodothyronine yang
hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah
reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitive
terhadap kotekolamin yang ada didalam sirkulasi.

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh


kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis
tirotoksikosis, kelahiran premature, atau kematian intrauterine. Selain itu,
hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh
janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonates dan bayi dengan berat
badan lahir rendah serta peningkatan angka kematian perinatal.

2.6 Pengobatan

Pengobatan penyakit Graves bertujuan untuk mengurangi kelebihan produksi


hormon tiroid dan dampaknya bagi tubuh. Beberapa pilihan pengobatannya adalah:

 Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat diberikan oleh dokter untuk menangani penyakit
Graves di antaranya:
o Obat antitiroid, seperti methimazole dan propylthiouracil, untuk
menghambat produksi hormon tiroid
o Obat penghambat beta, seperti propranolol, metoprolol, atenolol, dan
nadolol, untuk mengurangi efek hormon tiroid pada tubuh, seperti detak
jantung tidak beraturan, gelisah, tremor, keringat berlebihan, dan diare
 Terapi yodium radioaktif
Terapi yodium radioaktif dilakukan dengan cara mengonsumsi pil yang
mengandung yodium radioaktif dosis rendah. Pil tersebut berfungsi
menghancurkan sel tiroid yang terlalu aktif, serta mengecilkan kelenjar tiroid,
sehingga gejala akan berkurang secara bertahap selama beberapa minggu hingga
beberapa bulan.
Terapi yodium radioaktif tidak direkomendasikan pada penderita yang
mengalami Graves’ ophtalmopathy karena dapat membuat gejala semakin
memburuk. Selain itu, terapi ini juga tidak boleh digunakan pada wanita hamil dan
ibu menyusui.
Mengingat terapi ini bekerja dengan cara menghancurkan sel tiroid, pasien
kemungkinan besar akan memerlukan tambahan hormon tiroid untuk
meningkatkan jumlah hormon tiroid yang berkurang akibat terapi ini.
 Operasi
Setelah operasi, pasien akan memerlukan terapi lanjutan berupa hormon tiroid
sintetis untuk meningkatkan kadar hormon tiroid yang rendah akibat pengangkatan
kelenjar tiroid.
Tindakan ini berisiko menyebabkan kerusakan pada saraf pengatur pita suara.
Risiko kerusakan juga bisa terjadi pada kelenjar paratiroid, yang berfungsi untuk
menghasilkan hormon pengatur kadar kalsium dalam darah.
Perlu diketahui, Graves’ ophtalmopathy bisa tetap bertahan walaupun penyakit
Graves itu sendiri telah berhasil diobati. Bahkan, gejala Graves’ ophtalmopathy
masih bisa memburuk hingga 3–6 bulan setelah pengobatan. Kondisi ini biasanya
akan bertahan hingga setahun, kemudian mulai membaik dengan sendirinya.
Jika diperlukan, Graves’ ophtalmopathy akan diobati dengan pemberian
kortikosteroid atau teprotumumab. Pada beberapa kasus, operasi mungkin
dibutuhkan untuk mencegah kebutaan.
 Perawatan mandiri
Selain beberapa penanganan di atas, pasien penyakit Graves juga dianjurkan
untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat, dengan melakukan beberapa
langkah sebagai berikut:
o Mengonsumsi makanan bergizi seimbang, seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan
o Berolahraga secara rutin
o Mengelola stres dengan baik

Sementara itu, penderita yang mengalami Graves’ ophtalmopathy dianjurkan


untuk melakukan hal-hal berikut:

o Menggunakan air mata buatan, yang bisa diperoleh di apotek


o Mengonsumsi obat kortikosteroid, yang telah diresepkan oleh dokter
o Menggunakan kacamata hitam agar mata terhindar dari paparan sinar
matahari
o Memberikan kompres dingin di mata
o Meninggikan bagian kepala jika hendak tidur
o Tidak merokok
Pasien dengan gejala Graves’ dermopathy juga dapat melakukan perawatan
dengan menggunakan salep kortikosteroid, serta mengompres bagian kaki yang
mengalami keluhan untuk mengurangi pembengkakan.
2.7 Pencegahan
Penyakit Graves sulit dicegah karena penyakit ini tergolong penyakit
autoimun. Meski demikian, Anda bisa menurunkan risiko terjadinya penyakit Graves
dengan rutin melakukan pemeriksaan jika memiliki riwayat penyakit autoimun atau
memiliki riwayat penyakit Graves dalam keluarga.
Selain itu, risiko terserang penyakit Graves juga dapat dikurangi dengan
mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat, seperti tidak merokok, menjaga berat
badan ideal, serta berolahraga secara rutin.
2.8 Faktor Resiko
Meskipun siapa saja dapat terkena penyakit fraves, banyak faktor yang dapat
meningkatkan risiko penyakit ini, termasuk:
1. Riwayat Keluarga. Kemungkinan ada gen yang dapat membuat seseorang
lebih rentan terhadap penyakit ini.
2. Jenis Kelamin. Wanita jauh lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit
graves daripada pria.
3. Usia. Penyakit graves biasanya berkembang pada orang sebelum usia 40
tahun.
4. Gangguan Autoimun Lainnya. Orang dengan gangguan lain dari sistem
kekebalan tubuh, seperti diabetes tipe 1 atau rheumatoid arthritis, memiliki
peningkatan risiko.
5. Stres Emosional atau Fisik. Peristiwa hidup yang penuh tekanan atau penyakit
dapat menjadi salah satu faktor risiko penyakit graves.
6. Kehamilan. Terutama di antara wanita yang memiliki gen yang meningkatkan
risiko mereka.
7. Merokok. Dapat mempengaruhi sistem kekebalan, meningkatkan risiko
penyakit graves.
2.9 Patofisiologi
Patofisiologi Graves’ disease atau penyakit Graves melibatkan adanya thyroid-
stimulating immunoglobulin (TSI) atau juga dikenal sebagai thyroid-stimulating
antibody (TSAb).
Autoimunitas pada Grave’s Disease.Limfosit B mensintesis thyroid-
stimulating immunoglobulin (TSI) di dalam sel tiroid. Limfosit B dirangsang oleh
limfosit T yang disensitisasi oleh antigen pada kelenjar tiroid. Thyroid-stimulating
immunoglobulin berikatan dengan thyroid-stimulating hormone receptor (TSH-R)
pada membran sel tiroid dan merangsang efek TSH. Hal ini memicu sintesis hormon
tiroid dan pertumbuhan kelenjar tiroid. Hasil akhirnya adalah hipertiroidisme dan
tiromegali.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit otoimun yang biasanya ditandai oleh produksi
otoantibody yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana
penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.
3.2 Saran
Diharapkan kepada pembaca untuk memahami isi makalah dan kepada
fasilitator untuk membimbing kami dalam belajar agar bisa memahami apa yang harus
kami pelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Makalah Penyakit Grave | PDF (scribd.com)

Penyakit Graves - Gejala, penyebab dan mengobati - Alodokter

Penyakit Graves - Gejala, Penyebab, dan Pengobatan | Halodoc

Patofisiologi Grave's Disease - Alomedika

Anda mungkin juga menyukai